Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Hinanya Kematian Mustafa Kemal Attatürk yang Dikenal sebagai ‘Bapak Modernisasi Turki’ dari perspektif Barat, dia sebenarnya adalah tokoh yang meng’sekuler’kan dan ‘membunuh’ syiar Islam di Turki. Siapa lagi jika bukan Mustafa Kemal Attatürk yang diberi gelar Al-Ghazi (orang yang memerangi). "Attatürk" berarti "Bapak Orang Turki". Attatürk adalah orang yang bertanggung jawab meruntuhkan Khilafah Islam Turki pada tahun 1924. H.S. Armstrong, salah seorang pembantu Attatürk dalam bukunya yang berjudul Al-Zi’bu Al-Aghbar atau Al-Hayah Al-Khasah Li Taghiyyah telah menulis: "Sesungguhnya Attatürk adalah keturunan Yahudi, nenek moyangnya adalah Yahudi yang pindah dari Spanyol ke pelabuhan Salonika". Golongan Yahudi ini dinamakan dengan Yahudi "Daunamah" yang terdiri dari 600 keluarga. Mereka mengaku beragama Islam hanya sebagai identitas, tetapi masih menganut agama Yahudi secara diam-diam. Ini diakui sendiri oleh bekas Presiden Israel, Yitzak Zifi, dalam bukunya Daunamah terbitan tahun 1957. Attatürk mengubah ucapan Assalamualaikum menjadi Marhaban Bikum (Selamat Datang), melarang menggunakan busana Islam dan sebaliknya mewajibkan memakai pakaian ala Barat. Dalam tempo beberapa tahun saja, dia berhasil menghapuskan perayaan Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha serta melarang kaum muslim menunaikan ibadah Haji, melarang poligami dan melegalkan perkawinan wanita muslim dengan non muslim. Dia membatalkan libur pada hari Jum'at, melarang adzan dalam bahasa Arab dan menggantinya dengan bahasa Turki. Tindakan yang dilakukan oleh Attatürk ini nyata sekali telah memisahkan budaya Turki dari akar agama Islam dan menghapuskan Islam sebagai agama resmi negara Turki. Attatürk berusaha keras untuk menghancurkan para penentangnya. Dia membakar majelis-majelis, menangkap para pimpinan majelis dan juga mengawasi para ulama. Attatürk pernah menegaskan bahwa “negara tidak akan maju kalau rakyatnya tidak cenderung kepada pakaian modern”. Dia menggalakkan minum arak secara terbuka, mengubah Al-Quran yang kemudian dicetak dalam bahasa Turki. Bahasa Turki sendiri diubah dengan membuang unsur-unsur Arab dan Parsi. Attatürk mengubah Masjid Besar Aya Sofia menjadi gereja dan setengahnya untuk musium, menutup masjid serta melarang shalat berjamaah, menghapuskan Kementerian Wakaf dan membiarkan anak-anak yatim dan fakir miskin. Dia membatalkan undang-undang waris, faraid secara Islam, menghapus penggunaan kalendar Islam dan mengganti huruf Arab ke dalam huruf Latin. Attatürk mengganggap dirinya tuhan sama seperti firaun. Ketika itu ada seorang prajurit ditanya “siapa tuhan dan di mana tuhan tinggal?” karena takut, prajurit tersebut menjawab "Kemal Attatürk adalah tuhan”, dia tersenyum dan bangga dengan jawaban yang diberikan. Saat-saat menjelang kematiannya, Allah mendatangkan kepadanya beberapa penyakit yang membuatnya tersiksa dan tak dapat menanggung azab yang Allah berikan di dunia, diantaranya penyakit kulit dimana dia merasakan gatal di sekujur tubuh. Dia juga menderita penyakit jantung dan darah tinggi. Kemudian rasa panas sepanjang hari, tidak pernah merasa sejuk sehingga pompa air dikerahkan untuk menyirami rumahnya selama 24 jam. Attatürk juga menyuruh para pembantunya untuk meletakkan kantong-kantong es di dalam selimut untuk membuatnya sejuk. Maha Suci Allah, walau telah berusaha keras, tidak ada yang dapat mereka lakukan untuk mengusir rasa panas itu. Oleh karena tidak tahan dengan panas yang dirasakan, dia menjerit sangat keras hingga seluruh istana mendengarnya. Karena tidak tahan mendengar jeritan, para pembantunya membawa Attatürk ke tengah lautan dan diletakkan dalam kapal dengan harapan beliau akan merasa sejuk. Maha Besar Allah, panasnya tak juga hilang!! Pada 26 September 1938, dia pingsan selama 48 jam disebabkan panas yang dirasakannya dan kemudian sadar tetapi dia hilang ingatan. Pada 9 November 1938, dia pingsan sekali lagi selama 36 jam dan akhirnya meninggal dunia. Ketika itu tidak ada yang mau mengurus jenazahnya sesuai syariat. Mayatnya diawetkan selama 9 hari 9 malam, sehingga adik perempuannya datang meminta ulama-ulama Turki untuk memandikan, mengkafankan dan menshalatkannya. Tidak cukup sampai disitu, Allah tunjukkan lagi azab ketika mayatnya akan dimakamkan. Sewaktu mayatnya hendak ditanam, tanah tidak menerimanya (tak dapat dibayangkan bagaimana jika tanah tidak menerimanya). Karena tidak diterima tanah, mayatnya diawetkan sekali lagi dan dimasukkan ke dalam musium yang diberi nama EtnaGrafi selama 15 tahun hingga tahun 1953. Setelah 15 tahun mayatnya hendak dikuburkan kembali, tapi Allah Maha Agung, bumi sekali lagi tak menerimanya. Sampai akhirnya mayat Attaturk dibawa ke satu bukit dan disimpan dalam celah-celah marmer seberat 44 ton. Lebih menyedihkan lagi, ulama-ulama yang sezaman dengan Attatürk mengatakan bahwa jangankan bumi Turki, seluruh bumi Allah ini tidak akan menerimanya. Naudzubillah.
Joshua Soesanto Jun 2014
aku ingin teriak
menghilangkan penat yang semakin memberat
sendiri tanpa wujud manusia bersama malam, mengelapkan bumi
titik terang seperti tidak berpihak di antara hati dan jiwa bergejolak
mimpi semakin jauh

satu cerita seperti gambaran perjalanan hidup
mengarah kepada kematian jiwa
keraslah
keringlah
seperti akar hasrat yang haus akan hujan nurani sebuah sosok

lalu makin penuhlah pikiran dengan kotoran suara "omong kosong"
puisi jingga yang kata banyak orang sebagai makna dari "hidup"
kapankah sebuah imajinasi berwujud nyata?
bertumbuh, bermutasi sebagai bagian dari mimpi yang pernah ada

sepertinya kopi dan rokok pun sudah bosan
mendengar celoteh sang pemberontak
tapi, mereka selalu ada
suntikan darurat adrenaline ke otak

disaat itulah..
aku membunuh tuan waktu
lupa reluk, remuk.
siraman spiritual kepada luka-luka nanah di masa muda

mungkinkah kopi berwujud manusia?
*apakah ia bidadari? *
dan
mengapa aku menanti dia mati?

ternyata benar
kematian adalah sebuah regulasi
ia menjadi bubuk mantra.. luruslah hidup katanya
seduh
delapan puluh derajat panasnya
sebuah bisikan kata-kata "pesona"
maka meronalah ia.. berbusa senyum
cairan itu.. damai

damai
selalu damai
lima huruf memukul ingatan akan senderan hangat dada yang empuk
detak jantungnya terdengar berdebar
kembalinya mantra halus jatuh dari bibir
kata-kata tertahan yang tak sempat kembali

akan kah kembali?
mungkin.
NURUL AMALIA Sep 2016
Aku terlalu kecil
Sekecil titik di atas kertas kusut
Aku hanyalah satu dari ribuan
bahkan tak terlihat
Terlindung dalam cangkang sempit dan tipis
Bersembunyi di balik daun yang mulai berubah warna
Rumah pertamaku
akhirnya aku terlahir
sebagai sesuatu yang aneh
Aku si buruk rupa
Tubuhku dipenuhi bulu
Merangkak lemah menyusuri ranting
Menggerogoti daun disekitar
membuatnya berlubang
melarikan diri dari burung
Bergulat dengan semut rangrang
Membuat saya jatuh ke tanah
Hingga buluku rontok berserakan
Hanya cacing yang menyapa
Mereka membenci saya sangat
Aku bisa terbunuh, tidak semuanya menerimaku
sampai aku terjebak dalam dimensi lain
Aku si  ulatbulu kesepian yang bersembunyi
Bertapa di dalam kantung usang yang kecil
Mencoba untuk membunuh waktu
Berjuang dalam kegelapan untuk mencapai keindahan
Sudah cukup persinggahanku
Mengarungi kerasnya penantian panjang yang membelenggu
Aku terlahir kembali
menjadi berbeda dan mereka menyukaiku
kebahagiaan berlimpah tiba
terbang tanpa batas dengan kedua sayap yang cantik
pergi ketempat yang indah yang kumau
Aridea P Oct 2011
Malam larut tak ku rasa kini

Hanya duduk merenungi sepi

Aku pun berdiri

Mendekati cermin di dekat ku

T'lah ku lihat kini

Bayang lain pengkejut hati

Namun, tak kuasa ku tahan tangis

Ingat-ingatmimpi yang lalu

Bintang-bintang kabur berkejaran

Bulan pun tak lagi berjanji pada ku

Untuk selalu menyinari aku

Malam larut hilang berganti pagi

Menusuk raga saat raga menyinari

Membunuh jiwa saat tak lagi kini

Ku rasakan malam yang hening

Di mana ku selalu teringat Belahan Jiwa

Yang dulu slalu mengiasi malam

Created by,

Aridea Purple
Noandy Mar 2016
/1/
Merindu berarti meranggas
Bak guguran detik demi detik
Pada tangan pedih di petang hari
Merindu berarti meradang
Saat senandung semu
Dari semua kisahmu
Menorehkan luka
Pada jejak lisanku
Yang tak kunjung bermuara
Karena kita yang bertualang
Hanyalah jiwa dalam deru
Jerit

/2/
Siapa yang tinggal dalam gelap
Jika bukan sekumpul hantu
Dan kepulan sisa ragamu
Yang denyut nadinya
Sangat susah untuk kuraba
Untuk apa membunuh diri
Bila ternyata
Tak pernah hidup
Di cinta hingar bingar
Di pilu tak berpijar
Sumbu tubuhmu
Akankah menyala lagi
Apabila ku dekap dalam ratap?

/3/
Terbitnya kabut
Setelah fajar
Takkan bisa
Gantikan
Kenanganmu dalam redup
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
APA KAU TAK DENGAR ??

Sebuah nyanyian gerakan melingking lurus tajam
ke arah penguasa yang menusuk hati rakyat.

Para pemuda dan mahasiswa yang berada
dalam pusaran arus kerusakan
Maka tiada lagi, kita harus melawan !

Disaat buku hanya berada dikantong saku berdebu
Disaat pena tak lagi mengeluarkan goresan tajamnya
Disaat megaphonemu tak lagi bersuara karena usang
Disaat tongsismu membunuh sikap kritis !

Mana raunganmu wahai Pemuda ?
Keluarlah dari barak kos dan sekretariatanmu Mahasiswa !

Apa kau tak dengar ??

Mana raunganmu wahai Pemuda ?
Keluarlah dari barak kos dan sekretariatanmu Mahasiswa !

Apa kau tak dengar ??

Sungguh ibumu tak kan rela melihat dapur rumahnya
yang tak lagi mengepul

Apa kau tak dengar ??

Sungguh bapakmu tak kan rela melihat kau
menderita karena miskin tenaga

Apa kau tak dengar ??

Sungguh jalan raya merindukan berbagai aksi aksimu
disetiap hentakan langkah kakimu

Apa kau tak dengar ??

Sungguh engkau adalah Generasi yang diharapkan
ummat Muhammad !

Wahai Mahasiswa.. Kau pembebas dunia
Wahai Mahasiswa.. Kau penerus negeri

Wahai Mahasiswa.. Dikepalmu Khilafah !
Wahai Mahasiswa.. Dikepalmu Khilafah !
Wahai Mahasiswa.. Dikepalmu Khilafah !

‪#‎RinduPergolakan‬
Sipaa Adriani Jun 2019
Rasanya tubuhku seperti ditikam jutaan kali
Ragaku,perlahan mati
Rasaku hancur tak bertepi
Dan kau si bajingan,yang ku dambakan
Yang selalu ku beri pujian
Yang detik ini masih pertahankan
Tapi malah membunuh ku secara perlahan

Aku benci hadirmu yang selalu membayangi diri
Disaat ku mulai melangkah kan kaki
Sejauh mungkin, melupakan kau
Dan rasa kita yang perlahan mati

Tolong,untuk kali ini
Jadilah bajingan yang sedikit punya rasa baik hati
Bantu sedikit aku memulihkan raga ini
Bantu aku sedikit percaya diri
Bahwa kau memang sudah sepantasnya tak di sisi
Pergilah jauh dan tak perlu lagi kau kembali disini

Rasaku sudah mati
Sejak kau memilih berlalu pergi
Aku benci
Tapi aku mencintai
ophelia Jan 2019
tatapan kosong yang mencerminkan kesuraman itu,
membunuh jiwaku perlahan namun pasti,
sekarang aku sekarat.
aku tidak menuntut banyak hal dalam hidup,
hanya butuh teman untuk bercerita dan bercengkrama.
sekarang sepi, akankah sampai mati?
kesepian membunuh jiwa.
Blacksoul Nov 2014
Rasa rindu yang membunuh.
Indah kononnya.
Pernah aku berhenti mendongak ke langit.
Melihat indahnya sana.
Lukisan dunia bukan buatan manusia.
Namun, aku lupa.
Sesungguhnya cinta manusia itu tak kekal mana.
Aku alpa akan rindu aku padaNya,
Yang satu itu, Pemberi Cinta.
Mousamous Sep 2017
pasal IV: tentang hujan yang tak kunjung reda, dan tangis yang tak kunjung berakhir.

- terkadang, ada beberapa hal yang datang, selain membawa berkah dan kebahagiaan, juga turut di dalamnya kesedihan yang berlarutlarut. seperti halnya hujan, yang datang membawa unsur kehidupan, tapi kemudian, dinginnya mengundang pilu, berusah mencari kehangatan. begitu pula dirimu, datang sekiranya membuatku bahagia walau di awal, namun akhirnya memilih pergi setelah membunuh setiap harapan baru yang tumbuh dengan tega.

- ada beberapa hal yang terjadi, namun datangnya tak dapat dihentikan, dan kepergiannya tak dapat dipaksakan, layaknya hujan ketika mentari tengah bersinar, membuat sebagian orang mendengus kesal, banyak hal rencana yang gagal. seperti halnya dirimu, ketika dirimu datang ketika ku tengah sedemikian rupa menata hati. kau datang mengambil setitik kecil potonganmu yang tertinggal, kemudian justru potongan kecil itu yang menghancurkan hati yang telah tertata rapi. hancur. kembali. lalu kau beranjak pergi, layaknya hujan badai yang reda, seolah tak terjadi apaapa.

- setelahnya, setelah sisasisa hujan pada dedaunan mengering, dan musim hujan telah berlalu, masih sesekali duakali ia datang, mebawa harapan sekilas, kemudian pergi seolah tak ingin kembali. sejenak menentramkan,  meluruhkan kotoran di udara, namun tetesannyamengandung racun yang tak baik. seperti ketikamu datang tibatiba, seolaholah baikbaik saja, ternyata memang tidak ada apaapa, bukan benarbenar tidak ada, hanya saja, bukan untukku, tapi untuk dia yang lain.

- selalu ada akhir dari jutaan tetesan air yang jatuh ke bumi, dan semoga, hal itu juga berlaku pada diriku. entah kapan tangis akan reda, namun kau tetap saja berlalu, semoga kau tak lagi datang membawa harapan. maafkan keegoisanku memilih menangisi kepergianmu.

prdks.
ps: jika dirimu tau rasanya hujan yang turun ketika mentari tengah bersinar, harusnya kau tau, bagaimana rasanya tangis yang muncul ketika senyum tengah memekar. maafkan keegoisanku.
Sito Fossy Biosa Apr 2020
KAMU MENGAKU CINTA AKU-Oklasasadu, yang seisi ruh berdiri melamun.
Oklasasadu, yang biasanya menaruh tangan kananmu di telinga kiriku.
Oklasasadu, pendek pun kali luas menguap berbisa tubuh bukan lagi ruh.
Oklasasadu, mana guna jika mungkin tersisa iri, ruh ini sebagai bukti, HANYA tuhan YANG MEMBENCIKU.

Tadi adalah mimpi, saat Oklasasadu terdapat sapa.
Keluar masuk tanpa rasa, Oklasasadu di saat masa yang hening lagi menyapa dia.
Melihat Oklasasadu sepertinya berubah mentega diantara saya.
Setahuku Oklasasadu hanya benci padanya.
Dia pikir Oklasasadu tidak pernah sadar, adanya dia berulah saja.

Bangun siang di tengah malam, ada Oklasasadu berbunyi (a ku la mu nan mu) diulang hingga benar-benar tenang dalam dirinya. Him. Membunuh dengan halusnya empati.
oklasasadu is a diction that was deliberately created by Sito Fossy Biosa to express his frustration with God, disappointment, against God, and the concept of Godhead. ⊙a concrete poetry project⊙
Sito Fossy Biosa May 2020
Menyelesaikan yang ............
Membunuh yang ..............
Mengerjakan yang .............
Sesuatu yang .................
tuhan yang ...................

Complete that ............
**** the ..............
Doing that .............
Something that .................
the god ...................
oklasasadu is a diction that was deliberately created by Sito Fossy Biosa to express his frustration with God, disappointment, against God, and the concept of Godhead. ⊙a concrete poetry project⊙

— The End —