Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Aridea P Nov 2013
Palembang, 24 November 2013


Suara itu
Suara yang tak terdengar, suara yang membeku
Menyentuh dalam kalbu
Miris, suara itu

Bau itu
Bau yang tak tercium,  bau yang melebur
Menyayat hatiku
Kasihan bau itu

Pandangan itu
Pandangan yang terpaku, hanya diam membisu
Mengabaikanku
Tak menoleh sedikitpun

Sentuhan itu
Senyuhan palsu, yang tak tersentuh
Memukulku, di sini
Di arah sini, dekat hatiku

Pikiran ini
Pikiranku, yang tak berujung
Memikirkanmu
Membuat aku ragu
Aridea P Jan 2012
Palembang, 6 Januari 2011

Dewasa ini
Awan hampir menipis
Takkan lagi menyelimuti langit
Tak mampu lagi menutupi terik

Di masa ini
Udara tak bersahabat lagi
Tak ingin didekati
Dan selalu berlari-lari

Sekarang ini
Penjahat bagai belut yang licin
Tak mampu tersentuh dengan tangan kosong
Selalu bisa lolos dari jeruji

Dunia ini, hari ini
Semakin tidak adil menghakimi
Tak berdaya, miskin, mudah tuk dijatuhi
Tinggal menunggu dunia ini berakhir
NURUL AMALIA Aug 2017
Disini aku masih di bawah langit milik bumiku
Tapi berbeda tempat dan aroma tanah
Aku merasa di atmosfer era abad pertengahan
Melihat banyak kastil dengan arsitektur tua
Pemandangan yang indah di Montmartre, sebuah kerajaan seni
yang siap memanjakan mataku seketika

Musim gugur menciptakan lukisan indah secara alami
Tempat itu seperti kanvas
Diciptakan oleh kuas ajaib anugrah yang kuasa
Meski Claude Monete dan Renoir sudah tidak ada lagi
Aku bisa melihat perpaduan warna cantik di musim gugur dengan mata telanjang
kuning, oranye, merah dan coklat
Lukisan yang begitu indah

Biarkan aku memakai jaket hari ini
Sebab udara membuatku cukup dingin
Aku berjalan-jalan di pedesaan Prancis
Pohon-pohon gugur di sepanjang jalan
ditemani oleh nyanyian burung yang menyemarakan hariku
Ini sudah waktunya panen
Aku menyukai labu di ladang
Memilih apel dan pir di kebun dekat benteng Talcy

Prancis seperti harta karun emas
Paris di musim gugur bulan ini
Menara Eiffel sudah menungguku
kali ini aku berjalan di atas dedaunan
Begitu renyah di bawah kakiku
Pohon maple di atas saya memayungi meski hari tak hujan
Daunnya yang tersentuh angin berputar-putar
Mengirim mereka untuk menari di udara
Sangat romantis
Aku sedang duduk di bangku kayu
Ah jika September tiba...
Merinda Jan 2019
Aku adalah sang waktu
Pejalan klise dari masa lalu
Aku adalah sang waktu
Tak pernah terbayang apalagi tersentuh
Aku adalah sang waktu
Hujan dan badai tak pernah hentikan laju
Aku adalah sang waktu
Sering dilupakan namun tak kenal pilu
Aku adalah sang waktu
Langkah tak berdaya siap membunuhmu
Aku adalah sang waktu
Menggerus detik yang kian rapuh
Aku adalah sang waktu
Tak diharapkan namun seketika membelenggu
Aridea P Feb 2013
Palembang, 6 Februari 2013

Aku ini pohon muda yang ditebang
Roboh

Aku ini kursi rotan yang patah
Rapuh

Aku ini daun hijau yang jatuh
Gugur

Aku ini aku yang Rapuh
Tak tersentuh
fatin Mar 2017
salah aku adalah apabila aku setuju untuk selam hati kamu
dan terus aku teliti semua yang ada

salah aku,
tersentuh kamu
dalam rasa, segala indah

sayang
andai dapat aku ulangi semua
ku akui
pinta aku adalah untuk bersama kamu
ingin aku adalah untuk dekat kamu
mahu aku adalah cuma kamu

dan maaf
sempurna itu jauh dari aku
sasar dari segala milik diri aku

sayang
mungkin cinta itu bukan milik kita
mungkin kita hanya punya rasa
mungkin kita salah
..
.
.

mungkin
VM Sep 2024
Aku melangkah di jalanmu, terukir dalam batu. Di mana sungai-sungai retak dan keheningan berdengung. Lagu pengantar tidur terus menghantui, membungkusku seperti kain kafan. Bisikan-bisikan membusuk dalam kesunyian, tersisa di udara seperti rahasia yang terlupakan, sementara keputusan menggantung di kehampaan—mayat-mayat cahaya.

Panas menggigil menyiksa melalui tulang punggung gurun ini, tebal dan menindas, saat bayangan terus menggeliat, tertawa dengan kebencian yang membekukan. Kau telah lama menghilang—bertahun-tahun, mungkin selamanya—ketidakhadiranmu adalah luka yang tak kunjung sembuh. Tak ada tangan yang mengulurkan jari untuk menenangkan langkahku yang goyah, tak ada kehangatan untuk mengikat pikiranku yang berputar-putar, dan beban ketidakpedulianmu menekan, mencekik seperti aku sedang berada di kuburan.

Jika aku menutup mataku dan membiarkan diriku larut dalam kegelapan, apakah itu akan membangkitkan sesuatu di dalam dirimu, atau kau akan tetap tak tersentuh, seperti selama ini? Langit ini terasa seperti kaca, rapuh mudah pecah, dan siap hancur akibat kekosongannya sendiri. Sementara bumi di bawahku setipis bisikan, siap menyerah. Pernahkah kau benar-benar ada di sini, atau kau selalu gagal untuk ada, sosok yang menghantui sebagian mimpiku yang hancur?

Pemenggal kepala menjulang di depan, janji yang tak terpenuhi,  
takdir yang terasa hampir manis, ujungnya yang tajam seperti panggilan sirene. Aku berdiri di bawah nya, pucat dan kaku. Besi dingin itu memanggilku, dan aku bertanya-tanya— jika aku menerima kejatuhan ini, apakah kau akan menyaksikan akhir, atau kau hanya akan berpaling, acuh tak acuh terhadap kegelapan yang menelanku bulat-bulat?

Kau tidak hadir di tanah yang tandus ini, tak mengucapkan sepatah kata pun untuk menghancurkan kesunyian yang membentang tanpa henti. Hanya gema tanpa suara dari ketidakhadiranmu yang ada melalui kehampaan, pengingat tanpa henti tentang cinta yang tak pernah ada. Jika aku semakin terperosok ke jurang ini, mencari pelipur lara di kedalaman keputusasaan, akankah aku mendapati dirimu menunggu, atau akankah ketidakhadiranmu bergema lebih keras, mencekik napas terakhirku?

Aku telah menelusuri debu tempat jejak kakimu terkikis,  
tapi bumi di bawahku berputar ke dalam ketiadaan, rusak oleh beban yang kau tinggalkan. Jadi di sinilah aku berbaring, di reruntuhan yang kau buat, di bawah tatapan dingin langit, terjerat dalam kesunyian yang kau jalin, di mana waktu berhenti, dan sisa-sisa harapanku memudar ke dalam jurang.
VM Sep 16
Kala itu aku menonton sebuah film yang ramai diperbincangkan di seantero negeri. Kabar perihal kebagusannya menyebar laksana angin, maka aku pun datang tanpa curiga, tanpa sangsi. Terlebih, banyak sineas serta pelakon yang mengangkatnya, mengisahkan air mata dan tawa mereka setelah selesai menontonnya. Aku, manusia yang paling mudah diguncang rasa, bukan lantaran sedih, melainkan lantaran hatiku lekas tersentuh. Mataku pun basah, bukan karena duka, melainkan karena terharu melihat sepasang kekasih di layar berbahagia.

Siapakah yang hadir di benakku kala itu? Apa gerangan yang berputar di dalam pikiranku? Engkau. Namun engkau yang mana? Aku tiada tahu. Mungkin bukan engkau yang kelak menjadi teman hidupku. Jika engkau membaca ini—wahai belahan jiwa—janganlah kau sembunyikan rasa hatimu. Jika ia penting, ucapkanlah. Niscaya aku akan mengerti mengapa engkau berkata, mengapa engkau mengingat tulisan ini.

Yang kuingat kala menonton film itu ialah seseorang yang, pada tahun dua ribu dua puluh lima, pernah bertaut hati denganku. Setelah lama aku sendiri, aku berani membuka pintu hati. Namun jangan tersalah: bukan ia yang membukanya. Akulah yang memberanikan diri meloncat ke kolam, padahal belum jua kupelajari cara berenang. Namun aku ingin belajar. Ketika hubungan itu usai hanya dalam empat bulan, aku teringat, aku memang baru belajar berenang. Namun kelak akan kupilih ombak yang hendak kuarungi, kutemukan samudra yang tak berbatu karang, agar luka tak lagi singgah di tubuhku.

Mengapa aku teringat dirinya? Karena aku tahu, tiada kuasa untuk mengubah siapa pun dari kami berdua. Aku pun enggan mengubahnya. Bukan sebab kami telah dewasa—sebab kedewasaan bukanlah perkara usia. Aku pun kerap merasa kanak-kanak, ia pun demikian. Maka aku tak hendak mengubahnya, sebab tak ingin terjerat lebih jauh dalam takdir hubungan ini. Aku tahu ia tak akan kekal, karena di celahnya kulihat diriku bisa menjelma menjadi monster, bisa melukai dengan kata, dengan tangan, dengan kaki. Tak kupilih jalan itu. Dengarlah: ini bukan semata-mata untuk melindungi hatinya, melainkan agar wajahku tak ternodai oleh amarahku sendiri.

Lalu ingatanku terarah kepada seorang pria lain, yang pernah kucintai sedalam itu. Kami tak pernah bersanding, tak pernah menjadi sepasang, bahkan hingga kini hanya bertukar kata sederhana: “Aku sayang engkau.” Begitu dalam rasa itu, walau ada orang lain yang saban hari mengucap “Aku cinta kau” dalam bahasa manisnya, hatiku tak pernah benar-benar mengamini. Aku pun tak menaruh harapan kepada pria yang paling kucintai itu hingga detik ini aku menulis. Aku hanya tahu: kami saling cinta, saling sayang, tetapi usaha kami untuk menjaga rasa itu nyaris tiada.

Maka biarkan ia masak sampai hangus, sampai menjadi abu. Barangkali kami tak akan pernah menjadi sepasang, tetapi yang kurasakan nyata adanya. Dari dia aku belajar, bahwa aku akan menempuh segala jalan demi cinta. Ia akan tergantikan kelak oleh pria lain, namun ia adalah cetak biru. Rumah yang akan kubangun akan selalu berpijak pada rancangan itu. Aturannya jelas: setia, tulus, mengutarakan rasa, berkomitmen melampaui kata “sayang.”

Terima kasih, karena telah memperlihatkan wajah cinta, meski pahitnya membuat dada terasa sesak. Lihatlah, bertahun-tahun aku berjalan, bertemu dengan banyak lelaki, tetapi engkau masih menetap di kepala. Betapa pentingnya engkau. Semoga aku pun sepenting itu di kehidupanmu. Kini aku dapat menerima: engkau datang hanya untuk mengajarkanku cara mencinta, bukan untuk menjadi milikku selamanya. Setiap insan akan pergi, baik oleh hidup maupun mati.

Sejujurnya, aku bahkan lupa bagaimana parasmu. Memalukan? Tidak. Sebab yang tinggal hanyalah rasa. Kini aku tahu bagaimana aku ingin dicinta, bagaimana aku hendak mencinta, agar sebuah pertautan dapat bertahan.

Namun, perlukah pasangan hidupku kelak gentar akan rasa yang pernah kumiliki untuk pria itu? Tentu tidak. Segalanya telah lama berlalu. Aku sadar, mengucap “sayang” padanya pun tak pernah membuat kami menjadi sesuatu. Ya, aku mencintainya, tetapi tak ingin menjadi apa-apa. Pesan darinya yang datang di malam hari barangkali masih membuatku tersenyum, tetapi kesedihan tak lagi hinggap. Aku tahu, aku tak akan pernah kehilangannya.

Ia akan selalu ada, jika aku suatu hari tak lagi memiliki pilihan, jika aku sendiri dan perlu diyakinkan bahwa ada yang masih mau menungguku, yang masih mau berkata ia mencintaiku. Apakah ia kehilangan aku? Ya. Dahulu aku terluka, mempertanyakan rupa hubungan kami, mencari cinta sebesar yang kuberi. Dan ternyata kami memang saling cinta. Maka biarlah. Tak ada lagi yang dapat kuperbuat. Kini aku tak lagi berduka. Wahai kasihku, pasanganku, ia hanyalah masa lalu. Ia tak perlu menjadi milikku. Hatiku tak ingin memilikinya, hatinya pun tak ingin memiliki aku.

Itulah yang kurasakan. Kita tak perlu tahu bagaimana rasanya menjadi dia. Itu tak penting. Yang kupanjatkan hanyalah harapan: ketika kelak aku telah membenahi diriku sebaik mungkin, semua itu bukan hanya untukmu—wahai pasanganku, cintaku—melainkan juga untuk setiap insan yang kucinta. Akan kuusahakan agar hidup kita berjalan sebaik-baiknya, meski hari-hari mungkin kelak menjadi lebih berat daripada hari ini.

Cintaku tak akan pudar padamu. Dan jangan engkau bertanya, sebab cintaku bukan semata untuk pria itu—cintaku seluas itu. Namun tak akan kupinjamkan hatiku kepadanya, tak akan kubagi meski sebutir debu. Jika ia memilih menyimpanku di sudut hatinya, biarkanlah. Kita tak perlu tahu. Jangan kita pernah mencarinya.

Aku akan mencintaimu selama napasku masih berhembus, selama janji kita untuk sehidup semati masih bergaung di dada. Engkaulah yang akan kutunggu, di hari terakhirmu, di hari terakhirku, atau di hari terakhir kita bersama.

— The End —