Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2016
Cerita Pendek Tentang Hantu*
Sebuah cerita pendek*

Anak-anak muda itu bilang bahwa Sundari cumalah hantu. Bagi mereka, Sundari sekedar cerita orang-orang tua zaman dahulu yang tak ingin anak lakinya pergi sampai larut malam. Parahnya lagi, mereka terkadang menganggap Sundari isapan jempol dan menggunakan namanya sebagai ejekan. Berbagai lelucon mereka buat untuk merendahkan Sundari,

Mereka pada saat tertentu menganggapnya seperti hewan kelaparan yang bersembunyi dan siap menerkam mereka,

Ketakutan sesaat.

Sayangnya, pada hari-hari berikutnya, Sundari malah terkadang lebih rendah daripada hewan.

Jika binatang buas dapat sewaktu-waktu muncul dan menyantap mereka dengan mudah, para pemuda justru berpikir bahwa mereka lebih tinggi dan mulia dibanding Sundari sehingga ia hanya akan menjadi segelibat penampakan.

Sundari cuma monster dan angan-angan, katanya, di zaman seperti ini mana ada hantu penculik jejaka. Pikiran anak muda memang berbeda dengan kebanyakan orangtuanya.

Padahal, Sundari sama seperti kita.

Sundari bukanlah siluman, hantu, atau makhluk mengerikan yang layak dijadikan lelucon semata.

Apalagi bahan cerita setan dan sarana menakut-nakuti bocah.

Dengar baik-baik, ia tidak terbang, ia tidak menghilang. Ah, Sundari bahkan tak punya kemampuan macam itu.

Sundari berjalan dengan dua kaki, melihat dengan dua mata, dan dapat memelukmu dengan dua tangan hangatnya. Yang mungkin berbeda adalah hati Sundari yang entah di mana sekarang. Inilah yang membuat ibu-ibu dengan anak lelaki begitu menakuti Sundari. Mereka yakin bahwa Sundari-lah yang akhir-akhir ini menculik buah hati mereka yang pergi malam, lalu menghilang selama satu minggu dan ditemukan gundul tanpa nyawa,

Tanpa hati,

Pada suatu sore yang hangat di padang ilalang dekat dusun.

Beberapa mengira bahwa Sundari adalah perwujudan pesugihan atau tumbal yang mengincar jawara-jawara muda, seperti andong-andong pocong yang dahulu sempat marak. Dahulu, pergantian kepala dusun di sini dilakukan dengan adu kekuatan. Para sesepuh percaya bahwa teh dari seduhan rambut pemuda dapat memperkuat diri dan meningkatkan kekebalan, ini menjadi salah satu spekulasi motif Sundari selain tumbal-tumbalan itu. Beberapa berpikir kalau Sundari menjual rambut lelaki muda di desa demi mendapatkan keuntungan baginya.

Kalau di antara gadis-gadis belia nan jelita yang bergelimang asmara, Sundari kerap digunakan sebagai sebutan untuk penyerebot kekasih orang. Terkadang huruf i di hilangkan, sehingga menjadi Sundar saja.

“Dasar, dia memang Sundari!”

“Padahal telah lama kita menjalin kasih, kenapa ia harus jatuh ke tangan Sundar macam dirinya!”

Apa Sundari begitu buruk hingga namanya lekat dengan orang serta kasih yang hilang?

Padahal dahulu Sundari hidup tenang,

Memang dahulu ia juga sumber perhatian,

Tapi ia hidup tenang dan dihujani kasih—

Yah, itu sebelum dusun ini akhirnya mengadili sendiri suaminya yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Menurut mereka, sangat tidak masuk akal seorang wanita pintar, seperti Sundari yang bekerja sebagai pendidik, memiliki suami yang lebih muda darinya. Pemuda berambut panjang itu hidupnya mungkin berkesan asal-asalan. Dandanannya serampangan, rambutnya berantakan dan panjang; padahal di dusun ini, sangat wajar bagi lelaki untuk memiliki rambut panjang. Banyak yang bilang tubuhnya bau tengik, dan ia jarang terlihat bekerja. Pada kedua tangannya, sering terdapat guratan-guratan warna. Berbeda dengan para petani pekerja keras yang terkadang tangannya diwarnai oleh tanah, warna-warna yang ada pada tangannya merupakan warna cerah yang tak mungkin didapatkan secara alami. Namun Sundari dan suaminya tetap dapat hidup dengan layak dan nyaman menggunakan upah mereka. Pasangan itu tak pernah meminjam uang, tak pernah mencuri.

Tak di sangka, orang-orang di dusun yang memandang bahwa agar dapat hidup berkecukupan harus digandrungi serta ditempa dengan kerja keras yang dapat dilihat oleh semua orang memandang bahwa dalam rumah tangga itu, hanya Sundari yang bekerja keras melayani suaminya. Sedangkan sang lelaki, menurut mereka, ambil enaknya saja dan kesehariannya sekedar leha-leha di teras rumah kayu mereka sambil merokok sebatang dua batang.

Mereka, terutama para bujangan, mencari-cari kesalahan pasutri bahagia itu.

Mereka kembali memanggil-manggil dan menggoda Sundari yang makin merapatkan kerudung hijau yang biasanya ia selampirkan apabila berjalan ke sekolah tiap pagi dengan kebaya sederhananya. Para bujang itu dipimpin oleh  Cak Topel yang istrinya lumpuh dan selalu ia tinggal sendiri dirumah. Mereka menungguinya tiap pulang, dan menghalangi jalannya kembali kerumah. Pernah sekali suaminya mengantarnya ke gedung sekolah reot itu, dan menungguinya sampai pulang. Sedihnya, ditengah perjalanan pulang ia babak belur dihajar  pemuda-pemuda berbadan besar itu—Setelahnya, Sundari melarangnya untuk sering menampakkan dirinya di depan warga dusun.

Yang harus dikagumi di sini adalah sifat pantang menyerah mereka. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjungkalkan Sundari dan suaminya dalam fitnah, sampai akhirnya mereka mencium sesuatu yang janggal dari rumah senyap mereka.

Bau tengik,

Ada yang bilang, jenis pesugihan macam tuyul sebagus apapun tetap akan mengeluarkan bau tengik atau busuk.

Mereka mulai menyambungkan hal ini dengan warna pada tangan suami Sundari,

“Itu tidak mungkin didapat dari bekerja di ladang.”

“Warna-warna itu pasti ramuan dukun.”

Dari situ, dapat dipastikan bagaimana Sundari dan suaminya dapat selalu hidup berkecukupan bahkan dengan uang mereka yang pas-pasan. Bujang-bujang berbadan besar itu segera menyebarkan cerita dan tuduhan-tuduhan yang membuat telinga panas. Sundari dan suaminya makin menarik diri dari warga dusun. Sundari bahkan berhenti mengajar setelah menemui kelas-kelas yang seharusnya ia ajar seringkali kosong, dan menemukan tatapan-tatapan sinis para ibu rumah tangga mengintipnya dari depan pagar kayu sekolah yang alakadarnya itu.

Entah kita harus bersyukur atau tidak, persembunyian itu tidak berlangsung lama. Pada sebuah malam bulan purnama yang lembab dan becek, Sundari melihat bola-bola cahaya dari jendela rumahnya yang ditutupi oleh anyaman jerami. Nyala api itu berasal dari berpuluh obor warga dusun yang berteriak-teriak dan menuntut Sundari dan suaminya agar mengaku bahwa mereka menggunakan pesugihan.

Sundari keluar sembari menyelampirkan kerudung hijaunya, diikuti suaminya yang rambutnya digelung tak rapih. Belum sempat mereka mengucapkan sepatah kata, para bujang menarik suami Sundari dengan menjambaknya dan melamparkannya ke tanah becek, menendangi pertunya, lalu menghajarnya seolah ia binatang peliharaan yang tak pernah patuh pada majikannya. Sundari hanya dapat menjerit dan menariki baju sejumlah laki-laki yang menghunuskan kepalannya pada tubuh kecil dan rapuh orang yang dicintainya. Setinggi apapun ia berteriak, suaranya seolah tenggelam dalam arus deras kebencian yang tak berdasar.

Jeritan untuk orang yang dikasihi itu lambat laun berubah menjadi jeritan untuk dirinya sendiri. Istri Cak Topel yang lumpuh rupanya merayap di tanah dengan sigap seolah laba-laba berkaki seribu, dan menarik bagian belakang kebaya Sundari sampai ia terjerembab ke tanah di mana ujung matanya menangkap sang suami yang rambutnya digunduli tanpa ampun dengan alat yang tak pantas. Saat menyaksikan adegan romansa sedih tersebut, wanita-wanita dusun menjambaki rambutnya, menampari pipinya dan menghajarnya tanpa ampun sambil menghujaninya dengan ludah-ludah mereka yang menasbihkan berpuluh hujatan menyayat hati. Setelah pasutri itu terkulai lemas di tanah musim hujan, barulah warga membumihanguskan mereka berdua yang tangannya tetap bergandengan.

Nasib naas, entah harus disyukuri atau tidak, menimpa suaminya yang terbakar hangus sepenuhnya. Sedangkan Sundari, dengan tubuhnya yang telah setengah terbakar, berhasil kabur dan hilang dari peredaran untuk beberapa saat.

Untuk beberapa saat,

Sampai lelaki yang menggoda, menghajar, membawa mereka pada keterpurukkan semuanya hilang satu persatu, termasuk Cak Topel.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau ronda, dan ditemukan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Orang-orang bilang bahwa ini Sundari yang menuntut balas. Meskipun entah di mana dirinya berada, ia masih tetap menghantui. Membayang-bayangi dengan perasaan bersalah yang menyakitkan bagi seluruh warga dusun,

Karena

Sundari dan suaminya tidak pernah melakukan pesugihan.

Dan, ah, itu cuma tipu muslihat para bujangan yang cemburu dan bersedih karena tak bisa mendapatkan Sundari dalam dekapan mereka sekeras apapun mereka berusaha. Entah sudah berapa lelaki dan lamarannya ditolaknya, ia justru jatuh hati pada pelukis bertubuh kecil yang sepuluh tahun lebih muda darinya.

Bagaimana amarah mereka tidak tersulut?

Seandainya warga dusun lebih mengenal bau cat dan minyak untuk melukis, mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk menuduh Sundari dan suaminya terkait pesugihan.

Ah, coba mereka masuk ke rumah kayu kecil itu sebelum main hakim sendiri. Mereka tak akan sekaget itu saat menemukan gubuknya penuh dengan cat dengan bau tengiknya, tumpukan kertas dan bahan bacaan, serta lukisan-lukisan yang masih dikerjakan.

Hilangnya para bujangan lalu diikuti dengan hilangnya murid-murid sekolah menengahnya, dan lelaki muda lainnya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan ini.

Sundari tidak berhenti.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau berjalan di pematang sawah, saat menantang diri mengaku “tidak takut dengan Sundari itu!” lalu ditemukan dengan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Sundari menyukai kerudung hijaunya yang hilang kala malam,

Kerudung tipis indah yang digunakan untuk menutupi kondenya—Yang direnggut paksa darinya lalu hangus rata dengan tanah.

Tapi Sundari lebih menyukai kehadiran,

Kehadiran suaminya dan tangannya yang bekerja melukis diam, kehadiran kerudung hijau yang melindunginya dari tatapan tajam, kehadiran murid-murid lelakinya yang dengan polos melontarkan lelucon serta godaan-godaan untuk Ibu Guru Sundari mereka, kehadiran anak-anakmu yang sombong.

Sundari menyukai kehadiran, dan itu merupakan alasan lain mengapa ia menggundul habis lelaki yang diculiknya, lalu mengupulkan rambut mereka yang ia sambung, anyam, serta kenakan dengan nyaman bak kerudung dan mantel bulu.

Maka dari itu, orang-orang yang melihatnya terkadang bilang kalau Sundari cumalah hantu; bayang-bayangnya selalu muncul dalam bentuk segumpal rambut menjelang malam.

Sundari lebih suka kehadiran,

Keadilan.

Tapi apa membalas dendam seperti ini juga salah satu bentuk keadilan?

Entahlah, ini pilihan hidup Sundari. Sudah kubilang kalau hatinya entah di mana.

Sekali lagi, Sundari bukanlah hantu. Ia manusia yang teraniaya sama seperti kita. Manusia yang disalahi.

Kalau dipikir lagi, bukannya setan terkejam adalah manusia sendiri?

Yah, itu sih sudah berpuluh tahun lalu. Entah apa jadinya Sundari sekarang. Sekarang lelaki cenderung berambut pendek, tak seperti dulu. Bayang-bayang Sundari kemungkinan tidak se beringas waktu itu, dan telah berkurang frekuensinya. Namun wanti-wanti mengenai dirinya terus ada dan berubah seiring berjalannya waktu, bervariasi.

Itu sudah
Berpuluh tahun lalu.
Mungkin sekarang ia telah jadi hantu sungguhan, atau ada perwujudan Sundari-Sundari lainnya?

Tidak masuk akal, ya?

Aneh, omong kosong, isapan jempol.

Kalau dipikir lagi, bukannya dunia ini selalu penuh omong kosong dan tangis dalam gelak tawa?
Vladimir Lionter May 2020
I

Imam Shamil who grew in mountains’
Region, valued all his life Liberty, spaciousness
Preferring to gold good deeds, after that
He turned the whole Caucasus into Imamat.

The imam joined the mountains’ peoples
Not in vain, he waged war the tsar’s Empire with,
And he said it’s better to die battle giving
Than to be a despised slave being living.

He could not find peace for many years,
And every day he led his Murids,
To battle, all the warriors got to know,
His spirit in battle under Ahulgo.

The imam was praised by the Persian shah,
His deeds carried the good will of Allah!
And if you permit me, reader, we will
Open all Shamil’s exhortation’s will.

Any part here’s a small story true,
Ignorance’s always decay, dust anew.
I am sure it may happen one day that
Wisdom can prove useful to your mind.




II

How many years have passed after that
When Shamil happened to drive subject at?
He wanted to make his children understand,
It isn’t worth speaking with any drunkard.

He said: “Once the Murid was walking
And found a drunkard under the tree lying,
“Get up!”the Murid cried at him, indeed,
“You can’t drink so if you are Shiit!””

That drunkard looked at him by a glass glance
As if he were not working at wall, the man chance.
The Murid asked  him: “How dare you live so?
Allah prohibited us to drink long ago!”

The drunkard answered him: “I mind my own business,
Let a ban be placed on it a hundred timed. Yes!”
That drunkard forgot the truth of the Koran,
The mind stuck in that argument as the mutton.

If only you look at it from  the sides all,
This parable’s sense’ll be single after all,
Discourse is bad with an inadequate
Person, it’s like talking to the wall, indeed.  

III

Everybody knew one language once,
Every  beast got used to association, at last.
And every beast studied language that
The bear used the bull as brother to understand.

Once walked the fox, the wolf and the lion to get
Dinner—to the nearest country  cattle- shed,
In which there was a mutton at that moment
He died in battle from wounds the lion rendered.

But how our heroes  to live now?
And to share their  legal dinner how?
As beasts’ tsar the lion began the food’s sharing,
The wolf took food a bit prudent become having?

Beasts’ brave tsar began to fight with him,
However, the fox was the sliest thing,
And that slyness saved her, after all,
She took the mutton to her own hole.  
  

IV

Once upon a time there lived
Father who most of all his children loved,
Two kind, twin brothers—one and another
One were th’splitting images of their father

The brothers yielded each other in nothing,
They were matched for each other in everything
They were in power to shoot as snipers,
And as Dzigits to ride as no one else/

Suddenly the foe came to their aul as
The conqueror. And Naib took  father’s
Sons with him and any of the brothers
Wanted damask steel to cut heads off shoulders.

But their father had an only sword,
In old times being young and naïve he chopped
His foes by it, and his sons anyway
Had to buy a sword to enter Naib’s array.

The sword bought was shining as emerald—
A master foreign worked at it too hard,
He covered its haft with gold thinnest—
Then that damask steel was very expense!

One brother took that foreign sword with
Him, another one took his father’s
Sword that turned out to be the safest,
Battles years verified safety its.

But the first brother told him: “I’ll bid
Defiance to shaitan himself, indeed!
It is all nothing to me having such
A new sword, I am making of it much!”

But his beloved brother did not agree
With him:”I’m madly glad to hear it but, you see,
By mastership the warrior always wins,
Then the sword plays important role its.”

After battle he came home native with
Father’s sword and grandfather’s shield, arm’s use is
Not in its charms, we need to know it,
The dead brother came back upon his shield.  



V

Once upon a time there lived an old
Man, my teacher, besides, the wiser called
Jamalutdin. When I was ten years,
He gave me a piece of priceless advice:

“Do always respect all people, please, but
At times against something  yourself regard,
Altruism and excessive toil’ ll wear out
Your organism, mind it in no flat!”

At early dawn do your morning exercises
And always sweep the yard by your own house
And then run perkily after the herd,
Health striving for something more is for what?”

And I have been following his example since
Then—I’m not afraid of cholera’s viruses,
Although I’ve been over forty for a long
Time, I’m the strongest of the same age persons among.

VI

God’s not the assistant of all our deeds,
Although we accuse him of our sins,
As our wise men do always tell us:
We all are our fates’ smiths  to the last.

Now and then we envy the rich’s receipts,
To our names when we don’t have copecks,
Now and then we ourselves’re guilty in
Our constant poor life bearing.

Now and then we waste our lives
Gifting our own youth to holidays,
Strong drinks’ drunkenness is always luring us
We are living not setting goals, alas.

VII

Once Basangur walked with me on mountains—
We walked together to Benoi, aul his,
A beautiful wife happened to meet us,
He was crazy about her to the last.

He was fascinated by her eyes’ blackness,
To describe her—there were not enough phrases!
There was not a nicer girl in the whole Caucasus
And then she met cordially her guests.

Ten years passed since then, and there weren’t
Letters from Basangur too of old,
Allah settled everything in his fate—
Gazi- Muhammed took him to his estate.

Basangur was ready for everything—
In the name of Allah he was chopping
His foes and in battle he lost his hand
And an eye of his was once knocked out.

A year after troubles came to the house:
The cannon- ball tore off his foot at once,
Our naib was taken as a prisoner
By crafty foes. Shamil saved him an hour after.

The Murids delivered him home, he had
Only one foot and only one hand,
But he was living laid by one wall
And whispered: “To die’s terrible on the whole!”

“You won’t die!” wife answered him, “the war has
Made you the *******! But remember just:
You are a beloved husband in my fate!
I won’t quit you in trouble, my honey friend!”

But Baisangur said: “You are still nice and young,
For all men you are dream’s chosen one!
I’m burden to you with all my wounds,
Do quit me, and find your own happiness!”

His wife said bending her head: “My honey,
I must say, you are not too courteous to me—
It is inscribed to both of us by fate
To be together until our death’s date!”



VIII

A sufiy who did read a lot of books
To people’s praise and honor did get use
As noticed once an aksakal old:
He  thought he was the brightest in the world.

He gave people pieces of advice,
How to live, to love, to have a very nice
Time, there were not people in the aul at all,
Who he did not happen to advise this all.

But misfortunes came to him at one time in the past:
He run out of water in his well to the last,
But he was proud to ask for help others,
Though it’s impossible to live without water’s wealth.

He lived without water for four days,
To be thirsty is to be without a fire’s
Life being proud of himself he did not ask
For help he gave up the ghost, alas!

IX

An Iranian shah did love to hunt
Allah always with favour did regard
Him. The shah always caught a lot of game
And never empty- hand he home came.

A falcon was presented him once
From the town called proudly Shiraz,
The falcon from Shiraz on the branch was sitting
And even no once having  taken wing.

The Iranian shah was very much surprised
And the master on birds was invited,
He had to reveal the secret of the bird’s
Not being able to fly afterwards.

And that master cut off the brunch off the tree,
And suddenly the falcon soared in its free
Flight, now and then to soar from happiness,
It’s necessary for us to change our lives!


X

In the world there lived so long a wise man,
He kept so many mysteries, information’s mine,
And once I had dinner together with
Him and he did tell me a story of his.

He was young and he wanted to understand
Life and he had a goal to succeed it and
The globe’s being round his being
Ignorant in  his trying its edge reaching.

All his life he walked through woods, mountains
He got through a hundred countries seeing wonders ,
He met his future wife  being on his way,
And he led her to his dream one day.

And he walked so in forty years’ course,
Absolutely grey, he understood the Earth
Had no edge, it’s terrible to live
With a beloved wife by dream deceiptive.

XI

Shamil gave children some paper’s sheets, and
Everybody was ready to write,
The imam said: “Turn over your sheets, please,
And describe your reverse sides’ appearance. ”

The sons saw on each side black smudge’s traces
Be visible in their paper’s sheets’ centres,
And each of them began to describe in prose
How he could, what was like that spot, of course.

In the smudge one saw woods and mountains,
Another one saw wide spaces at once,
The third one gold and stones,
And father said with grief: “I must say, of course,

I absolutely agree with you, children, but
Only your world is so diverse and
You can’t see mountains’ peaks in the spot
Without describing space’s graying world!

You have described only your spot, but it
Is scanty on each of your paper’s sheet
On shallow misfortune concentrating
Then Life and happiness’ll avoid your being.”

XII

One bourgeois loved just wealth, and all his
Life he just laid up coins valuing his
Granary. He could not live calmly a day
Not to increase some more silver, anyway.

But his income was a dishonest thing,
He drove profit from everything
To obtain always super- profit for wealth,
He was ready to sell his own parents.

He came to the temple—to pray to the skies
For everything what haram denies.
But he wished to become more prosperous,
Praying, he dreamt of to own gold countless.

Then opened wide before him  the skies,
And suddenly came into force wonders.
The rich man got petty as he was, a coward
He turned into green moustashe, that is the plant.

XIII

The Dzhigit happened to win the races,
The lucky man won one of the greatest
Prizes. All those stones would be enough
For him to live comfortably his all life.

Suddenly he met a woman on his way
Sobbing she did tell him on that very day:
“You’ve won a prize exactly, I know it,
Will you help me? Mum’s dying now, indeed.”

Believed he her, gave her all his values
And he did not learn of cheat bad piece of news
At once when friends came to meet him he told
The following to all his comrades old:

“Now I feel sorry for nothing, there is
No ill man, of the doctor worrying’s needless,
That’s why I’m so mad from happiness,
Because of having such ever- beloved friends!”

  
XIV

Allah told us to love our mothers,
He may punish all of us for love’s absence.
She does not know any dearer things
Than her beloved children’s stolen glances.

My great- grandmother lived  for a hundred years—
She was wise and was full of happiness.
Once I asked her reading my grammar:
”In what’s your secret, dear, great- mother?”

“My Shamil”, then her answer followed,
“My eyes’ light, there is no secret.”
“But how can you do tell me, please, live,
As young at all not knowing any grief?”

“I’ll never leave my dear people in
Trouble, I live a grudge never nursing,
In my heart I mark always all my good deeds!”
My great- grandmother was such full of kindness.
  

XV

“Here I’ve finished the cycle of parables,
Thank you for hearing out their sense!
Fairy- tales, though, far from true, teach good lads,
Dzigits, let tale a lesson teach them, thus.”

I told of what father, grandfather knew, there
Are no fables created by the Lord, wiser.
The East’s whole wisdom is coming to the same—
The prophet’s all saint thoughts, intentions on them.

And his stories’ thread having accomplished,
The imam Shamil stopped speaking if  did
His doctrine happened to reach all souls—they
Understood exhortation’s wisdom one day.
{2019}

1. Ahulgo’s assault is a military operation conducted by the “Chechen” detached forces of the Separate Caucasus corps of the Caucasus army under the general- lieutenant Grabbe’s command, the aim of which was the imam Shamil’s Headquarters’ blockade and capture, the very Headquarters that were situated in the aul called Ahulgo on the plateau of the same name in Dagestan. The assault happened in July- August in 1839 and it lasted in 80 days’ course.
2. Gazi- Mohammed’s philosophy’s followers seeking for purification from sins by means of sacred war for faith against the Russians were called the Murids. The Murids can be translated as “seeking for the way of saving”. Muridism doesn’t differ from classical Islam in rites and philosophy.
3. Jamaluddin Kazi- Kumuh (1788, or 1792, Kumuh- 1866, Istanbul) is Dagestani spiritual and public agent, scientist, Nashkabad tericat’s sheih, the imam Shamil’s tutor.
4. Baisangur Benoe. Chechnya’s national hero. The imam Shamil’s Naib. By 1846 he had lost his hand and eye in battle, and in 1847 in battle for Gergebil his foot was torn off by the cannon- ball. According to the people’s  legend he could not hold on to the saddle and he was tied to the horse.
5. Gazi- Muhammad (Gazi- Muhammed) is Dagestan’s first imam, a Muslim scientist and theologian, the Montagnards’ Weyrleader in fight against the Russian Empire.

НАСТАВЛЕНИЯ ИМАМА

I

Имам Шамиль, что вырос в крае гор,
Ценил всю жизнь свободу и простор,
Предпочитал дела благие злату
И весь Кавказ он сделал имаматом.

Народы гор имам сплотил не зря,
Ведь вёл войну с Империей царя.
И говорил, что лучше смерть в бою,
Чем быть рабом презренным жизнь свою.

Не находил он много лет покой
И каждый день водил мюридов в бой.
Узнали все бойцовский дух его,
Когда был дан им бой при Ахульго. ¹

Хвалил имама и персидский шах –
Благоволил в делах ему Аллах!
И с твоего, читатель, позволенья
Откроем мы Шамиля наставленья.

Любая часть здесь – маленькая быль.
Всё, кроме знаний – это тлен и пыль!
Уверен я: возможно, так случится,
Что мудрость эта в жизни пригодится!

II

Как много лет уже прошло с тех пор,
Когда Шамиль вёл этот разговор.
Своих детей хотел он вразумить –
Не стоит зря с нетрезвым говорить.

Он говорил: «Мюрид² однажды шёл
И пьяного под деревом нашёл.
«Давай вставай! – вскричал ему мюрид –
Нельзя так пить, уж если ты шиит!»

Стеклянным взглядом пьяный тот смотрел,
Как будто был и вовсе не у дел.
Мюрид ему: «Как смеешь ты так жить?!
Нам запретил Аллах в Коране пить!»

Ответил пьяный: «Мне и дела нет,
Пусть сотню раз наложен был запрет!»
Ведь позабыл тот пьяный про Коран.
Мюрид увяз в том споре как баран.

Со всех позиций, как тут ни взглянуть,
Единой будет притчи этой суть:
С неадекватным дискурс будет плох –
Ведь смысла нет об стену бить горох!»

III

Когда-то знали все один язык,
И каждый зверь к общению привык:
И зверь любой язык тот изучал –
Медведь быка как брата понимал.

Однажды шли лисица, волк и лев –
Добыть обед – в ближайший сельский хлев.
В котором был на тот момент баран.
Он пал в бою тотчас львиных ран.

Но как теперь героям нашим быть
И свой обед законный разделить?
Как царь зверей, делёжку начал лев.
Волк взял кусок, немного обнаглев.

С ним драться стал отважный царь зверей,
Лиса была однако всех хитрей.
И хитрость та её и тут спасла:
Лиса в нору барана отнесла.

IV

Жил-был отец: два сына у него.
Любил он их всегда сильней всего.
Два добрых брата – брата-близнеца
Лицом и телом списаны с отца.

Не уступали брата два ни в чём –
Равны друг другу юноши и во всём!
Они могли как снайперы стрелять
И на конях джигитами скакать.

Нежданно враг пришёл в аул войной.
Наиб берёт сынов отца с собой.
И каждый брат булатный хочет меч –
Срубить врагам голов побольше с плеч.

Но у отца был меч всего один –
Рубил врагов по молодости им.
Пришлось второй меч братьям покупать,
Чтобы войти в наибовскую рать.

Меч покупной блестел как изумруд –
В него вложил заморский мастер труд:
Он рукоять покрыл тончайшим златом –
Был дорогим тот меч тогда булатом!

Взял брат один заморский меч с собой,
И меч отца себе забрал другой.
Отцовский меч надёжнее всего,
Ведь годы битв проверили его!

Но первый брат сказал тогда ему:
«Шайтану вызов брошу самому!
С таким хорошим новеньким мечом
Мне даже он, пожалуй, нипочём!»

Но возразил ему любимый брат:
«Я за тебя всегда безумно рад,
Но воин побеждает мастерством,
А меч свою играет роль потом».

Он после битв пришёл в родимый дом –
С мечом отца и дедовским щитом,
Оружья прок совсем не в красоте –
Погибший брат вернулся на щите.

V

Давно в ауле старец жил один –
Учитель мой, мудрец Джамалутдин.³
Когда мне было где-то десять лет,
Джамалутдин бесценный дал совет:

«Не только всех людей ты уважай,
Но и себя порой оберегай,
Ведь альтруизм и непосильный труд
Твой организм в два счёта перетрут!

Зарядку делай рано на заре
И подметай у дома во дворе.
Беги задорно ты потом за стадом,
Ведь для здоровья большего не надо!»

С тех пор беру с учителя пример –
Мне не страшны все вирусы холер.
Хоть мне давно уже за сорок лет,
Средь сверстников меня сильнее нет!

VI

Не Бог помощник нам во всех делах,
Хотя его виним порой в грехах.
Как говорят нам наши мудрецы,
Своей судьбы мы сами кузнецы!

Завидуем богатым мы порой,
Когда гроша у нас нет за душой.
И в том, что мы бываем небогаты
Порою сами сильно виноваты.

Порой мы жизнь  растрачиваем зря,·        
Всю молодость лишь праздникам даря,
Ведь манит нас напитков крепких хмель,
Мы жизнь живём, совсем не ставя цель!

VII

Раз Байсангур⁴ гулял в горах со мной –
Мы шли вдвоём в его аул Беной.
Встречала нас красавица-жена.
Он от неё был просто без ума.

Пленяла чернота красивых глаз:
Чтоб описать её – не хватит фраз!
На всём Кавказе девы нет милей!
Она радушно встретила гостей.

Прошло с тех пор примерно десять лет.
От Байсангура писем вовсе нет.
Аллах устроил всё в его судьбе –
Гази-Мухаммад5 взял его к себе.

Был Байсангур на всё всегда готов –
Во имя веры он рубил врагов.
Но без руки в бою остался он
И глаз ему проколот был штыком.

А через год пришла беда вновь в дом:
Одна нога оторвана ядром.
Врагом коварным наш наиб пленён,
Но через час Шамилем был спасён.

Мюридами доставлен он домой.
С одной рукой, ногой, но сам живой!
Был у стены положен он поспать
И прошептал: «Как страшно умирать!»

«Ты не умрёшь! – ответила жена –
Тебя калекой сделала война!
Любимый муж, ты всё в моей судьбе!
Я не хочу бросать тебя в беде!»

А Байсангур: «Ещё красива ты –
Для всех мужчин – избранница мечты!
Я – груз тебе с ранением своим.
Бросай меня – счастливой стань с другим!»

Жена сказала, голову склонив:
«Хороший мой, не очень ты учтив –
Нам вместе быть начертано судьбой
И только смерть разлучит нас с тобой!»

VIII

Один суфий, читавший много книг,
К людским хвалам и почестям привык.
Как аксакал один о нём заметил,
Считал себя умнее всех на свете!

Давал советы людям, как им жить:
Как отдыхать, работать и любить.
Людей в ауле не было и нет,
Которым он не дал бы свой совет.

Но как-то раз случилась с ним беда:
В колодце вдруг закончилась вода!
Но он был горд, чтоб помощи просить,
Хоть без воды нельзя на свете жить!

Он без воды прожил четыре дня.
Жить без воды – как в холод без огня!
Гордясь собой, помочь он не просил
И гордый дух от жажды испустил!

IX

Иранский шах охотиться любил –
Ему Аллах всегда благоволил:
Ловил шах много всякой разной дичи –
Не приходил домой он без добычи.

Ему подарен сокол как-то раз
Из города с названием Шираз.
Сидел на ветке сокол из Шираза
И не взлетел за целый год ни разу.

Иранский шах был очень удивлён,
И был по птицам мастер приглашён.
Он должен шаху был раскрыть секрет –
Как так летать у птицы воли нет?

А мастер тот лишь веточку срубил,
Так сокол вдруг немедля воспарил.
Порою, чтоб от счастья воспарить
Нам нужно что-то в жизни изменить!

X

Один мудрец на свете долго жил –
Он много тайн и мудростей хранил.
И как-то раз, когда я с ним обедал,
Старик свою историю поведал:

Он юным был и жизнь хотел постичь –
Поставив цель, желал её достичь.
О том, что кругл шар земной не зная,
Желал дойти он до земного края.

Он шёл всю жизнь чрез горы и леса,
Прошёл сто стран и видел чудеса.
В пути он познакомился с женой –
К своей мечте её повёл с собой!

Так шёл и шёл ещё он сорок лет.
Совсем седой, он понял: края нет.
Не страшно жить обманчивой мечтой,
Когда жена любимая с тобой!

XI

Шамиль дал детям несколько листов –
И каждый был писать уже готов.
Сказал имам: «Листы переверните,
Вид стороны обратной опишите».

Глядят сыны: у каждой стороны
По центру кляксы чёрные видны.
И каждый стал – той прозой, кто как может,
Описывать на что пятно похоже.

Один в пятне увидел лес и горы,
Другой узрел широкие просторы.
Увидел третий злато и каменья,
Отец сказал, однако, с огорченьем:

«Я с вами, дети, полностью согласен,
Но только мир наш столь разнообразен:
Нельзя, увидев в точке пики гор,
Не описав, седеющий простор!

Вы описали только лишь пятно,
Но на листе так мизерно оно!
Зациклившись над мелкою бедою,
Пройдёте жизнь и счастье стороною!»

XII

Один буржуй богатство лишь любил –
Всю жизнь свою монеты он копил.
Не мог ни дня спокойно он прожить
И серебра себе не приумножить!

Но был доход нечестный у него –
Он извлекал богатство из всего.
И чтоб всегда сверхприбыль получать,
Он был готов продать отца и мать.

Он в храм пришёл – молиться небесам,
Ведь делал то, на чём лежал харам.
Но он хотел стать более богатым –
Молясь, мечтал владеть несметным златом.

Над ним тогда разверзлись небеса.
Вдруг начались сплошные чудеса:
Богач мельчал, поскольку сам был трусом,
Растеньем стал – златым зелёным усом!

XIII

Один джигит на скачках победил.
Огромный приз счастливец получил.
Ему хватило всех бы тех камней
Безбедно жить до самых крайних дней.

В пути вдруг встретил женщину джигит.
Ему она, рыдая, говорит:
«Ты выиграл приз – я это точно знаю.
Поможешь мне? Ведь мама умирает…»

Поверил он и ценности отдал.
И про обман не сразу он узнал:
Когда друзья пришли на встречу с ним,
То он сказал товарищам своим:

«Теперь я не жалею ни о чём:
Больного нет – не надо за врачом!
И потому безумно счастлив я,
Что есть со мной любимые друзья!»

XIV

Велел Аллах любить родную мать –
За нелюбовь он может покарать.
Ведь для неё дороже нет на свете,
Чем добрый взгляд, какой даруют дети.

Прабабушка сто лет моя жила –
Она мудра и счастлива была.
Спросил я раз, грамматику читая:
«В чём твой секрет, прабабушка родная?»

«Шамиль ты мой!» – последовал ответ. –
Мой свет очей, секрета вовсе нет!»
– «Но как же ты – почти как молодая
Живёшь сейчас, про горести не зная?»

– «Своих родных не брошу я в беде,
Обиды все пишу я на воде –
Пишу на сердце добрые дела!»
Такая вот прабабушка была!

XV

«Вот и окончен цикл притч моих –
Благодарю, что выслушали их!
Пускай они и ложь, но в них намёк –
Джигитам всем и молодцам урок!

Я рассказал, что знали дед с отцом.
Мудрее притч не создано Творцом.
В них сведены все мудрости Востока,
В них святость дум и помыслов Пророка!»

И завершив своих историй нить,
Имам Шамиль закончил говорить.
Достигло душ детей его ученье –
Они постигли мудрость наставленья!

{16.04.2017}



1. Штурм Ахульго — военная операция, проведённая силами «Чеченского» отряда Отдельного Кавказского корпуса Кавказской армии под командованием генерал-лейтенанта Граббе, целью которой была блокада и захват ставки имама Шамиля в ауле Ахульго, расположенном на одноимённом горном плато в Дагестане, происходившая в июне-августе 1839 года и продлившаяся 80 дней.

2. Последователи учения Гази-Моххамеда, искавшие очищения от грехов путем священной войны за веру против русских, назывались мюридами. «Мюрид» в переводе на русский – "ищущий путь к спасению". Мюридизм не отличался от классического ислама ни в обрядах, ни в учении.

3. Джамалуддин Кази-Кумухский (1788 или 1792, Кумух — 1866, Стамбул) — дагестанский духовный и общественный деятель, учёный, шейх накшбандийского тариката, учитель имама Шамиля.

4. Байсангур Беноевский — национальный герой Чечни. Наиб Имама Шамиля. К 1846 году в боях он потерял одну руку и один глаз, а в 1847 году в боях за Гергебиль ему пушечным ядром оторвало ногу. Согласно народным преданиям, чтобы он мог держаться в седле его привязывали к лошади.

5. Гази-Мухаммад ( Гази-Моххамед) – первый имам Дагестана, мусульманский учёный и богослов, предводитель кавказских горцев в борьбе против Российской империи.

Translator - I. Toporov
Sebelum 07 Oktober adalah normal lama.
Orang orang Gaza masih punya kehidupan.
Kehidupan yang telah menjadi masa lalu.
Masa lalu yang hanya bisa dikenang.

Hassan selalu senang tiap jumat siang.
Setelah shalat jumat dia bisa makan enak bersama keluarganya.
Lalu bersantai di tepi pantai hingga sore.
Itulah normal lama Hassan.

Tiap hari Asmaa bersemangat mengajar.
Pelajaran bahasa Arab untuk sekolah dasar.
Murid muridnya selalu berisik di dalam kelas.
Itulah normal lama Asmaa.

Samara selalu merayakan ulang tahun anaknya.
Dia membuat kue **** dan memasang hiasan lucu.
Boneka besar menjadi hadiah untuk anaknya.
Itulah normal lama Samara.

Tiap sore Mai selalu menyetir mobilnya.
Pelan pelan melewati jalan Al Rashid yang ramai.
Sambil melihat lihat suasana tepi pantai.
Itulah normal lama Mai.

Mustafa sibuk bekerja siang malam.
Mengumpulkan uang untuk membayar dowri.
Agar dia bisa secepatnya mengawini gadis pujaannya.
Itulah normal lama Mustafa.

Fadi selalu begadang tiap malam.
Saat listrik menyala dia sibuk melakukan banyak hal.
Mengecas laptop , mengetik makalah , mencuci baju dan lainnya.
Itulah normal lama Fadi.

Tiap hari Mariam selalu sibuk.
Pagi hingga sore dia berada di kantor.
Bekerja mengurusi periklanan dan digital marketing.
Itulah normal lama Mariam.

Heba selalu senang belanja di pasar.
Dia membeli daging , sayuran , buah buahan dan bumbu masakan.
Saat tiba di rumah dia langsung bersemangat memasak.
Itulah normal lama Heba.

Saat pagi Yousef sering pergi ke dermaga.
Dia melihat laut sambil menghirup udara segar.
Lalu membeli banyak ikan yang baru ditangkap nelayan.
Itulah normal lama Yousef.

Mohammed bertubuh kekar.
Tiap sore dia rutin pergi ke gym atau latihan tinju.
Terus berolahraga menjaga kebugaran tubuh.
Itulah normal lama Mohammed.

Lulus kuliah Abdullah masih menganggur.
Dia sering berhutang apapun di toko tetangganya.
Saat ditagih seperti biasa dia selalu menghilang.
Itulah normal lama Abdullah.

Keluarga Ali punya kebun olive.
Tiap musim panen dia selalu senang memetik olive.
Sambil makan manakeesh dan zaatar bersama keluarganya.
Itulah normal lama Ali.

Tiap malam Tareq sibuk belajar.
Dia ingin mendapat nilai tinggi saat ujian tawjihi.
Agar keluarganya merasa bangga padanya.
Itulah normal lama Tareq.

Ayahnya Omar bekerja di bengkel.
Dia sering memasang tabung gas untuk mobil.
Sopir sopir taksi tidak perlu membeli bensin.
Itulah normal lama ayahnya Omar.

Tiap menerima gaji Khaled merasa senang.
Dia selalu mengajak keluarganya makan enak.
Menyantap berbagai hidangan sea food di restoran Abu Hasira.
Itulah normal lama Khaled.

Wajah Eman selalu tampak cantik.
Dia rutin pergi ke salon melakukan perawatan.
Produk produk kecantikan juga dia beli semua.
Itulah normal lama Eman.

Ketika musim dingin Aya selalu senang.
Dia menghabiskan waktu membaca koleksi novelnya.
Sambil makan burger dan mereguk hangatnya sahlab.
Itulah normal lama Aya.

Tiap hari Walid selalu keliling Elsaraya.
Dia menyopir taksi mencari cari penumpang.
Sementara anak anak jalanan menjual tissue dan biskuit.
Itulah normal lama Walid.

Saat ada orang menikah Nassar selalu diundang.
Dia menjadi fotografer untuk memotret pengantin.
Pernikahan meriah di hotel dan resort tepi pantai.
Itulah normal lama Nassar.

Saat ramadhan toko Fatema selalu ramai.
Orang orang datang membeli berbagai kue buatannya.
Kaak , qatayef , baklava , kunafa dan lainnya.
Itulah normal lama Fatema.

Ketika hujan deras malam hari.
Kakeknya Ashraf selalu mendengarkan radio.
Menunggu lagu lagu Fairuz diputar sambil menghisap hookah.
Itulah normal lama kakeknya Ashraf.

Saat pertandingan El Classico.
Khalil dan teman temannya selalu pergi ke kafe.
Nonton bersama sambil bersorak sorak.
Itulah normal lama Khalil.

Huda kuliah literatur Inggris di Universitas Al Azhar.
Dia senang menghabiskan waktu di kampus.
Nongkrong di kantin atau baca buku di perpustakaan.
Itulah normal lama Huda.

Ketika musim panas Kareem tidak betah di rumah.
Dia sering nongkrong bersama teman temannya di tepi pantai.
Sambil makan jagung , kacang dan minum barrad.
Itulah normal lama Kareem.

Generator di rumah Shayma sering mati.
Biasanya dia keluar membawa laptop nongkrong di kafe.
Mereguk hangatnya mocca sambil mengunduh film dan anime.
Itulah normal lama Shayma.

Ayahnya Lubna punya kebun buah buahan.
Stroberi , jeruk , lemon , semangka dan kurma.
Tiap hari kebun itu selalu diurus secara telaten.
Itulah normal lama ayahnya Lubna.

Malak sering ikut kegiatan.
Pemberdayaan dan kreatifitas anak muda.
Dia belajar coding dan konten multimedia.
Itulah normal lama Malak.

Setelah lulus kuliah Zaina sulit mendapat pekerjaan.
Dia membuka kios kecil yang menjual falalel.
Orang orang selalu datang membeli falafel buatannya.
Itulah normal lama Zaina.

Dima punya banyak koleksi novel.
Dia sering membeli berbagai novel di toko Samir Mansour.
Lalu dia membacanya sambil berbaring di kasur.
Itulah normal lama Dima.

Tiap pulang sekolah anak anaknya Hussein selalu senang.
Mereka dibelikan Playstation agar bisa bermain game.
Ada balapan , pertarungan dan petualangan.
Itulah normal lama anak anaknya Hussein.

Tiap hari Reem selalu enerjik.
Dia menjadi instruktur fitness dan aerobik.
Tak mengherankan kalau tubuhnya tampak langsing dan kencang.
Itulah normal lama Reem.

Masa akhir kuliah Amal sibuk belajar.
Dia ingin segera lulus dengan nilai yang bagus.
Mendapat beasiswa kuliah ke Eropa adalah impiannya.
Itulah normal lama Amal.

Menjadi ahli bedah adalah pekerjaan Dr Ghassan.
Selama puluhan tahun dia menjadi dokter di rumah sakit Al Quds.
Walaupun gajinya tak seberapa tapi dia selalu semangat bekerja.
Itulah normal lama Dr Ghassan.

Ahmed dan keluarganya baru saja pindah ke apartemen.
Apartemen berfasilitas lengkap yang dibangun di tepi pantai.
Kehidupan terasa nyaman tanpa mengalami masalah apapun.
Itulah normal lama Ahmed.

Setelah lulus kuliah medis Aboud langsung bekerja di rumah sakit Al Shifa.
Dia senang bekerja dengan rekan rekannya yang penuh semangat.
Menyembuhkan orang orang dengan berbagai keluhan penyakit.
Itulah normal lama Aboud.

Kehidupan Mahmoud benar benar bahagia.
Dia tinggal di apartemen mewah bersama keluarganya.
Berbagai bisnis yang dia punya terus menerus untung besar.
Itulah normal lama Mahmoud.

Tiap hari Sham senang menghabiskan waktu di rumah.
Berkumpul bersama keluarganya menikmati kebersamaan yang menyenangkan.
Baginya keluarga adalah segalanya.
Itulah normal lama Sham.

Sondos kuliah hukum di Universitas Al Azhar.
Dia mempelajari hukum internasional dan hak asasi manusia.
Dia ingin Palestina yang terjajah mendapatkan keadilan.
Itulah normal lama Sondos.

Melukis adalah hobi Bayan dan Layan.
Mereka paling senang melukis langit seperti lukisan Van Gogh.
Bagi mereka langit menyimpan segala misteri yang tak diketahui manusia.
Itulah normal lama Bayan dan Layan.

Normal lama berakhir setelah 07 Oktober.
Orang orang Gaza tidak lagi punya kehidupan.
Hanya ada masa kini yang menyakitkan.
Dan masa depan yang terancam.


November 2024

By Alvian Eleven
Setelah 07 Oktober adalah normal baru.
Orang orang Gaza tak lagi punya kehidupan.
Kehidupan telah dihancurkan kekacauan.
Kekacauan panjang yang penuh penderitaan.

Tiap hari Hassan dan keluarganya terlunta lunta.
Menyusuri jalanan tanpa tahu harus kemana.
Tenda dan barang tertinggal di pengungsian yang hancur diserang.
Itulah normal baru Hassan.

Berkali kali Asmaa mendapat kabar buruk.
Murid muridnya telah tewas satu persatu.
Dia hanya bisa menangis teringat mereka.
Itulah normal baru Asmaa.

Samara sedih ketika anaknya ulang tahun.
Dia tak bisa membuat kue **** seperti biasanya.
Yang dia buat hanyalah lumpur berbentuk kue ****.
Itulah normal baru Samara.

Berbotol botol minyak goreng dibeli Mai.
Semuanya diisi ke dalam tanki mobilnya.
Setelah itu dia melintasi jalan Al Rashid yang penuh kehancuran.
Itulah normal baru Mai.

Mustafa sering duduk di tepi pantai.
Terus terusan termenung sedih sambil menangis.
Teringat gadis pujaannya yang tewas mengenaskan.
Itulah normal baru Mustafa.

Fadi sering kelelahan berjalan kaki jauh.
Mencari cari solar panel untuk mengecas laptop.
Dan juga tempat yang menjangkau internet.
Itulah normal baru Fadi.

Tiap hari Mariam selalu kelelahan.
Dia harus mengantri air dan mencari kayu bakar.
Setelah itu mencuci , memasak dan membersihkan tenda.
Itulah normal baru Mariam.

Tiap pergi ke pasar Heba selalu merasa jengkel.
Harga telur , ayam dan sayuran semakin naik tinggi.
Sementara dia kesulitan mendapatkan donasi.
Itulah normal baru Heba.

Yousef sering ikut nelayan ke laut.
Naik perahu sambil membawa jala untuk mencari ikan.
Tapi hanya sebentar di laut kapal perang datang menggempur.
Itulah normal baru Yousef.

Tiap melihat foto dirinya Mohammed selalu sedih.
Badannya kurus kering dan pucat kulitnya.
Akibat sering kelaparan dan kekurangan gizi.
Itulah normal baru Mohammed.

Abdullah selalu kesulitan mendapatkan donasi.
Dia sudah senang jika bisa membeli mie dan kopi.
Baginya itu menjadi suatu kemewahan.
Itulah normal baru Abdullah.

Tiap teringat kebun olive miliknya Ali selalu sedih.
Kebun warisan keluarganya itu sudah terbakar habis.
Tak ada lagi yang tersisa selain hanya kenangan saat musim panen.
Itulah normal baru Ali.

Melanjutkan sekolah online memang melelahkan.
Tiap hari Tareq harus berjalan jauh untuk mengecas laptop.
Dia juga sering kesulitan mendapat koneksi internet.
Itulah normal baru Tareq.

Gas dan bensin sulit didapatkan.
Satu satunya bahan bakar hanyalah minyak goreng.
Ayahnya Omar menjualnya di pinggir jalan.
Itulah normal baru ayahnya Omar.

Khaled dan keluarganya sering kelaparan.
Uang donasi tak menentu dan tak ada bantuan makanan.
Satu satunya yang bisa dimakan hanyalah makanan ternak.
Itulah normal baru Khaled.

Tiap melihat foto dirinya Eman sering menangis.
Wajahnya tampak kusut dan kecantikannya memudar.
Bibirnya yang kering tak bisa lagi tersenyum.
Itulah normal baru Eman.

Musim dingin Aya sangat menderita.
Dia meringkuk kedinginan di dalam tenda yang kehujanan.
Tak ada selimut atau apapun yang menghangatkan.
Itulah normal baru Aya.

Tiap hari Walid pergi kemana mana.
Naik kereta keledai mengantarkan orang orang.
Sambil berhati hati menghindari drone terbang.
Itulah normal baru Walid.

Kamera Nassar tampak kusam.
Tiap hari dia selalu menyusuri jalanan berdebu.
Yang dia potret hanya rombongan pengungsi dan mayat mayat bergelimpangan.
Itulah normal baru Nassar.

Ketika ramadhan Fatema merasa sedih.
Dia tak punya bahan untuk membuat kue.
Yang dia punya hanyalah sisa tepung penuh belatung.
Itulah normal baru Fatema.

Kakeknya Ashraf terbaring lemah di dalam tenda.
Sering berteriak ketakutan saat mendengar suara.
Ledakan demi ledakan bombardir pesawat jet dan helikopter.
Itulah normal baru kakeknya Ashraf.

Khalil sering menggerutu.
Tiap pertandingan El Classico dia tidak bisa nonton.
Yang bisa dia lakukan hanya membaca berita sepakbola.
Itulah normal baru Khalil.

Huda merasa lelah meneruskan kuliah online.
Sementara dia sering terkenang dengan kampusnya yang telah hancur.
Dan juga teman temannya yang telah tewas.
Itulah normal baru Huda.

Ketika musim panas Kareem sangat menderita.
Dia kepanasan di dalam tenda yang sempit.
Sementara di luar matahari benar benar terik.
Itulah normal baru Kareem.

Shayma kesal laptopnya rusak.
Dia tak bisa lagi menonton film dan anime yang sering dia unduh.
Sementara tukang servis laptop baru saja tewas.
Itulah normal baru Shayma.

Tiap pergi ke pasar ayahnya Lubna merasa sedih.
Sayuran dan buah buahan harganya naik tinggi tak terbeli.
Padahal dulu bisa dipanen banyak di kebun sendiri.
Itulah normal baru ayahnya Lubna.

Malak sering sakit sakitan.
Tak ada yang bisa dia lakukan selain hanya terbaring lemah.
Kehilangan semangat untuk melakukan apapun.
Itulah normal baru Malak.

Tiap sore Zaina selalu kelelahan.
Dia terus keliling tempat pengungsian menjual falafel buatannya.
Tapi hanya sedikit orang yang punya uang untuk membeli.
Itulah normal baru Zaina.

Saat merasa suntuk Dima sering menyesal.
Dia tidak membawa koleksi novelnya yang tertinggal di rumah.
Satu satunya penghiburan hanyalah mengingat berbagai cerita koleksi novelnya.
Itulah normal baru Dima.

Anak anaknya Hussein selalu kelelahan.
Tiap hari mereka menghabiskan waktu berjam jam.
Hanya untuk antri pembagian air dan makanan saat panas terik.
Itulah normal baru anak anaknya Hussein.

Tiap hari Reem selalu kelelahan kurang tidur.
Apalagi saat menstruasi dia benar benar menderita.
Sobekan tenda yang kasar dia jadikan pembalut.
Itulah normal baru Reem.

Amal telah kehilangan semangat dan harapan.
Tak sanggup meneruskan kuliah online di tengah kekacauan.
Rencana melanjutkan kuliah ke Eropa sudah dia lupakan.
Itulah normal baru Amal.

Dr Ghassan sering kebingungan.
Pasokan obat obatan di rumah sakit Al Quds semakin habis.
Sementara tiap hari puluhan orang dan anak  yang terluka terus berdatangan.
Itulah normal baru Dr Ghassan.

Ahmed dan keluarganya kelelahan bertahan hidup.
Berkali kali mereka pindah tempat pengungsian.
Setelah tenda tenda dibombardir pesawat jet dan helikopter.
Itulah normal baru Ahmed.

Saat tengah malam Aboud sering bersedih.
Dia menyesal tidak bisa menyelamatkan rekan rekannya di rumah sakit Al Shifa.
Mereka tewas dieksekusi massal hingga Aboud merasa sedih mengingatnya.
Itulah normal baru Aboud.

Tiap malam Mahmoud sering meratapi nasib.
Dia kehilangan segalanya tak punya apa apa lagi , tak punya siapa siapa lagi.
Dia sering mempertanyakan kenapa dirinya masih hidup.
Itulah normal baru Mahmoud.

Sham mengalami trauma parah.
Tatapannya kosong dan sering menangis.
Teringat keluarganya yang tewas dilindas tank.
Itulah normal baru Sham.

Saat malam yang dingin Sondos selalu menghangatkan diri.
Dia membakar tumpukan buku kuliahnya dengan rasa kecewa.
Baginya hukum internasional dan hak asasi manusia cuma ilusi belaka.
Itulah normal baru Sondos.

Tiap malam Bayan dan Layan tidak bisa tidur.
Di tengah bombardir pesawat jet tanpa henti mereka terus memandangi langit.
Berharap keajaiban akan mengubah keadaan.
Itulah normal baru Bayan dan Layan.

Normal baru menjadi masa kini yang menyakitkan.
Terlalu menyakitkan untuk dijalani selama setahun lebih.
Tak ada yang tahu kapan berakhirnya kekacauan panjang yang tak berkesudahan.
Terus menerus menghancurkan kehidupan dan mengancam masa depan.


November 2024

By Alvian Eleven

— The End —