Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Matt Feb 2015
Thank you Mr. Baca
For your service

During the war you were in front of your troops

On Christmas Day, 1969
You came across a Vietnamese man
You noticed he was just sitting there
And you said "surrender" in Vietnamese
He showed pictures of his family

In 1990 this man was among the Vietnamese that Mr. Baca worked with
In building a clinic to help the people there

In your Medal of Honor video
You said you wore the medal
For those who have served
And know what combat is like

You took your helmet and jumped on a grenade
Saving the lives of your men

Thank you for your service
A terrible thing war is

Your actions help me to realize
That love for our fellow man
Is most important
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
4:00 pagi kita bangun solat subuh, kemudian kita bersiap2 utk ke tempat kerja, sampai kantor pukul 7:00 pagi, hari masih gelap.
Mungkin kita anggap hari ini akan hujan, jadi abaikan. Masuk kantor, bekerja dan kita lihat pukul 12:00 siang, sudah waktunya makan siang, tapi keadaan masih tetap gelap.
Keluar pintu kantor, suasana masih gelap, hitam pekat seperti malam..mungkin masih bisa dianggap hari ini akan hujan lagi. Jadi abaikan saja.
Tapi kalo jam 14:00 pm pun hari masih gelap.. pertanda apa itu?..keesokkan pun sama, nonton tv semua orang kalang kabut menceritakan bahawa dunia ini sudah tidak ada lagi siangnya..dan begitu juga dengan lusa..masih tidak ada lagi matahari..
Tetapi pada hari keempat kita bangun pagi, kita dapat melihat matahari, tetapi jangan terkejut karena matahari telah terbit dari sebelah barat..
Kehebatan ahli dunia akan mengatakan itu fenomena alam, tapi sadarkah, itulah pertanda besar yang paling awal sebelum tibanya hari kiamat!!
Maka telah tertutuplah pintu taubat..
Saat itu, kita akan lihat satu fenomena luar biasa di mana golongan kaya akan keluarkan semua harta utk diinfakkan, golongan yang tidak pernah baca quran, 24 jam baca quran, golongan yang tak pernah solat jemaah akan berlari2 menunaikan solat secara berjemaah..tapi sayangnya semuanya sudah tidak berguna lagi..
Bismillahirrahmanirrahim.
Aridea P  Sep 2012
love 0.5%
Aridea P Sep 2012
dari awal memang aku hanya kertas kosong bagimu
tak bisa digambar, tak bisa ditulis
yang terlupakan, yang tertinggal
yang terbuang, tak berharga
meski ku coba tuk tulis sendiri
kau hapus begitu saja,
dan kau buang

nama ku tak pernah kau sebut
mungkin karena kau lupa
mungkin karena kau tak suka
aku Erikaa
kau bisa panggil ku apa saja
sesukamu
tapi jangan,
jangan kau tak menyapaku

ku baca statusmu
diam-diam,
dari akun temanku,
teman baikku

kau benar suka dia?
haha tentu saja!
kau kembali ke kampung halaman,
besoknya kau pergi lagi menjemputnya
oh betapa beruntungnya dia
dicintai malaikat sepertimu

jika kau menikah,
apa ada kau akan mengingatku?
mengingat kekonyolanku?
menertawai kebodohanku?

kini semuanya ku buang,
semua tentangmu
senyummu,
candamu,

tapi ku mohon,
izinkan aku menyimpan foto-foto mu
bukan foto dirimu,
tapi foto mu,
pohon, jalanan, Samudera Atlantik, yang kau foto

No!
Akan ku hapus semua!

Terima kasih tuk selama ini.
Kau tlah berikan 0.5% cinta mu padaku
Terima kasih telah 99.5% membenciku
sehingga aku sadar akan kedudukanku
Terima kasih sudah 100% mencintai dia
aku yakin kau takkan menyakitinya

""Selamat G----- F--------- F--------
Semoga kamu BAHAGIA""
Aridea P  Oct 2011
Janji Ku
Aridea P Oct 2011
Jumat, 13 Agustus 2010

Tlah beribu-ribu menit lalu
Aku tak jumpa lagi catatanku
Tak ku tumpahkan lagi pikiranku
Tak ku kotori lagi kertas-kertas ku
Dan aku rindu...
Ingin menulis lagi
Supaya aku bisa baca lagi
Sambil tersenyum memuji
Alangkah indahnya tulisanku

Apa arti semua itu??
Entahlah, 2 tanda tanya untuk itu
Ku tak akan pernah lelah menulis
Aku janji, bila aku sempat-
kan ku tulis beribu-ribu kata
Agar terlukis kisah hidupku
Yang penuh warna-warni kehidupan


Created by. Aridea .P
So Dreamy Jan 2017
Kata demi kata
Kuleburkan menjadi beberapa helai untaian kalimat
Demi melepas seikat rindu
Untuk seseorang berpandangan sayu
Yang telah lama diombang-ambing oleh gelombang kelabu
Seberat langit mendung yang sendu
Berpayung ia lama mencari lentera menuju ujung jalan
Sembari menanti hentinya rintik hujan
Tanah becek berlumpur tempat kakinya lama singgah
Di mana guntur tak ada lelahnya menumpah ruahkan gundah

Kata demi kata
Kuleburkan menjadi beberapa helai untaian kalimat
Demi melekatkan seikat harapan
Untuk seseorang yang tengah dihuyung geramnya badai topan
Yang tak hentinya berharap agar matanya dibutakan mentari pagi
Jiwanya lama berkelana mencari, entah ke mana cahaya itu pergi
Jauh dalam sudut yang gelap ia dibiarkan sendiri*

-------------------------------------------------------­------------------------------------

Telah kuleburkan kata demi kata menjadi beberapa helai untaian kalimat
Untuk kompas dalam hidupmu yang telah kehilangan arah
Dibutakan oleh gulungan-gulungan masalah

Juga dalam doa-doa malamku dan setiap sujudku di atas sajadah,
Kubisikkan sebuah pinta agar dirimu selalu dalam pentunjuk-Nya,
Agar kelak dapat kau baca helaian untaian kalimat penyamangatku,
Yang kusampirkan dalam saku jaketmu hari itu,
Dapat merontokkan seluruh perasaan kelabu dalam kalbumu,
Mendepakmu dari sudut gelap di ruang tergelap pikiranmu sendiri.
Aridea P Nov 2011
Palembang, 8 September 2011

Dia adalah..
yang mampu membersihkan fikiranku,
membuatku tertidur di malam hari,
menemaniku hingga pagi.

Dia adalah..
yang berharga dari benda apapun,
sangat suci dan terang,
sumber hidup yang bermakna.

Dia adalah..
penerang jalan selamanya,
takkan pernah berubah,
terkadang dilupakan.

Dia adalah kitab milik Nabi ku Muhammad,
yang abadi,
indah,
warisan paling mulia.

Dia adalah Al-Qur'an,
hal yang selalu ku baca sebelum tidur,
ayat yang selalu bku ulang setiap sholat,
nilai yang selalu ku aplikasikan di dalam kehidupan.

Aku cinta Al-Qur'an.
Aridea P Jun 2012
Palembang, 9 Juni 2012

Kau kira aku ini apa?
Seenaknya menampar bayanganku
Mengoceh seakan aku tak pantas

Kau pikir aku ini siapa?
Manusia konyol yang sama sepertimu?
Bukan, aku ini hanya fans mu

Kau pikir aku seperti apa?
Seenaknya membaca pikiranku
Menulis kata yang kau kira tak bisa ku baca

Kau ini abstrak!
Berwujud tapi tak nyata
Ku mengenalmu bukan di dunia nyata

Kau bilang apa?
Ini hanya mimpi?
Tapi kau benar-benar ada
Hanya saja tak ada di sini

Aku ini apa?
Mencintaimu saja aku tak boleh
Tak berharap apapun tak boleh

Aku ini aku
Kamu itu kamu
Kita tak mungkin bersatu

Aku ini aku
Aku bukan kamu
Aku akan melupakanmu
Aridea P  Aug 2014
Aku Ingin
Aridea P Aug 2014
Palembang, 31 Agustus 2014

Aku ingin segera menjadi dewasa
Supaya aku bisa menikmati hidup lebih leluasa
Minum kopi sambil mengobrol tentang politik dan penguasa
Duduk di café menulis novel dan mengambar sketsa

Aku ingin segera wisuda
Memiliki pekerjaan sendiri yang aku damba
Memiliki apartemen sendiri dengan konsep yang aku suka
Membeli semua buku yang ku anggap menarik dan membuat sendiri ruang baca

Aku ingin segera mengakhiri masa kesendirianku
Ku harap aku bisa memilih sendiri pasanganku
Seseorang yang selalu setia di saat apapun
Seseorang yang bisa ku ajak “gila-gilaan” sepajang waktu

Aku ingin segera mengandung
Memiliki anak-anak yang manis yang akan ku panggil “sayang”
Memanjakan mereka seperti aku dimanjakan bunda
Membahagiakan orangtuaku dengan kehadiran mereka

Aku ingin

Aku ingin mati dikelilingi orang-orang yang ku cinta
Victoria Jul 2019
Black excellence?
What is that you say?
Black excellence is a Term used loosely.

Black excellence is The excellence of African Americans.
Like Martin Luther King, Rosa Parks, Harriet Tubman, Frederick Douglas.
But wait? How is it Black excellence?

When they mayrtred for America to change.
This is true, although it is black excellence.

These African American people did what
The whites called “Impossible” to us *******
Back then in those slavery times

You said what? “ *******”
Yes, that’s right, it’s what we were called.
The white man didn’t think of us as anything ;
But a Black, Stupid, Slave.

We had it hard.
We fought for equality, respect, and justice.

So again what is “Black Excellence,” You say?


Black excellence is the confirmation of us African Americans making achievements that the “white man” said we couldn’t do.

The “white man” you say?
Who is he?
The one who we used to call masa
While in those field picking cotton and tobaca

Not tobacco but baca because we couldn’t speak
They didn’t want us to be intelligent

They wanted us to fail so they laugh and say “ you dumb ******”

But I’m here to say that I
Will never fold
To this racism we have

This injustice we have
Because I
I am on the path of excellence
And it may be narrow
To some of you

But to me, it is already been done.
Why is that, you say?
Because god deemed it so
According to Philippians 4:13

I can do all things through Christ which strengthens me

This is what black excellence is
I was going to enter this in a contest for scholarship money but I didn’t think it was good .
Mikaila Nov 2013
The Watch
The watch kept right on ticking, as if nothing had changed. It was like a sixth person at the little round marble table. The stone was cold on my arms. The funeral director pushed it across the table. "This was the only thing on him." My aunt took it graciously, set it by the folder full of everything ever recorded about Donald P. Baca, and from that moment on, it drew the eyes of everyone there, irresistible as a corpse, and as gruesome. tick tick tick as if nothing had happened. I found myself thinking that if he were my brother, I would keep that watch ticking forever, change its batteries, a type of insignificant immortality.

Funeral Homes
The air of calm in funeral homes has always disturbed me. It's cloying, somehow. Too strong. Like the overwhelming scent of peony flowers if you put them in a vase- it darkens your whole house with sweetness. I think I resent knowing that my feelings are being influenced by soothing beiges and classical music. A tissue box and a little bottle of Purell sit on every surface big enough to hold them properly. I find that the anticipation of my "needs" as a griever... offends me.

Survivors
Funerals are not for the dead. They are for the survivors.

Tears
Death is not about trying not to cry. You have to hurt yourself with it to heal from it. There is no shame in funeral tears. They, like death, are inevitable and natural. (My own dry eyes, they shame me.)

Looking In
That is the problem with us writers- every private, gauche little moment of impropriety is fuel for our art, and we must record it. (Intrude upon it.)

Paperwork
1953
***: Male
Color: White
How different it was then.

Grown Up
This is the first time my aunt, whose respect I have always striven for, has even asked my opinion on something "grown up". I thought I'd want her to, but I no longer care. Maybe that means I am finally "grown up".

Absurdly
My aunt gives her email to the man across the table: her name, first and last, no spaces, and the number 1. I find myself wondering irresistibly, inappropriately, absurdly, if anybody ever sits here with a "FaIrYpRiNcEsS4963luv4eva" and has to dictate it to him like that...

Mourners
There are 5 of us here. We are all different, in grief. I am on the outside looking in, an observer, offering the perfect hug or well timed touch of the hand because I feel emotions like room temperature, but not like fever. I look in on tears, silence, on the grip like a vice: on the propriety of being personable to a man who knows your brother has just died, as if that- even death! - gives no permission to be less than polished. And one of us is absent entirely, his truancy a palpable response, just as present as my mother's strangled tears. Her shame frustrates and saddens me- I admire the sincerity of grief, especially when I cannot reach it.

You're Here With Me
The funeral director answers his cell phone. He has the same phone as you, ****, and having seen you answer it yesterday, my mind overlays the images strangely, like a double exposure photograph. It should disturb me, but it only makes me miss you- my mind seeks to erase his image and leave only yours.

Age
Everyone looks older, right now- sunken collarbones and wrinkles weighing down faces. As if they age in sympathy that my uncle is finished with that.

Fishhook
My mother struggles against tears like a worm on a fishhook, and it is agony that ****** my arms, in the air and sliding along the walls. It clashes oddly with my aunt- like a still pond- her polished charm and practiced smile don't feel forced, which only makes it all feel more wrong. I know she is struggling inside, too.
Liz  Jul 2014
The Valley of Baca
Liz Jul 2014
Emma Lazarus (1849-1887)

A brackish lake is there with bitter pools
Anigh its margin, brushed by heavy trees.
A piping wind the narrow valley cools,
Fretting the willows and the cypresses.
Gray skies above, and in the gloomy space
An awful presence hath its dwelling-place.

I saw a youth pass down that vale of tears;
His head was circled with a crown of thorn,
His form was bowed as by the weight of years,
His wayworn feet by stones were cut and torn.
His eyes were such as have beheld the sword
Of terror of the angel of the Lord.

He passed, and clouds and shadows and thick haze
Fell and encompassed him. I might not see
What hand upheld him in those dismal ways,
Wherethrough he staggered with his misery.
The creeping mists that trooped and spread around,
The smitten head and writhing form enwound.

Then slow and gradual but sure they rose,
Those clinging vapors blotting out the sky.
The youth had fallen not, his viewless foes
Discomfited, had left the victory
Unto the heart that fainted not nor failed,
But from the hill-tops its salvation hailed.

I looked at him in dread lest I should see,
The anguish of the struggle in his eyes;
And lo, great peace was there! Triumphantly
The sunshine crowned him from the sacred skies.
'From strength to strength he goes,' he leaves beneath
The valley of the shadow and of death.

'Thrice blest who passing through that vale of Tears,
Makes it a well,'-and draws life-nourishment
From those death-bitter drops. No grief, no fears
Assail him further, he may scorn the event.
For naught hath power to swerve the steadfast soul
Within that valley broken and made whole.
Hebrew - Baca BACA
(bay' cuh) Place name meaning, “Balsam tree” or “weeping.” A valley in Psalms 84:6 which reflects a poetic play on words describing a person forced to go through a time of weeping who found God turned tears into a well, providing water.
D  Aug 2019
Kālēḇ
D Aug 2019
“Tiga tahun dan kau tak pernah menulis tentangku.”
Katanya setengah bercanda, rambut hitam sebahu itu menutupi sebelah matanya. Bahkan saat berbicara tentang kecewa, dia tetap memilih untuk tidak menatap mataku.
“Tidak seperti pada si musisi itu, atau si perempuan yang kau bilang jahat.”
“Kau tahu aku hanya bisa menulis saat aku terluka, atau saat ada kafe baru di Jakarta — Namun itu tuntutan.”
Dia mendelik, tapi aku tahu dia sedang menahan tawa. Tawa yang kudengar hampir setiap hari setahun lalu. Selain bunyi tawa, terlalu banyak yang kita tahu akan masing-masing.
“Ya. Sepertinya seru kalau ada yang menulis tentangku.”
“Menulis tentangmu? Harus kumulai dari mana tulisan itu?”
Walau pemilihan kata “Seru” terdengar sangat remeh ditelingaku, pikiranku hinggap ke hal lain; mungkin harus kutekankan pada si konyol bersampul Rock and Roll ini bahwa ide tentangnya memang terlalu banyak dan terlalu dalam untuk digambarkan lewat satu atau seribu kata, setidaknya untukku. Di saat banyak yang mengagumiku karena lidah ini terlalu banyak berceloteh tentang film, sastra dan bercinta, laki-laki satu ini telah mendengar sinisnya makian yang terlontar dari lidahku — serta menjadi saksi akan terlemparnya makian tersebut ke sudut-sudut ruang. Selama dua tahun kedua bola mata coklatnya harus melihat ratusan lembar diri ini. Setiap hari lembaran yang berbeda. Namun aku tahu, dari sekian lembar yang ia baca, hanya beberapa yang betul-betul ia hafal - telaah - dan dia simpan di memori terdalamnya untuk suatu saat ia bolak-balik lagi. Setelah setahun berpisah dengannya, tubuh ini seakan tak mampu menghapus rasa yang begitu familiar, begitu kental, begitu erat, saat bersanding disebelahnya. Tidak pernah ada yang melihatku setelanjang ini.
“Kamu ingat saat kita hendak berangkat ke Bandung?”
“Untuk nonton konser Jazz?”
“Ya.”
Aku bisa merasakan nafasku berhenti.
“Aku melemparmu dengan handphone-ku.”
“Yang lalu retak dan mati.”
“Aku meneriakimu.”
“Aku juga.”
Terlepas persona beringasnya, suaranya hampir tidak pernah bernada tinggi, kecuali satu kali.
“Hari itu aku bertengkar dengan Ibu.”
Ada sesuatu dari dirinya yang sampai detik ini tak bisa kutemukan pada orang lain; ketidakmunafikannya.
“Kalian berdua sama sarapnya. Itulah yang bikin kalian begitu dekat.”


Dia tidak pernah berusaha menenangkanku dengan khotbah klise tentang kasih Ibu, atau tentang tanggung jawab seorang Ibu yang begitu berat — yang kadang membuatnya meledak membanjiri semesta dengan segala emosinya. Dia tidak pernah berpura-pura menjadi filsuf, menaruh tanda tanya kepada setiap kata dan kejadian, atau tidak pernah menjadi psikolog gadungan yang memaksaku bercerita saat otak ini masih melepuh belum waras. Jika banyak perempuan yang dalam hati berdarah-darah karena ingin diperhatikan, kekagumanku terhadap cuainya lelaki ini patut dipertanyakan. Sikap yang terlihat acuh tak acuh itu malah terlihat begitu natural di mataku. Ada perasaan nyaman yang tak bisa dijelaskan lewat kata-kata di saat aku tidak lagi mendengar rentetan omong kosong seperti; “Semua akan baik-baik saja.” “Tuhan akan membalas suatu yang baik dan buruk.” “Kamu perempuan yang kuat.”
Sebaliknya, lelaki nyentrik ini lebih memilih untuk menatap diam sebelum ia menyetel lagu pilihannya untukku keras-keras. Mengenal orang ini begitu lama, ada sedikit banyak hal yang kupetik dari hubungan kita yang lebih sering tidak jelas; mungkin cinta kasih tak harus repot.
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Poligami itu hukumnya mubah (QS. An Nisa 3) tidak ada thalab (seruan) disana secara jazm (yang menguatkan) untuk disebut berhukum sunnah, ataupun wajib. Dan tidak ada illat ataupun syarat yang menjadikannya wajib ataupun sunah.
Di ayat tersebut ada frase "ma thoba" (yang kalian senangi), jadi disitu Allah memberi pilihan (atas keMahatahuannya Allah atas mahluk-Nya), karena memang mubah itu statusnya "pilihan"
Kalau dianalogikan, seperti orang makan lauk kerupuk. Ada yang suka/memilih makan pake kerupuk, ada yang nggak suka. Bukan berarti yang suka makan kerupuk, lebih terpuji, dan yang tidak suka makan kerupuk, tidak terpuji. Atau sebaliknya.
Dan 'adil' bukanlah illat atau syarat, dibolehkannya seorang laki-laki (suami) untuk berpoligami (menikah lagi)...
Sederhananya begitu cara memahami 'hukum Allah' yang satu ini. Jangan sampai suka dan ketidaksukaan kita terhadap sesuatu membuat kita salah persepsi tentang hukum yang satu ini... Wallahu'alam
========================
Semoga yang baca nggak salah persepsi ya...

— The End —