Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Francie Lynch Feb 2017
She's a thoroughly modern Maura;
To know her's to adore her.
She brought Christmas home,
Made special days our own,
Setting aside her own wish-bones,
So we were well-looked after.

(yes, she explained to me
the import of hygiene:
you gotta remember,
we were pretty green
when we first landed on the scene)

And,
From this point on,
We were good on our own.

Yes, I love all my sisters and brothers,
But in my highest esteem,
My Maura tops all others.
Maura:  Actually, Mary Alice, but that was only on the B.C.
She's the oldest of the eleven sibs. I'm the seventh.
She was/is the best. Seventy-one years and raising a pint for many more to come.
So Dreamy May 2017
Hari itu hari Sabtu. Dan, aku sedang ulangtahun.

Sepi. Hanya terdengar suara tetesan air dari keran yang lupa ditutup rapat di wastafel dapur. Desiran angin yang menggesek dedaunan di halaman belakang. Bambu angin yang bersiul di teras rumah tetangga sebelah. Jalanan beraspal yang kosong. Terpaan sinar matahari. Mangkuk beling yang diketuk penjual makanan keliling. Suara jarum detik jam dinding.
Dalam diam aku menunggu. Mahesa belum juga datang. Duduk di atas sofa, perlahan kulahap sekantung keripik kentang, suara iklan di televisi kini menjadi musik latar yang mengisi siang terikku yang sepi ini. Lupakan fakta bahwa kakakku, Mas Kekar, adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulangtahunku. Ucapan ulangtahunnya tiba tadi pagi pukul tujuh lewat pesan suara. Kalau ada Nenek, ia pasti akan membuat kue tar dan nanti malam kami akan duduk melingkar di atas meja makan, menyantapnya bersama-sama sambil minum teh lemon. Sayangnya, sekarang rumahnya jauh; di surga.
Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Satu notifikasi baru, ada satu pesan masuk. Dari Mahesa, katanya ia akan sampai lima menit lagi. Baiklah, akan kutunggu dengan sabar. Walaupun ia bilang akan menjemput pukul setengah dua belas ― aku sudah menunggunya sejak pukul sebelas lewat, sekarang pukul satu, dan lima menit lagi ia akan datang. Menghabiskan waktu seharian bersama Mahesa selalu menjadi momen istimewa bagiku, membuat jantung jumpalitan tak karuan, dan berakhir tersenyum-senyum sendiri setiap kali sebelum memejamkan mata di atas tempat tidur pada malam hari. Singkatnya adalah orang ini selalu membuatku bahagia, sadar atau tidak sadar dirinya, ialah sumber kebahagiaanku. Bulan dan bintang bagi malamku.
OK. Kubalas pesannya, lalu kubuka pesan-pesan lain yang mungkin belum kubuka. Tidak ada pesan lain atau telepon. Belum ada telepon dari Ayah ataupun pesan singkat. Entah kapan ia akan pulang. Entah kapan ia akan menyempatkan diri membuka kalender, teringat akan sesuatu, dan mengucapkan, “Selamat ulangtahun.”.
Aku berjanji tidak pernah ingin jadi orang yang hidup tanpa memiliki waktu.
Bel berbunyi dan pintu diketuk. Spontan, aku merapikan rambut, memakai tas selempang, dan bangkit. Kusiapkan senyum terbaik untuk menyambut Mahesa. Setelah pintu kubuka, senyumku langsung sirna. Mang Ijang, tukang pos daerah kami yang malah muncul.
“Siang Mbak Maura, ada tiga surat buat Bapak,” dia menyerahkan tiga surat berbentuk persegi panjang yang sangat familiar bagiku. Sudah berpuluh, bahkan mungkin ratusan kali aku menerima surat macam ini sejak lima tahun terakhir. Kubaca nama perusahaan yang tertera di kop surat itu. Masih sama seperti biasanya; bank, perusahaan listrik, perusahaan telepon.
“Tandatangan di sini dulu, Mbak,” Mang Ijang menyerahkan pulpen dan sebuah kertas tanda terima surat. Setelah kutandatangani, ia pergi.
Kubuka surat itu satu per satu sambil duduk di kursi teras. Surat-surat tagihan, seperti biasa. Hampir dua bulan rupanya Ayah tidak membayar tagihan telepon. Aku bahkan tidak berselera lagi membaca nominalnya. Aku menghela napas dan memandangi jalanan kosong di depan rumah. Kuputuskan untuk memakai earphone, memilih playlist di aplikasi musik, menunggu Mahesa di kursi teras sambil ditemani angin semilir.
5 menit.
Everything is Embarrassing – Sky Ferreira.
10 menit.
Please, Please, Please, Let Me Get What I Want – The Smiths.
15 menit.
Love Song – The Cure.
Dua puluh menit kemudian, Mahesa datang. Senyumku seketika merekah, walaupun ia terlihat begitu lelah. Kaos polo abu-abunya basah oleh keringat, dahinya dibanjiri keringat, napasnya terengah-engah dengan ritme yang tak beraturan. Aku duduk di sampingnya yang memegang kemudi dan masih bisa mencium wangi parfumnya samar-samar, meskipun tujuh puluh persennya sudah bercampur dengan semerbak peluh. Tapi, siapa peduli? Menurutku, ia tetap mengagumkan.
“Maaf lama, Ra. Tadi ada urusan penting yang mendadak,” katanya sambil memilih-milih saluran radio. 19.2, saluran radio yang khusus memutarkan musik-musik indie dan jadul. Mungkin ini salah satunya mengapa sejak awal aku tertarik dengan manusia yang satu ini dan berujung benar-benar mengaguminya, kami menyukai jenis musik yang sama. “Jadi, ke mana kita hari ini? Dan, akan mengobservasi apa?”
Kubuka catatan jadwal terakhir kami, “Hmm. Hari ini jadwal kita ke galeri seni kontemporer yang ada di sebelah balai kota dan pameran seni di hotel Metropolite. Kita bakal mengobservasi lukisan kontemporer supaya bisa membandingkan dengan jenis lukisan yang lain.”
Kamu benar, sesungguhnya ini hanyalah sekadar tugas kelompok bahasa Indonesia. Mungkin bagi Mahesa begitu, tapi bagiku bukan sama sekali. Kuanggap ini sebuah kebetulan yang ajaib. Kebetulan kami sekelompok. Kebetulan kami berdua sama-sama tidak masuk di hari ketika guru Bahasa Indonesia kami membagikan kelompok dan kami masuk ke dalam kelompok terakhir, kelompok sisa. Kebetulan kami memilih tema seni lukis dan belum ada kelompok lain yang mengambil topik itu. Kebetulan dua anggota kelompok kami yang lainnya tidak bisa diandalkan, yang satunya sakit berat dan yang satunya lagi sudah dikeluarkan dari sekolah sejak bulan lalu. Kebetulan hanya aku dan Mahesa yang tidak bermasalah. Maka, hanya kami berdua yang selalu jalan ke tempat-tempat untuk mengobservasi. Sejak saat itu, aku percaya akan keajaiban.
---
Semuanya berawal dari pertemuan singkat kami di minggu keempat kelas sebelas. Oke, ralat, bukan sebuah pertemuan lebih tepatnya, melainkan hanya aku yang memandanginya dari jauh. Namun, itu satu-satunya kejadian yang mungkin dapat memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana perasaan ini bisa muncul. Bukan secara tidak sengaja dan spontan seperti yang biasa kau dapatkan di adegan jatuh cinta pada film-film romansa norak, tetapi adeganku sederhana, penuh kehati-hatian, dan perlahan.
Kelas sebelas adalah tahun yang cukup sulit bagiku. My dad was busy more than ever—well, until now dan itu tahun pertama Mas Kekar menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Dia diterima di salah satu universitas negeri ternama di Bandung, jadi hanya pulang ke rumah setiap akhir bulan. Aku punya waktu sendirian di rumah dengan jumlah yang berlebih.
In that year, my friends left me. Ghia pindah ke luar kota dan Kalista bergabung dengan anak-anak populer sejak mendaftar sebagai anggota baru di tim pemandu sorak. Kami hanya makan siang bersama pada beberapa hari di minggu pertama sekolah, setelah itu dia selalu dikelilingi dan menjadi bagian dari kelompok cewek-cewek pemakai lip tint merah dan seragam yang dikecilkan. Aku mengerti, barangkali dia memang menginginkan posisi itu sejak lama dan citra dirinya memang melejit pesat, membuat semua leher anak cowok melirik barang beberapa detik setiap ia berjalan di tengah koridor. Lagipula, jika ia sudah mendapatkan status sosial yang sangat hebat itu, mana mungkin dia masih mau berteman dengan orang sepertiku? Maura, the average one, yang selalu mendengarkan musik lewat earphone, yang lebih banyak menyantap bekal di dalam kelas pada jam istirahat. Aku hanya masih tidak paham bagaimana seseorang yang semula kau kenal bisa berubah menjadi orang lain secepat itu.
Tapi, hal lainnya yang cukup melegakan di tahun itu adalah aku bertemu dengan Indira. Kami berkenalan pada hari Senin di minggu kedua kelas sebelas, hari pertama dia masuk sekolah setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit karena DBD. Begitu melihatku duduk sendirian di baris paling belakang, dia buru-buru menghampiri sambil bertanya, “Sebelahmu kosong?”. Sejak itulah kami berteman.
Indira dan teman-temannya biasa menghabiskan makan siang di bangku koridor lantai satu yang menghadap ke lapangan, bukan di kantin. Walaupun secara harfiah aku bukan salah satu bagian dari kelompok pertemanan mereka, Indira selalu mengajakku bergabung dan orang-orang baik itu rupanya menerimaku.
Di bangku koridor itu kali pertama aku memerhatikan anak laki-laki yang bermain bola setiap jam istirahat kedua. Hanya ada dua-tiga orang kukenal, itu juga karena mereka teman sekelasku sekarang atau di kelas sepuluh, sementara selebihnya orang asing bagiku. Di antaranya ada yang berperawakan tinggi, rambut tebal, rahang yang tegas. Aku hanya belum tahu siapa namanya waktu itu.
Selanjutnya, aku bertemu dengan laki-laki itu di kantin, sedang duduk bersama beberapa cowok yang tidak kukenal, tertawa lepas. Mungkin karena aku jarang ke kantin, aku baru melihatnya di sana waktu itu. Pada acara demo ekskul, aku melihat dia lagi. Bermain bass di atas panggung. Anggota klub musik rupanya. Pemain bass. Pada hari-hari berikutnya, aku lebih sering melihatnya berjalan di koridor depan kelasku, kadang sendirian dengan earphone, kadang ada beberapa temannya. Anak kelas sebelas juga rupanya, jurusan IPS juga. Hari-hari berikutnya, selalu kutengokkan kepala ke jendela setiap kali ia lewat di depan kelasku. Aku penasaran, kenapa mataku tidak pernah melihat orang semenarik dia sebelumnya? Dan, kenapa dia hanya muncul di tempat dan saat-saat tertentu, seperti saat istirahat, masuk sekolah, dan jam pulang? Hari-hari berikutnya, berpapasan dengannya membuatku senang sekaligus semakin penasaran. Dia anggota klub fotografi juga, aktif, sering memimpin rapat anggota di kantin sepulang sekolah, dan ternyata karyanya banyak dipublikasikan di majalah sekolah. Dari situ aku tahu namanya, Mahesa.
---
“Geser ke kanan sedikit. Bukan, bukan, sedikiiit lagi. Sedikiiit, oke, pas!”
Sebagai dokumentasi, Mahesa memotret beberapa lukisan dari berbagai angle dan beberapa kali memintaku untuk berpose ala-ala tak sadar kamera. Tentu saja aku pasti bersedia, selalu bersedia. Dia juga merekam keadaan sekitar dalam bentuk video, yang katanya, bakal dia edit menjadi super artsy.
“Percaya sama gue, kita bakal jadi tim paling keren yang menghasilkan dokumentasi paling berseni, Ra,” kata Mahesa sambil tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya.
Destinasi terakhir kami—pameran lukisan yang sedang digelar selama seminggu di hotel Metropolite—akan tutup sepuluh menit lagi, tepat pukul tujuh malam. Setelah terakhir kalinya Mahesa merekam keadaan pameran dan beberapa pengunjung yang masih melihat-lihat, baterai kameranya habis. Sebelum pulang, Mahesa bilang dia tahu tempat makan enak di sekitaran sini. Jadi, kami mampir untuk mengisi perut dengan soto ayam dan berbincang-bincang sebentar, setelah itu baru benar-benar pulang.
Di perjalanan pulang, derai hujan turun perlahan. Karena rumah kami terletak di pinggiran kota, jadi kami harus melalui jalan tol atau kalau tidak, akan lebih jauh. Mahesa memencet-mencet tombol radio, mencari saluran nomor 19.2, tapi setelah mendengar acara yang dibawakan penyiar radio, dia langsung mengganti asal saluran radio yang lain. Saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu pop kekinian yang sedang hits.
“Sekali-kali dengerin genre lain, ya, Ra,” katanya sambil menginjak rem. Jalanan seketika padat merayap di depan kami. Mungkin karena hujan mulai deras, jalanan mulai tergenang, orang-orang mengemudi dengan lebih hati-hati.

(bersambung.)
to be continued.
". . .poverty robs individuals of the life of the mind, of spiritual comfort and of the consolations of intimacy and emotional bonds."

-Maura Spiegel,
Introduction to 'The Jungle' 2003 edition, Barnes and Noble Classics
Francie Lynch Feb 2016
Brigid was born on a flax mill farm,
Near the Cavan border, in Monaghan,
At Lough Egish on the Carrick Road,
The last child of the Sheridans.
The sluice still runs near the water wheel,
With thistles thriving on rusted steel.

Little's known of Nellie's early years;
Da died before she knew grieving tears,
They'd turn her eyes in later years.

She's eleven posing with her class,
This photo shows an Irish lass.
Her look is distant,
Her face is blurred,
But recognizable
In an instant.

She was schooled six years
To last a life,
Some math, the Irish,
To read and write.

Her Mammy grew ill,
She lost a leg,
And bit by bit,
By age sixteen,
Nellie buried her first dead.
Too young to be alone,
Sisters and brother had left the home.
The cloistered convent took her in,
She taught urchins and orphans
About God and Grace and sin.
There were no vows for Nellie then.

At nineteen she met a Creamery man,
Jim Lynch of the Cavan clan;
He delivered dairy from his lorry,
Married Nellie,
Relieved their worry.

War flared, men were few,
There was work in Coventry.
Ireland's thistles were left to bloom.

Nellie soon was Michael's Mammy,
Then Maura, Sheila and Kevin followed,
When war floundered to its end,
They shipped back to Monaghan,
And brought the mill to life again.

The thistles and weeds
That surrounded the mill,
Were scythed and scattered
By Daddy's zeal.
He built himself
A generator,
Providing power
To lights and wheel.

Sean was born,
Gerald soon followed;
Then Michael died.
A nine year old,
His Daddy's angel.
Is this what turns
A father strange?

Francie arrived,
Then Eucheria,
But ten months later
Bold death took her.
Grief knows no borders
For brothers and sisters.

We left for Canada.

Mammy brought six kids along,
Leaving her dead behind,
Buried with Ireland.

Daddy was waiting for family,
Six months before Mammy got free
From death's inhumanity.
Her tears and griefs weren't yet over,
She birthed another son and daughter;
Jimmy and Marlene left us too,
Death is sure,
Death is cruel.

Grandchildren came, she was Granny,
Bridget, Nellie, but still our Mammy.
She lived this life eduring pain
That mothers bear,
Mothers sustain.
And yet, in times of personal strain,
I'll sometimes whisper her one name,
Mammy.
Bridget Ellen (Nellie) Lynch (nee Sheridan): January 20, 1920 - October 16, 1989. A loving Mammy to all her children, and a warm Granny to the rest.
Francie Lynch May 2016
Bridget was born on a flax mill farm,
Near the Cavan border, in Monaghan,
At Lough Egish on the Carrick Road,
The last child of the Sheridans.
The sluice still runs near the water wheel,
With thistles thriving on rusted steel.

Little's known of Nellie's early years;
Da died before she knew grieving tears,
They'd turn her eyes in later years.

She's eleven posing with her class,
This photo shows an Irish lass.
Her look is distant,
Her face is blurred,
But recognizable
In an instant.

She was schooled six years
To last a life,
Some math, the Irish,
To read and write.

Her Mammy grew ill,
She lost a leg,
And bit by bit,
By age sixteen,
Nellie buried her first dead.
Too young to be alone,
Sisters and brother had left the home.
The cloistered convent took her in,
She taught urchins and orphans
About God and Grace and sin.
There were no vows for Nellie then.

At nineteen she met a Creamery man,
Jim Lynch of the Cavan clan;
He delivered dairy from his lorry,
Married Nellie,
Relieved their worry.

War flared, men were few,
There was work in Coventry.
Ireland's thistles were left to bloom.

Nellie soon was Michael's Mammy,
Then Maura, Sheila and Kevin followed,
When war floundered to its end,
They shipped back to Monaghan,
And brought the mill to life again.

The thistles and weeds
That surrounded the mill,
Were scythed and scattered
By Daddy's zeal.
He built himself
A generator,
Providing power
To lights and wheel.

Sean was born,
Gerald soon followed;
Then Michael died.
A nine year old,
His Daddy's angel.
Is this what turns
A father strange?

Francie arrived,
Then Eucheria,
But ten months later
Bold death took her.
Grief knows no borders
For brothers and sisters.

We left for Canada.

Mammy brought six kids along,
Leaving her dead behind,
Buried with Ireland.

Daddy was waiting for family,
Six months before Mammy got free
From death's inhumanity.
Her tears and griefs weren't yet over,
She birthed another son and daughter;
Jimmy and Marlene left us too,
Death is sure,
Death is cruel.

Grandchildren came, she was Granny,
Bridget, Nellie, but still our Mammy.
She lived this life eduring pain
That mothers bear,
Mothers sustain.
And yet, in times of personal strain,
I'll sometimes whisper her one name,
Mammy.
Repost, in tribute to my mother: Bridget Ellen Lynch (nee Sheridan).
January 20, 1920 - October 16, 1989. Mammy is a term used in Ireland for Mother.
Maura Feb 2015
There goes my Ramen
oh
no.
there it goes
it drops to the ground
on a fresh patch of snows

There goes my Ramen
oh
no
I see it start to sizzle
tears roll down my eyes
and slowly start to drizzle

It wasn't the Ramen I was upset about
it was life!
it just added to the things that I could doubt
about myself, and thats what made me shout:
***** YOU RAMEN
I JUST WANTED TO EAT YOU
AND NOW ID LIKE TO EAT YOU
ABOUT AS MUCH AS A PILE OF POO
'CUZ NOW YOU LAY ON THE GROUND IN A PILE OF SNOW STEW

Ally looked at me and began to laugh
"Oh Maura take a chill pill or go take a bath.
you need to calm down and really relax
If stress got you down I just want you to know
people cut off their ear because of stress like Van Gogh
so if the stress is too much you should really just go
and get out of here, go home and lay low"
This story really escalated quickly.
Francie Lynch Jul 2017
Love the name.
Got upset
When the man called out, Seen.
Stupid man.
It's Sean, and not Shawn.
A year older than Gerald.
Two younger than Kevin.
Two older than me.
That's Sean.
Daddy wrote home about us.
Maura was working at the hospital.
Sheila was finishing highschool.
Kevin won the Science Fair.
Sean plays ice hockey with the All Stars,
All over Canada and the U.S.
I found the letter, penned in '62,
A jagged European cursive. They tend to write the same.
I've seen the words, run together to hide the spelling;
With JMJ's and TG's sprinkled like manna throughout.
The last page was missing,
Just when Daddy'd write about Gerald, me, and Marlene.
Gerald with his Beetles haircut.
Me, mimicking ( probably mocking),
Some unknown priest, to my father's delight;
Marlene, the wee pigeon, he missed most when he worked
Away from home.
Jimmy, The Bruiser, wasn't here yet.
The last of an Irish brood settled in Canada.

I discovered it in the spare room at Granny's and Frank's.
There was no mention of Michael, Eucheria or Particia.
He exaggerated about the harsh, six-month winters here,
And our proximity to the North Pole.
Suggested Frank try putting copper wires around Granda's wrists;
The Egyptian mummies didn't exhibit signs of bone deterioration.
Daddy was hard-pressed to be proven wrong when he concocted.
Sean had a drawer full of ribbons, medals, trophies and plagues,
And a large S, his Senior Letter.
He also had sideburns, a much smaller nose, and,  smelled
as good as he looked,
The Elvis dip-curl, the Connery swag, the Selleck stash to Clooney cool.
Sean kept a disposition of hidden pains secreted for others.
A heart of tears.
A spirit of adventure.
I love Sean, I recall.
He is always welcome here.
Drops by sometimes.
It's always a great surprise.
Serious, hard edit and re-post.
JMJ: Jesus, Mary and Joseph
TG: Thank God
All eleven children are mentioned, but I wanted to focus on Sean.
Francie Lynch Nov 2019
You’ve had fifty fantastic years,
Many were there but now not here.
And many are here
That were not there.
That’s how life unfurls over fifty years.

Let’s celebrate these decades
Of devotion to one another;
For around us we have familiar faces,
A family of sisters and brothers,
Aunts, Uncles, Fathers and Mothers;
Grandas, Nanas, Papas and Grams,
Daughters, sons, nieces and nephews,
Granddaughters and grandsons,
Cousins, in-laws, and step-laws too.

We are family.

A tribe that began with the original six,
Then Danny met Maura to add to the mix
With Colleen and Sean our clan's enhanced,
And since many more are heaven sent.

So let me end with a toast and a wish,
That we continue to multiply
Like the loaves and the fish.
On the occasion of my sister's fiftieth wedding anniversary.
Francie Lynch Jun 2016
Maura gave me a watch
Many Christmasses ago;
Time and again its hands
Moved me.
It had a crystal face,
Nickel-plated case,
A golden crown,
Calendar window,
And a dial with Arabic numerals.
A ten dollar Timex
That made me feel like a million.
The brothers didn't have a watch,
But I had a second hand
For accurate readings
Of who could **** the longest,
Hold their breath for two minutes,
How long it took for the kettle to boil,
Or a snail to crawl.
Everything could be timed,
And timing, like my watch,
Was everything.
I was the timekeeper,
And took duties seriously.
I wore it on my left arm,
One day the sweep second froze,
The big and little hands stopped.
A spring or something broke;
The date was a constant
Grim reminder.
Yashashvi Jan 2021
Mistakes are of thorns
they are like fungi
let you down slowly
they don't wither
do people dare to touch a cactus
do they?

while reading the book ,
Maura unpleasingly began to prepend
"don't cactus bear colorful flowers after all ?"
thorns may bide forever
not surprisingly the lesson taught
makes them worthwhile to appreciate scars
Ryan O'Leary Mar 2019
En France, the fans
hit the ****.

Tout a L'Egout
**** you too.

**** mon ******
what a good shot.

Gendarmes are Cochons
feel at home in the merde,

But it's flavoured with Garlic,
so the stink's a bit Werde ?

Ps.

****** Maura Ein Volk.

Ta Bfalla haon Daoine.

And with that, Ryan goes
off the grind the coffee beans.

Time now 07 : 19.

Mallow in Ireland.

La deas agat.
Ryan O'Leary Jan 2020
IHS ban me
  lost my poetic licence
     wilde as joyce and shaw

               <>


ps. IHS = Irish Haiku Society.

https://www.irishexaminer.com/lifestyle/artsfilmtv/the-irish-writers-banned-in-their-own-land-455179.html

Shaw and Beckett were part of a long list of Irish writers who were especially targeted; it included James Joyce, Sean O’Casey, Liam O’Flaherty, Sean Ó Faoláin, Frank O’Connor, Francis Stuart, Austin Clarke, George Moore, Kate O’Brien, Maura Laverty, Walter Macken, Edna O’Brien, Brendan Behan, Benedict Kiely, Brian Moore, and John McGahern, Ryan O'Leary has just been added to the list.

                                          <>

They were ‘the best banned in the land’, as Brendan Behan joked after he joined the list in 1958 following the prohibition on Borstal Boy. But behind the jokes and ridicule, writers felt persecution, were denied a place in their country’s cultural life, and were in many cases denied a living here also.

— The End —