Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy  Jan 2017
Gandrung
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
Mitchell Dec 2013
In the Fall, when the temperature of the Bay would drop and the wind blew ice, frost would gather on the lawn near Henry Oldez's room. It was not a heavy frost that spread across the paralyzed lawn, but one that just covered each blade of grass with a fine, white, almost dusty coat. Most mornings, he would stumble out of the garage where he slept and tip toe past the ice speckled patch of brown and green spotted grass, so to make his way inside to relieve himself. If he was in no hurry, he would stand on the four stepped stoop and look back at the dried, dead leaves hanging from the wiry branches of three trees lined up against the neighbors fence. The picture reminded him of what the old gallows must have looked like. Henry Oldez had been living in this routine for twenty some years.

He had moved to California with his mother, father, and three brothers 35 years ago. Henry's father, born and raised in Tijuana, Mexico, had traveled across the Meixcan border on a bent, full jalopy with his wife, Betria Gonzalez and their three kids. They were all mostly babies then and none of the brothers claimed to remember anything of the ride, except one, Leo, recalled there was "A lotta dust in the car." Santiago Oldez, San for short, had fought in World War II and died of cancer ten years later. San drank most nights and smoked two packs of Marlboro Reds a day. Henry had never heard his father talk about the fighting or the war. If he was lucky to hear anything, it would have been when San was dead drunk, talking to himself mostly, not paying very much attention to anyone except his memories and his music.

"San loved two things in this world," Henry would say, "*****, Betria, and Johnny Cash."

Betria Gonzalez grew up in Tijuana, Mexico as well. She was a stout, short woman, wide but with pretty eyes and a mess of orange golden hair. Betria could talk to anyone about anything. Her nick names were the conversationalist or the old crow because she never found a reason to stop talking. Santiago had met her through a friend of a friend. After a couple of dates, they were married. There is some talk of a dispute among the two families, that they didn't agree to the marriage and that they were too young, which they probably were. Santiago being Santiago, didn't listen to anybody, only to his heart. They were married in a small church outside of town overlooking the Pacific. Betria told the kids that the waves thundered and crashed against the rocks that day and the sea looked endless. There were no pictures taken and only three people were at the ceremony: Betria, San, and the priest.

Of course, the four boys went to elementary and high school, and, of course, none of them went to college. One brother moved down to LA and eventually started working for a law firm doing their books. Another got married at 18 years old and was in and out of the house until getting under the wing of the union, doing construction and electrical work for the city. The third brother followed suit. Henry Oldez, after high school, stayed put. Nothing in school interested him. Henry only liked what he could get into after school. The people of the streets were his muse, leaving him with the tramps, the dealers, the struggling restaurateurs, the laundry mat hookers, the crooked cops and the addicts, the gang bangers, the bible humpers, the window washers, the jesus freaks, the EMT's, the old ladies pushing salvation by every bus stop, the guy on the corner and the guy in the alley, and the DOA's. Henry didn't have much time for anyone else after all of them.

Henry looked at himself in the mirror. The light was off and the room was dim. Sunlight streaked in through the dusty blinds from outside, reflecting into the mirror and onto Henry's face. He was short, 5' 2'' or 5' 3'' at most with stubby, skinny legs, and a wide, barrel shaped chest. He examined his face, which was a ravine of wrinkles and deep crows feet. His eyes were sunken and small in his head. Somehow, his pants were always one or two inches below his waistline, so the crack of his *** would constantly be peeking out. Henry's deep, chocolate colored hair was  that of an ancient Native American, long and nearly touched the tip of his belt if he stood up straight. No one knew how long he had been growing it out for. No one knew him any other way. He would comb his hair incessantly: before and after a shower, walking around the house, watching television with Betria on the couch, talking to friends when they came by, and when he drove to work, when he had it.

Normal work, nine to five work, did not work for Henry. "I need to be my own boss," he'd say. With that fact stubbornly put in place, Henry turned to being a handy man, a roofer, and a pioneer of construction. No one knew where he would get the jobs that he would get, he would just have them one day. And whenever he 'd finish a job, he'd complain about how much they'd shorted him, soon to move on to the next one. Henry never had to listen to anyone and, most of the time, he got free lunches out of it. It was a very strange routine, but it worked for him and Betria had no complaints as long as he was bringing some money in and keeping busy. After Santiago died, she became the head of the house, but really let her boys do whatever they wanted.

Henry took a quick shower and blow dried his hair, something he never did unless he was in a hurry. He had a job in the east bay at a sorority house near the Berkley campus. At the table, still in his pajamas, he ate three leftover chicken thighs, toast, and two over easy eggs. Betria was still in bed, awake and reading. Henry heard her two dogs barking and scratching on her bedroom door. He got up as he combed his damp hair, tugging and straining to get each individual knot out. When he opened the door, the smaller, thinner dog, Boy Boy, shot under his legs and to the front door where his toy was. The fat, beige, pig-like one waddled out beside Henry and went straight for its food bowl.

"Good morning," said Henry to Betria.

Betria looked at Henry over her glasses, "You eat already?"

"Yep," he announced, "Got to go to work." He tugged on a knot.

"That's good. Dondé?" Betria looked back down at her spanish TV guide booklet.

"Berkley somewhere," Henry said, bringing the comb smoothly down through his hair.

"That's good, that's good."

"OK!" Henry sighed loudly, shutting the door behind him. He walked back to the dinner table and finished his meal. Then, Betria shouted something from her room that Henry couldn't hear.

"What?" yelled Henry, so she could hear him over the television. She shouted again, but Henry still couldn't hear her. Henry got up and went back to her room, ***** dish in hand. He opened her door and looked at her without saying anything.

"Take the dogs out to ***," Betria told him, "Out the back, not the front."

"Yeah," Henry said and shut the door.

"Come on you dogs," Henry mumbled, dropping his dish in the sink. Betria always did everyones dishes. She called it "her exercise."

Henry let the two dogs out on the lawn. The sun was curling up into the sky and its heat had melted all of the frost on the lawn. Now, the grass was bright green and Henry barely noticed the dark brown dead spots. He watched as the fat beige one squatted to ***. It was too fat to lifts its own leg up. The thing was built like a tank or a sea turtle. Henry laughed to himself as it looked up at him, both of its eyes going in opposite directions, its tongue jutted out one corner of his mouth. Boy boy was on the far end of the lawn, searching for something in the bushes. After a minute, he pulled out another one of his toys and brought it to Henry. Henry picked up the neon green chew toy shaped like a bone and threw it back to where Boy boy had dug it out from. Boy boy shot after it and the fat one just watched, waddling a few feet away from it had peed and laid down. Henry threw the toy a couple more times for Boy boy, but soon he realized it was time to go.

"Alright!" said Henry, "Get inside. Gotta' go to work." He picked up the fat one and threw it inside the laundry room hallway that led to the kitchen and the rest of the house. Boy boy bounded up the stairs into the kitchen. He didn't need anyone lifting him up anywhere. Henry shut the door behind them and went to back to his room to get into his work clothes.

Henry's girlfriend was still asleep and he made sure to be quiet while he got dressed. Tia, Henry's girlfriend, didn't work, but occasionally would put up garage sales of various junk she found around town. She was strangely obsessed with beanie babies, those tiny plush toys usually made up in different costumes. Henry's favorite was the hunter. It was dressed up in camouflage and wore an eye patch. You could take off its brown, polyester hat too, if you wanted. Henry made no complaint about Tia not having a job because she usually brought some money home somehow, along with groceries and cleaning the house and their room. Betria, again, made no complain and only wanted to know if she was going to eat there or not for the day.

A boat sized bright blue GMC sat in the street. This was Henry's car. The stick shift was so mangled and bent that only Henry and his older brother could drive it. He had traded a new car stereo for it, or something like that. He believed it got ten miles to the gallon, but it really only got six or seven. The stereo was the cleanest piece of equipment inside the thing. It played CD's, had a shoddy cassette player, and a decent radio that picked up all the local stations. Henry reached under the seat and attached the radio to the front panel. He never left the radio just sitting there in plain sight. Someone walking by could just as soon as put their elbow into the window, pluck the thing out, and make a clean 200 bucks or so. Henry wasn't that stupid. He'd been living there his whole life and sure enough, done the same thing to other cars when he was low on money. He knew the tricks of every trade when it came to how to make money on the street.

On the road, Henry passed La Rosa, the Mexican food mart around the corner from the house. Two short, tanned men stood in front of a stand of CD's, talking. He usually bought pirated music or movies there. One of the guys names was Bertie, but he didn't know the other guy. He figured either a customer or a friend. There were a lot of friends in this neighborhood. Everyone knew each other somehow. From the bars, from the grocery, from the laundromat, from the taco stands or from just walking around the streets at night when you were too bored to stay inside and watch TV. It wasn't usually safe for non-locals to walk the streets at night, but if you were from around there and could prove it to someone that was going to jump you, one could usually get away from losing a wallet or an eyeball if you had the proof. Henry, to people on the street, also went as Monk. Whenever he would drive through the neighborhood, the window open with his arm hanging out the side, he would usually hear a distant yell of "Hey Monk!" or "What's up Monk!". Henry would always wave back, unsure who's voice it was or in what direction to wave, but knowing it was a friend from somewhere.

There was heavy traffic on the way to Berkley and as he waited in line, cursing his luck, he looked over at the wet swamp, sitting there beside highway like a dead frog. A few scattered egrets waded through the brown water, their long legs keeping their clean white bodies safe from the muddy water. Beyond the swamp laid the pacific and the Golden Gate bridge. San Francisco sat there too: still, majestic, and silver. Next to the city, was the Bay Bridge stretched out over the water like long gray yard stick. Henry compared the Golden Gate's beauty with the Bay Bridge. Both were beautiful in there own way, but the Bay Bridge's color was that of a gravestone, while the Golden Gate's color was a heavy red, that made it seem alive. Why they had never decided to pain the Bay Bridge, Henry had no idea. He thought it would look very nice with a nice coat of burgundy to match the Golden gate, but knew they would never spend the money. They never do.

After reeling through the downtown streets of Berkley, dodging college kids crossing the street on their cell phones and bicyclists, he finally reached the large, A-frame house. The house was lifted, four or five feet off the ground and you had to walk up five or seven stairs to get to the front door. Surrounded by tall, dark green bushes, Henry knew these kids had money coming from somewhere. In the windows hung spinning colored glass and in front of the house was an old-timey dinner bell in the shape of triangle. Potted plants lined the red brick walkway that led to the stairs. Young tomatoes and small peas hung from the tender arms of the stems leaf stalks. The lawn was manicured and clean. "Must be studying agriculture or something," Henry thought, "Or they got a really good gardener."

He parked right in front of the house and looked the building up and down, estimating how long it would take to get the old shingles off and the new one's on. Someone was up on the deck of the house, rocking back and forth in an old wooden chair. He listened to the creaking wood of the chair and the deck, judging it would take him two days for the job. Henry knew there was no scheduled rain, but with the Bay weather, one could never be sure. He had worked in rain before - even hail - and it never really bothered him. The thing was, he never strapped himself in and when it would rain and he was working roofs, he was afraid to slip and fall. He turned his truck off, got out, and locked both of the doors. He stepped heavily up the walkway and up the stairs. The someone who was rocking back and forth was a skinny beauty with loose jean shorts on and a thick looking, black and red plaid shirt. She had long, chunky dread locks and was smoking a joint, blowing the smoke out over the tips of the bushes and onto the street. Henry was no stranger to the smell. He smoked himself. This was California.

"Who're you?" the dreaded girl asked.

"I'm the roofer," Henry told her.

The girl looked puzzled and disinterested. Henry leaned back on his heels and wondered if the whole thing was lemon. She looked beyond him, down on the street, awkwardly annoying Henry's gaze. The tools in Henry's hands began to grow heavy, so he put them down on the deck with a thud. The noise seemed to startle the girl out of whatever haze her brain was in and she looked back at Henry. Her eyes were dark brown and her skin was smooth and clear like lake water. She couldn't have been more then 20 or 21 years old. Henry realized that he was staring and looked away at the various potted plants near the rocking chair. He liked them all.

"Do you know who called you?" She took a drag from her joint.

"Brett, " Henry told her, "But they didn't leave a last name."

For a moment, the girl looked like she had been struck across the chin with a brick, but then her face relaxed and she smiled.

"Oh ****," she laughed, "That's me. I called you. I'm Brett."

Henry smiled uneasily and picked up his tools, "Ok."

"Nice to meet you," she said, putting out her hand.

Henry awkwardly put out his left hand, "Nice to meet you too."

She took another drag and exhaled, the smoke rolling over her lips, "Want to see the roof?"

The two of them stood underneath a five foot by five foot hole. Henry was a little uneasy by the fact they had cleaned up none of the shattered wood and the birds pecking at the bird seed sitting in a bowl on the coffee table facing the TV. The arms of the couch were covered in bird **** and someone had draped a large, zebra printed blanket across the middle of it. Henry figured the blanket wasn't for decoration, but to hide the rest of the bird droppings. Next to the couch sat a large, antique lamp with its lamp shade missing. Underneath the dim light, was a nice portrait of the entire house. Henry looked away from the hole, leaving Brett with her head cocked back, the joint still pinched between her lips, to get a closer look. There looked to be four in total: Brett, a very large man, a woman with longer, thick dread locks than Brett, and a extremely short man with a very large, brown beard. Henry went back
Aridea P Oct 2011
Palembang, Sabtu 2 Oktober 2010

Hari ini terjadi lagi
Kakak ku yang indah bertambah usia
Kini ia berbeda dari 29 tahun kemarin
Yang mana masih muda dan polosnya

Tak bisa ku berikan apa-apa
Kecuali doa yang tak henti ku panjatkan
Supaya kakak ku panjang umur
Sehat selalu dan cepat menikah

Pesanku untuknya, adalah
Teruslah ciptakan lirik indah
Karena ku suka saat kau berkata
Dalam bentuk nada yang indah

Pesanku kan ku sampaikan
Melalui sinyal-sinyal batin kita
Semoga Allah SWT melindunginya
Dan biarkan ia hidup bahagia


Created By. Aridea Purple
To Arlonsy M.
Aridea P  Oct 2011
Surga
Aridea P Oct 2011
Jakarta, 25 Mei 2008

Kapan ku boleh ke sana
Dunia terindah untuk semua
Udara harum nan sejuk
Tiada panas mentari yang menyengat
Boleh kah aku melangkah
Menuju ke pintu surge
Impian semua manusia
Sudikah Kau Tuhan?
Bila ku pijakkan kaki di surge
Merasakan hidup istimewa
Penuh ayat-ayat doa
Surga-Mu  indah Tuhan…
Bolehkah ku sentuh sejenak
Merasa damai nan indah
Ku mulai masuk ‘tuk selamanya
Sipaa Adriani Jul 2019
Aku selalu senang berbincang pada semesta
Membicarakan dia,laki laki yang kucinta

Yang selalu ku sebut ditiap bait bait doa
Meminta pada penguasa
Untuk menjadikannya pendamping selamanya
Dan dipisahkan ketika sudah akhir usia

Egois memang,
Tapi bukannya ketika kita meminta harus katakan yang sejujurnya
Sekalipun itu memaksa ?

Intinya,aku mencintainya.

Semoga semesta selalu baik kepadanya.
Stephen E Yocum Jul 2017
I rolled out of bed
to start my day,
but the power was off
my all electric home,
as still as a grave.
No coffee, or toast.
The refrigerator not cold,
the freezer started dripping
the contents soon to spoil.

No computer, no cell phone service!
I began sweating profusely,
no air conditioning to cool me.
Not even a TV Emergency Broadcast Alert,
to release this uneasy feeling of topsy-turvy .

I drove into town seeking a pay phone,
with not a single one to be found,
gone the way of the dinosaurs,
extinct now too I assumed.

My old truck had no computer chips,
most cars did and were dead in their tracks.
I needed gas but the gas station pumps
electric computer driven, all DOA to boot.

The Nations electric grid had crashed,
blacked out, stone cold dead everywhere.
All heavenly satellites blacked out, expired.
Everything computer related (and
that is about everything), had ceased
to function as had the electronic reliant
world we had created.  

The street throngs of dazed people walked
around like zombies, clutching blacked out
dead computer devices, knowing not what to do.
Not even talking, forgotten I guess how to do that too.
As dependently defectively programmed as the useless
devices in their hands.

In a panic I did awake finding that
this scary dream world was indeed all fake,
a nightmare of fearful unconscious thinking.
My electric clock was still churning,
It's music alarm blaring,
birds outside still singing,
my cell phone started ringing,
it was merely another Robot call,
Welcoming me back to the 21 century.
Imagine if you can some man made device or solar flare
knocking out all the satellites in space and computers on
earth, then this nightmare is not so far-fetched.
I actually did have this unsettling dream. The possibility
of this reality does indeed exist.
Aridea P  Oct 2011
Ungu
Aridea P Oct 2011
Bila memang AKU BUKAN PILIHAN HATI MU
Biar ku pendam CINTA DALAM HATI ku
Sungguh, yang akan ku berikan UNTUKMU SELAMANYA
Pergilah kau SEJAUH MUNGKIN membawa LAGUKU
Ke TEMPAT TERINDAH di SURGAMU


RASA SAYANG ini hanya untukmu
Dan ku akan menunggu DI SINI UNTUKMU
Berharap kau bawa LAGU CINTA yang TERCIPTA UNTUKKU


WAKTU YANG DINANTI akankah datang?
DEMI WAKTU ku kan berubah
Tak akan SEPERTI YANG DULU
Yang hanya berkhayal melihat wajahmu
Di BAYANG SEMU


Sungguh indah kau bagiku
TIADA YANG SEPERTI DIRIMU


Yang ku kagumi sepanjang waktu
Ku rindu SAAT INDAH BERSAMAMU
Walau di mimpiku aku mencintaimu
Namun, APALAH ARTI CINTA tanpa hadirmu


Kumohon IZINKAN AKU
Member CIUMAN PERTAMA KU untukmu
Karna saat indah itu mungkin TAKKAN TERULANG
BERJANJILAH kau tuk selalu menghiasi ku
Karena tak satupun SAHABATKU yang indah seperti mu


Ku ingin terbang MELAYANG
UNTUK TEMUKAN dirimu yang SESUNGGUHNYA
Ku sadari memang BUKAN AKU untukmu
Tapi, aku hanya ingin kau BERIKAN AKU CINTA
Meski sedikit, walau terpaksa


Tak lelah SUARA HATI ku memanggilmu
Yang ingin menjalani CERITA BERSAMAMU
DOA ku panjatkan selalu
Memohon tuk bertemu kamu


Meskipun kamu punya CINTA YANG LAIN
Ku rela melepasmu untuknya
Kau TAK PERLU mengaku bahwa kau cinta aku
Memang, tak pernah kau cinta aku
Yang ku kenang kini adalah
Ku bahagia mengenal LAKI-LAKI seperti kamu
So Dreamy  Jun 2017
Kamar
So Dreamy Jun 2017
Bagiku, kamar adalah satu ruangan persegi yang paling krusial di antara ruangan-ruangan lainnya. Magis, nyaman, penting, dan pribadi. Kamar tak hanya berisi tentang selimut dan bantal-bantal yang dilapisi kain bercorak bunga-bunga atau selimut berbulu yang lembut. Tidak juga tentang tumpukan baju sekali pakai yang dilipat di atas nakas dan kursi roda meja belajar. Tidak juga tentang jendela yang selalu terbuka lebar setiap pagi, mengajak udara segar untuk memasuki rongga hidung, membawa masuk lantunan burung-burung. Terlepas dari karpet cokelat muda yang selalu tergelar di tengah-tengah ruangan, yang dihuni berbagai remah-remah makanan—keripik kentang, biskuit, roti kering—ruangan berukuran 4x4 ini menyimpan dan menyembunyikan banyak hal.

Cerita, rahasia, asa.

Bagiku, kamar adalah saksi bisu. Saksi bisu atas upaya yang pernah ditempa, semangat yang tak pernah padam untuk membara, diri yang selalu kembali bangkit setiap kali jatuh ditampar dunia, serta doa-doa yang mulai dibisikkan dengan lembut sejak fajar menyingsing. Meja belajar yang tak pernah rapi, rak buku yang ditinggali berbagai macam buku; novel, buku puisi, buku pelajaran, buku latihan soal, tempat pensil yang berantakan, cahaya dari lampu meja belajar yang hampir rusak, serta mading yang tak pernah sepi dari berbagai kertas target dan to-do-list yang ditempel.

Kamar juga mata bagi segala perasaan; marah, kecewa, putus asa, sendu. Inilah tempat di mana sepi terpelihara dengan baik, yang anehnya, terasa menyenangkan dan bersahabat. Tenggelam dalam kesibukan sendiri, menulis seorang diri, membaca dengan latar musik indie, yang barangkali hanya satu dari sepuluh orang pernah mendengarnya. Ruangan persegi ini merupakan tempat di mana lagu The Trial of the Century – French Kicks diputar, selalu bergandengan dengan kekecewaan yang perlahan merekah di bilik dada. Tempat di mana Fall Harder – Skyler Spence diputar bertepatan dengan lamunan, ide-ide abstrak, membayangkan hal-hal manis yang misterius. She'll lose herself in bright-lit skies, she watches the sun go by, and even if her love runs dry, she'll be there for the summertime. Ialah sesuatu yang terasa cukup magis dan menyihir, bagaimana lagu tersebut selalu membawaku ke dalam lamunan dan gambaran yang muncul seketika di benak, lalu terbitlah ide-ide dan keinginan untuk membuat sesuatu.

Menulis.

Ruangan persegi ini adalah ruangan kecil yang paling setia menaungi ide-ideku yang seringkali tumpah-ruah tak tahu waktu dan tempat, yang kadang dapat direalisasikan menjadi sebuah karya, kadang juga hanya duduk diam tak mau bergerak di dalam kepala. Ialah ruangan persegi yang dengan sabar mendukungku untuk selalu bergerak mengikuti dinamika inspirasi yang datang, memberontak minta dikeluarkan dari kepala, memintaku untuk selalu menjadi produktif. Tentang menulis cerita singkat dan puisi (karena penulis hebat tidak pernah kehilangan inspirasi, menulis dan bermain dengan kata-kata, bercanda ria dengan rima adalah asupan hariannya layaknya menghirup oksigen). Membaca banyak buku dan terus belajar. Melepaskan tangisan dan emosi yang lelah dipenjara di dalam hati, membiarkan mereka menghujani kertas kosong dalam bentuk kata-kata yang bebas. Mengevaluasi diri, membuat target-target.

Membuat prakarya-prakarya sederhana. Menyanyi lepas dan menari mengikuti irama musik. Menjadikan musik indie sebagai latar musik yang membuat semua komponen di ruangan persegi ini menjadi lebih menyatu, saling melengkapi, menciptakan ide baru, lagi.
So Dreamy Jan 2017
Kata demi kata
Kuleburkan menjadi beberapa helai untaian kalimat
Demi melepas seikat rindu
Untuk seseorang berpandangan sayu
Yang telah lama diombang-ambing oleh gelombang kelabu
Seberat langit mendung yang sendu
Berpayung ia lama mencari lentera menuju ujung jalan
Sembari menanti hentinya rintik hujan
Tanah becek berlumpur tempat kakinya lama singgah
Di mana guntur tak ada lelahnya menumpah ruahkan gundah

Kata demi kata
Kuleburkan menjadi beberapa helai untaian kalimat
Demi melekatkan seikat harapan
Untuk seseorang yang tengah dihuyung geramnya badai topan
Yang tak hentinya berharap agar matanya dibutakan mentari pagi
Jiwanya lama berkelana mencari, entah ke mana cahaya itu pergi
Jauh dalam sudut yang gelap ia dibiarkan sendiri*

-------------------------------------------------------­------------------------------------

Telah kuleburkan kata demi kata menjadi beberapa helai untaian kalimat
Untuk kompas dalam hidupmu yang telah kehilangan arah
Dibutakan oleh gulungan-gulungan masalah

Juga dalam doa-doa malamku dan setiap sujudku di atas sajadah,
Kubisikkan sebuah pinta agar dirimu selalu dalam pentunjuk-Nya,
Agar kelak dapat kau baca helaian untaian kalimat penyamangatku,
Yang kusampirkan dalam saku jaketmu hari itu,
Dapat merontokkan seluruh perasaan kelabu dalam kalbumu,
Mendepakmu dari sudut gelap di ruang tergelap pikiranmu sendiri.
We just had a very scary and not very safe event. we went to a location with no cell service, no electricity and way out in the sticks, spent all our money to do this last effort to get away from harassment and prying eyes and far far more, ( extreme ) and we arrive to have two planes grid searching and them both doing a low slow over our vehicale and 30 minutes later atv's are heard closing in from all directions, and then dismounted personnel so close all around us it was obvious it was to surround us. we then exited the location to find a message on the road where we arrived that was fresh and not there on arrival, that read "DOA" dead on Arrival!. Listen, we do not feel safe period. we can only imagine whom or which group is to have all these assets and tell the truth, surveillance equipment to be watching us for ten years, as well as commit serious offenses that are beyond moral and ethical as well as legal. i am sure you can imagine whom it might be. so we are truly at a loss for what to do, i have attempted to alert via the people whom watch the video and audio feed that comment on the net, so we have zero options and calling the law is ummmmmmm yeah, sure great idea, even though it was lead to be believed that the law enforcement were the good guys, but we have come to realize this is far from the confirm able truth for the assets and well, lack of  security and the number of online idle and none specific threats..

— The End —