Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Aridea P Oct 2012
Palembang, 21 Oktober 2012

Maaf kalo aku masih cengeng
Maaf kalo aku belum bisa mengontrol emosi
Tapi aku bener-bener ga kuat
Di kala hati ingin berhadapan dengan dia
Jemariku tak kuasa tuk menari di atas keyboard
Mengetik namanya, melihat fotonya
Menahan rasa malu yang ku bangun sendiri
Menahan rasa kembali ingin mencintai
Melawan pikiran yang berusaha tuk melupakan dia

Tetapi aku mengikuti rasa yang sangat ingin
Keinginan yang mustahil
Keinginan yang seharusnya tak ada di hati
Keinginan yang seharusnya aku sudahi
Keinginan yang sudah sepantasnya tuk mati
Tetapi, malah semakin kuat setiap hari

Aku menangis lagi,
dan itu sering
Maaf sekali lagi
at the end of the ticking time that rushing ..
i contemplate the expanse of despair that has passed ..
at the junction of desire that embroider serene ...
my hopes are pinned hard petrified ..

as i trudged up the ladder of life ..
you bolster me in order to stay ahead ..
when i am tired to hit hardest desire ..
you wash my sweat with exuberant embrace..
when i get wounded by the sharp of blade  of era ..
you wrapped me with sincerity ..

there's no string of words that look beautiful to me,
i spit all over the rhymester while reading pen script from your conscience ..
there's no shade of voice that sounded good to me,
i throw up the whole commercial hypocritical preacher when  hear advice  from your sincerely ..

if the shape of the grateful is exist,
then i will chisel your figure in a stretch of horizon ..
if a form of sincerity can be visible to the eye,
then i will paint your smile in the court of canvas twilight ..

my polite to my friend my angel,
i ask god,  salvation for you ..
i ask the cause of prime  substance , health for you..
because your happiness is an honor for me ..*

-the poetry is dedicated to a sincere friend of mine, Ha-

┈┈┈┈┈»̶·̵̭̌✽✽·̵̭̌«̶  ƦУ  »̶·̵̭̌✽✽·̵̭̌«̶┈┈┈┈┈┈┈┈


sahaba­tku malaikatku

dipenghujung waktu yang berdetak laju..
kurenungkan hamparan asa yang telah berlalu..
dipersimpangan keinginan yang menyulam syahdu...
kusematkan harapan yang keras membatu..

saatku tertatih menapaki tangga kehidupan..
engkau papah aku agar selalu terdepan..
saatku lelah menghantam kerasnya keinginan..
engkau basuh peluhku dengan rimbunnya dekapan..
saatku terluka terhunus tajamnya pedang roda jaman..
engkau balur perihku dengan sejuknya ketulusan..

tiada untaian kata yang terlihat  indah bagiku,
kuludahi seluruh pujangga  saat membaca  torehan pena aksara nuranimu..
tiada keteduhan suara yang terdengar merdu bagiku,
kumuntahi seluruh pendakwah komersial nan fasik saat mendengar tausyah tulus darimu..

apabila bentuk dari  bersykur itu ada,
maka akan kupahat figurmu dihamparan cakrawala..
apabila wujud ketulusan itu dapat terlihat mata,
maka akan kulukis senyummu dipelataran kanvas senja..

santunku untuk sahabatku malaikatku,
keselamatan bagimu kupintakan pada Penciptaku ..
kesehatan bagimu kumohonkan pada Dzat penguasaku
karena kebahagianmu merupakan kehormatan bagiku..
there's no sincerity that can be buried by the time and circumstances..
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
Noandy Jan 2017
Sebuah cerita pendek*

Saat itu mereka sering menonton Mak Lampir di televisi, dan mulai memanggil wanita yang merupakan nenek kandungnya dengan nama yang sama.

Nenek itu punya nama, dan jelas namanya bukan Lampir. Tapi apa pedulinya anak-anak itu dengan nama aslinya? Mereka tak pernah mendengar nama nenek disebut. Mereka sendiri yatim-piatu, dan dahulu, orangtuanya tak pernah mengajarkan nama nenek mereka. Tapi begitu melihat Mak Lampir di teve, mereka langsung mendapat ide untuk memanggil nenek sebagai Mak Lampir. Rambutnya nenek putih panjang dan tiap malam dibiarkan terurai, ia sedikit bungkuk dengan kedua tangan yang terlihat begitu kuat dan cekatan. Matanya senantiasa melotot—bukan karena suka marah, tapi memang bentuknya seperti itu. Yang terbaik dari nenek, meski giginya menghitam sudah, nenek selalu berbau harum karena suka meramu minyak wanginya sendiri. Mereka tidak takut melihat Mak Lampir—mereka justru kagum karena sosok itu mengingatkan pada nenek yang selalu menjaga mereka.

Si nenek sama sekali tidak keberatan dengan julukan itu, ia malah merasa nyaman. Disebut sebagai Mak Lampir membuatnya merasa seperti orang tua yang sakti, hebat, dan serba bisa. Nenek adalah Mak Lampir baik hati yang selalu mengabulkan permohonan cucu-cucunya, serta memberi mereka wejangan. Jenar dan Narsih sayang dan berbakti pada nenek. Nenek—yang sekarang berubah panggilan menjadi Mak—adalah dunia mereka. Dua gadis itu dapat menghapal tiap lekuk pada keriput Mak, menebak-nebak warna baju apa yang akan dipakai Mak pada hari mendung, bahkan mereka ingat betul kapan saja uban-uban Mak mulai bermunculan.

Mak awalnya tidak menyukai, bahkan hampir membenci, dua anak gadis yang harus diurusinya. Ia terlalu tua untuk melakukan hal ini lagi. Wanita  yang sudah tak ingat dan tak ingin menghitung usianya lebih memilih kembang-kembang di taman ketimbang Jenar dan Narsih.  Mak lebih memilih segala tanaman yang ada di rumah kaca sederhananya ketimbang dua cucunya.

Tapi saat sedang menyirami bunga matahari dan membiarkan Jenar serta Narsih bergulingan tertutup tanah basah, Mak merasa seolah ada yang membisikinya, “Sama-sama dari tanah, sama-sama tumbuh besar. Dari tanah, untuk tanah, kembali ke tanah.” Wangsit itu langsung membawa matanya yang sudah sedikit rabun namun tetap nyalang pada sosok dua cucunya yang sudah tak karu-karuan, menghitam karena tanah.

Sejak saat itulah Mak menganggap Jenar dan Narsih sebagai kembang. Sebagai kembang. Sebagai kembang dan seperti kembang yang ia tanam dan kelak akan tumbuh cantik nan indah. Harum, subur, anggun, lebur. Perlahan Mak mulai meninggalkan kebun dan rumah kacanya, perhatiannya ia curahkan untuk Jenar dan Narsih, yang namanya Mak singkat sebagai Jenarsih saat ingin memanggil keduanya sekaligus. Jenarsih dijahitkannya baju-baju berwarna, diberi makanan sayur-mayur yang sehat, diajarkannya meramu minyak wangi, bahkan diberi minum jamu secara terjadwal sebagaimana Mak menyirami bunga.

Kebun Mak perlahan-lahan melayu dan makin sayu. Saat matahari mengintip, tidak ada bebunga yang tergoda untuk mekar. Semuanya redup dan meredup, mentari pun meredup pula di kebun Mak. Karena sirnanya kembang dan embun, Mak tak lagi bisa memetik dari kebunnya untuk membuat wewangian khasnya. Mak jadi sering menyuruh Jenarsih untuk memborong bunga.

Tapi sebagaimana ada gelap ada terang, selepas kebun yang muram, kau akan memasuki beranda rumah di mana matahari tak henti-hentinya bersinar. Bagian dalam rumah yang ditinggali seorang nenek ranum dan cucu-cucunya itu melukiskan hari cerah di musim penghujan.

Di musim penghujan
Di musim penghujan
Musim penghujan
Membawa mendung dan kabut yang menyelubungi mentari.

Narsih jatuh sakit, ia terbatuk-batuk dan memuntahkan darah
Darah merah
Darah
Merah
Jenar selalu di sisinya dan melarang Mak untuk mendekat karena takut tertular.

Mak, meski tak lagi dapat menghitung umurnya, mati-matian menawarkan Jenar agar mau digantikan oleh Mak saja. Umur Mak tak bakal sebanyak Jenar, mending Mak saja yang di sisi Narsih, katanya. Tapi Jenar tak mau tahu, ia lebih memilih berada di sisi kembarannya ketimbang menuruti perkataan Mak yang biasanya tak pernah ia bantah. Semenjak itu mentari tak lagi menyembul. Kebun telah mati, rumah kaca tak lagi rumah kaca, beranda dingin, dan setiap hari adalah penghujan yang tak pernah mau pergi.

Hijau dan jingga hangat berubah menjadi rona kehitaman dalam hijau pucat. Ranting-ranting serta daun memenuhi jalan. Sesekali Mak mengantarkan makanan ke depan pintu kamar Jenarsih, tapi sebagian besar usia senjanya kini dihabiskan mengurung diri di kamarnya setelah Jenar ikut membatukkan darah.

Di suatu sore Mak tidak memperdulikan apapun lagi. Ia menghambur masuk ke kamar Jenarsih dan bersimpuh di bawah kasur kedua cucunya. Jenarsih tak punya tenaga lebih untuk menghalangi Mak, mereka hanya punya satu permintaan. Satu keinginan yang kira-kira dapat membuat mereka merasa lebih baik.

Dengan tersengal-sengal,
“Mak Lam, Jenar dan Narsih ingin bunga matahari.”
“Akan Mak belikan segera di pasar kembang.”
“Ndak mau, Mak. Ingin yang Mak tanam seperti dulu.”
“Nanti menunggu lama,”
“Kami ingin itu, Mak.”

Mak tak membalas berkata. Hanya mengangguk lemas dan bergegeas meninggalkan kamar kedua cucunya, bunga yang telah layu. Di tengah hujan, dengan punggung sedikit bungkuk, tangan yang kuat, wanginya yang digantikan oleh bau tanah, dan gigi yang menghitam meringis menahan tangis, Mak Lampir berusaha menghidupkan kembali kebunnya yang mati. Mak Lampir seolah mau, dan dapat membangkitkan yang mati.

Tapi Mak Lampir tak dapat menyembuhkan.

Segera dibelinya bibit bunga matahari, dan di tanam dalam rumahnya yang kini sunyi.

Mak Lampir sudah tak dapat mengolah minyak bunga yang membuatnya selalu harum,
Sudah tak dapat meminta Jenarsih untuk membeli bunga yang mewarnai rumah mereka,
Sudah tak dapat melihat warna selain hijau, hitam, dan coklat.

Mak Lampir, menangisi kebun yang dahulu ditinggalkannya.

Apa untuk mendapatkan sesuatu selalu harus ada yang dikorbankan? Dan kini kebun, kembang, ranting, dan rumah kaca menuntut balas?
Diam-diam Mak menyelinap ke kamar Jenarsih, diambilnya darah cucu kesayangannya dan ia gunakan untuk menggantikan wewangian yang kini tak dapat ia buat lagi—salah satu cara yang ia gunakan untuk mengingatkannya bahwa Jenarsih masih ada bersamanya.

Mak Lampir sudah tak tahu berapa lama waktu berlalu selama ia hanya memperhatikan bunga matahari milik Jenar dan Narsih. Bunga itu, entah karena apa, tak dapat tumbuh. Mungkin Mak telah kehilangan tangan hijau dan kemampuannya untuk berkebun. Mak kembali ke rumah dan melihat Jenar serta Narsih masih terlelap tak bergerak, lalu ia ambil lagi sebotol kecil darah untuk menjaga wangi tubuhnya.

Ia tahu itu akan membuatnya sakit, dan hal ini akan dapat membuatnya merasakan penderitaan Jenarsih. Wanita tua yang rambut putihnya memerah karena darah kedua cucunya itu terheran-heran mengapa ia tak merasakan sakit di manapun kecuali di hatinya. Pedih di hati saat melihat Jenarsih.

Dibelinya lagi lebih banyak tanah dan bibit bunga matahari. Mak Lampir harus menemukan ramuan yang tepat untuk menumbuhkan bunga matahari yang sempurna. Bunga matahari hasil tanamnya sendiri yang akan membuat Jenarsih baikan. Mak tidak membawa jam, apalagi kalender. Mak hanya mengandalkan matahari untuk menyirami bunga mataharinya sendirian di rumah kaca kecil kumal sambil memakan dedaunan kering.

Di tengah malam, Mak yang kuat menitikkan air mata pada ***-*** bunga matahari di hadapannya. Berbotol-botol kecil minyak wangi dari darah Jenar dan Narsih perlahan ia teteskan pada *** yang tak kunjung berbunga juga. Perlahan, perlahan, perlahan. Lalu lambat laun menyesuaikan dengan jadwal menyiram bunga matahari yang seharusnya.

Dari tanah kembali ke tanah,
Dari tanah untuk tanah,
Dari tanah kembali ke tanah.

Desir angin menggesekkan dedaunan, membuat Mak mendengar bisikan itu lagi dan terbangun.
Mak mengusap matanya yang seolah mencuat keluar dan melihat bunga-bunga matahari berkelopak merah menyembul, mekar dengan indah pada tiap potnya. Hati mak berbunga-bunga. Bunga matahari merah berbunga-bunga. Matahari Jenarsih berbunga-bunga.

Tangan kuat Mak segera menggapai dan mencengkram dua *** tanah liat dan ia berlari memasuki beranda rumah yang pintunya telah reot. Dari jauh sudah berteriak, “Jenar, Narsih, Jenarsih!!”
Mak seolah mendengar derap langkah dari arah berlawanan yang akan menyambutnya, tapi derap itu tak terdengar mendekat. Maka berteriaklah Mak sekali lagi,

“Mak bawa bungamu Jenarsih! Bunga matahari merah yang cantik!”

Lalu Mak dorong dengan pundaknya pintu kamar Jenarsih yang meringkik ringkih,
Mak terdiam memeluk *** bunga,
Jenarsih terlelap seperti terakhir kali Mak meninggalkannya,

Sebagai tulang belulang semata.

                                                            ///

Aku menutup laptop setelah menonton ulang episode Mak Lampir Penghuni Rumah Angker yang aku dapat dari internet—episode yang membawaku kembali ke masa kecil saat Misteri Gunung Merapi masih ditayangkan di teve, dan aku menonton dengan takut. Di tengah kengerianku, ibu malah menceritakan kisah tentang Mak Lampir dan bunga matahari yang diyakininya sebagai kisah nyata.

Sekarang episode sinetron itu tak lagi membuatku bergidik, malah tutur ibu yang masih membekas. Kisah itu seringkali terulang dalam alam pikirku, terutama saat melirik rumah reot tetangga di ujung jalan yang dipenuhi dengan bunga matahari merah.


Januari, 2017
Aridea P Nov 2011
Palembang, 28 JULI 2011

Ya Allah,
Kamu tau nggak setiap hari aku selalu sakit?
Kamu tau nggak BESAR banget keinginan aku buat ketemu Westlife?
Kamu tau nggak setiap detik aku pengen punya BB?
Kamu tau nggak setiap hari aku nunggu pesanan yang aku minta sama Kamu?
Kamu tau nggak aku selalu ingin terusmenyembah-Mu?

Tapi mengapa Engkau masih musuhi aku?

Jawab pertanyaan aku ya Ya Allah :)
Aridea P Oct 2011
Terbayang akan wajah mu
Saat pertama kau tersenyum kepada ku
Tubuhku terasa diam terpaku
Tak terucap sepatah kata dari mulutku


Di hadapanmu dulu
Ku sesali saat ku keluh
Keinginan untuk bersamamu
Kini hancur bagaikan debu


Betapa hancurnya hatiku
Berkeping-keping saat kau tinggalkan aku
Yang ku mau kini selalu
Jangan pernah lupakan aku
Aridea P Oct 2011
Aku menangis, padahal tak ada yang harus ditangisi
Aku tertawa, padahal tak ada yang harus ditertawai

Aku berjanji...
Tanpa tahu akankah ku tepati
Aku bersumpah
Tanpa tahu azab apa yang akan ku dapati

Keinginan hati hanya mimpi
Hati munafik padahal baik
Mangapa jiwa ku terbagi?
Selalu hadir bergant-ganti

Jiwa keras hadir, terluluhkan oleh dia
Sesal pun menghampiri
Air mata curahan hati

Jiwa lembut hadir, tertegur perkataan "MUNAFIK"
Mengucap kata meyakini
Inilah aku yang asli

Mengapa jadi serba salah?
Hati ku keras, hati ku lembut
Selalu berakhir air mata
Bertanya, dosakah aku pada Tuhan?

Created by Aridea Purple
So Dreamy Jun 2017
Bagiku, kamar adalah satu ruangan persegi yang paling krusial di antara ruangan-ruangan lainnya. Magis, nyaman, penting, dan pribadi. Kamar tak hanya berisi tentang selimut dan bantal-bantal yang dilapisi kain bercorak bunga-bunga atau selimut berbulu yang lembut. Tidak juga tentang tumpukan baju sekali pakai yang dilipat di atas nakas dan kursi roda meja belajar. Tidak juga tentang jendela yang selalu terbuka lebar setiap pagi, mengajak udara segar untuk memasuki rongga hidung, membawa masuk lantunan burung-burung. Terlepas dari karpet cokelat muda yang selalu tergelar di tengah-tengah ruangan, yang dihuni berbagai remah-remah makanan—keripik kentang, biskuit, roti kering—ruangan berukuran 4x4 ini menyimpan dan menyembunyikan banyak hal.

Cerita, rahasia, asa.

Bagiku, kamar adalah saksi bisu. Saksi bisu atas upaya yang pernah ditempa, semangat yang tak pernah padam untuk membara, diri yang selalu kembali bangkit setiap kali jatuh ditampar dunia, serta doa-doa yang mulai dibisikkan dengan lembut sejak fajar menyingsing. Meja belajar yang tak pernah rapi, rak buku yang ditinggali berbagai macam buku; novel, buku puisi, buku pelajaran, buku latihan soal, tempat pensil yang berantakan, cahaya dari lampu meja belajar yang hampir rusak, serta mading yang tak pernah sepi dari berbagai kertas target dan to-do-list yang ditempel.

Kamar juga mata bagi segala perasaan; marah, kecewa, putus asa, sendu. Inilah tempat di mana sepi terpelihara dengan baik, yang anehnya, terasa menyenangkan dan bersahabat. Tenggelam dalam kesibukan sendiri, menulis seorang diri, membaca dengan latar musik indie, yang barangkali hanya satu dari sepuluh orang pernah mendengarnya. Ruangan persegi ini merupakan tempat di mana lagu The Trial of the Century – French Kicks diputar, selalu bergandengan dengan kekecewaan yang perlahan merekah di bilik dada. Tempat di mana Fall Harder – Skyler Spence diputar bertepatan dengan lamunan, ide-ide abstrak, membayangkan hal-hal manis yang misterius. She'll lose herself in bright-lit skies, she watches the sun go by, and even if her love runs dry, she'll be there for the summertime. Ialah sesuatu yang terasa cukup magis dan menyihir, bagaimana lagu tersebut selalu membawaku ke dalam lamunan dan gambaran yang muncul seketika di benak, lalu terbitlah ide-ide dan keinginan untuk membuat sesuatu.

Menulis.

Ruangan persegi ini adalah ruangan kecil yang paling setia menaungi ide-ideku yang seringkali tumpah-ruah tak tahu waktu dan tempat, yang kadang dapat direalisasikan menjadi sebuah karya, kadang juga hanya duduk diam tak mau bergerak di dalam kepala. Ialah ruangan persegi yang dengan sabar mendukungku untuk selalu bergerak mengikuti dinamika inspirasi yang datang, memberontak minta dikeluarkan dari kepala, memintaku untuk selalu menjadi produktif. Tentang menulis cerita singkat dan puisi (karena penulis hebat tidak pernah kehilangan inspirasi, menulis dan bermain dengan kata-kata, bercanda ria dengan rima adalah asupan hariannya layaknya menghirup oksigen). Membaca banyak buku dan terus belajar. Melepaskan tangisan dan emosi yang lelah dipenjara di dalam hati, membiarkan mereka menghujani kertas kosong dalam bentuk kata-kata yang bebas. Mengevaluasi diri, membuat target-target.

Membuat prakarya-prakarya sederhana. Menyanyi lepas dan menari mengikuti irama musik. Menjadikan musik indie sebagai latar musik yang membuat semua komponen di ruangan persegi ini menjadi lebih menyatu, saling melengkapi, menciptakan ide baru, lagi.
Aridea P Dec 2013
Palembang, 30 Desember 2013

Ini terjadi lagi,
tuk yang kesekian kali
Jiwaku terbentur batu, keras sekali
Retak, hampir pecah berapi
Gesekan kemarahan dan penyelesaian hati
Menjadi mayat tak berhati
Tak mampu berfikir lagi
Menahan diri tuk bertahan dalam raga ini
Meski kaki ini tak mampu berdiri
Nafas ini tak mampu berhembus lagi
Hanya satu yang aku yakini
Keajaiban yang benar ada di dunia ini
Rencana indah Tuhan yang lain
Yang tak pernah bisa dihindari
Hidup tidak selalu buruk atau baik
Perubahan kecil sangatlah berarti
Tuk hidupku yang sunyi


Aku memang sendiri
Tapi ku tak ingin sembunyi
Apapun yang kan terjadi akan ku hadapi
aku yang memilih aku yang jalani
Ini bukanlah janji
Ini adalah curahan hati
Keinginan yang tak mampu ku raih
Namun ku jua tak lelah berlari
Meraih keingnan di hidup ini
Jika kalian membaca ini
Tolong, hargai dan temani
Aku di sini sendiri ...
el Aug 2014
Di antara tumpukan bangau-bangau ini, terdapat satu harapan yang tidak akan pernah tercapai.

Di antara tumpukan bangau-bangau ini, tertoreh satu kesedihan yang tidak diketahui siapapun.

Di antara tumpukan bangau-bangau ini, aku mengubur semua mimpi indah bersama dengan setumpuk cerita pahit.

Dan di antara tumpukan bangau-bangau ini, terbesit satu keinginan yang mustahil untuk dijadikan nyata.

Biarkan mimpi tetap menjadi mimpi, biarkan aku tetap diam.

Biarkan seribu bangau menyampaikan kata-kata yang tersangkut di lidahku kepadamu
Karena aku yakin kamu tidak akan ingin mendengar suaraku lagi.
Another girl Mar 2016
Setahun yang lalu kupikir kita akan bersama
Menjadi satu persahabatan yang tak terkalahkan
Walaupun jalanmu berbeda
Aku tetap mengikuti dengan senyuman
Berharap kita memang untuk selamanya

Dua tahun yang lalu aku masih rabun
Berjalan tanpa suara
Berhenti hanya untuk menangis
Tanpa istirahat, terus saja
Menyalahi diri sendiri

Tiga tahun yang lalu aku sendiri
Meluapkan amarah
Dan mau menangnya sendiri
Masih buta akan siapa yang salah
Masih berdarah luka di hati ini

Dari semua jalan yang kutempuh
Kehilangan seperti mati
Tanpa rasa tanpa cahaya
Kemarin tersenyum sekarang bisu
Kemarin bersama sekarang sendiri

Apakah adakah
sedikit saja di pikiranmu
keinginan untuk memelukku,
sebelum kau pergi?
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Mumet i hate you ! Mumet tingkat kecamatan ! Mumet adalah ketika suasana hati sedang tidak bagus + badan yang lelah karena kerja terus-menerus + fikiran tidak fokus + tempat kerja yang jenuh menjerumus + dompet telah kurus + temen berprasangka buruk dan berkata ketus + orang tua banyak menuntut khusus + janji diingkari terus + keinginan terputus + harus menunggu, akhirnya emosi tingkat kedusunan menyebabkan pening d bagian alis kiri yang serius + semua orang tiba2 pergi dengan berbagai jurus = Sehingga merasa sendiri tak terurus... akhirnya sakit tipus, tinggal menunggu waktunya pupus
B'Artanto May 2019
Ditarik, kami diarahkan membaca apapun yang tidak ada penjelasannya.
Dikodratkan harus paham isi kepala makhluk yang hanya sesekali berkata iya dan tidak.

Kami terpingkal, Puan.
Bagaimana tidak?; Kain yang kau gunting sendiri dan pintal dengan rajut sedari subuh sudah cantik--tapi kau merasa kurang, dan kami adalah penyebabnya katamu.

Duduk kami melingkar bersama dengan gelas gelas berisi teh melati,
Hangat membaur aroma kebingungan kaum kami.
Sekali beberapa menit kami terpingkal lagi, berusaha terus membaca setiap halaman kosong dan beberapa titik saja di sudut kiri kanannya.

Tidak ada barang satupun buku yang mengerti keinginan puan.

Cemasnya puan ingin dilindungi,
Lembutnya puan yang ingin dikasihi,
Ah, apalagi tangisan yang tiba-tiba terisak di malam sehabis mimpi.

Tersenyum kami menahan tawa dan kantuk, sembari melihat-lihat wajah puan yang tertunduk mengharap ditanya mengenai hari ini.

Semenit dua menit kami lihat lekat-lekat wajah puan.
Kami bisa tidur malam ini,
Jawaban kebingungan lelaki bukan tertulis pada buku-buku; tapi dua bola mata yang senantiasa banyak bercerita setiap ia duduk hening tanpa berbicara.

Ah, engkau puan~
Buku pelajaran yang tak ada tamatnya.



B_A
10 Mei 2019
Diksimerindu Jul 2019
Mendegar mereka diantara dua ucapan
Tersebar panjang sebuah harapan
Seperti getaran tanpa celah
Membiarkan hilang dalam naungan

Pada halaman konstelasi
Mereka mengisyaratkan
Gerak gerik sebuah keinginan
Dipenuhi kecemasan
Dan cerita belum terbaca

Mereka membisik
Terdengar samar
Menunjukan cara untuk hidup
Menunjukan aku ada tanpa tujuan
Kepada si pendengar
Si pendengar kisah dua dunia
To someone who is confused looking for solutions to all the stories he/she hears
Diadema L Amadea Nov 2018
Minggu, 18 November
Siang menuju sore, panas.


Halo,
Aku lulu 18 tahun
masih bingung
masih belum terbiasa
dengan kehidupan 18 tahun ini
akhir november ini aku lebih suka sendiri
tidak ada keinginan untuk bersinggungan dengan sesama manusia
semangat hidup ? apalagi
bukan ingin mati,
tepatnya tidak ada niat untuk berbuat suatu apa

tidak mau mati dulu
kasihan keluarga yang membiayai pemakaman, mahal.
utangku kepada mereka juga belum ada satupun yang lunas
malah bertambah
iya,
utang seluruh hal yang bersifat rohani dan materi

aku tidak ingin diikhlaskan
bukan, tidak bisa diikhlaskan
kupikir semua yang diberikan adalah utang
terkecuali hal hal dari mereka yang sekiranya memang ikhlas.
oiya, kecuali juga kalau aku pergi untuk yang ini harus ikhlas
hahahaha


aku ?
selalu mencoba untuk belajar ikhlas
doakan ya !


oiya aku juga sudah stabil sepertinya
aku sudah tidak membuat badanku sakit
semoga bertahan
tapi yang ada mereka terus hadir
tidak begitu kuat, namun sering
dibilang ghoib ya bukan
dibilang kasat mata ya bukan
sepertinya sugestiku
hmmm
sudah hiraukan saja
Diksimerindu May 2019
Kesalahpahaman dalam kesendirian
Perkara yang tak pernah berujung
Seperti ada sekat yang menghalang
Naluri yang rusak akan keserakahan
Rasa ingin memiliki
Sudah menjadi keinginan tersendiri
Tak ada yang harus dilakukan
Berkali berkali terombang ambing
Oleh lautan sengsara
Kesalahan terbesar dalam kehidupan
Diadema L Amadea Oct 2020
gak harus senang setiap saat.
gak harus senyum setiap saat
gak harus terlihat baik setiap saat.

kamu sedih? ya terima saja.
kamu marah? ya rasakan saja.
kamu kecewa? beberapa hal memang patut dipasrahkan.

untuk yang bilang 'self-love' harus senang senang terus, aku menentang.

apa artinya 'self-love' kalau memang emosi dan keinginan diri ditahan terus menerus hingga lecet lecet saat berusaha keluar dari rantainya.

aku cuma takut diakhir nanti saat saking lecetnya, daging daging itu terkelupas, tulang tulang itu patah, takut takut di akhir kamu tidak dapat menahan lagi rasa sakitnya.
lalu? menyerah.


tidak mau kan?
jadi terima saja kalau diri ini sedang kalang kabut, diberi pengertian perlahan agar mengerti.
jangan langsung bilang 'JANGAN!' 'SALAH KALAU BEGITU'
jika terus terusan begitu, kamu jahat dengan diri sendiri.

— The End —