Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2016
Laut Anyelir*
Sebuah cerita pendek*

Apa kau masih ingat kisah tentang laut di belakang tempat kita tinggal? Laut—Ah, entah apa nama sebenarnya—Yang jelas, itu laut yang oleh paman dan para tetangga disebut sebagai Laut Anyelir. Kau mungkin lupa, sibuknya pekerjaan dan kewajibanmu jauh di seberang sana sepertinya tidak menyisakan tempat-tempat kecil dalam otak dan hatimu untuk mengingat dongeng muram macam itu. Tapi aku ingat, dan tak akan pernah lupa. Hamparan pantainya yang kita injak tiap sore setelah bersepeda selama 10 menit menuju Laut Anyelir, angin sepoinya yang samar-samar membisikkan gurauan dan terkadang kepedulianmu yang terlalu sering kau sembunyikan, dan bau asinnya yang busuk seperti air mata.

Kau mungkin  lupa mengapa Laut Anyelir disebut demikian.

Kau juga mungkin sudah lupa ombak kecil dan ketenangan Laut Anyelir kala malam yang terkadang berubah menjadi merah darah saat memantulkan bulan serta arak-arakan awan dan bintangnya.

Iya, pantulan bulan dan bintang yang lembut pada air Laut Anyelir pada saat tertentu berwarna merah,

Semburat merah dan bergelombang,

Seperti rangkaian puluhan bunga Anyelir merah yang dibuang ke laut lambangkan duka.

Biasanya, setelah terlihat berpuluh bercak-bercak merah melebur di Laut Anyelir, akan ada sebuah duka nestapa yang menyelimuti kita semua. Mereka bilang, laut bersedih dan melukai dirinya untuk hal-hal buruk yang tak lama akan datang. Menurutku itu kebetulan saja, mungkin hanya puluhan alga merah yang mekar atau ada pencemaran.

Tapi aku masih tak tahu mengapa semua hal itu selalu terjadi bertepatan,

Dan, sudahlah, laut itu memang cocok disebut sebagai Laut Anyelir. Aku tidak berlebihan seperti katamu biasanya.

Kau sangat suka cerita sedih, mungkin sedikit-sedikit masih dapat mengingat kisah sedih dari paman yang juga tak percaya soal pertanda Laut Anyelir, cerita soal kekasihnya yang hilang saat mereka berenang di pantai sore hari ketika kemarin malamnya, air laut berwarna merah.

Benar, hari ulang tahun mereka bertepatan, dan pernikahan untuk bulan depan di tanggal yang sama juga sudah direncanakan dengan baik. Kekasih paman sangat jago dalam berenang, ia mengajari paman yang penakut dengan gigih, sampai pada sore hari ulang tahun mereka, paman mengajaknya untuk berenang di Laut Anyelir sekali lagi,

Sebagai hadiah,

Untuk menunjukkan bagaimana paman mengamalkan segala ilmu yang diajarkannya, sebagai pertanda bahwa mereka dapat berenang bebas bersama, kapanpun. Mereka memakai pakaian renang sebelum mengenakan baju santai dan berbalap sepeda ke pantai seperti yang biasanya kita lakukan. mereka langsung berhamburan ke Laut Anyelir tanpa memperdulikan desas-desus tadi pagi bahwa kemarin malam airnya berubah warna. Kekasih paman sangat terkejut dan bangga melihat jerih payahnya selama ini terbayar. Berbagai macam gaya yang ia ajarkan telah dilakukan oleh paman, dan sekarang ia akan mencoba menyelam dengan melompat dari sebuah karang tepat di tengah laut. Paman mendakinya—Ia handal mendaki, dan sekarang handal berenang—Lalu menatap kekasihnya dengan rambut kepang dua yang melihatnya begitu bahagia. Ia melompat dengan indah, dan meskipun sedikit kesusahan untuk kembali menyeimbangkan dirinya dalam air, paman akhirnya muncul dengan wajah sumringah, memanggil serta mencari-cari kekasihnya.

Tapi ia tak ada di sana,
Ia tak ada dimanapun.

Itu kali terakhir paman melihat kekasihnya, melihatnya tersenyum, sebelum akhirnya ia menemukan pita merah rambutnya terselip diantara jemari kakinya.

Malam menjelang, semua warga dikerahkan untuk mencari kekasihnya, namun sampai bulan penuh terbangun di langit dan dilayani beribu bintang yang menyihir air laut menjadi kebun anyelir, kekasihnya masih tak dapat ditemukan.

Itulah sebabnya apabila mendengar laut berubah warna lagi kala malam, paman tak akan memperbolehkan kita untuk mendekati laut sampai dua hari ke depan.

Kau bukan saudaraku—Bukan saudara kandungku. Tapi aku menganggapmu lebih dari sekedar teman, bahkan lebih dari saudara kandung atau saudara angkat. Kau bukan saudaraku, tapi paman begitu peduli padamu seperti anaknya sendiri. Sama seperti bagaimana ia menyayangiku.

Dahulu kami hanya rajin mendengarmu, tetangga pindahan, memainkan gitar di kamarmu sendirian, melihatmu dari balkon lantai 2 rumah kayu kami sampai kau akhirnya sadar dan tidak pernah membuka tirai jendelamu lagi. Mungkin kau malu, tapi kami masih dapat mendengar sayup-sayup suara gitarmu. Namun setelahnya, paman justru hobi melemparkan pesawat-pesawat kertas yang berisi surat-surat kecil. Mereka kadang berisi gambar-gambar pemandangan alam—Salah satunya Laut Anyelir—Dan surat-surat itu sering tersangkut di tralis kamarmu. Akhirnya paman memberanikan diri dan menggandeng tanganku untuk segera mengetuk pintu rumahmu, usiaku belum beranjak belasan, dan aku hobi mengenakan celana pendek serta sandal karet yang mungkin tidak cukup sopan dipakai untuk memperkenalkan diri. Tapi kalian tidak peduli, dan menyambut kami dengan ramah—Paman menceritakan bagaimana ia menyukai musik-musik kecilmu, dan mengajak kalian untuk melihat-melihat keadaan sekitar sekaligus berkenalan dengan para warga,

Paman mengajak kalian ke Laut Anyelir,

Kalian menyukainya;

Dan paman mulai bercerita soal kisah Laut Anyelir yang menghantui, serta ketakutan-ketakutan warga. Tapi ia belum menceritakan kisahnya.

Namun kalian, sama seperti kami yang menghibur diri,
Tidak peduli, dan tidak takut akan semburat merah pertanda dari Laut Anyelir.
“Benar, itu mungkin hanya kebetulan!”
Sahut kalian.

Hampir dua tahun kita saling mengenal, dan pada hari ulang tahunmu, paman mengajak kita semua untuk berpiknik di pantai Laut Anyelir pada sebuah sore yang cerah. Aku memakan lebih dari 3 kue mangkuk, bahkan hampir menghabiskan jatahmu. Tapi tidak masalah, orangtuamu juga tidak menegurku. Kau sudah menghabiskan jatah klappertaartku, dan menyisakan hanya satu sendok teh.

Apa kau masih ingat betapa cantiknya Laut Anyelir saat matahari tenggelam? Seperti sebuah panggung sandiwara yang set nya sedang dipersiapkan saat-saat menuju lampu menggelap. Matahari sirna dan berganti dengan senyum bulan di atas sana, bintang-bintang kecil perlahan mulai di gantung dengan rapih,

Dan air laut yang biru gelap berubah menjadi lembayung,

Sebelum akhirnya mereka menderukan ombak, dan terlihat bercak-bercak merah pada tiap pantulan cahaya bintang. Sekilas terlihat seperti lukisan yang indah namun sakit. Kalian tidak takut, justru takjub melihat replika darah menggenang pada hamparan lautan luas dengan karang ditengahnya. Paman langsung menyuruh kita semua untuk bergegas membereskan keranjang piknik, dan berjalan pulang diiringi deru angin malam. Ia tak memperbolehkan kita mendekati pantai esok harinya.

Esok lusanya, kedua orangtuamu pergi ke kota untuk melapor pada atasannya, kau dititipkan pada paman. Mereka berjanji untuk pulang esok harinya,

Tapi mereka tidak pulang.
Mereka tidak kembali,
Dan kita masih menganggapnya sebagai sebuah kebetulan saja.
Kau bersedih, namun tidak menangis.

Aku yang sedikit lebih gemuk darimu memboncengmu dengan sepeda merahku dan mencoba untuk menghiburmu yang terus-terusan memeluk gitar di Laut Anyelir. Aku yakin saat itu aku pasti sangat menyebalkan; terus-terusan berbicara tanpa henti dan menarik lengan bajumu dengan erat sampai kau memarahiku karena takut akan sobek.

Tapi akhirnya aku berhasil membujukmu untuk memainkan gitarmu lagi, kau tersenyum sedikit,
Dan entah kenapa aku cukup yakin kau mulai tidak menyukaiku karena terlalu memaksa;
Namun menurutku itu sama sekali bukan masalah.

Kau mulai tinggal bersama paman dan aku sejak saat itu, dan menjadi kesayangannya. Ketika kita sudah cukup dewasa ia selalu membawamu saat bekerja di toko jam—Kau sangat handal dalam merakit jam serta membuat lagu-lagu untuk jam kantung automaton dengan kotak musik—dan aku ditinggalkan sendiri untuk mengurus pekerjaan rumah. Tapi tetap saja aku tak dapat menghilangkan kebiasaanku untuk menyeretmu bersepeda ke Laut Anyelir saat senggang dan tidak bekerja; kau akan memainkan gitarmu dan aku akan entah menulis surat untuk teman-temanku atau menggambar, dan terkadang menghujanimu dengan berbagai pertanyaan yang tak pernah kau jawab.

Begitu kita kembali, paman yang biasanya akan menggantikanmu untuk bercerita dan bercuap-cuap sampai makan malam dan kita pergi tidur.

Kau orang yang pendiam,
Dan aku yakin paman kesepian.
Orang yang kesepian terkadang banyak berbicara.

Seiring usiaku bertambah, cerita menyenangkan paman terkadang berubah menjadi cerita-cerita yang pedih dan menyayat hati. Kau tak mengatakannya, tapi aku dapat melihat dari matamu bahwa kau sangat menikmati mendengar cerita seperti itu. Aku tak menyukainya, tapi aku tak akan menyuruh paman untuk berhenti bercerita demikian. Kalian berdua membutuhkannya.

Saat itulah paman menceritakan kisah tentang dirinya dan kekasihnya saat kita akan menyelesaikan makan malam. Aku kembali tidur dihantui cerita mengenai laut yang melahap kekasihnya itu. Dalam mimpi, aku seolah dapat melihat ombak darah menerjang dan melahapku. Aku tidak ingin hal itu terjadi padaku, padamu, atau pada paman. Aku mulai menghindari Laut Anyelir pada saat itu.

Bunga Anyelir,
Dalam bahasa bunga, secara keseluruhan ia menunjukkan keindahan dan kasih yang lembut, seperti kasih ibu, kebanggaan, dan ketakjuban; namun kadangkala kita tidak memperhatikan arti masing-masing warnanya—
Anyelir merah muda berarti aku tak akan pernah melupakanmu,
Anyelir merah menunjukkan bahwa hatiku meradang untukmu,
Anyelir merah gelap merupakan pemberian untuk hati yang malang dan berduka.
Kurasa semua itu menggambarkan Laut Anyelir dengan tepat.

Setelah itu paman mulai makin sering bercerita soal kekasihnya yang hilang di Laut Anyelir. Aku tidak tahu mengapa, namun sore itu kau begitu ingin untuk pergi ke Laut Anyelir dengan gitarmu. Kali ini kau yang menggeretku menuju tempat yang selama beberapa hari kuhindari itu, kau tahu bagaimana aku menolak untuk pergi, kau yang biasanya tak ingin repot bahkan sampai menyiapkan sepedaku dan mengendarainya lebih dahulu.

Aku tak ingin kau pergi sendirian, aku mengikutimu. Kurasa tidak apa, tidak akan ada apapun hal buruk yang terjadi. Lagipula kita tidak akan berenang atau berencana untuk pergi jauh setelahnya.

Aku mengikutimu menuju Laut Anyelir. Kau duduk tanpa sepatah katapun, hanya menatapku. Dan mulai memainkan Sonata Terang Bulan oleh Beethoven dengan gitarmu saat matahari menjelma menjadi bulan. Saat itu barulah aku tersadar bahwa itu hari ulang tahunku, dan kau sengaja memainkannya untukku. Malam itu kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir berbincang-bincang, meskipun aku lebih banyak berbicara daripadamu. Aku tidak membawa surat-suratku, jadi aku hanya bisa memainkan dan memelintir rambutmu sambil berkata-kata.

Kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir, dan tidak menyadari bahwa air lautnya berubah menjadi merah. Aku terkejut dan berlari seperti anak anjing ketakutan ketika menyadarinya; kau berganti menarik lengan bajuku dan berkata bahwa tidak apa, bukan masalah. Aku, kau, dan paman akan terus bersama. Mungkin Laut Anyelir berubah merah bukan untuk kita namun warga pemukiman yang lain, pikirmu.

“Jangan berlebihan, kau manja, selalu bertanya, dan terlalu membesar-besarkan sesuatu.” Katamu, sekali lagi. Itu hal yang selalu keluar dari mulutmu.

Pintu rumah kuketuk, paman membukakan. Aku terkejut ketika tahu bahwa paman sudah menyiapkan banyak makanan kesukaanku termasuk klappertaart; kali ini aku tidak memperbolehkanmu untuk memakan klappertaartku. Ternyata ini rencana kalian berdua untuk membuat pesta kecil-kecilan di hari ulang tahunku, merangkap ulang tahun paman keesokan harinya.

Paman, tidak kusangka, ingin mengajak kita untuk berenang di Laut Anyelir esok. Ia ingin mengingat masa mudanya ketika menghabiskan banyak waktu berenang bersama kekasihnya di Laut Anyelir, dan kata paman, kita adalah pengganti terbaik kekasihnya yang belum kembali sampai sekarang.

Aku tidak ingin mengiyakannya, mengingat barusan kita melihat sendiri air laut berubah warna menjadi merah darah. Tapi aku tak ingin kau lagi-lagi mengucapkan bahwa aku manja dan berlebihan. Aku menyanggupi ajakan paman. Namun aku takkan berenang, aku tidak pernah belajar bagaimana caranya berenang, dan tidak mau ambil resiko meskipun aku percaya kalau kau dan paman akan mengajariku.

Esok pagi kita berangkat dengan sepeda. Kali ini paman memboncengku, dan kau membawa keranjang piknik yang sudah kusiapkan sejak subuh serta memanggul gitarmu seperti biasa.
Begitu tiba, kau dan paman langsung menyeburkan diri pada ombak biru Laut Anyelir dan berenang serta mengejar-ngejar satu sama lain. Aku duduk di tepian air, menggambar kalian yang begitu bahagia sampai akhirnya kalian keluar dari air untuk mengambil roti lapis dan botol minum. Setelah menghabiskan rotinya, paman berdiri dan kembali ke air sambil berkata lantang,

“Aku akan mencoba menyelam dari karang itu lagi.”
Tanpa menoleh ke arah kita.
“Jangan, paman. Kau sudah tua.”
“Sebaiknya tidak usah, paman. Hari makin siang.” Kau juga mencoba menghentikannya, tetapi paman tidak bergeming. Ia bahkan tak menatap kita dan terus berenang sampai ke tengah. Kau mencoba menyusulnya dengan segera, tapi sebelum kau sampai mendekati karang,

Paman sudah terjun menyelam.

Setelah tiga menit yang terasa lama sekali, kau menunggu ditengah lautan dan aku terus memanggil paman serta namamu untuk kembali ke tepian, paman tetap tidak muncul.

Kau menyelam, menyisir sampai ke tepi-tepi untuk mencari paman, namun hasilnya nihil, dan kau kembali padaku menggigil. Aku membalutkan handuk padamu, dan meninggalkanmu untuk kembali bersepeda dan memanggil warga yang tak sampai setengah jam sudah berbondong-bondong mengamankan Laut Anyelir dan mencari paman.

Malam hari datang,
Hari perlahan berganti,
Bulan demi bulan,
Tahun selanjutnya—
Paman masih belum kembali, dan kita tak memiliki kuburan untuknya.

Kita tinggal berdua di rumah itu, kau bekerja tiap pagi dan aku memasak serta mengurus rumah. Disela-sela cucianku yang menumpuk dan hari libur, kau rupanya tak dapat melepaskan kebiasaan kita untuk bersantai di Laut Anyelir yang sudah lama ingin kutinggalkan. Aku tak dapat menolak bila itu membuatmu senang dan merasa tenang.

Dan aku bersyukur,
Selama hampir setahun penuh, sama sekali aku tak melihat air Laut Anyelir berubah warna lagi menjelang malam. Memang beberapa hal buruk sesekali terjadi, namun aku sangat bersyukur karena aku tak melihat pertanda kebetulan itu dengan mata kepalaku sendiri.

Pada suatu hari kau memberiku kabar yang menggemparkan, ini pertamakalinya aku melihat senyuman lebar di wajahmu; kau terlihat semangat, bahagia, penuh kehidupan. Kulihat para pria-pria muda di sekitar sini juga sama bahagianya denganmu. Mereka bersemangat, dan mereka bangga akan adanya hal ini karena ini adalah waktu yang tepat untuk berkontribusi kepada negara. Katamu, tidak adil bila yang lain pergi dan berusaha jauh disana sedangkan kau hanya berada di sini, memandangi laut.

Kau memohon untuk kulepaskan menjadi sukarelawan perang, dan aku menolak.
Kau memohon, aku menolak,
Kau memohon, aku menolak,
Aku menolak, kau memohon.

Dan karena aku sepertinya selalu memberatkanmu, atas pertimbangan itu, aku ingin membuatmu lega dan bahagia sekali lagi—Aku akhirnya melepaskanmu untuk sementara, asal kau berjanji untuk kembali kapanpun kau diizinkan untuk kembali.

Kau tak tahu kapan, dan aku akan selalu menunggu.

Aku akan selalu berada di sini, dengan Laut Anyelir yang berubah warna, dan hantumu serta hantu paman
Gitarmu yang selalu kau rawat,
Untuk sementara waktu aku takkan bisa menarik ujung lengan bajumu,
Dan tak akan mendengarmu memanggilku manja dan berlebihan.

Kita tidak pergi ke Laut Anyelir sore itu, begitu pula esok harinya. Kita sibuk mempersiapkan segala hal yang kau butuhkan untuk pergi, aku memuaskan menarik ujung lengan bajumu, dan menyelipkan harmonika pemberian paman yang tidak pernah bisa kugunakan untukmu.

Ia akan lebih baik bila berada di tanganmu, dan ia akan menjadi pengingat agar kau pulang ke rumah, kembali padaku.

Kita tidak melihat ke Laut Anyelir sampai hari keberangkatanmu, di mana dengan sepeda kau akhirnya memboncengku untuk pergi ke pelabuhan. Kita tidak melihat Laut Anyelir, aku tak tahu apa airnya berubah warna atau tidak.

Setelah kau naik ke kapal d
So Dreamy Jan 2017
voice over: narrator*

Pemberitahuan terakhir disuarakan, keberangkatan pesawat tujuan Frankfurt Airport akan lepas landas tak lama lagi lagi, orang-orang bersiap masuk kabin. Ada satu hal yang terlintas di pikiran Atlas; ia tahu Venus tidak akan datang. Tidak dalam hitungan waktu tiga puluh menit, sepuluh menit, apalagi lima menit. Percuma saja menunggu, Venus benar-benar tidak datang. Perpisahan mereka sudah berlangsung semalam, pertemuan terakhir yang berhasil membuat Atlas berkali-kali memutar ulang seluruh adegan, mendengar suara gelak tawa mantan pacarnya dalam benak khayal, membayangkan senyuman Venus yang ia lukiskan untuknya terakhir kali. Pertemuan terakhir mereka kemarin bahkan tidak terasa seperti perpisahan, namun tetap bagi Atlas terasa begitu janggal. Mungkin karena terlalu tiba-tiba dan cepat, pertemuan terakhir yang merupakan perpisahan, pertemuan terakhir paling bahagia dan paling sedih, yang juga menyudahi hubungan singkat mereka.

Sejenak Atlas merasa sendu. Dalam lubuk hatinya masih sesekali berharap Venus meneleponnya, mengatakan bahwa ia akan datang mengucapkan selamat tinggal. Namun, nyatanya ucapan selamat tinggal Venus hanya berupa memori-memori tentangnya; seratus hal yang tertanam sejati di dalam hati Atlas mengenai segala hal tentang kejanggalan perempuan itu, gelak tawanya, senyumanya, aroma tubuhnya, kerlingan matanya, rambut hitam tebalnya, wajah pemikirnya, serta sosoknya yang seringkali membuat dirinya bertanya-tanya; kisah apa saja yang tidak diketahuinya, yang pernah terjadi dalam sejarah hidupnya sehingga membentuk pribadi sepertinya yang begitu terlihat bagai keajaiban seni paling nyata di mata Atlas? Baginya, Venus adalah sebuah takdir dan keajaiban menjadi satu.

Dan, ia tidak akan pernah ada niat untuk melupakannya.
So Dreamy May 2016
sore itu dingin.

kupandangi tetes-tetes air yang perlahan hinggap di atas permukaan kaca jendela
secangkir teh dalam genggaman, berbalut tabahnya menahan rindu.
kutunggu kabar
namun tak juga kunjung datang

duduk di atas kursi teras, menanti suaramu hadir di ujung pesawat.
teleponku lagi-lagi kau abaikan, seperti tak pernah sekalipun terlintas minat untuk kau angkat.
terlalu sibuk atau apa?
biar kunanti lagi bersama rintik hujan.

semenit
lima menit
  sepuluh menit
   dua puluh menit
    lima puluh menit

kutunggu telepon balasanmu
namun belum juga kau
izinkan aku mendengar suaramu

aku diam
bersama alunan musik yang dimainkan hujan, air mataku turun
biarkan!
aku letih
berpura-pura merasa tidak sakit hati

bersama lantunan rintik hujan, serta guntur yang belum pula lelah bersahutan, pada dunia mereka seolah mengatakan; alam pun bisa menyuarakan air matanya, dan memiliki jeda jujur yang panjang, berhenti berusaha ceria.

kemudian aku sadar;
seperti alam yang sedang menangis, aku benar-benar letih berpura-pura.
dibalik jendela pesawat terbang, ada bulan purnama
bulat dan terangnya sempurna
malam ini saya mengarungi awan
yang bentuknya jelas karena pantulan cahaya bulan
bergumpal, halus, keemasan
indah
terpantul pada retina mata, menakjubkan

lalu saya tertidur
dalam mimpi saya berkereta menuju cahaya bulan
saya akan sampai disana, dibulan

turbolensi membangunkan saya tepat pukul 11.42 malam
diluar bayangan samudra masih gelap, tidak terlihat
1 jam lagi saya akan sampai di negeri cina, kata seseorang dengan pengeras suara

tidak jadi kebulan?
tak apa, berbeloklah dahulu
baru ke bulan



*Diatas awan, 26 Februari 2013
Alvian Eleven Dec 2024
Setelah 07 Oktober adalah normal baru.
Orang orang Gaza tak lagi punya kehidupan.
Kehidupan telah dihancurkan kekacauan.
Kekacauan panjang yang penuh penderitaan.

Tiap hari Hassan dan keluarganya terlunta lunta.
Menyusuri jalanan tanpa tahu harus kemana.
Tenda dan barang tertinggal di pengungsian yang hancur diserang.
Itulah normal baru Hassan.

Berkali kali Asmaa mendapat kabar buruk.
Murid muridnya telah tewas satu persatu.
Dia hanya bisa menangis teringat mereka.
Itulah normal baru Asmaa.

Samara sedih ketika anaknya ulang tahun.
Dia tak bisa membuat kue **** seperti biasanya.
Yang dia buat hanyalah lumpur berbentuk kue ****.
Itulah normal baru Samara.

Berbotol botol minyak goreng dibeli Mai.
Semuanya diisi ke dalam tanki mobilnya.
Setelah itu dia melintasi jalan Al Rashid yang penuh kehancuran.
Itulah normal baru Mai.

Mustafa sering duduk di tepi pantai.
Terus terusan termenung sedih sambil menangis.
Teringat gadis pujaannya yang tewas mengenaskan.
Itulah normal baru Mustafa.

Fadi sering kelelahan berjalan kaki jauh.
Mencari cari solar panel untuk mengecas laptop.
Dan juga tempat yang menjangkau internet.
Itulah normal baru Fadi.

Tiap hari Mariam selalu kelelahan.
Dia harus mengantri air dan mencari kayu bakar.
Setelah itu mencuci , memasak dan membersihkan tenda.
Itulah normal baru Mariam.

Tiap pergi ke pasar Heba selalu merasa jengkel.
Harga telur , ayam dan sayuran semakin naik tinggi.
Sementara dia kesulitan mendapatkan donasi.
Itulah normal baru Heba.

Yousef sering ikut nelayan ke laut.
Naik perahu sambil membawa jala untuk mencari ikan.
Tapi hanya sebentar di laut kapal perang datang menggempur.
Itulah normal baru Yousef.

Tiap melihat foto dirinya Mohammed selalu sedih.
Badannya kurus kering dan pucat kulitnya.
Akibat sering kelaparan dan kekurangan gizi.
Itulah normal baru Mohammed.

Abdullah selalu kesulitan mendapatkan donasi.
Dia sudah senang jika bisa membeli mie dan kopi.
Baginya itu menjadi suatu kemewahan.
Itulah normal baru Abdullah.

Tiap teringat kebun olive miliknya Ali selalu sedih.
Kebun warisan keluarganya itu sudah terbakar habis.
Tak ada lagi yang tersisa selain hanya kenangan saat musim panen.
Itulah normal baru Ali.

Melanjutkan sekolah online memang melelahkan.
Tiap hari Tareq harus berjalan jauh untuk mengecas laptop.
Dia juga sering kesulitan mendapat koneksi internet.
Itulah normal baru Tareq.

Gas dan bensin sulit didapatkan.
Satu satunya bahan bakar hanyalah minyak goreng.
Ayahnya Omar menjualnya di pinggir jalan.
Itulah normal baru ayahnya Omar.

Khaled dan keluarganya sering kelaparan.
Uang donasi tak menentu dan tak ada bantuan makanan.
Satu satunya yang bisa dimakan hanyalah makanan ternak.
Itulah normal baru Khaled.

Tiap melihat foto dirinya Eman sering menangis.
Wajahnya tampak kusut dan kecantikannya memudar.
Bibirnya yang kering tak bisa lagi tersenyum.
Itulah normal baru Eman.

Musim dingin Aya sangat menderita.
Dia meringkuk kedinginan di dalam tenda yang kehujanan.
Tak ada selimut atau apapun yang menghangatkan.
Itulah normal baru Aya.

Tiap hari Walid pergi kemana mana.
Naik kereta keledai mengantarkan orang orang.
Sambil berhati hati menghindari drone terbang.
Itulah normal baru Walid.

Kamera Nassar tampak kusam.
Tiap hari dia selalu menyusuri jalanan berdebu.
Yang dia potret hanya rombongan pengungsi dan mayat mayat bergelimpangan.
Itulah normal baru Nassar.

Ketika ramadhan Fatema merasa sedih.
Dia tak punya bahan untuk membuat kue.
Yang dia punya hanyalah sisa tepung penuh belatung.
Itulah normal baru Fatema.

Kakeknya Ashraf terbaring lemah di dalam tenda.
Sering berteriak ketakutan saat mendengar suara.
Ledakan demi ledakan bombardir pesawat jet dan helikopter.
Itulah normal baru kakeknya Ashraf.

Khalil sering menggerutu.
Tiap pertandingan El Classico dia tidak bisa nonton.
Yang bisa dia lakukan hanya membaca berita sepakbola.
Itulah normal baru Khalil.

Huda merasa lelah meneruskan kuliah online.
Sementara dia sering terkenang dengan kampusnya yang telah hancur.
Dan juga teman temannya yang telah tewas.
Itulah normal baru Huda.

Ketika musim panas Kareem sangat menderita.
Dia kepanasan di dalam tenda yang sempit.
Sementara di luar matahari benar benar terik.
Itulah normal baru Kareem.

Shayma kesal laptopnya rusak.
Dia tak bisa lagi menonton film dan anime yang sering dia unduh.
Sementara tukang servis laptop baru saja tewas.
Itulah normal baru Shayma.

Tiap pergi ke pasar ayahnya Lubna merasa sedih.
Sayuran dan buah buahan harganya naik tinggi tak terbeli.
Padahal dulu bisa dipanen banyak di kebun sendiri.
Itulah normal baru ayahnya Lubna.

Malak sering sakit sakitan.
Tak ada yang bisa dia lakukan selain hanya terbaring lemah.
Kehilangan semangat untuk melakukan apapun.
Itulah normal baru Malak.

Tiap sore Zaina selalu kelelahan.
Dia terus keliling tempat pengungsian menjual falafel buatannya.
Tapi hanya sedikit orang yang punya uang untuk membeli.
Itulah normal baru Zaina.

Saat merasa suntuk Dima sering menyesal.
Dia tidak membawa koleksi novelnya yang tertinggal di rumah.
Satu satunya penghiburan hanyalah mengingat berbagai cerita koleksi novelnya.
Itulah normal baru Dima.

Anak anaknya Hussein selalu kelelahan.
Tiap hari mereka menghabiskan waktu berjam jam.
Hanya untuk antri pembagian air dan makanan saat panas terik.
Itulah normal baru anak anaknya Hussein.

Tiap hari Reem selalu kelelahan kurang tidur.
Apalagi saat menstruasi dia benar benar menderita.
Sobekan tenda yang kasar dia jadikan pembalut.
Itulah normal baru Reem.

Amal telah kehilangan semangat dan harapan.
Tak sanggup meneruskan kuliah online di tengah kekacauan.
Rencana melanjutkan kuliah ke Eropa sudah dia lupakan.
Itulah normal baru Amal.

Dr Ghassan sering kebingungan.
Pasokan obat obatan di rumah sakit Al Quds semakin habis.
Sementara tiap hari puluhan orang dan anak  yang terluka terus berdatangan.
Itulah normal baru Dr Ghassan.

Ahmed dan keluarganya kelelahan bertahan hidup.
Berkali kali mereka pindah tempat pengungsian.
Setelah tenda tenda dibombardir pesawat jet dan helikopter.
Itulah normal baru Ahmed.

Saat tengah malam Aboud sering bersedih.
Dia menyesal tidak bisa menyelamatkan rekan rekannya di rumah sakit Al Shifa.
Mereka tewas dieksekusi massal hingga Aboud merasa sedih mengingatnya.
Itulah normal baru Aboud.

Tiap malam Mahmoud sering meratapi nasib.
Dia kehilangan segalanya tak punya apa apa lagi , tak punya siapa siapa lagi.
Dia sering mempertanyakan kenapa dirinya masih hidup.
Itulah normal baru Mahmoud.

Sham mengalami trauma parah.
Tatapannya kosong dan sering menangis.
Teringat keluarganya yang tewas dilindas tank.
Itulah normal baru Sham.

Saat malam yang dingin Sondos selalu menghangatkan diri.
Dia membakar tumpukan buku kuliahnya dengan rasa kecewa.
Baginya hukum internasional dan hak asasi manusia cuma ilusi belaka.
Itulah normal baru Sondos.

Tiap malam Bayan dan Layan tidak bisa tidur.
Di tengah bombardir pesawat jet tanpa henti mereka terus memandangi langit.
Berharap keajaiban akan mengubah keadaan.
Itulah normal baru Bayan dan Layan.

Normal baru menjadi masa kini yang menyakitkan.
Terlalu menyakitkan untuk dijalani selama setahun lebih.
Tak ada yang tahu kapan berakhirnya kekacauan panjang yang tak berkesudahan.
Terus menerus menghancurkan kehidupan dan mengancam masa depan.


November 2024

By Alvian Eleven
Alvian Eleven Dec 2024
Setiap hari kubuka Tiktok.
Selalu kulihat banyak video.
Terus diposting orang orang Gaza.
Bercampur antara duka lara dan suka cita.

Anas sang jurnalis di Jabalia.
Menyiarkan berita bombardir pesawat jet.
Menghancurkan rumah dan sekolah.
Mayat anak anak tergeletak dimana mana.

Hamada sang juru masak di Khan Yunis.
Bersemangat memasak shawarma ayam.
Lalu dia membagikan untuk anak anak.
Mereka tertawa gembira bisa makan enak.

Motasem sang jurnalis di Beit Lahia.
Mendatangi beberapa tenda pengungsi.
Anak anak di dalam tenda tenda itu.
Semuanya kurus kering kelaparan.

Mona sang relawan di Al Mawasi.
Sibuk membagikan bahan bahan kebutuhan.
Beras , tepung , minyak , gula , mie.
Para pengungsi senang menerimanya.

Bisan sang jurnalis di Al Maghazi.
Bertemu banyak rombongan pengungsi.
Mereka kelelahan berjalan jauh.
Sandal dan sepatu mereka sobek semua.

Tito sang badut di Gaza Utara.
Selalu enerjik menghibur anak anak.
Bermain , bernyanyi , berjoget.
Tertawa gembira bersama sama.

Dr Mohammed di rumah sakit Kamal Adwan.
Merasa kelelahan dan ketakutan.
Sendirian mengurusi orang orang terluka.
Sementara rekan rekannya ditangkap semua.

Said sang relawan di Al Nuseirat.
Tanpa lelah memasang tenda tenda.
Memasak makanan dan membagikan barang.
Untuk pengungsi yang terlantar.

Saleh sang jurnalis di Khan Yunis.
Menemukan anak lelaki saat tengah malam.
Menangis sendirian di kuburan ibunya.
Tidak mau kembali ke tenda hingga pagi tiba.

Dahlan sang relawan di Deir El Balah.
Mengadakan acara nonton kartun bersama.
Anak anak berkumpul dan merasa gembira.
Nonton kartun sambil makan popcorn.

Ahmed sang jurnalis di Al Nuseirat.
Merasa kasihan melihat anak anak di dalam tenda.
Mereka kepanasan saat siang terik.
Dan kebanjiran saat hujan deras.

Samaa sang gadis pemain biola di Tel El Hawa.
Duduk di bawah pohon sambil memainkan biola.
Anak anak yang melihatnya tampak tenang.
Terlarut melupakan semua penderitaan.

Youmna sang jurnalis di Shujaiya.
Bertemu anak anak yang terlantar.
Mereka memungut makanan dari sampah.
Dan meminum air dari comberan.

Alaa sang tukang cukur di Al Nuseirat.
Mencukur rambut orang orang tanpa bayaran.
Dia cukup senang mendapat sedikit imbalan.
Rokok , roti , kopi atau ucapan terima kasih.

Hossam sang jurnalis di stadion Yarmouk.
Meliput banyak pengungsi yang berdatangan.
Mereka kelelahan , kelaparan , kehausan.
Terlantar tak punya tenda.

Renad sang gadis cilik di Deir El Balah.
Selalu ceria memasak berbagai makanan.
Dia memasak maqluba tanpa ayam.
Harga ayam naik tinggi tak terbeli.

Doaa sang jurnalis di rumah sakit Al Nasser.
Mengunjungi anak anak yang terluka.
Ada yang tangan dan kakinya buntung.
Ada yang kulitnya mengelupas terkena fosfor.

Israa sang guru di Al Bureij.
Mengajak rekan rekannya membuka tenda sekolah.
Mereka memberi alat menulis dan menggambar.
Anak anak senang bisa sekolah lagi.

Hind sang jurnalis di rumah sakit Al Aqsa.
Menyiarkan berita yang mengerikan.
Tenda tenda di sekitarnya hancur berantakan.
Terbakar terkena bombardir pesawat jet.

Samih sang pemuda pemain oud di Deir El Balah.
Penuh semangat bernyanyi sambil memainkan oud.
Sementara teman temannya lincah menari dabke.
Menghibur orang orang yang mengungsi.

Samara sang jurnalis di Al Zaitun.
Mendatangi tenda tenda para pengungsi.
Banyak anak anak yang kulitnya gatal.
Penuh borok dirubungi lalat.

Abdullah sang petani di Khan Yunis.
Nekat menyelinap kembali ke kebunnya.
Agar dia bisa memanen sekarung buah olive.
Cukup untuk dibagi para pengungsi.

Faiz sang jurnalis di Rafah.
Meliput jalanan yang sepi.
Tak ada apapun selain mayat mayat berlumuran darah.
Tewas bergelimpangan diserang quadcopter.

Hassan sang dosen di Al Rimal.
Tanpa lelah melakukan kuliah online.
Para mahasiswa bersemangat melanjutkan kuliah.
Tak peduli dengan kekacauan , kesulitan dan keterbatasan.

Mahmoud sang jurnalis di Shujaiya.
Menutup hidungnya sambil melakukan liputan.
Mayat mayat membusuk menjadi tulang belulang.
Dimakan anjing anjing liar yang kelaparan.

Abdallah sang relawan di Deir El Balah.
Sibuk mengurusi banyak kucing liar.
Dia mengobati dan memberi makan.
Lalu membelai belai dan bermain main.

  Mousa sang penyelamat sipil di Beit Hanoun.
Merasa putus asa tidak bisa menolong.
Orang orang yang terluka tertimpa bangunan.
Merintih rintih kesakitan menunggu kematian.

Fadi sang relawan di Al Maghazi.
Terus bergerak bersama rekan rekannya.
Mereka memasang solar panel , mengebor sumur dan membuat.
Para pengungsi memuji kerja keras mereka.

Yousef sang petugas medis di rumah sakit Al Quds.
Merasa ketakutan naik ambulance.
Drone pengebom terus mengejar.
Meledakkan jalanan yang dilewati.

Menna sang pelukis di Al Shati.
Menyuruh anak anak untuk mengantri.
Sementara dia melukis wajah mereka satu persatu.
Lukisan semangka , Handala dan bendera Palestina.

Nofal sang jurnalis di Shujaiya.
Mewawancarai seorang pria kurus penuh luka.
Pria itu baru saja dibebaskan dari penjara.
Terus disiksa hingga mengalami trauma.

Maha sang jurnalis di Deir El Balah.
Bersantai di pantai sambil memandangi senja.
Sementara anak anak muda di sekitarnya.
Penuh semangat bermain sepakbola.

Naji sang sopir taxi di kota Gaza.
Menyetir mobilnya pelan pelan sambil menangis.
Dia sedih melihat seluruh kotanya hancur lebur.
Tak ada yang tersisa selain puing puing reruntuhan.

Fatema sang relawan di Al Shati.
Berkumpul bersama anak anak perempuan di tenda besar.
Mereka duduk di tikar sambil membaca ayat ayat Al Quran.
Terdengar merdu hingga meneguhkan keimanan.

Ouda sang jurnalis di Jabalia.
Bertemu seorang pria yang naik kereta keledai pelan pelan.
kereta keledai itu mengangkut mayat anak anak yang berlumuran darah.
Ada yang kepalanya pecah , ada yang perutnya hancur.

Nour sang jurnalis di kota Gaza.
Tertawa senang melihat anak anak muda di sekitarnya.
Mereka bermain parkour melompati puing puing reruntuhan.
Lalu mengibarkan bendera Palestina di atas atap yang hampir roboh.

Khaled sang jurnalis di Beit Hanoun.
Tergesa gesa meliput pengeboman drone di jalanan.
Ledakan bom menghancurkan mobil hingga ringsek.
Orang orang di dalam mobil tewas mengenaskan berlumuran darah.

Ashraf sang insinyur elektronik di Al Nuseirat.
Tampak senang memamerkan barang barang buatannya.
Kipas angin , lampu meja , charger ponsel hingga kulkas.
Semuanya dibuat dengan rongsokan yang dia temukan.

Lubna sang jurnalis di rumah sakit Al Shifa.
Meliput kengerian setelah pembantaian massal.
Ratusan mayat membusuk bergelimpangan dimana mana.
Semuanya hancur tak berbentuk setelah dilindas tank dan buldoser.

Firas sang relawan di Al Bureij.
Naik truk bersama rekan rekannya ke tempat pengungsian.
Begitu tiba mereka langsung membagikan sepatu , mantel dan jaket tebal.
Anak anak senang tak lagi kedinginan.

Jumana sang janda di Al Mawasi.
Menangis teringat suaminya yang tewas tertembak quadcopter.
Dia juga lelah berusaha bertahan hidup tanpa suaminya.
Sementara anak anaknya masih kecil semua.

Rami sang pemuda kreatif di Al Nuseirat.
Mengumpulkan banyak kardus bekas dari tempat sampah.
Setelah itu dia membuat beraneka mainan kardus untuk anak anak.
Mobil mobilan , motor motoran , kapal kapalan dan lainnya.

Wedad sang gadis remaja di Al Mawasi.
Termenung sedih sambil memegang kunci tua dan kunci baru.
Kunci tua itu milik neneknya yang terusir dari rumah sejak 1948.
Kunci baru itu miliknya sendiri yang terus dibawa setelah rumahnya dihancurkan.

Mosab sang pelukis mural di Rafah.
Membawa banyak peralatan lukis dan cat beraneka warna.
Dengan penuh semangat dia melukis mural di reruntuhan tembok yang lebar.
Yang dia lukis adalah sosok Handala sedang makan semangka.

Dokter Ayaz di rumah sakit Al Awda.
Menangis melihat bayi bayi prematur yang tidur dalam inkubator.
Tak ada kiriman bahan bakar untuk terus menyalakan listrik yang hampir padam.
Bayi bayi prematur itu akan segera mati satu persatu.

Aboud sang pemuda kreatif di Al Maghazi.
Mengajak anak anak membuat layangan besar bendera Palestina.
Lalu mereka menerbangkan layangan besar itu di tepi pantai.
Siapapun yang melihatnya merasa masih punya harapan.

Duka lara yang dialami orang orang Gaza masih terus berlanjut.
Tapi orang orang Gaza masih terus melanjutkan suka cita.
Melakukan apapun yang masih bisa dilakukan.
Menikmati apapun yang masih bisa dinikmati.


November 2024

By Alvian Eleven
Alvian Eleven Dec 2024
6 a.m di Surabaya - 1 a.m di Gaza

Saat bangun tidur badanku terasa lemas.
Masih terlalu pagi aku masih ingin berbaring di kasur.
Sambil kubuka akun X orang orang Gaza yang kukenal.
Tapi hanya akun Omar yang tampak aktif.
Memposting apapun yang sedang dia alami.

Omar mengeluh susah tidur.
Kedinginan berselimut kain tipis usang.
Banyak nyamuk masuk ke tendanya.
Sementara di luar suara zanana mengganggu.
Diselingi ledakan bombardir pesawat jet.

10 a.m di Surabaya - 05 a.m di Gaza

Aku bosan menunggu antrian bank yang ramai.
Sambil menunggu sepi kubuka lagi akun Omar.
Dia mengeluh melihat banyak belatung.
Merubung sisa tepungnya yang hampir kadaluwarsa.
  Dia tak bisa lagi membuat roti.

11 a.m di Surabaya - 06 a.m di Gaza

Aku menunggu ojek online di tepi jalan.
Sambil merokok kubuka lagi akun Omar.
Dia mengeluh kehabisan sabun dan shampo.
Sementara air untuk mandi dan mencuci.
Hanya tersisa setengah ember.

01 p.m di Surabaya - 08 a.m di Gaza

Aku sedang makan siang di Peneleh.
Makan pecel sambil kubuka lagi akun Omar.
Dia mengeluh saat mengantri di toko.
Menghabiskan waktu dan tenaga.
Berdesak desakan hanya untuk sekantung roti.

04 p.m di Surabaya - 11 a.m di Gaza

Saat sore aku nongkrong di Wonokromo.
Minum kopi sambil kubuka lagi akun Omar.
Dia mengeluh setelah belanja di pasar.
Bawang , tomat , terong , kentang dan cabai.
Harganya semakin naik tak terjangkau.

06 p.m di Surabaya - 01 p.m di Gaza

Aku sedang duduk di beranda masjid.
Menunggu isya sambil kubuka lagi akun Omar.
Dia mengeluh setelah berjalan jauh.
Merasakan kepanasan dan kelelahan.
Hanya untuk mengecas ponselnya di solar panel dekat pantai.

08 p.m di Surabaya - 03 p.m di Gaza

Aku masih makan malam di Tunjungan.
Makan rawon sambil kubuka lagi akun Omar.
Ternyata di Gaza sedang hujan deras.
Omar mengeluh setelah tendanya kebanjiran.
Barang barangnya basah terkena air hujan.

09. p.m di Surabaya - 04 p.m di Gaza

Temanku mengajak minum kopi di kafe.
Minum cappucino sambil kubuka lagi akun Omar.
Dia mengeluh sudah lama tidak makan ayam.
Yang bisa dia lakukan hanyalah menggambar ayam.
Lalu menaruhnya di atas piring kosong.

10 p.m di Surabaya - 5 p.m di Gaza

Aku sedang menonton sepakbola.
Saat jeda kubuka lagi akun Omar.
Dia mengeluh setelah memeriksa Gofundme.
Hampir seminggu tak mendapat donasi.
Sementara uangnya hanya tersisa puluhan shekel.

01 a.m di Surabaya - 08 p.m di Gaza

Tengah malam aku bersiap tidur.
Sambil berbaring di kasur kubuka lagi akun Omar.
Ternyata pemukiman dekat tendanya baru saja dibombardir.
Omar mengeluh setelah kelelahan membantu evakuasi.
Dia hampir muntah melihat serpihan tubuh berlumuran darah.

03. a.m di Surabaya - 10 p.m di Gaza

Aku merasa kesulitan tidur.
Sambil mendengarkan musik kubuka lagi akun Omar.
Ternyata dia masih tetap mengeluh.
Merasa lelah terus menerus mengeluh.
Terlalu banyak keluhan hingga kelelahan mengeluh.

Aku juga lelah melihat Omar terus mengeluh.
Tapi orang yang menderita memang harus mengeluh.
Hanya mayat yang tak bisa lagi mengeluh.
Mayat tak merasakan penderitaan untuk dikeluhkan.
Daripada menjadi mayat lebih baik Omar tetap hidup walaupun terus mengeluh.


November 2024

By Alvian Eleven
Alvian Eleven Dec 2024
Bulan tampak besar dan terang.
Aku memandangnya pada saat tengah malam.
Sambil berdiri di tepi sawah yang sepi.
Dekat rel kereta pinggiran Surabaya.

Kukeluarkan ponselku dari saku celana.
Lalu kupotret bulan yang kupandang.
Setelah itu langsung kuunggah fotonya.
Pada akun Instagramku.

Kulihat ada banyak postingan foto.
Dari akun Instagram orang orang Gaza.
Ternyata mereka juga sedang memandang bulan.
Bulan yang sama dengan yang kupandang.

Maha sedang duduk di atap rumah.
Dia memandang bulan sambil minum kopi.
Tanpa peduli bombardir pesawat jet.
Meledakkan pemukiman di Deir El Balah.

Omar sedang nongkrong dengan temannya.
Dia memandang bulan sambil merokok.
Melepas lelah setelah membantu relawan.
Membagikan makanan di Khan Yunis.

Mariam sedang termenung di depan tenda.
Dia memandang bulan sambil mengenang.
Kehidupannya yang hilang tak tersisa.
Terkubur puing puing rumahnya di Tel El Hawa.

Malak sedang menangis sedih.
Dia memandang bulan sambil mengingat.
Seorang teman akrabnya yang telah tiada.
Tewas terkena tembakan ******.

Dr Abraham sedang duduk di balkon.
Dia memandang bulan sambil mengeluh.
Kelelahan mengurusi orang orang terluka.
Memenuhi rumah sakit Al Nasser.

Saleh sedang melihat sekumpulan anak muda.
Mereka gembira menari dabke dan bermain oud.
Di atas puing puing reruntuhan bangunan.
Sementara bulan bersinar terang di belakang.

Begitulah bulan yang besar dan terang.
Menjadi penghias malam orang orang Gaza.
Yang masih terjebak kekacauan panjang.
Tanpa tahu kapan akan berakhir.


November 2024

By Alvian Eleven

— The End —