Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
Atta Aug 2017
Hening, pikirku
Aku sendiri di kerinduan malam
Bunyi kota malang melintang di pikiranku
Suara penyanyi jalanan memecah sunyi

Hening, pikirku
Aku sendiri di gelapnya ibu kota
Bunyi senyap pedagang memekik di telingaku
Suara hentakan kaki berirama melawan arus

Hening, kataku
Aku sendiri tanpa arah
Bunyi dentuman keras degup jantungku
dan
Suara muramnya hatiku memenuhi pikiran

Hening, ku terdiam
Bisingnya ibu kota malam ini
Itu semua untuk mengitung harapan
Seberapa besar kesempatanku untuk bersamamu
Sampai aku mengabaikan gemilangnya malam ini
Sampai aku melupakan kesempatan lainya

Bising, aku tersadar
you kno, when you're in love everything becomes blurry.
is there nights still exist..
and helpless cries..
i always remember the part of missing stories...
i slept with dry eyes..

as the sun sets in the sky..
my hopes go along with it..
everything’s seem leaden in solemn..
until i’m alone again without you come into my night..

i guess i should be thankful...
at least we have one thing in common..
all i think of is you..
and i know that you do the same too..

when moon's climb in the leaden night slowly...
i can see your face figure in the stars..
don't you know that  i’m always  thinking of you..
i wish you’d think of me too..

if i wonder how this will work..
when you think of nothing but,
yourself,  your poems,  your life
and i can’t help but love the way you telling it into the poems..

but maybe this what the fate is..
a twisted series of two soul and mind's fused..
and maybe i’m destined..
to be the victim of my feelings ..

but how can i blame the fate..?
for something that i have control over...
i know you don’t thinking the same as mine..
and i know i’ve fallen too deep into my imagination of your figure..

you have them lined up..
just another notch on your belt..
am i the fool...?
am i the one who fell...?
but i definitely don't  mind at all..

you twist my yearning around your sincerity...
and your lies around my words..
you’re the definition of beauty..
horror, pain, desire  and love...

should i run...?
should i give up..?
sometimes i wish i could just sleep...
or  never get  wake up when i was dream of you..*

┈┈┈┈┈»̶·̵̭̌✽✽·̵̭̌«̶  ƦУ  »̶·̵̭̌✽✽·̵̭̌«̶┈┈┈┈┈┈┈┈┈

apakah masih ada bentuk malam itu.. .
dan ketidak berdayaan sebuah tangisan...
masih teringat aku akan sepenggal kisah yang hilang itu..
saat kuterpulasi dengan mata yang kering..

bak mentari yang tebenam dilangit..
begitupun keinginanku yang melaju turut..
segalanya tampak kelam dan hening..
hiingga aku sendiri tanpa engkau singgahi malamku..

harus kusyukuri..
setidaknya kita memiliki satu kesamaan ..
aku mengenangmu  ..
dan kutahu bahwa engkau melakukan hal yang sama ..

saat rembulan mendaki malam kelam perlahan ...
aku dapat melihat gambar wajahmu diantara bintang ..
tahukah kamu bahwa aku selalu mengenangmu ..

...... dang... why i should made two ver for my poems anyway.. lol.. just writing...
i suspect the most we can hope for...
and it's no small hope,  is that we never give up...
that we never stop giving ourselves permission to try to love and receive love...
Aridea P Aug 2014
Inderalaya, 27 Agustus 2014

Seorang gadis kebingungan di antara kerumunan orang dewasa yang asyik menikmati pesta dansa yang diadakan penguasanya
Matanya biru terang, namun jauh di lubuk hatinya, ia begitu kelam
Seorang yatim yang ditinggalkan ibundanya tuk melayani pria yang bukan pasangannya
Gadis itu terpaku, hanya sendiri di tengah-tengah manusia lain berdansa berpasangan
Namun dia hanya sendirian

Musik telah terlalu lama menyeberangi gendang telinganya
Otot-otot di kepalanya mulai berontak tuk membuat gadis itu pergi meninggalkan tempat ia berada
Namun ia hanya  diam, matanya memancar sorot sangat kebingungan
Pikirannya terbang jauh menelusuri kenangan saat ia masih balita dibawa Ayahnya pergi ke taman paling indah di negaranya
Dentuman keras kaki-kaki manusia yang masih berdansa tanpa lelah dan tanpa jeda
Menyadarkan sekali lagi bahwa gadis itu masih sendirian

Kaki gadis itu serasa tak mampu lagi tuk melangkah
Maka ia mulai membuat gerakan tak berarti pada kedua tangannya. ke kanan dan ke kiri, mengitari tubuhnya
Semakin lama gerakan tangannya semakin cepat dan kini gadis itu menari pada akhirnya
Sekali lagi, ia menari sendiri, berputar-putar bagai roda yang diputar pedal sepeda
Kini semakin cepat gadis itu berputar-putar
Semakin cepat
Semakin cepat
Semakin makin cepat
Gadis itu menutup matanya, ia bahkan dapat merasakan detakan jantungnya
Ia memutar makin cepat dan sangat cepat
Sampai akhirnya di antara putaran yang cepat itu, ia berteriak
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA­AAAAAAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRGGGGGGGGGGGGGHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH­HHHHHHHHHHHH

Ia kemudian terjatuh di pelukan Ayahnya
Sang Ayah yang telah lama pergi meninggalkannya
Sang Ayah kini kembali, namun tiada satupun manusia di sana menyadari kehadirannya
Pesta dansa terhenti dan semua pasang mata tertuju pada pemandangan tak biasa di tengah-tengah mereka
Sang Gadis sedang berdansa dengan Ayahnya

Suasana menjadi hening, hentak kaki manusia yang sedang berdansa kini benar-benar sunyi
Oh kelamnya hidup ini
Noandy Aug 2015
Aku berdosa,
Telingaku bunuh diri.

Sudah baru-baru ini
Aku sepenuhnya tuli
Aku tak tahu lagi  

Apa kata dedaunan
Pada tanah yang terantuk lemas dibawah
Atau ceracau yang diteriakkan
Bunga keparat
Untuk mayat dingin si kumbang.

Bahkan di restoran tua
Yang setiap sela kayunya berdarah dingin,
Tempat rintihan musik bisumu selalu dialunayunkan
Semuanya hanya tertawa hening
lalu mati begitu saja.

Dan meskipun duduk menghadapmu
Aku masih tak dapat mendengar
Suara mengaji jam setengah mati
Yang kerap menceritakan
Dongeng gelap kita
Dari lampau sampai me—
La lala la la
      lala la lala
La la la la la lala
           La la la lalala la la
La
—Lampaui
Pemakaman hati yang mati dipancung
Di pekarangan rumah tiap senja gulana

Yah, baru-baru ini aku tuli
Bisu lagi,
Mampunya cuma mengumpat dalam tulis.

Dan dihadapkan denganmu,
Sesekali dalam terkadang
Aku anehnya dapat mendengar
Serintikan isak tangis yang
Sama sekali tidak kita cucurkan

Lalu ini semua salah siapa,
Kalau aku baru tuli
Lalu kamu sudah bisu?
Apa memang ini dosaku?
Di palangnya tertulis;
Nama: Siapapun yang menangis

Di sela-sela pengakuan dosa
Kematian telinga gila
Dan kelumpuhan bibir hambar
Kita tiba-tiba melongo,

Tuhan tertawa
Sabar lagi bahagia,
Mengisyaratkan untuk
Sudah, ya,
Simpul mati saja senyum satu sama lain.
Writing in my mother tongue once in a while
JHT Jun 2017
Dengarlah gemuruh hujan pada malam hari ini;
Dengan irama tetesannya kebisuan dicurahkan;
Dalam kegelapan jua para pencari melangkah;
Menyusuri persimpangan jalanan yang basah;
Mungkinkah sudah keraguan mereka terhapuskan?
Ataukah praduganya telah menjadi satu bentuk prasangka,
Yang sekiranya kembali menolak untuk lagi-lagi berbicara?

Dengan satu sapuan halusnya kembalilah dikau sunyi menjadi hening,
Hening menjadi tiada, seperti tiada memunculkan hampa;
Lalu hampa pergi meninggalkan luka yang menganga pada dikau;
Hanya kesembuhan dari hujan yang dinanti mereka yang terluka;
Seperti juga berkat yang dinantikan dikau yang tak lelah menanti;
Memegang erat setiap butiran yang mungkin tak mampu dimiliki;
Mendengar irama yang selamanya tak mampu dimengerti;

Bersabdalah hujan pada semesta di malam hari ini;
Hanya kesunyian yang terus ia ajak bicara dalam isyarat;
Hanya kegelapan yang selamanya tak mampu ia lihat;
Pengheningan resah telah menjadi gundah sang hujan;
Seperti gundah itu sendiri menjadi gulana dikau;
Seperti dikau yang hadir dan hilang dalam rimbanya hujan,
Kembali dicari namun tak mampu dihilangkan.
Niraksara perbincangan antara sang Pujangga dan Hujan. Sampai kapanpun kebisuan merupakan satu-satunya bahasa yang mempertemukan mereka.
Noandy Jun 2016
Hiruk-pikuk menjual dirinya
Pada hening yang mengekang
Ia mulai merindukan
Wujudnya

Diam-diam,
Diintipnya cermin
Yang tergeletak di ujung
Taman bunga
Sudah sebagian layu,
Tua, takhayul, dan
Ngeri,
Tapi di sanalah satu-satunya tempat
Di mana perwujudan
Berani menampakkan diri sejujur-jujurnya

Maka dipanjatkannya
Beribu pekikan isyarat namanya:
Hiruk-pikuk
Ramai
Gegap-gempita
Gelegar.

Dan diintipnya cermin itu
Dilihatnya wujudnya:
Masih tiada.
Ia telah dihilangkan.
Hanya ada bising
Yang terus bergulir.

Kau tahu dirimu
Adalah keberisikan,
Siapa suruh menjual diri pada hening?
Aridea P Oct 2011
Malam larut tak ku rasa kini

Hanya duduk merenungi sepi

Aku pun berdiri

Mendekati cermin di dekat ku

T'lah ku lihat kini

Bayang lain pengkejut hati

Namun, tak kuasa ku tahan tangis

Ingat-ingatmimpi yang lalu

Bintang-bintang kabur berkejaran

Bulan pun tak lagi berjanji pada ku

Untuk selalu menyinari aku

Malam larut hilang berganti pagi

Menusuk raga saat raga menyinari

Membunuh jiwa saat tak lagi kini

Ku rasakan malam yang hening

Di mana ku selalu teringat Belahan Jiwa

Yang dulu slalu mengiasi malam

Created by,

Aridea Purple
Noandy  Sep 2016
Redup
Noandy Sep 2016
Katanya langit akan berbintang malam ini, "Pulanglah dalam remangmu dan duduklah termangu. Berdoalah menghadap langit; jika sungguh kau berdoa, barulah ia akan berpijar."

Katanya langit akan berbintang malam ini. Bisa jadi doaku yang kurang hening. Bisa jadi aku salah merapal namamu dalam doa.

Katanya,
langit akan berbintang malam ini. Katanya juga, kau akan pulang, kembali ke dalam remangku.

Aku lihat langit.
Aku intip karam malam dalam diriku.

Di langit tak ada bintang. Di gelapku tak ada kau. Di doaku sajalah namamu disebut-sebut sekian kali.

Katanya langit akan berbintang malam ini. Bisa saja mereka berbohong, dan aku tak akan pernah tahu.

Seperti dahulu, kau beri aku bintang.
Dahulu bintang cumalah batu.
Gymnossienne  Jul 2014
Perahu
Gymnossienne Jul 2014
Tenggelam dalam riak nafasmu
Bagai ombak bertalu-talu di tepian kalbu
Terbuai oleh lantunan irama kehidupan
Bersenandung dibalik kerangkeng iga

Aku perahu di lautan luasmu
Tanpa dermaga yang hendak ku tuju
Hening malam tak kuasa membungkam
Detak yang berteriak memuja semesta

_________

*Engulfed in the ripples of your breath
Tides pulsing at the shorelines of soul
Lulled by the chanting rhythm of life
Strumming against the rib cage

I am a boat in your vast ocean
Without a harbor to go to
The silence of night can't hold in
the heartbeats that bellow praises to universe
Aridea P  Oct 2011
Untitled
Aridea P Oct 2011
Setia ku hingga akhir waktu
Cinta ku tak mati meski hancur
Kasih ku tak habis slalu merindu
Diriku kan mati ditinggal mu

Suara hati ini bisu
Jejak langkah ini lumpuh
Tapi tetap kepakkan sayap
Menuju surga hidup kebahagiaan

Lagu cinta hilang
Berasa hening kali ini
Suara indah berhenti
Hatipun bersedih

Luapan cintaku tak berakhir
Sampai nanti, sampai aku mati
langit b Jan 2016
jangan amuk datang di sela hening, hujan
resah masih melaut di tengah jalan
jangan angin bisikkan hina, hujan
pijak hawa kenyang makan terpaan
burung tak bisa terbang jadi makanan hewan
atap masjid berhamburan masih kumandang azan
jangan rintik sendiri di atas pasang
cari sampai gersang tak dapat sayang
deras tepi jalan teduh sendiri
linang sampai malam ditinggal mati
Qadriah  Oct 2013
Pungguk
Qadriah Oct 2013
Aku benci bila tutur bicara mu kurang jelas.
Aku lalu bagaikan Si Pungguk merayu malam melabuhkan tirai.
Putus asa rindukan purnama.
Kerana terkandung butir kecil harapan dalam setiap bait yang kau coretkan.
Yang telah kau utuskan.
Padaku.

Hening pagi pun tidak dinanti lagi.

Izinkan ku teroka awan di sana
Mungkin sayapku bukan untuk langit ini
Mungkin persinggahanku bukan di lembah ini
Jangan bimbang duhai cinta
Senja berlabuh, aku sudah tiada.

— The End —