Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
So Dreamy Jan 2017
Di ujung jalan Merbabu III, ada sebuah bangunan tua berwarna cokelat muda berlantai satu dengan sebuah taman yang dipenuhi semak bunga Gardenia dan sebuah pohon pinus. Itu adalah rumah kami. Sebuah gunung berdiri tegak di depan kami. Teh beraroma melati yang disajikan dalam cangkir putih membiarkan asapnya mengepul memenuhi udara dan menghangatkan atmosfer di sekitar kami hanya untuk sepersekian detik. Ditemani sepiring pisang goreng atau roti bakar berisi selai cokelat yang meleleh, bersama ibuku, kami berbincang tentang banyak hal di atas kursi kayu di teras rumah berlatar gunung.

Kami banyak membicarakan tentang masalah pendidikkan dalam negeri, masalah keluarga, hobi masing-masing, masa depan, pelajaran di sekolah, pekerjaan lainnya, dan mengeluh bagaimana hal-hal tidak berjalan sesuai dengan ekspektasi kami. Ibuku adalah sahabat terbaikku. Bisa dibilang dia merupakan orang terfavoritku walaupun aku lebih mengidolakan band-band asal Inggris yang jaya di pertengahan era 90-an. Tapi, ibuku adalah pendengar terbaik selain secarik kertas HVS putih yang biasa kutulisi dengan rangkaian kata menggunakan pulpen biru Faster. Dia mendengar, benar-benar mendengar. Dia mengerti apa maksud dari seluruh ucapanku, bukan hanya sekedar menyimak cerita-ceritaku.

Setiap kali aku mengeluh tentang suatu hal, Ibu menghujaniku dengan nasihat-nasihat dan pepatah-pepatah hebat. Ia selalu mengingatkanku untuk selalu bersyukur.

“Bu,” panggilku pada suatu siang di tengah bulan Juni yang sangat panas.

Kami sedang membersihkan sayur kangkung dan ikan Gurame di dapur dengan jendela yang terbuka lebar di hadapan kami sehingga kami bisa melihat jelas isi dari taman belakang rumah sebelah.

“Aku heran mengapa bunga-bunga liar ini bisa tumbuh. Maksudku dari mana mereka berasal dan bagaimana bisa mereka tumbuh begitu saja?" tanyaku.

Ibuku tersenyum. “Penyebaran bibit itu bermacam-macam. Lewat serangga, bisa jadi?” jawabnya sambil terus membersihkan sisik ikan. “Lagi pula, bunga rumput itu sangat cantik. Setuju dengan Ibu?”

Aku mengangkat sebelah alis, kemudian menggeleng. “Cantik apanya? Mereka berantakan, ya, kan? Bagaimana bisa Bu Jum betah melihatnya tanpa merasa gatal untuk segera mencabutnya?”

“Mereka adalah bunga yang kuat,” katanya, “mereka tumbuh di mana saja, kapan saja. Mereka tidak peduli seperti apa rupa lingkungan sekitarnya dan bagaimana lingkungan sekitarnya bersikap pada mereka, menampar atau menerima. Mereka tetap tumbuh, bertahan, dan hidup. Bunga rumput adalah bunga liar yang sering diacuhkan banyak orang, tapi mereka adalah bunga yang kuat dan mereka terlihat cantik dengan cara mereka sendiri.”

Aku tertegun.

“Itu hanya pandangan Ibu saja. Semacam filosofi, kamu paham, kan?”

Sejak saat itu, aku percaya pada kecantikan di setiap kesederhanaan. Hal-hal yang biasa tidak diperhatikan atau dilupakan banyak orang sesungguhnya memiliki keindahannya sendiri. Meneguk secangkir kopi panas di malam hari ketika tiada satu pun suara dan bintang berkedip di langit tinggi, cahaya matahari yang mengintip dari balik dedaunan dan ranting pohon atau jendela kamar, mendengar dan melihat bagaimana tetes-tetes hujan turun dari genting ke permukaan tanah. Jalanan kelabu yang basah dan sepi, suara dan kilatan petir, kabut yang memenuhi ruang udara setiap Subuh. Suara deburan ombak yang berujung mencium garis pantai atau suara aliran sungai yang mengalir dengan tenang. Hal-hal seperti itu, selain mereka cantik dengan caranya masing-masing, mereka juga indah tanpa pernah sekalipun menyadari bahwa mereka indah. Dan, itu adalah kecantikan yang paling murni dari segala hal yang nyata.
Nur Almaz Mar 2016
I am your mamak kinda girl,
roti telur, roti planta,
banjir, sambal lebih.

I am your HS Cafe kinda girl,
nasi putih makan,
ayam goreng, kuah campur,
sayur, kentang,
nescafe ais bungkus.

I am your warong kinda girl,
nasi goreng kampung,
telur goyang.

I am your Kelisa manual kinda girl,
anything that moves is fine,
as long as we get there in one piece is good.

But I am also your, "how are you?" kinda girl,
where I expect you to tell me stories,
share insights,
and discuss your day.

I am also your, "random question..." kinda girl,
where I expect thoughts and opinions,
discussions and deep conversations.

I am also your, "tahu tak..." kinda girl,
where I want to tell you my thoughts and opinions,
for us to discuss further in our deeper conversations.

Because I am more than just "that kinda girl".

I am more than an introduction,
or rising action,
I am the ****** to your tale and
I expect a falling action,
which eventually leads to our resolution.

I am a simple girl with simple satisfactions,
but I only have one motivation,
I cannot tolerate mediocrity when it comes to ideas and solutions.

I expect love, power, and compassion,
because it is with you that I expect my conclusion,
which will eventually lead to our next destination,
a new exposition.
Marshall Gass Oct 2014
sushi?
no
combination fried rice?
no
nasi goreng?
no
casserole?
no
shepherds pie?
no
are we getting closer?
maybe
tacos? that must be it?
no
yep. i think i know
shrimps, hot dogs and buffalo wings?
nope. too far away
curry?
closer!
jalapenos, habaneros, chilli?
yep. as hot
but tastes and temperaments
from all mixed.

food channel addict, chef?
nope.

© Marshall Gass. All rights reserved, 2 months ago

- See more at: http://allpoetry.com/poem/11608284-all-mixed-up-by-Marshall-Gass-noguest#sthash.Syfk2KZn.dp­uf
Akemi Jul 2018
THE GULF WAR DID NOT |
THE GULF WAR DID NOT |
THE GULF WAR DID NOT

WHY WE OPPOSE:
Staid quanta of individuality. Phenom asks if they can go. The Big Mouth replies, babble babble. In a fit of rage, Phenom shouts, I’ve had enough of this. They wrench themselves off the dissection table, fetters flying into the air, but a sudden bout of vertigo sets in. They lie back down. The Big Mouth sticks a thermometer into their mouth and begins heating a can of corn soup.

WHY WE OPPOSE:
Professor Kippotkin takes the stage. She coughs into the mic to quiet the audience, but they are caught in sordid *******. She coughs again, managing only to project a trail of spit onto the shoulder of the nearest security guard. He turns immediately, a perfect ninety-degrees spin, automatically signalling the first in command. He has been trained since seventeen for this one task of momentous disciplinary precision. The first in command bellows, Let her speak! a phrase his colleagues repeat in serial down the chain of command.

The crowd soon catches on. An isolated few nod in consternation. Let her speak! they yell from the pits of their lungs, Let her speak!

Thank you, thank you all, Professor Karlpoppins exclaims, cheeks flush with amazement. More and more of the crowd join in. It is a rousing spectacle, a poignant display of human decency. But something is awry. The professor’s gratitude is swallowed into a cacophonous whole. Let her speak! The carnal grip of the big Other’s command unleashes the crowd’s jouissance. United in the master discourse, the crowd fragments into a bewildered totality. Let her speak! they scream at one another, arms jostling, heads tilting back, necks bared to the beating pulse of the earth-sky. LET HER SPEAK! Their combined blows begin to generate an ominous om.

Pl-please, Professor Kibbiezsche sputters, please, everyone! but the crowd have already forgotten her existence. Reams of toilet paper fly through the air. A crashing plane sounds in the distance. Crops burn.

The security team are forced to intervene. They close in from the sides, wielding riot shields and tear gas. HYPOCRITES! one of the members of the crowd screams. OPPRESSORS OF THE WORD! another follows. Footage of security guards flailing on the ground circulate on social media, tagged with the phrase WHO SPEAKS MY SPEAK?

Within twenty four hours, the whole country is ablaze with media coverage. Political scientists gather with literary scholars to speak the unspeakable into commercially-viable forms. Semiotext(e) sign a deal with Hollywood to write a docudrama about Baudrillard’s turbid *** life. Professor Kubblebutts is flown to Hawaii to give a speech on combine harvesters.

WHY WE OPPOSE:
I desire, therefore I am not. Incantation of the other spills through my greasy fingers as I fumble towards the hot sauce, dollop dollop, chicken salt strewn across the nommy wedges. That’ll be $4.50. They have already handed me the note. Our fingers touched for the briefest second, an anointment of the greasy chicken, the wedge fingers, the have a good night mister gurgle bop.

The taxi man sits outside in the cold, back heated by the friction of the smoothie machine, an indefinite spin, western civilisation’s meltdown. The turgid heat breezes past my neck and I sigh, almost in delight, but mostly out of convention and solidarity with the other workers. I hear the pitter pat of my shiftpanion as she scoops hot chips into the fresh night; it is so fresh, there is still so much night, why are you giving me $5 dollars, there is a bug on your face.

I take a break. The cool taxi man glances over just as I put my hands down my pants to shift my boxers into a more comfortable why is it always like this.

Everyone blames Foucault for destroying agency, but agency only arises in the gap between discourses, which is never a gap in power, but rather, the transversal of one power relation into the discursive matrix of another; what appears original is merely the same performance in the wrong site, that’ll be $24 for your **** and condoms.

The crumbled fish is shrinking with each passing day, little gasping body beneath the heat lamp, waffle waffle, waffle waffle, I am suffocating :)

WHY WE OPPOSE:
|||||FEeling BOLD? FeEL BOldbous ;;;; new Paracetamol Jelly and the KINK-CATS tour out the last week—
Thank you for holding. Please note this conversation may be recorded.
To continue, please state: 'my voice confirms my identity'
||"my voice confirms my identity"
and again, please state: 'my voice confirms my identity'
||"my voice confirms my identity"
Please note that this conversation is being recorded for the purposes of confirming your identity.
||"thanks"

WHY WE OPPOSE:
Slowly, slowly, Juniper sinks into the bed frame, the draughty window, the rotting sink. Hibiscus coveted for its prophetic dreams, pale steam smites nostalgia for a vision of the beyond. Streamlined entry into New World, an endless reshelving of family-value Mi Goreng, stormwater through the hollow vessels that twist beneath Juniper’s soles.

Juniper climbs the Garden steps. Pale trace of past motions set to automate at the slightest incline. The cloying rot beneath the pines pulls her closer and closer to the vital cache, the hidden excess. Another hedgehog climbs the mound; it admits its body, it expands in putrefaction.

Exiting onto the street, Juniper is greeted by a sign that reads “Caution. Night Shooting. Stay Out.”

WHY WE OPPOSE:
Steam creeps the mouth of the lid. Pallid flesh of yesterday’s body, settles the kitchen table, the hand, as motes crumple beneath gravity’s well. Mottled refuse, tied with a plastic ribbon, thrown into the street. Keys digging trenches, grandfather, the hollow behind my knee.

Last summer I waited for the rain in the dry concrete channel of the Leith. I was alone with the kayaks and the road cones and the fish, holes festering, showing their ribs in the walls of our flat, legs spread wearing high school sweaters, unable to breathe through cling wrap.

The summer before that, I watched films of myself bashing in the heads of strangers. Every night the ceiling of my mouth would transfigure into a doorway and I’d force my tongue through its serrated edges, waking with a new face. The cassettes would arrive soon after, testimonies of a brute physicality I could not remember enacting.

Earth grins, death strides. Hydraulic incisors pry the dead awake. At the smallest unit of life: phones, condoms, water bottles.
a piece i wrote for a zine

a piece
tangled
upturned
headed towards demise

ouroboros in its last desperate gasp

kingbabel.com/2018/07/09/faff0-plastic-death/

collab with hellopoetry.com/abloobloobloo/
Setelah 07 Oktober adalah normal baru.
Orang orang Gaza tak lagi punya kehidupan.
Kehidupan telah dihancurkan kekacauan.
Kekacauan panjang yang penuh penderitaan.

Tiap hari Hassan dan keluarganya terlunta lunta.
Menyusuri jalanan tanpa tahu harus kemana.
Tenda dan barang tertinggal di pengungsian yang hancur diserang.
Itulah normal baru Hassan.

Berkali kali Asmaa mendapat kabar buruk.
Murid muridnya telah tewas satu persatu.
Dia hanya bisa menangis teringat mereka.
Itulah normal baru Asmaa.

Samara sedih ketika anaknya ulang tahun.
Dia tak bisa membuat kue **** seperti biasanya.
Yang dia buat hanyalah lumpur berbentuk kue ****.
Itulah normal baru Samara.

Berbotol botol minyak goreng dibeli Mai.
Semuanya diisi ke dalam tanki mobilnya.
Setelah itu dia melintasi jalan Al Rashid yang penuh kehancuran.
Itulah normal baru Mai.

Mustafa sering duduk di tepi pantai.
Terus terusan termenung sedih sambil menangis.
Teringat gadis pujaannya yang tewas mengenaskan.
Itulah normal baru Mustafa.

Fadi sering kelelahan berjalan kaki jauh.
Mencari cari solar panel untuk mengecas laptop.
Dan juga tempat yang menjangkau internet.
Itulah normal baru Fadi.

Tiap hari Mariam selalu kelelahan.
Dia harus mengantri air dan mencari kayu bakar.
Setelah itu mencuci , memasak dan membersihkan tenda.
Itulah normal baru Mariam.

Tiap pergi ke pasar Heba selalu merasa jengkel.
Harga telur , ayam dan sayuran semakin naik tinggi.
Sementara dia kesulitan mendapatkan donasi.
Itulah normal baru Heba.

Yousef sering ikut nelayan ke laut.
Naik perahu sambil membawa jala untuk mencari ikan.
Tapi hanya sebentar di laut kapal perang datang menggempur.
Itulah normal baru Yousef.

Tiap melihat foto dirinya Mohammed selalu sedih.
Badannya kurus kering dan pucat kulitnya.
Akibat sering kelaparan dan kekurangan gizi.
Itulah normal baru Mohammed.

Abdullah selalu kesulitan mendapatkan donasi.
Dia sudah senang jika bisa membeli mie dan kopi.
Baginya itu menjadi suatu kemewahan.
Itulah normal baru Abdullah.

Tiap teringat kebun olive miliknya Ali selalu sedih.
Kebun warisan keluarganya itu sudah terbakar habis.
Tak ada lagi yang tersisa selain hanya kenangan saat musim panen.
Itulah normal baru Ali.

Melanjutkan sekolah online memang melelahkan.
Tiap hari Tareq harus berjalan jauh untuk mengecas laptop.
Dia juga sering kesulitan mendapat koneksi internet.
Itulah normal baru Tareq.

Gas dan bensin sulit didapatkan.
Satu satunya bahan bakar hanyalah minyak goreng.
Ayahnya Omar menjualnya di pinggir jalan.
Itulah normal baru ayahnya Omar.

Khaled dan keluarganya sering kelaparan.
Uang donasi tak menentu dan tak ada bantuan makanan.
Satu satunya yang bisa dimakan hanyalah makanan ternak.
Itulah normal baru Khaled.

Tiap melihat foto dirinya Eman sering menangis.
Wajahnya tampak kusut dan kecantikannya memudar.
Bibirnya yang kering tak bisa lagi tersenyum.
Itulah normal baru Eman.

Musim dingin Aya sangat menderita.
Dia meringkuk kedinginan di dalam tenda yang kehujanan.
Tak ada selimut atau apapun yang menghangatkan.
Itulah normal baru Aya.

Tiap hari Walid pergi kemana mana.
Naik kereta keledai mengantarkan orang orang.
Sambil berhati hati menghindari drone terbang.
Itulah normal baru Walid.

Kamera Nassar tampak kusam.
Tiap hari dia selalu menyusuri jalanan berdebu.
Yang dia potret hanya rombongan pengungsi dan mayat mayat bergelimpangan.
Itulah normal baru Nassar.

Ketika ramadhan Fatema merasa sedih.
Dia tak punya bahan untuk membuat kue.
Yang dia punya hanyalah sisa tepung penuh belatung.
Itulah normal baru Fatema.

Kakeknya Ashraf terbaring lemah di dalam tenda.
Sering berteriak ketakutan saat mendengar suara.
Ledakan demi ledakan bombardir pesawat jet dan helikopter.
Itulah normal baru kakeknya Ashraf.

Khalil sering menggerutu.
Tiap pertandingan El Classico dia tidak bisa nonton.
Yang bisa dia lakukan hanya membaca berita sepakbola.
Itulah normal baru Khalil.

Huda merasa lelah meneruskan kuliah online.
Sementara dia sering terkenang dengan kampusnya yang telah hancur.
Dan juga teman temannya yang telah tewas.
Itulah normal baru Huda.

Ketika musim panas Kareem sangat menderita.
Dia kepanasan di dalam tenda yang sempit.
Sementara di luar matahari benar benar terik.
Itulah normal baru Kareem.

Shayma kesal laptopnya rusak.
Dia tak bisa lagi menonton film dan anime yang sering dia unduh.
Sementara tukang servis laptop baru saja tewas.
Itulah normal baru Shayma.

Tiap pergi ke pasar ayahnya Lubna merasa sedih.
Sayuran dan buah buahan harganya naik tinggi tak terbeli.
Padahal dulu bisa dipanen banyak di kebun sendiri.
Itulah normal baru ayahnya Lubna.

Malak sering sakit sakitan.
Tak ada yang bisa dia lakukan selain hanya terbaring lemah.
Kehilangan semangat untuk melakukan apapun.
Itulah normal baru Malak.

Tiap sore Zaina selalu kelelahan.
Dia terus keliling tempat pengungsian menjual falafel buatannya.
Tapi hanya sedikit orang yang punya uang untuk membeli.
Itulah normal baru Zaina.

Saat merasa suntuk Dima sering menyesal.
Dia tidak membawa koleksi novelnya yang tertinggal di rumah.
Satu satunya penghiburan hanyalah mengingat berbagai cerita koleksi novelnya.
Itulah normal baru Dima.

Anak anaknya Hussein selalu kelelahan.
Tiap hari mereka menghabiskan waktu berjam jam.
Hanya untuk antri pembagian air dan makanan saat panas terik.
Itulah normal baru anak anaknya Hussein.

Tiap hari Reem selalu kelelahan kurang tidur.
Apalagi saat menstruasi dia benar benar menderita.
Sobekan tenda yang kasar dia jadikan pembalut.
Itulah normal baru Reem.

Amal telah kehilangan semangat dan harapan.
Tak sanggup meneruskan kuliah online di tengah kekacauan.
Rencana melanjutkan kuliah ke Eropa sudah dia lupakan.
Itulah normal baru Amal.

Dr Ghassan sering kebingungan.
Pasokan obat obatan di rumah sakit Al Quds semakin habis.
Sementara tiap hari puluhan orang dan anak  yang terluka terus berdatangan.
Itulah normal baru Dr Ghassan.

Ahmed dan keluarganya kelelahan bertahan hidup.
Berkali kali mereka pindah tempat pengungsian.
Setelah tenda tenda dibombardir pesawat jet dan helikopter.
Itulah normal baru Ahmed.

Saat tengah malam Aboud sering bersedih.
Dia menyesal tidak bisa menyelamatkan rekan rekannya di rumah sakit Al Shifa.
Mereka tewas dieksekusi massal hingga Aboud merasa sedih mengingatnya.
Itulah normal baru Aboud.

Tiap malam Mahmoud sering meratapi nasib.
Dia kehilangan segalanya tak punya apa apa lagi , tak punya siapa siapa lagi.
Dia sering mempertanyakan kenapa dirinya masih hidup.
Itulah normal baru Mahmoud.

Sham mengalami trauma parah.
Tatapannya kosong dan sering menangis.
Teringat keluarganya yang tewas dilindas tank.
Itulah normal baru Sham.

Saat malam yang dingin Sondos selalu menghangatkan diri.
Dia membakar tumpukan buku kuliahnya dengan rasa kecewa.
Baginya hukum internasional dan hak asasi manusia cuma ilusi belaka.
Itulah normal baru Sondos.

Tiap malam Bayan dan Layan tidak bisa tidur.
Di tengah bombardir pesawat jet tanpa henti mereka terus memandangi langit.
Berharap keajaiban akan mengubah keadaan.
Itulah normal baru Bayan dan Layan.

Normal baru menjadi masa kini yang menyakitkan.
Terlalu menyakitkan untuk dijalani selama setahun lebih.
Tak ada yang tahu kapan berakhirnya kekacauan panjang yang tak berkesudahan.
Terus menerus menghancurkan kehidupan dan mengancam masa depan.


November 2024

By Alvian Eleven

— The End —