Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
adorating Jun 2019
Yogyakarta, 16 Juni 2019.


Temanku tersayang,

Mudahnya begini, aku tidak akan pernah berhenti mengucap syukur atas hadirnya kamu di hidupku. Dari perhatian kecil yang kamu berikan hingga tetes air matamu yang jatuh ketika aku terpuruk, ikut merasa sedih atas apa yang aku rasakan. Mungkin aku dan kamu tidak selalu menghabiskan waktu bersama, kemudian merasa tertinggal setelahnya ketika salah satu tengah sibuk dengan hal lain. Aku percaya kamu peduli denganku tanpa dibuat-buat juga tanpa paksaan. Ada banyak yang ingin aku sampaikan, namun guratan hitam di atas putih ini bukan tentang aku. Ini untuk kamu.

Kita memang tidak baru bertemu dan kenal kemarin sore, tetapi fakta tersebut juga tidak dapat memungkiri bahwa aku masih merasa belum mengenal kamu dengan baik. Entah aku yang selalu merasa kurang atau memang kamu kurang pandai dalam berbagi sedih. Aku paham sebaik-baiknya kamu sebagai seorang teman, sahabat, anak, kekasih, atau manusia secara umum. Ada banyak khawatir yang kamu pikirkan, sebab kamu tidak ingin orang lain menjadi khawatir akan kamu, maka disimpanlah semua sedih yang kamu rasa. Bukan menjadi masalah besar, sebab aku juga paham bahwa kamu berhak untuk menyimpan apa yang ingin kamu simpan dan membagi apa yang ingin kamu bagi. Aku juga tahu bahwa mungkin aku tidak akan selalu menjadi pilihan pertama kamu dalam berkeluh kesah. Juga tidak menjadikan ini masalah besar untukku, sebab seperti yang aku katakan, aku mengerti. Ingin aku tekankan pada bagian ini bahwa aku ingin kamu baik-baik saja.

Sepanjang kamu hidup ini, temanku, akan ada banyak asam dan garam yang harus kamu cicipi. Semoga kegemaran kamu dalam menyantap mie instan jadikan kamu tahan dalam hal ini, ya. Sejujurnya, yang barusan tidak lucu, tapi tetap aku tulis. Juga, yang barusan dirasa tidak penting, namun aku terlalu malas memperbaiki. Nantinya mungkin akan ada banyak lelah yang harus kamu rasakan, termasuk menitikkan air mata sebab tidak ada kalimat yang mampu menjelaskan semua. Tidak apa-apa, ya? Aku percaya, kamu lebih dari kuat dan mampu menjalani hidup kamu. Semakin kamu bertambah usia, semakin kamu dewasa, semakin kamu akan paham bahwa memang ada saatnya hidup menyuguhkan banyak pertanyaan. Tidak semuanya punya jawaban dan tidak semua jawaban dapat diterima oleh akal. Sebab hidup adalah berproses dan kamu akan terus tumbuh.

Terkadang kamu sudah melakukan semua yang kamu bisa, mengusahakan semua yang kamu mampu, atau memberi semua yang kamu punya, tetapi itu juga belum cukup. Bukan berarti kamu tidak cukup, kamu selalu cukup, kamu selalu lebih dari cukup. Sebagian tidak akan pernah merasa cukup meskipun ketika mereka memiliki segalanya. Hidup bisa jadi lucu seperti itu. Semoga dengan begitu, kamu akan tetap bisa tertawa meski sedang ada sulit yang harus kamu lalui. Terlepas dari sulit tersebut, aku harap kamu akan selalu diiringi dengan bahagia, kemanapun kamu pergi.

Aku tidak tahu kapan kamu akan membaca kata merangkai kalimat yang aku tulis ini. Aku bahkan tidak dapat memastikan apakah aku akan mengirimkannya pada kamu secara langsung. Tapi tepat saat aku memulai paragraf ini, waktu sudah menunjukan tepat pukul dua belas malam. Hari sudah berganti. Bersamaannya dengan ini, bertambah juga satu tahun usia kamu sekarang. Mungkin kamu sedang tertidur, atau tengah dalam panggilan dibanjiri dengan banyak ucapan selamat ulang tahun. Bertambahnya satu angka pada usiamu juga diharapkan kamu menjadi lebih kuat, sebab akan ada lebih banyak tanggung jawab yang harus kamu bawa. Ini tidak melulu soal bertambah tua, melainkan bertambah dewasanya kamu dalam hidup.

Selalu, temanku, doa terbaik aku panjatkan untuk kamu. Sekecil apapun hal yang kamu lakukan di dalam hidupku ini, kamu berarti besar. Selalu, aku ingin bahagia berada di pihakmu. Terima kasih sudah bertahan dan ada. Terima kasih untuk tahun-tahun kita berteman. Terima kasih untuk waktu dan kesediaanmu dalam mendengarkan. Terima kasih untuk kamu.

Selamat ulang tahun.


Salam sayang,
temanmu.
La hélice deja de latir;
así las casas no se vuelan,
como una bandada de gaviotas.

Erizadas de manos y de brazos
que emergen de unas mangas enormes,
las barcas de los nativos nos abordan
para que, en alaridos de gorila,
ellos irrumpan en cubierta
y emprendan con fardos y valijas
un partido de "rugby".

Sobre el muelle de desembarco,
que, desde lejos,
es un parral rebosante de uvas negras,
los hombres, al hablar,
hacen los mismos gestos
que si tocaran un "jazz-band",
y cuando quedan en silencio
provocan la tentación
de echarles una moneda en la tetilla
y hundirles de una trompada el esternón.

Calles que suben,
titubean,
se adelgazan
para poder pasar,
se agachan bajo las casas,
se detienen a tomar sol,
se dan de narices
contra los clavos de las puertas
que les cierran el paso.

¡Calles que muerden los pies
a cuantos no los tienen achatados
por las travesías del desierto!

A caballo en los lomos de sus mamas,
los chicos les taconean la verija
para que no se dejen alcanzar
por los burros que pasan
con las ancas ensangrentadas
de palos y de erres.

Cada ochocientos metros
de mal olor
nos hace "flotar"
de un "upper-cut".

Fantasmas en zapatillas,
que nos miran con sus ojos desnudos,
las mujeres
entran en zaguanes tan frescos y azulados
que los hubiera firmado Fray Angélico,
se detienen ante las tiendas,
donde los mercaderes,
como en un relicario,
ensayan posturas budescas
entre las nubes tormentosas
de sus pipas de "kiff".

Con dos ombligos en los ojos
y una telaraña en los sobacos,
los pordioseros petrifican
una mueca de momia;
ululan lamentaciones
con sus labios de perro,
o una quejumbre de "cante hondo";
inciensan de tragedia las calles
al reproducir sobre los muros
votivas actitudes de estela.

En el pequeño zoco,
las diligencias automóviles,
¡guardabarros con olor a desierto!,
ábrense paso entre una multitud
que negocia en todas las lenguas de Babel,
arroja y abaraja los vocablos
como si fueran clavas,
se los arranca de la boca
como si se extrajera los molares.

Impermeables a cuanto las rodea,
las inglesas pasean en los burros,
sin tan siquiera emocionarse
ante el gesto con que los vendedores
abren sus dos alas de alfombras:
gesto de mariposa enferma
que no puede volar.

Chaquets de cucaracha,
sonrisas bíblicas,
dedos de ave de rapiña,
los judíos realizan la paradoja de vender
el dinero con que los otros compran;
y cargados de leña y de jorobas
los dromedarios arriban
con una escupida de desprecio
hacia esa humanidad que gesticula
hasta con las orejas,
vende hasta las uñas de los pies.

¡Barrio de panaderos
que estudian para diablo!
¡Barrio de zapateros
que al rematar cada puntada
levantan los brazos
en un simulacro de naufragio!
¡Barrio de peluqueros
que mondan las cabezas como papas
y extraen a cada cliente
un vasito de "sherry-brandy" del cogote!

Desde lo alto de los alminares
los almuédanos,
al ver caer el Sol,
instan a lavarse los pies
a los fieles, que acuden
con las cabezas vendadas
cual si los hubieran trepanado.

Y de noche,
cuando la vida de la ciudad
trepa las escaleras de gallinero
de los café-conciertos,
el ritmo entrecortado
de las flautas y del tambor
hieratiza las posturas egipcias
con que los hombres recuéstanse en los muros,
donde penden alfanjes de zarzuela
y el Kaiser abraza en las litografías al Sultán...

En tanto que, al resplandor lunar,
las palmeras que emergen de los techos
semejan arañas fabulosas
colgadas del cielo raso de la noche.
grim-raven Dec 2015
You
I* wanted
I wanted that instant
When I closed my eyes and you whispered
You would always protect and guide me in a distant
But I
I didn't expect
I didn't expect this
I thought the promises were really true
I thought that one day you will ******* a kiss
That the rose and the little prince would be me and you
And I
I still remember
I remember how it was
When in my heart you're still on the list
That having you had been one of my top priorities
But I discovered then that believing in your words is just
Same as hoping for the reality of something that does not exist
III
III
III
III
IIIIII


Because
Even From The Start
You Were Just A Hoax

— The End —