Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Aridea P Dec 2011
Palembang, 25 Desember 2011

For my beautiful Mom:

Mama, kamu cantik
Tanganmu melentik indah saat mencuci baju kami
Mama, kamu sungguh cantik
Badanmu bagus melenggok saat memasak untuk kami
Mama, kamu benar-banar cantik
Sekalipun kamu sedang terlelap di tidurmu

Mama, kamulah harta tak ternilai bagi kami
Harta wajib yang harus kami bawa kemanapun kami melangkah
Kamulah semangat pagi kami tuk menghadapi dunia
Kamulah alasan kami bertahan hidup sampai sekarang
Harapan kami adalah tuk membahagiakanmu selamanya
Pikir kami kata Terima Kasih takkan pernah cukup tuk membalas kasih mu

Mama, kamu cantik setiap hari
Di mata kami kamulah hal yang terindah yang kami punya
Di dunia ini tak ada pahlawan seikhlas dirimu
Kamu terus bertahan meskipun kadang air mata menyertaimu
Kamu terus menebarkan senyummu di waktu kami resah

Mama, kamu tegar setegar batu karang
Mama, kamu bersinar mengalahkan sinar Matahari
Mama, kamu sejuk sesejuk embun di pagi hari
Mama, kamu sehangat dekapanmu pada kami
Mama, kami mencintaimu

Mama, terima kasih atas cintamu selama ini
Terima kasih atas pengorbanan mu kepada kami
Maafkan kami yang pernah membuatmu menangis
Maaf atas tingkah kami yang menjengkelkan hatimu
Kami percaya dan tahu bahwa kamu tahu betapa kami mencintaimu,
Mama
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Mungkin suamimu tak pandai berkata apalagi merayu dengan romantisme karya sastra...
Tapi mungkin dengan cara itulah Allah menjaga lisannya...
Menjauhkannya dari fitnah dunia yang tak halal baginya...

Mungkin suamimu tak pandai berkata..
Tapi heningnya menahan kita banyak bicara..
Memutus rantai kalimat sanggahan yang lahirkan perkara..
Sehingga keseimbangan suasana lebih terjaga..

Andai saja Allah ciptakan sebaliknya, mungkin rumahmu bagai arena tarung laga
Ah.... itulah mengapa Allah menikahkanmu dengannya

Mungkin istrimu tak berparas mempesona
Apalagi secantik selebritis di warta berita..
Tapi mungkin lisannya selalu berucap kata mutiara yang terpancar dari jiwa yang terjaga...

Andai saja Allah menciptakan sebaliknya
Mungkin hatimu tak tenang saat jauh darinya
Ah..... itulah mengapa Allah menikahkanmu dengannya

Mungkin suamimu bukanlah saudagar kaya yang membawa pulang limpahan laba hasil usaha...
Namun meskipun besarannya begitu sederhana...
Mungkin ia selalu menjaga kehalalan apa yang dibawa..

Mungkin suamimu bukanlah pejabat yang bertahta, yang dihormati dan dipuja bawahannya
Tapi mungkin dibalik kedudukannya yang biasa, ia mampu menjadi imam bagi keluarga

Andai saja Allah menciptakan sebaliknya,
Mungkin belum tentu ia miliki derajat takwa
Ah..... itulah mengapa Allah menikahkanmu dengannya

Mungkin istrimu bukanlah koki istimewa yang masakannya selezat pujasera...
Tapi mungkin ia pandai mendidik buah hatinya, memahat pribadi yang berkarater mulia.

Mungkin istrimu bukanlah koki istimewa,
Yang terkadang masakannya itu-itu saja
Tapi mungkin ia pandai mengatur alokasi harta, sehingga pemberianmu tak terhambur percuma

Andai saja Allah menciptakan sebaliknya
Mungkin kecintaanmu akan terlalu berlebih padanya...
Melebihi cintamu pada Allah sang pemberi karunia..
Ah.... itulah mengapa Allah menikahkanmu dengannya...

Mungkin suamimu tak pandai terlibat merawat anaknya...
Sehingga terlihat kau melakukan semuanya
Tapi mungkin ia sabar membantumu... meringankan pekerjaan rumah tangga..
Sehingga semua terlaksana dengan kerja sama..

Mungkin suamimu tak pandai terlibat merawat anaknya...
Sehingga terlihat minim perannya dalam keluarga...
Tapi mungkin ia sangat keras bekerja
Sehingga nafkah telah cukup terpenuhi lewat dirinya...

Andai saja Allah menciptakan sebaliknya
Mungkin banyak para gadis menanti dipinang menjadi yang kedua
Jika suamimu terlalu sempurna...
Aaa.... itulah mengapa Allah menikahkanmu dengannya...

Mungkin istrimu tak mahir dalam mengurus rumah tangga..
Tak mampu menyulap rumah menjadi rapi tertata...
Tapi mungkin ia begitu cerdas menguasai matematika...
Sehingga anak yang cerdas dalam eksakta terlahir dari rahimnya karena genetika...

Mungkin istrimu tak mahir dalam mengurus rumah tangga..
Menambah sedikit tugasmu dalam membantunya bekerja..
Tapi mungkin ia begitu taat dalam beragama..
Membimbing anak-anak dalam kerangka syariat agama...
Sehingga meringankan kewajibanmu dalam membimbing keluarga

Andai saja Allah menciptakan sebaliknya
Mungkin engkau merasa tugasmu telah tertunai sempurna..
Cukup sekedar menyempurnakan nafkah keluarga
Aaa..... itulah mengapa Allah menikahkanmu dengannya

Percayalah......
Selalu ada kebaikan dalam setiap ketetapan Allah Sang Sutradara
Maka temukanlah sebanyak-banyaknya rahasia dibaliknya..
Agar engkau mengerti mengapa Allah menikahkanmu dengannya...

Jikalau engkau masih sulit menemukan jawabannya...
Gantilah kaca matamu dengan kacamata syukur atas segala karunia...

Adalah hakmu jika engkau berharap Khadijahmu menjadi lebih sempurna...
Asalkan kau siap membimbingnya dengan menjadi Muhammad baginya.

‪#‎RZMuhasabah‬

Suka · Komentari · Bagikan
Aridea P Oct 2011
Palembang, 22 Juni 2011

Api itu hampir merajai waktu
Merenggut harta benda tanpa ampun
Mangarang tubuh yang sesepuh
Duduk pun terdiam di kursi besi butut

Kekuatan api bagai Sang Supernova
Membumbung tinggi tak ada yang terjaga
Meletup-letup bagai haus dan lapar
Tinggallah hamparan abu di senja tiba

Sebelum fajar menyingsing indah
Berisik di tengah jalan sirine mengulang
Langkah kaki mondar-mandir yang tentu arah
Bergotong royong pun dengan peluh dan baju basah

Ku duduk terdiam terpaku
Setengah melamun di sebelum senja muncul
Ku tersadar pun di tengah padam lampu
Dan ku lihat Monalisa tersenyum pada ku

Ku duduk bersimpuh di kaki
Menunduk dan berharap ini hanya mimpi
Dan aku bangkit tuk lihat situasi
Ku dengar mayat rapuh bagai tiada arti lagi

Tak mampu tumpah air mata
Hanya tubuh kaku mati rasa
Pikiran yang ingin selalu waspada
Mental ini rapuh butuh udara

Abu terasa di mana-mana
Terinjak, menyatu dengan tanah
Menutup mata kini selaalu terjaga
Menjaga hari tanpa Supernova

9 Juni penuh cerita
Di bawah tangisan dan panikan
Wanita memasak dan menjaga anak
Pria bahu membahu membangun rumah
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
“ Hari ini ku mati,
Perlahan...
Tubuhku ditutup tanah.
Perlahan...
Semua pergi meninggalkanku...

Masih terdengar jelas langkah² terakhir mereka,
Aku sendirian,
Di tempat gelap yang tak pernah terbayang,
Sendiri,
Menunggu pertanyaan malaikat...

Belahan hati,
Belahan jiwa pun pergi.
Apa lagi sekedar kawan dekat atau orang lain.
Aku bukan siapa-siapa lagi bagi mereka...

Sanak keluarga menangis,
Sangat pedih,
Aku pun demikian,
Tak kalah sedih...

Tetapi aku tetap sendiri,
Di sini, menunggu perhitungan.
Menyesal sudah tak mungkin.
Tobat tak lagi dianggap,
Dan maaf pun tak bakal didengar,
Aku benar-benar harus sendiri...

Ya Allah...
Jika Engkau beri aku 1 lagi kesempatan,
Jika Engkau pinjamkan lagi beberapa hari milik-MU,
Untuk aku perbaiki diriku,
Aku ingin memohon maaf pada mereka...

Yang selama ini telah merasakan dzalimku,
Yang selama ini sengsara karena aku,
Tersakiti karena aku...

Aku akan kembalikan jika ada harta kotor ini yang telah kukumpulkan,
Yang bahkan kumakan,
Ya Allah beri lagi aku beberapa hari milik-Mu,
Untuk berbakti kepada Ayah & Ibu tercinta...

Teringat kata-kata kasar & keras yang menyakitkan hati mereka,
Maafkan aku Ayah & Ibu, mengapa tak kusadari betapa besar kasih sayangmu,

Beri juga ya Allah aku waktu untuk berkumpul dengan keluargaku,
Menyenangkan saudara-saudaraku..
Untuk sungguh-sungguh beramal soleh.

Aku sungguh ingin bersujud dihadapan-Mu lebih lama lagi..
Begitu menyesal diri ini.
Kesenangan yang pernah kuraih dulu,
Tak ada artinya sama sekali...

Mengapa kusia-siakan waktu hidup yang hanya sekali itu...?
Andai aku bisa putar ulang waktu itu...

Aku dimakamkan hari ini,
Dan ketika semua menjadi tak termaafkan,
Dan ketika semua menjadi terlambat,
Dan ketika aku harus sendiri...
Untuk waktu yang tak terbayangkan sampai yaumul hisab & dikumpulkan di Padang Mashar...

Puisi Almarhum "Bang Remy Soetansyah,"
"ANDAI HARI INI AKU DIMAKAMKAN"

DariNya kita datang, kepadaNya kita kembali…

Assalamu’laikum sahabat..

Innalillahi wa innaa ilaihi raaji'uun telah kembali ke rahmatullah Olga Syahputra kemarin jum'at sore di Rumah sakit Singapura, Oki turut berduka sedalam2nya, dan do’akan bersama semoga Olga Syahputra di terima iman islamnya dilapangkan kuburnya, di tempatkan di tempat terindah di syurga, keluarga yg di tinggalkan di beri kesabaran..aamiin..al-fatihah..

Bagi kita yg di tinggalnya tentunya bisa jadi pelajaran bahwa maut datang kapan saja tidak bisa kita prediksi , bisa satu tahun lagi, sebulan lagi, satu hari lagi atau sedetik lagi..hidup di dunia ini hanyalah sementara..

Aku dan dunia ibarat orang dalam perjalanan menunggang kendaraan, lalu berteduh di bawah pohon untuk beristirahat dan setelah itu meninggalkannya. (HR. Ibnu Majah)

Rasulullah menyadarkan kepada kita selaku umatnya akan pendeknya waktu hidup di dunia itu, namun waktu yang sangat pendek itu sangat-sangat bermanfaat, sehingga harus diisi dengan hal-hal yang sangat bermanfaat…

Sahabat pesan Olga kepada adiknya, untuk selalu melaksakan ibadah sholat 5 waktu jangan pernah di tinggalkan...selalu berbuat baik....
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
4:00 pagi kita bangun solat subuh, kemudian kita bersiap2 utk ke tempat kerja, sampai kantor pukul 7:00 pagi, hari masih gelap.
Mungkin kita anggap hari ini akan hujan, jadi abaikan. Masuk kantor, bekerja dan kita lihat pukul 12:00 siang, sudah waktunya makan siang, tapi keadaan masih tetap gelap.
Keluar pintu kantor, suasana masih gelap, hitam pekat seperti malam..mungkin masih bisa dianggap hari ini akan hujan lagi. Jadi abaikan saja.
Tapi kalo jam 14:00 pm pun hari masih gelap.. pertanda apa itu?..keesokkan pun sama, nonton tv semua orang kalang kabut menceritakan bahawa dunia ini sudah tidak ada lagi siangnya..dan begitu juga dengan lusa..masih tidak ada lagi matahari..
Tetapi pada hari keempat kita bangun pagi, kita dapat melihat matahari, tetapi jangan terkejut karena matahari telah terbit dari sebelah barat..
Kehebatan ahli dunia akan mengatakan itu fenomena alam, tapi sadarkah, itulah pertanda besar yang paling awal sebelum tibanya hari kiamat!!
Maka telah tertutuplah pintu taubat..
Saat itu, kita akan lihat satu fenomena luar biasa di mana golongan kaya akan keluarkan semua harta utk diinfakkan, golongan yang tidak pernah baca quran, 24 jam baca quran, golongan yang tak pernah solat jemaah akan berlari2 menunaikan solat secara berjemaah..tapi sayangnya semuanya sudah tidak berguna lagi..
Bismillahirrahmanirrahim.
Elle Sang Mar 2016
Jakarta, 1986

Wanita berambut cokelat muda sebahu itu terlihat sedang asyik mengamati asap rokok yang ia keluarkan sebelum membuang puntung rokok ke tanah dan menginjaknya. Jalanan di Jakarta memang selalu ramai tapi tak satupun mobil-mobil yang sedang berlalu-lalang itu akan berhenti dan menghentikan apa yang akan ia lakukan setelah jam menunjukkan pukul lima pagi. Masih terngiang di kepala apa yang orang-orang katakan tentangnya selama ini.. *sampah
, pelacur memang tidak pantas hidup enak, ingat ya, kau itu cuma pelacur ia memejamkan mata sambil perlahan menghitung berapa kali ia telah mendengarkan cacian setiap pulang.

Jam yang berada di tangan kirinya masih menunjukkan pukul lima kurang lima belas menit, ya lima belas menit yang ia gunakan untuk akhirnya mengingat perkataan Abimanyu. Laki-laki terakhir yang memberikan segalanya, harta, kasih sayang, dan waktu tapi ia tak dapat menikmati itu semua walau sudah mencoba beribu kali aku tidak akan pernah berubah menjadi laki-laki yang sudah menyia-nyiakanmu ,kau tahu bahwa seberapapun mahalnya berlian apabila yang memakainya tidak pantas maka akan terlihat murah?, kau terlihat cantik dengan apapun, aku melakukan semua ini karena aku tak sanggup melihatmu sedih, aku akan terus mencintaimu walau kau tak akan pernah bisa membalas perasaanku yang hanya akan selalu ia balas dengan aku sudah tak percaya cinta atau aku sudah tak punya hati hatinya telah membeku dicabik-cabik sejak dulu, sebelum bertemu Abimanyu. Air mata perlahan mengalir dari mata yang tertutup itu, lima menit lagi batinnya sebelum mengusap air mata yang sudah membasah pipi dan meluruskan gaun putih rancangan desainer terkenal yang diberikan sebagai hadiah untuknya tak dipungkiri gaun itu bernilai lebih dari penghasilannya selama satu bulan namun apalah arti uang disini?
Ia kembali melirik jam yang sekarang menunjukkan dua menit sebelum pukul lima, diatas jembatan layang itu masih ramai oleh hiruk-pikuk kendaraan.  Tenanglah tak akan ada yang mampu menyelamatkanmu.

Jam sudah menunjukkan pukul lima pagi, tanpa berpikir panjang ia melepas pegangannya dari pagar yang menopang tubuh dan terjun bebas tanpa ada perlawanan terhadap gravitasi.
**Tak semua bidadari hidup bahagia di surga
Yo, Beremundo el Lelo, surqué todas las rutas
y probé todos los mesteres.
Singlando a la deriva, no en orden cronológico ni lógico -en sin orden-
narraré mis periplos, diré de los empleos con que
nutrí mis ocios,
distraje mi hacer nada y enriquecí mi hastío...;
-hay de ellos otros que me callo-:
Catedrático fui de teosofía y eutrapelia, gimnopedia y teogonía y pansofística en Plafagonia;
barequero en el Porce y el Tigüí, huaquero en el Quindío,
amansador mansueto -no en desuetud aún- de muletos cerriles y de onagros, no sé dónde;
palaciego proto-Maestre de Ceremonias de Wilfredo el Velloso,
de Cunegunda ídem de ídem e ibídem -en femenino- e ídem de ídem de Epila Calunga
y de Efestión -alejandrino- el Glabro;
desfacedor de entuertos, tuertos y malfetrías, y de ellos y ellas facedor;
domeñador de endriagos, unicornios, minotauros, quimeras y licornas y dragones... y de la Gran Bestia.

Fui, de Sind-bad, marinero; pastor de cabras en Sicilia
si de cabriolas en Silesia, de cerdas en Cerdeña y -claro- de corzas en Córcega;
halconero mayor, primer alcotanero de Enguerrando Segundo -el de la Tour-Miracle-;
castrador de colmenas, y no de Casanovas, en el Véneto, ni de Abelardos por el Sequana;
pajecillo de altivas Damas y ariscas Damas y fogosas, en sus castillos
y de pecheras -¡y cuánto!- en sus posadas y mesones
-yo me era Gerineldos de todellas y trovador trovadorante y adorante; como fui tañedor
de chirimía por fiestas candelarias, carbonero con Gustavo Wasa en Dalecarlia, bucinator del Barca Aníbal
y de Scipión el Africano y Masinisa, piloto de Erik el Rojo hasta Vinlandia, y corneta
de un escuadrón de coraceros de Westmannlandia que cargó al lado del Rey de Hielo
-con él pasé a difunto- y en la primera de Lutzen.

Fui preceptor de Diógenes, llamado malamente el Cínico:
huésped de su tonel, además, y portador de su linterna;
condiscípulo y émulo de Baco Dionisos Enófilo, llamado buenamente el Báquico
-y el Dionisíaco, de juro-.

Fui discípulo de Gautama, no tan aprovechado: resulté mal budista, si asaz contemplativo.
Hice de peluquero esquilador siempre al servicio de la gentil Dalilah,
(veces para Sansón, que iba ya para calvo, y -otras- depilador de sus de ella óptimas partes)
y de maestro de danzar y de besar de Salomé: no era el plato de argento,
mas sí de litargirio sus caderas y muslos y de azogue también su vientre auri-rizado;
de Judith de Betulia fui confidente y ni infidente, y -con derecho a sucesión- teniente y no lugarteniente
de Holofernes no Enófobo (ni enófobos Judith ni yo, si con mesura, cautos).
Fui entrenador (no estrenador) de Aspasia y Mesalina y de Popea y de María de Mágdalo
e Inés Sorel, y marmitón y pinche de cocina de Gargantúa
-Pantagruel era huésped no nada nominal: ya suficientemente pantagruélico-.
Fui fabricante de batutas, quebrador de hemistiquios, requebrador de Eustaquias, y tratante en viragos
y en sáficas -algunas de ellas adónicas- y en pínnicas -una de ellas super-fémina-:
la dejé para mí, si luego ancló en casorio.
A la rayuela jugué con Fulvia; antes, con Palamedes, axedrez, y, en época vecina, con Philidor, a los escaques;
y, a las damas, con Damas de alto y bajo coturno
-manera de decir: que para el juego en litis las Damas suelen ir descalzas
y se eliden las calzas y sustentadores -no funcionales- en las Damas y las calzas en los varones.

Tañí el rabel o la viola de amor -casa de Bach, búrguesa- en la primicia
de La Cantata del Café (pre-estreno, en familia protestante, privado).
Le piqué caña jorobeta al caballo de Atila
-que era un morcillo de prócer alzada: me refiero al corcel-;
cambié ideas, a la par, con Incitato, Cónsul de Calígula, y con Babieca,
-que andaba en Babia-, dándole prima
fui zapatero de viejo de Berta la del gran pie (buen pie, mejor coyuntura),
de la Reina Patoja ortopedista; y hortelano y miniaturista de Pepino el Breve,
y copero mayor faraónico de Pepe Botellas, interino,
y porta-capas del Pepe Bellotas de la esposa de Putifar.

Viajé con Julio Verne y Odiseo, Magallanes y Pigafetta, Salgan, Leo e Ibn-Batuta,
con Melville y Stevenson, Fernando González y Conrad y Sir John de Mandeville y Marco Polo,
y sólo, sin De Maistre, alredor de mi biblioteca, de mi oploteca, mi mecanoteca y mi pinacoteca.
Viajé también en tomo de mí mismo: asno a la vez que noria.

Fui degollado en la de San Bartolomé (post facto): secundaba a La Môle:
Margarita de Valois no era total, íntegramente pelirroja
-y no porque de noche todos los gatos son pardos...: la leoparda,
las tres veces internas, íntimas, peli-endrina,
Margarita, Margotón, Margot, la casqui-fulva...-

No estuve en la nea nao -arcaica- de Noé, por manera
-por ventura, otrosí- que no fui la paloma ni la medusa de esa almadía: mas sí tuve a mi encargo
la selección de los racimos de sus viñedos, al pie del Ararat, al post-Diluvio,
yo, Beremundo el Lelo.

Fui topógrafo ad-hoc entre El Cangrejo y Purcoy Niverengo,
(y ad-ínterim, administré la zona bolombólica:
mucho de anís, mucho de Rosas del Cauca, versos de vez en cuando),
y fui remero -el segundo a babor- de la canoa, de la piragua
La Margarita (criolla), que navegó fluvial entre Comiá, La Herradura, El Morito,
con cargamentos de contrabando: blancas y endrinas de Guaca, Titiribí y Amagá, y destilados
de Concordia y Betulia y de Urrao...
¡Urrao! ¡Urrao! (hasta hace poco lo diríamos con harta mayor razón y con aquese y este júbilos).
Tras de remero de bajel -y piloto- pasé a condueño, co-editor, co-autor
(no Coadjutor... ¡ni de Retz!) en asocio de Matías Aldecoa, vascuence, (y de un tal Gaspar von der Nacht)
de un Libraco o Librículo de pseudo-poemas de otro quídam;
exploré la región de Zuyaxiwevo con Sergio Stepánovich Stepansky,
lobo de donde se infiere, y, en más, ario.

Fui consejero áulico de Bogislao, en la corte margravina de Xa-Netupiromba
y en la de Aglaya crisostómica, óptima circezuela, traidorcilla;
tañedor de laúd, otra vez, y de viola de gamba y de recorder,
de sacabuche, otrosí (de dulzaina - otronó) y en casaciones y serenatas y albadas muy especializado.
No es cierto que yo fuera -es impostura-
revendedor de bulas (y de mulas) y tragador defuego y engullidor de sables y bufón en las ferias
pero sí platiqué (también) con el asno de Buridán y Buridán,
y con la mula de Balaám y Balaám, con Rocinante y Clavileño y con el Rucio
-y el Manco y Sancho y don Quijote-
y trafiqué en ultramarinos: ¡qué calamares -en su tinta-!,
¡qué Anisados de Guarne!, ¡qué Rones de Jamaica!, ¡qué Vodkas de Kazán!, ¡qué Tequilas de México!,
¡qué Néctares de Heliconia! ¡Morcillas de Itagüí! ¡Torreznos de Envigado! ¡Chorizos de los Ballkanes! ¡Qué Butifarras cataláunicas!
Estuve en Narva y en Pultawa y en las Queseras del Medio, en Chorros Blancos
y en El Santuario de Córdova, y casi en la de San Quintín
(como pugnaban en el mismo bando no combatí junto a Egmont por no estar cerca al de Alba;
a Cayetana sí le anduve cerca tiempo después: preguntádselo a Goya);
no llegué a tiempo a Waterloo: me distraje en la ruta
con Ida de Saint-Elme, Elselina Vanayl de Yongh, viuda del Grande Ejército (desde antaño... más tarde)
y por entonces y desde años antes bravo Edecán de Ney-:
Ayudante de Campo... de plumas, gongorino.
No estuve en Capua, pero ya me supongo sus mentadas delicias.

Fabriqué clavicémbalos y espinetas, restauré virginales, reparé Stradivarius
falsos y Guarnerius apócrifos y Amatis quasi Amatis.
Cincelé empuñaduras de dagas y verduguillos, en el obrador de Benvenuto,
y escriños y joyeles y guardapelos ad-usum de Cardenales y de las Cardenalesas.
Vendí Biblias en el Sinú, con De la Rosa, Borelly y el ex-pastor Antolín.
Fui catador de tequila (debuté en Tapachula y ad-látere de Ciro el Ofiuco)
y en México y Amecameca, y de mezcal en Teotihuacán y Cuernavaca,
de Pisco-sauer en Lima de los Reyes,
y de otros piscolabis y filtros muy antes y después y por Aná del Aburrá, y doquiérase
con El Tarasco y una legión de Bacos Dionisos, pares entre Pares.
Vagué y vagué si divagué por las mesillas del café nocharniego, Mil Noches y otra Noche
con el Mago de lápiz buido y de la voz asordinada.
Antes, muy antes, bebí con él, con Emmanuel y don Efe y Carrasca, con Tisaza y Xovica y Mexía y los otros Panidas.
Después..., ahora..., mejor no meneallo y sí escanciallo y persistir en ello...

Dicté un curso de Cabalística y otro de Pan-Hermética
y un tercero de Heráldica,
fuera de los cursillos de verano de las literaturas bereberes -comparadas-.
Fui catalogador protonotario en jefe de la Magna Biblioteca de Ebenezer el Sefardita,
y -en segundo- de la Mínima Discoteca del quídam en referencia de suso:
no tenía aún las Diabelli si era ya dueño de las Goldberg;
no poseía completa la Inconclusa ni inconclusa la Décima (aquestas Sinfonías, Variaciones aquesas:
y casi que todello -en altísimo rango- tan Variaciones Alredor de Nada).

Corregí pruebas (y dislates) de tres docenas de sota-poetas
-o similares- (de los que hinchen gacetilleros a toma y daca).
Fui probador de calzas -¿prietas?: ceñidas, sí, en todo caso- de Diana de Meridor
y de justillos, que así veníanle, de estar atán bien provista
y atán rebién dotada -como sabíalo también y así de bien Bussy d'Amboise-.
Temperé virginales -ya restaurados-, y clavecines, si no como Isabel, y aunque no tan baqueano
como ése de Eisenach, arroyo-Océano.
Soplé el ***** bufón, con tal cual incongruencia, sin ni tal cual donaire.
No aporreé el bombo, empero, ni entrechoqué los címbalos.

Les saqué puntas y les puse ribetes y garambainas a los vocablos,
cuando diérame por la Semasiología, cierta vez, en la Sorbona de Abdera,
sita por Babia, al pie de los de Úbeda, que serán cerros si no valen por Monserrates,
sin cencerros. Perseveré harto poco en la Semántica -por esa vez-,
si, luego retorné a la andadas, pero a la diabla, en broma:
semanto-semasiólogo tarambana pillín pirueteante.
Quien pugnó en Dénnevitz con Ney, el peli-fulvo
no fui yo: lo fue mi bisabuelo el Capitán...;
y fue mi tatarabuelo quien apresó a Gustavo Cuarto:
pero sí estuve yo en la Retirada de los Diez Mil
-era yo el Siete Mil Setecientos y Setenta y Siete,
precisamente-: releed, si dudaislo, el Anábasis.
Fui celador intocable de la Casa de Tócame-Roque, -si ignoré cuyo el Roque sería-,
y de la Casa del Gato-que-pelotea; le busqué tres pies al gato
con botas, que ya tenía siete vidas y logré dar con siete autores en busca de un personaje
-como quien dice Los Siete contra Tebas: ¡pobre Tebas!-, y ya es jugar bastante con el siete.
No pude dar con la cuadratura del círculo, que -por lo demás- para nada hace falta,
mas topé y en el Cuarto de San Alejo, con la palanca de Arquimedes y con la espada de Damocles,
ambas a dos, y a cual más, tomadas del orín y con más moho
que las ideas de yo si sé quién mas no lo digo:
púsome en aprietos tal doble hallazgo; por más que dije: ¡Eureka! ...: la palanca ya no servía ni para levantar un falso testimonio,
y tuve que encargarme de tener siempre en suspenso y sobre mí la espada susodicha.

Se me extravió el anillo de Saturno, mas no el de Giges ni menos el de Hans Carvel;
no sé qué se me ficieron los Infantes de Aragón y las Nieves de Antaño y el León de Androcles y la Balanza
del buen Shylock: deben estar por ahí con la Linterna de Diógenes:
-¿mas cómo hallarlos sin la linterna?

No saqué el pecho fuera, ni he sido nunca el Tajo, ni me di cuenta del lío de Florinda,
ni de por qué el Tajo el pecho fuera le sacaba a la Cava,
pero sí vi al otro don Rodrigo en la Horca.
Pinté muestras de posadas y mesones y ventas y paradores y pulquerías
en Veracruz y Tamalameque y Cancán y Talara, y de riendas de abarrotes en Cartagena de Indias, con Tisaza-,
si no desnarigué al de Heredia ni a López **** tuerto -que era bizco-.
Pastoreé (otra vez) el Rebaño de las Pléyades
y resultaron ser -todellas, una a una- ¡qué capretinas locas!
Fui aceitero de la alcuza favorita del Padre de los Búhos Estáticos:
-era un Búho Sofista, socarrón soslayado, bululador mixtificante-.
Regí el vestier de gala de los Pingüinos Peripatéticos,
(precursores de Brummel y del barón d'Orsay,
por fuera de filósofos, filosofículos, filosofantes dromomaníacos)
y apacenté el Bestiario de Orfeo (delegatario de Apollinaire),
yo, Beremundo el Lelo.

Nada tuve que ver con el asesinato de la hija del corso adónico Sebastiani
ni con ella (digo como pesquisidor, pesquisante o pesquisa)
si bien asesoré a Edgar Allan Poe como entomólogo, cuando El Escarabajo de Oro,
y en su investigación del Doble Asesinato de la Rue Morgue,
ya como experto en huellas dactilares o quier digitalinas.
Alguna vez me dio por beberme los vientos o por pugnar con ellos -como Carolus
Baldelarius- y por tomar a las o las de Villadiego o a las sus calzas:
aquesas me resultaron harto potables -ya sin calzas-; ellos, de mucho volumen
y de asaz poco cuerpo (si asimilados a líquidos, si como justadores).
Gocé de pingües canonjías en el reinado del bonachón de Dagoberto,
de opíparas prebendas, encomiendas, capellanías y granjerías en el del Rey de los Dipsodas,
y de dulce privanza en el de doña Urraca
(que no es la Gazza Ladra de Rossini, si fuéralo
de corazones o de amantes o favoritos o privados o martelos).

Fui muy alto cantor, como bajo cantante, en la Capilla de los Serapiones
(donde no se sopranizaba...); conservador,
conservador -pero poco- de Incunables, en la Alejandrina de Panida,
(con sucursal en El Globo y filiales en el Cuarto del Búho).

Hice de Gaspar Hauser por diez y seis hebdémeros
y por otras tantas semanas y tres días fui la sombra,
la sombra misma que se le extravió a Peter Schlémil.

Fui el mozo -mozo de estribo- de la Reina Cristina de Suecia
y en ciertas ocasiones también el de Ebba Sparre.
Fui el mozo -mozo de estoques- de la Duquesa de Chaumont
(que era de armas tomar y de cálida sélvula): con ella pus mi pica en Flandes
-sobre holandas-.

Fui escriba de Samuel Pepys -¡qué escabroso su Diario!-
y sustituto suyo como edecán adjunto de su celosa cónyuge.
Y fuí copista de Milton (un poco largo su Paraíso Perdido,
magüer perdido en buena parte: le suprimí no pocos Cantos)
y a la su vera reencontré mi Paraíso (si el poeta era
ciego; -¡qué ojazos los de su Déborah!).

Fui traductor de cablegramas del magnífico Jerjes;
telefonista de Artajerjes el Tartajoso; locutor de la Esfinge
y confidente de su secreto; ventrílocuo de Darío Tercero Codomano el Multilocuo,
que hablaba hasta por los codos;
altoparlante retransmisor de Eubolio el Mudo, yerno de Tácito y su discípulo
y su émulo; caracola del mar océano eólico ecolálico y el intérprete
de Luis Segundo el Tartamudo -padre de Carlos el Simple y Rey de Gaula.
Hice de andante caballero a la diestra del Invencible Policisne de Beocia
y a la siniestra del Campeón olímpico Tirante el Blanco, tirante al blanco:
donde ponía el ojo clavaba su virote;
y a la zaga de la fogosa Bradamante, guardándole la espalda
-manera de decir-
y a la vanguardia, mas dándole la cara, de la tierna Marfisa...

Fui amanuense al servicio de Ambrosio Calepino
y del Tostado y deMatías Aldecoa y del que urdió el Mahabarata;
fui -y soylo aún, no zoilo- graduado experto en Lugares Comunes
discípulo de Leon Bloy y de quien escribió sobre los Diurnales.
Crucigramista interimario, logogrifario ad-valorem y ad-placerem
de Cleopatra: cultivador de sus brunos pitones y pastor de sus áspides,
y criptogramatista kinesiólogo suyo y de la venus Calipigia, ¡viento en popa a toda vela!
Fui tenedor malogrado y aburrido de libros de banca,
tenedor del tridente de Neptuno,
tenedor de librejos -en los bolsillos del gabán (sin gabán) collinesco-,
y de cuadernículos -quier azules- bajo el ala.
Sostenedor de tesis y de antítesis y de síntesis sin sustentáculo.
Mantenedor -a base de abstinencias- de los Juegos Florales
y sostén de los Frutales -leche y miel y cerezas- sin ayuno.
Porta-alfanje de Harún-al-Rashid, porta-mandoble de Mandricardo el Mandria,
porta-martillo de Carlos Martel,
porta-fendiente de Roldán, porta-tajante de Oliveros, porta-gumía
de Fierabrás, porta-laaza de Lanzarote (¡ búen Lancelot tan dado a su Ginevra!)
y a la del Rey Artús, de la Ca... de la Mesa Redonda...;
porta-lámpara de Al-Eddin, el Loca Suerte, y guardián y cerbero de su anillo
y del de los Nibelungos: pero nunca guardián de serrallo ni cancerbero ni evirato de harem...
Y fui el Quinto de los Tres Mosqueteros (no hay quinto peor) -veinte años después-.

Y Faraute de Juan Sin Tierra y fiduciario de
Raihah Mior Dec 2017
Dalam retrospeksi
minda naif kecilku pernah berimaginasi
memikirkan dunia luar sana yang bagaikan fantasi
hati merontakan suatu kebebasan yang diimpi
namun kini ku sedari, itu semua hanyalah persepsi
seorang gadis kecil yang dahulunya bercita-cita tinggi
masa sudah tiba untuk kembali ke realiti.

Selamat datang ke Kota Korupsi
di mana manusia-manusia bertopengkan syaitan
kehausan kuasa, kerakusan harta duniawi
dipuja, dipuji dan disanjung tinggi
pil penawar pula makanan ruji untuk depresi
tiada lagi tempat mengadu, tempat meluahkan hati
hanya tinggal kata-kata yang kehilangan erti
terpapar di kotak skrin empat segi.

Bangsaku semakin alpa, agamaku jauh sekali
soal halal haram tidak dipertikaikan lagi
hanya topik sembang santai di kedai kopi
bicara hari nanti ditolak dahulu ke tepi.

Dunia yang dahulu semakin pudar
hanya serpihan di hujung sudut memori
masa berlalu terlalu pantas, terlepas dari jari-jemari
sekarang sudahpun tiba generasi baru menapakkan kaki
namun, lihatlah sejarah mengulangi dirinya sekali lagi
selagi nafas belum terhenti
selagi kita belum pergi.
My first actual sajak written for my Penulisan Kreatif class. Not my best work, but I'm genuinely quite proud of it. We had to recite it in class and I actually did it, with hand movements, ****** expressions, intonation, all that jazz (it was even accompanied by a Tron soundtrack hahahah). Basically the poem's just a little commentary on what globalization has brought to the people of my side of town. But I guess it applies to everyone too. The world keeps changing and evolving anyway. What are we to do. *shrugs*
NURUL AMALIA Aug 2017
Disini aku masih di bawah langit milik bumiku
Tapi berbeda tempat dan aroma tanah
Aku merasa di atmosfer era abad pertengahan
Melihat banyak kastil dengan arsitektur tua
Pemandangan yang indah di Montmartre, sebuah kerajaan seni
yang siap memanjakan mataku seketika

Musim gugur menciptakan lukisan indah secara alami
Tempat itu seperti kanvas
Diciptakan oleh kuas ajaib anugrah yang kuasa
Meski Claude Monete dan Renoir sudah tidak ada lagi
Aku bisa melihat perpaduan warna cantik di musim gugur dengan mata telanjang
kuning, oranye, merah dan coklat
Lukisan yang begitu indah

Biarkan aku memakai jaket hari ini
Sebab udara membuatku cukup dingin
Aku berjalan-jalan di pedesaan Prancis
Pohon-pohon gugur di sepanjang jalan
ditemani oleh nyanyian burung yang menyemarakan hariku
Ini sudah waktunya panen
Aku menyukai labu di ladang
Memilih apel dan pir di kebun dekat benteng Talcy

Prancis seperti harta karun emas
Paris di musim gugur bulan ini
Menara Eiffel sudah menungguku
kali ini aku berjalan di atas dedaunan
Begitu renyah di bawah kakiku
Pohon maple di atas saya memayungi meski hari tak hujan
Daunnya yang tersentuh angin berputar-putar
Mengirim mereka untuk menari di udara
Sangat romantis
Aku sedang duduk di bangku kayu
Ah jika September tiba...
fatin Oct 2017
hembus aku nafas kelelahan
membaca bait cinta yg ditulis para muda
masing-masing melempar rasa
namun siapalah aku
mengatakan tidak pada rasa indah itu?

resah kamu mungkin tenang untuk aku
tatkala dunia goncang berebut harta
aku disini masih keliru tentang rasa
kemudiannya, aku melihat lirik mata anak muda yang sedang bebas teroka dunia
indah dan segar matanya
bersinar umpama harapan cerah sentiasa menanti mereka

sempat aku pesan anak muda,
teruslah berjuang demi rasamu
sematkan cinta kepada setiapnya
agar mudah kita kemudian hari kelak

kerana aku pasti
cinta yang tumbuh itu akan bersemi
dan terus ramai...

hingga satu hari, kan seluruh dunia tersenyum.
maka, teruslah.
teruslah...menulis..


944pm
oct 2nd 17
Noche. Este viento vagabundo lleva
las alas entumidas
y heladas. El gran Andes
yergue al inmenso azul su blanca cima.
La nieve cae en copos,
sus rosas transparentes cristaliza;
en la ciudad, los delicados hombros
y gargantas se abrigan;
ruedan y van los coches,
suenan alegres pianos, el gas brilla;
y si no hay un fogón que le caliente,
el que es pobre tirita.
Yo estoy con mis radiantes ilusiones
y mis nostalgias íntimas,
junto a la chimenea
bien harta de tizones que crepitan.
Y me pongo a pensar: ¡Oh! ¡Si estuviese
ella, la de mis ansias infinitas,
la de mis sueños locos
y mis azules noches pensativas!
¿Cómo? Mirad:
                                  De la apacible estancia
en la extensión tranquila
vertería la lámpara reflejos
de luces opalinas.
Dentro, el amor que abrasa;
fuera, la noche fría;
el golpe de la lluvia en los cristales,
y el vendedor que grita
su monótona y triste melopea
a las glaciales brisas.
Dentro, la ronda de mis mil delirios,
las canciones de notas cristalinas,
unas manos que toquen mis cabellos,
un aliento que roce mis mejillas,
un perfume de amor, mil conmociones,
mil ardientes caricias;
ella y yo: los dos juntos, los dos solos;
la amada y el amado, ¡oh Poesía!
los besos de sus labios,
la música triunfante de mis rimas,
y en la negra y cercana chimenea
el tuero brillador que estalla en chispas.
¡Oh! ¡Bien haya el brasero
lleno de pedrería!
Topacios y carbunclos ,
rubíes y amatistas
en la ancha copa etrusca
repleta de ceniza.
Los lechos abrigados,
las almohadas mullidas,
las pieles de Astrakán, los besos cálidos
que dan las bocas húmedas y tibias.
¡Oh, viejo Invierno, salve!
puesto que traes con las nieves frígidas
el amor embriagante
y el vino del placer en tu mochila.
Sí, estaría a mi lado,
dándome sus sonrisas,
ella, la que hace falta a mis estrofas,
esa que mi cerebro se imagina;
la que, si estoy en sueños,
se acerca y me visita;
ella que, hermosa, tiene
una carne ideal, grandes pupilas,
algo del mármol, blanca luz de estrella;
nerviosa, sensitiva,
muestra el cuello gentil y delicado
de las Hebes antiguas;
bellos gestos de diosa,
tersos brazos de ninfa,
lustrosa cabellera
en la nuca encrespada y recogida
y ojeras que denuncian
ansias profundas y pasiones vivas.
¡Ah, por verla encarnada,
por gozar sus caricias,
por sentir en mis labios
los besos de su amor, diera la vida!
Entre tanto hace frío.
Yo contemplo las llamas que se agitan,
cantando alegres con sus lenguas de oro,
móviles, caprichosas e intranquilas,
en la negra y cercana chimenea
do el tuero brillador estalla en chispas.
Luego pienso en el coro
de las alegres liras.
En la copa labrada, el vino *****,
la copa hirviente en cuyos bordes brillan
con iris temblorosos y cambiantes
como un collar de prismas;
el vino ***** que la sangre enciende,
y pone el corazón con alegría,
y hace escribir a los poetas locos
sonetos áureos y flamantes silvas.
El Invierno es beodo.
Cuando soplan sus brisas,
brotan las viejas cubas
la sangre de las viñas.
Sí, yo pintara su cabeza cana
con corona de pámpanos guarnida.
El Invierno es galeoto,
porque en las noches frías
Paolo besa a Francesca
en la boca encendida,
mientras su sangre como fuego corre
y el corazón ardiendo le palpita.
-¡Oh crudo Invierno, salve!
puesto que traes con las nieves frígidas
el amor embriagante
y el vino del placer en tu mochila.
Ardor adolescente,
miradas y caricias;
cómo estaría trémula en mis brazos
la dulce amada mía,
dándome con sus ojos luz sagrada,
con su aroma de flor, savia divina.
En la alcoba la lámpara
derramando sus luces opalinas;
oyéndose tan sólo
suspiros, ecos, risas;
el ruido de los besos;
la música  triunfante de mis rimas,
y en la negra y cercana chimenea
el tuero brillador que estalla en chispas.
Dentro, el amor que abrasa;
fuera, la noche fría.
Me desespera ser tan yo
no se si es porque tengo el periodo
pero ya no me soporto
estoy harta de como soy
y no lo puedo cambiar
por mas que intente
y siempre me trae problemas
y mi inseguridad
y mi inmadurez
y mi falta de capacidad
y mi forma de dejar que cualquier cosa me haga mierda
soy una pendeja
estoy hasta la madre de todo
y no lo puedo cambiar
quisiera poder desaparecer a un lugar tranquilo
un bosque
y tomar muchas fotos y quedarme dormida
pero a la vez quisiera ser mas madura
no ser
como yo
a veces quisiera ser otra persona
mas segura mas madura con experiencia
como cuando llegamos a playa
era super segura
mas madura
valoraba todo
quisiera poder levantarme el animo yo sola, no necesitar de nadie
quisiera dejar de tener problemas hormonales
quisiera dejar de estar tan pinche loca
ser menos desesperada
pero para eso tendría que ser otra persona
porque yo ya intenté cambiar y no se puede
entonces me doy cuenta de que
preferiria morirme
pero no puedo
y mi hermana?
y tu?
y todos mis seres queridos?
y la gente que me quiere ?
y mi talento ?
entonces siento que nada tiene solución
y quiero explotar
y quiero llorar
y ser otra persona
y ser yo
y vivir
y morir.
May not be perfect but it's what i feel right now.
Poeta ayer, hoy triste y pobre
filósofo trasnochado,
tengo en monedas de cobre
el oro de ayer cambiado.

  Sin placer y sin fortuna,
pasó como una quimera
mi juventud, la primera...
la sola, no hay más que una:
la de dentro es la de fuera.

  Pasó como un torbellino,
bohemia y aborrascada,
harta de coplas y vino,
mi juventud bien amada.

  Y hoy miro a las galerías
del recuerdo, para hacer
aleluyas de elegías
desconsoladas de ayer.

  ¡Adiós, lágrimas cantoras,
lágrimas que alegremente
brotabais, como en la fuente
las limpias aguas sonoras!

  ¡Buenas lágrimas vertidas
por un amor juvenil,
cual frescas lluvias caídas
sobre los campos de abril!

  No canta ya el ruiseñor
de cierta noche serena;
sanamos del mal de amor
que sabe llorar sin pena.

  Poeta ayer, hoy triste y pobre
filósofo trasnochado,
tengo en monedas de cobre
el oro de ayer cambiado.
Penunggang badai Feb 2021
Kuingat, waktu itu aku membawamu ke sebuah kedai. Sebuah tempat yang hari lalu pernah kujanjikan padamu. Dengan motor tua peninggalan ayahku, aku merasa bangga. Dengan kau di jok belakang, malu-malu mendekap badanku erat, kita melaju tanpa banyak bicara melintasi jalanan kota.

Sesampainya kita, aku menoleh kesana-kemari mencari tempat yang pas. Tempat yang khidmat untuk kita menunaikan ibadah temu, setelah lama menjalankan puasa rindu.

Masih seperti biasanya, tanpa memandang situasi bagaimanapun, kita tetap saja seperti biasa: tidak banyak mengobrol. Hanya tersenyum, basa-basi (aku dengan pernyataan pamungkas bahwa "rambutmu cantik hari ini", dan "jangan memujiku terus" adalah andalanmu ketika malu) , tersenyum lagi dan salah tingkah sejadinya. Begitu kikuk kita di waktu itu.

Kita begitu seadanya. Saling berhadapan, saling menggenggam tangan meski canggung. Kutengok dari balik jendela, hujan perlahan jatuh membasahi seisi bumi. Tentu kedai tempat kita juga. Kulihat ramai manusia mulai bergegas dan menepi menghindari tumpah ruah sang hujan.

Rinainya mulai melantun tak beraturan di jalanan, di atap kedai, di jok motorku dan di hati kita berdua. Sambil memandang keluar, aku yakin kau merefleksikan hal yang sama dengan apa yang ada dipikiranku. Bahwa keping ingatan masa lalu mulai berpendar, berputar dalam kepala. Yang mungkin selalu berusaha kita lupa.

Satu hal yang benar, bahwa hujan dengan begitu saja telah menjadi bagian dari identitas kita berdua. Kutipan bahwa hujan turun selalu membawa kenangan, bagiku sesekali benar. Dan diantara kau dan aku, memiliki kisah yang dianggap kelam.

Kita adalah dua manusia yang hatinya pernah patah dan kecewa, lalu dipertemukan dengan cara yang begitu acak oleh semesta. Atau, entahlah. Aku hanya yakin begitu. Mungkin buku-buku Fiersa Besari banyak mempengaruhi caraku berpikir soal ini.

Ditemani lagu-lagu dari Dialog Dini Hari, dan dinginnya suasana kedai sebab hujan yang menggerayangi, semakin menambah kesan romansa terlebih kopi pesanan kita datang menghampiri.

Masih ditengah hujan yang mulai menjinak, aku mengingatkanmu soal buku bacaan yang telah kita sepakati sebelumnya saat masih hendak merencanakan via telepon. Ya, benar, tujuan utamaku adalah mengajakmu menikmati buku bersama. Untukku, Ini kali pertama. Semoga saja engkau suka.

Dan hujan, adalah diluar dari rencana. Aku tersadar, bahwa ia membantuku banyak kali ini. Untuk memeluk hatimu kian erat, untuk menghempas keluh-kesahmu jauh tak terlihat.

Kita mulai mengeluarkan bacaan. Dari ranselku, dari tas jinjingmu.

Aku dengan Tan Malaka, kau dengan Boy Candra. Begitu kontras, namun kutau bahwa ada bahagia dengan harta yang masing-masing kita miliki itu. Yang bahwa kita membacanya karena terpana dengan mantra disetiap kata-katanya—atau juga karena pemikiran kritis yang disulap menjadi sebuah goresan pena pada setumpuk kertas oleh sang aditokoh. Kagum dengan warisannya—dalam tulisan, mereka benar-benar kekal selamanya—dalam ingatan.

Kita tenggelam jauh kedalamnya, jauh kedalam setiap paragrafnya. Mata kita beradu sesekali saat fokus tergoyah, saling melempar senyum karenanya. Lalu pada satu waktu, kita mulai menutup buku, mengartikan temu, menyempurnakan rasa hingga waktu tenggelam berlalu.

Berlalu... Benar, semuanya berlalu sejalan dengan gerak sang waktu. Tak terkecuali kita didalamnya.

Aku menyayangimu, sebagaimana keberlakuanku pada buku. Aku merindumu, sebagaimana bumi merindukan hujan. Dan episode-nya bagiku selalu saja menyajikan wangi yang sama, sebagaimana wangi petrichor yang tersisa, dari rinai yang pergi meninggalkan bentala.

Kita menjadi "pernah", lalu lestari selamanya.
Al pie de un roble escarchado
donde Belardo el amante
desbarató un tosco nido
que habían tejido las aves,

de breves pasadas glorias,
de presentes largos males,
así se queja diciendo:
quien tal hace, que tal pague.

La bella Filis un día,
al tiempo que el sol esparce
sus rayos por todo el suelo,
dorando montes y valles,

sintiendo que el corazón
se le divide en dos partes,
así el [lo] mesmo decía:
quien tal hace, que tal pague.

Hice a los desdenes guerra,
guerra desdenes me hacen;
maté a Belardo con celos,
celos es bien que me maten.

No atendí siendo llamada,
agora no me oye nadie;
con justa causa padezco:
quien tal hace, que tal pague.

Desamé a Belardo un tiempo,
y el amor para vengarse,
quiere que le quiera agora,
y que él me olvide y desame.

Dejadme, pasiones frescas,
frescas pasiones, dejadme
vivir para que publique:
quien tal hace, que tal pague.

No le da pena el rigor
del frío tiempo que hace,
que el fuego de amor la ampara
que dentro en su pecho nace.

Dando de coraje voces,
que revienta de coraje,
dice por momentos Filis:
quien tal hace, que tal pague.

¿Do está, Belardo, la fe
que prometiste guardarme?
más yo la quebré primero,
tú puedes de mí quejarte.

Diste primero en quererme,
yo primero en olvidarte,
tú harta disculpa tienes:
quien tal hace, que tal pague.

Sacó del seno un papel
y con mil ansias le abre,
y antes de leerle todo
le arruga, rompe y deshace

diciendo: «Yo soy la causa,
no tengo de quién quejarme,
quien dio la causa revienta:
quien tal hace, que tal pague».
Nabiila Marwaa Oct 2020
cara tuhan menguji ciptaannya memang ada saja
harta
takhta
kuasa
dan aku; kamu
Los que dicen que escriben versos
mejor que los dioses, no serán
castigados como Niobe, que tejía
mejor que las diosas y osó
decirlo y le mataron
los hijos y la convirtieron en mármol. No. Hoy
a esos poetas darán
becas, puestitos, los
nombrarán embajadores y
marmolizarán su respiro.
La palabra está harta de mentiras
y aprueba esa decisión. Tiene
bastante consigo misma, con
preguntarse qué es, quién es,
con no saber si habla entre
el ser y la ficción de ser, mientras
escribe en un cuaderno
donde nada está dicho.
WELCOME

Here comes the divine VIGHN HARTA

Son of Maa Parvati n the mighty Shiva

This Country n its people desperately need You.

Ganeshji, welcome You with open arms, we do.

Bring in joy, bring in prosperity n peace

May this Nation's difficulties n problems cease.

HAPPY GANESH CHATURTHI

Armin Dutia Motashaw
Leydis Jun 2017
Yo estaba completamente negada,
obstinada, empeñada,
a nunca más entregar mi alma a otro ser humano!!!!!

Ya estaba harta, asqueada,
cansada, dolida
del amor, de las mentiras,
de las intrigas, del **** a medias.

Entras tú, como solo tú pudiste entrar;
repentinamente,
superlativamente,
sublimemente,
casualmen­te,
gloriosamente,
y como nada, borras todas mis
dudas y mis ansiedades.

Yo renuente amar de nuevo
y queriendo protegerme, y no pude,
pues tus palabras;
me desencajaban los miedos,
me armaban el autoestima,
me entusiasmaban y me llenaron de valentía,
y cuando vine a ver…..
mis alas, que como una Mariquita,
las tenía intricadamente guardadas y dobladas,
se fueron extendiendo hacia un vuelo de arrobamiento,
de rebasada pasión
de intenso amor, comprensión, y atención.

Como el macho Mariquita
te encolaste por detrás y no soltaste,
no hasta desvanecer mis ansiedades.
Hasta hacerme enloquecer cuando comiste de mi vorazmente, hasta saciarnos.
Hasta dejarnos impregnados de la magia del universo en un beso.
Hasta llevarme a ese lugar donde quede muerta frente a tu pasión.
Tu devoción en la entrega, me hizo firmarte una estrella.

Y como mariquita,
eclosione todo el veneno de la duda en la entrega.

LeydisProse
6/1/2017
https://m.facebook.com/LeydisProse/
WELCOME GANESHA

Here comes the divine VIGHN HARTA

Son of Maa Parvati and the mighty Shiva

This Country n its people desperately need You.

Ganeshji, welcome You with open arms, we all do.

Bring in joy, bring in health, prosperity and peace

May this Nation's difficulties n problems forever cease.

HAPPY GANESH CHATURTHI

Armin Dutia Motashaw
ZZ Mar 2018
penuh sesak dan sakit,
yang kini kucoba hadapi ternyata bukan sekedar itu.
bukan sekedar melepaskan diri dari cinta duniawi,
tapi perihal sebuah kerelaaan.
perihal menciptakan ruang kosong penuh kepasrahan dalam hati.
yang memang, tak akan ada yang mengerti
kecuali Dia, Ilahi Rabbi

bukan pula sekedar siksa rindu yang kurasakan sekarang
tapi untuk bisa berjumpa, dan bersama di waktu mendatang
karena visioner bukan hanya mampu menyusun apa yang ada didepan
tapi dimulai dari bisa membedakan, mana yang sementara mana yang dibawa ke bilik kuburan

dan karena kaya bukan hanya perihal harta
tapi seluas apa hati kita bisa ikhlas hingga lapang
dan pasrah bukan cuma perihal kata
tapi seberapa ingat kita berserah tiap kali cobaan datang.
14 Juli 2017

dapat juga dibaca di https://tintaqabila.wordpress.com/2017/07/14/jauh/
carmel Jan 2020
Me has enseñado tanto, me has dado los momentos mas hermosos de mi vida, y también me has destrozado al punto de estar en el suelo con el corazón tirado en la calle, conmigo has hecho lo que querías, me has abierto de piernas me has dolido, me has tomado y me has dejado, me has utilizado, me has hecho sentir nada.
también admito que me has hecho sentir viva, me has hecho sentir todo, me has enseñado a callar, aunque también me has enseñado a desahogarme con penas, con baile, con lagrimas, con fiesta, me has hecho sentir sola, me has vuelto loca, he manejado con lagrimas en los ojos por tu culpa, he vivido buscándote pensando que eras de una forma para darme cuenta que no te encuentro en las formas que sueño, te encuentro pero ya no quiero buscarte, ya no se si te quiero, me tienes harta, juegas conmigo, me escupes en la cara, me mias encima, me tomas por un juego mientras solo quiero cuidarte, que esperas que quieres de mi? que tantas putas lecciones quieres darme?
quieres que mi alma se rompa, lo lograste
quieres que mi confianza se destrose, hecho
que quieres de mi?
quieres que tenga fe en ti para volver a perderla una y otra y otra vez
lo has logrado
quieres que me abra de piernas rapido lo has logrado te he confundido con tantos rostros y te he buscado en tantos cuerpos ya ni si quiera se como te verias si te tuviera enfrente
quieres que me espere, que te espere a llegar para que incluso asi decidas no aparecerte
lo tienes.
que mierda quieres de mi
sabes que ya no importa lo que tu quieras de mi, te voy a decir lo que yo quiero de ti ahora
estos son mis terminos amor
estas son mis condiciones
mi corazon esta abierto para ellos que han estado siempre. mi corazon y mi vulnerabilidad es de ellos.
no esperes que te espere, no esperes que quiera que llegas a rescatarme, por que te digo ahorita las reglas cambiaron me rescato sola yo ya no te espero, siendo honesta ni si quiera se si pudiera aceptarte, si pudiera quererte, me la has jugado tantas putas veces. te aviso que me hartaste, te aviso que ya no te quiero, te aviso que ya no te necesito
te aviso que te bajo del pedestal donde te tuve y que mi soledad me la pongo como, un vestido ajustado con los labios bien pintados y la cara en alto.
He perdido tanto sabes? tu crees que voy a tener miedo a perderte? el miedo tu me lo quitaste hace mucho.
te aviso que me perdiste
te aviso que no te espero
te aviso amor que ya no te siento.
Valeria Chauvel May 2020
Así se pasa la vida,
escribiendo en un papel
queriendo escupir al cielo.

Estoy harta de rogar a pies    
por querer tener palabras
ante venenosas carcajadas
que citan a la inmaculada ley.

Me abraza el delgado manto del Frío  
y dejo que me toquen.
Me entrego a las quimeras
bebiendo el vino de las calles
guardando el pan en mi sostén.

Tengo que fingir orgasmos
con la daga enterrada en mi piel
y mi nombre dejarlo a un lado    
cuidadosamente doblado.

Aprendí a no reconocerme en el espejo
cuando del cuello me agarraban.
Yo era esa dulce agonía
que enriquecía etiquetas de gala.

Desde niña me dijeron que tenía que ser fuerte
y coser mis palabras si quería comer.        
Nunca dejó de caer sangre de mi nariz      
ni de masturbarme con la ternura de insultos.  

No era yo merecedora del jardín de Dios,
era la niña del Diablo, la que comió la manzana.
Tan impura que no fui digna de cuna de oro      
y en el suelo tuve que sepultar la sal.

A mi madre también la violaron.
Relucían claramente sus lágrimas,
esas que la noche no logra desaparecer.  

Yo sabía que era un hombre de inmunidad
heredada, tomada, comprada,    
los pocos recipientes de Dios y su justicia
que figuran el tesoro divino y la tierra santa,
legado restringido para todos los oscurecidos.

Y aunque ella nunca dijo nada,
fueron los muros, los que no guardaron,
el nudo que llevaba en su garganta.

Bajo la sombra de la otredad
el refugio es la luz de la luna;
aunque es fácil sentirse dócil y venal
cuando el sol es tirano y opaca a nuestra urna.
https://open.spotify.com/track/0uT8E3vrqnTpuivD9XGwQt?si=YAnuBuCOSMeWoL0ZlQA98g
A SWEET VIGHNA HARTA... A CHOCOLATE GANESHJI

PLEASE JOIN ME IN MY ENDEAVOR TO SAVE MOTHER EARTH FROM POLLUTION

Options....

1..Can we please make a chocolate Ganeshji n dissolve him in milk, giving chocolate milk shake as prasad, kids will love this.

2.. Make a Mawa (with mithai, ladoo or peda) Ganeshji... A Sweet, flavoured one, dissolve in milk again n serve as prasad

3.. A mud one can be put into an earthen ***,  dipped in water n flowers or plants grown there.

4.. Made from fruits n vegetables, will look very attractive, can dip in water n then served as prashad.

5.. cooked rice n dal (dried) moulded into a Ganesha can  then be diluted n served as prashad too.

Innovative other ideas are welcomed from our readers.
Thank you.

Armin Dutia Motashaw

— The End —