Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Ivan Brooks Sr Aug 2018
African woman
Mother of civilization.
Oh beautiful woman,
Thou are beyond description.

African woman
Queen of the people of Mamba.
Jambo to all those in heaven
Bless you too my dear mama.

African woman
Royal Nubian Queen.
The backbone of her man
You'll do anything to help him win.

Single Black woman
Made of broken pieces
You're the breadwinner,Superwoman.
You're the symbol of strength in all places.

African woman
Daughter of Eve's.
Thou are God's true specimen,
And the apple of his eyes.

Black woman
Daughter of Africa.
Blueprint of a **** woman,
Dark hue of coffee arabica.

African woman
Mother of humanity
Chieftess of ancient Nyngoman,
Mama Africa's bounty.

African woman
My Mandingo bride.
First woman of Africa's Eden
Center of God's black tribe.

Nigerian woman
My Yoruba Queen.
Envied by the women of Oman,
Cafe ou lair, cream of Africa's cream!

Warrior woman,
Queen of Wakanda.
Come and flip your wand,
Find the soul of Sarafina.

Curvy woman
In your womb lies Africa's future.
My Lormah woman
Oyobuays marvels at your structure.

Beautiful woman,
Perpetual envy of the silicon woman.
Pride of the Black man,
The essence of a real woman.

Indigo Woman
Lillies of the African plains.
Thou are Eve of the African Eden,
Best of the portraits that nature paints.

Voluptous woman,
Full, thick natural lips.
Real assert of the Black woman,
Nature gets aroused by your hips.

Ellen Sirleaf, today's woman,
Africa's first female president.
A Liberian woman,
Loved and revered wherever she went.

Smile ,Gambian woman,
You're daughter of Sarakunda.
Roots of the Black American woman,
Captives of the kanda Bolinga.

South African woman
Mariam Makeba
Sang for freedom and fought like a man
You were truly Soweto's finest Deva.

Dark ebony woman,
You are red, yellow and green.
Hanmatan wind stops at your command,
Born to slay and be seen.

African woman
Thou are the only reason
God put Adam in a coma.
Your perpetual beauty transcends time and Season.

African woman,
Under your cleavage, the Nile flows
And between your fingers, golden threads are woven,
You are the reason Beyonce glows.

Harriet Tubman, brave woman
Smuggled slaves underground.
She was a freed Black slave woman,
Who avowed to leave no soul behind.

Creative woman
Maya Angelou, gifted poetess.
Famous writer and a Black woman
Will be remembered for her poetic prowess.

Native African woman,
Africa's limestone and cement.
A mother, a wife, virtuous woman,
Lioness and the spine of the continent.

Liberian woman
Roots of my poetry, you gave me life
You are every woman.
Your edges are sharper than the Sumarais knife.



#IvanBrookspoetry©
13/8/2018
For mama and all the black Queens.
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
Renjith Prahlad Aug 2011
Kalippaattam
------------

              ---Renjith Prahlad
                        (27th AUGUST 2011-12:30AM)



Vimookamaayoru sundara swapnam ente kannukale yaanthrikamaaya ee lokathilninnakatti
bhaavanayile mohanabhoomiyileku yathrayaakkunnu..Ennal Ivide kanunnathu yaadharhyathil
aroopiyaaya ente mohangalude kadanjedutha swaroopangale..ivide kelkkunnathu
yadhaarthyathil uumakalaya prathyaashakalude imbamaarnna prathidhwanikal..
Ivide enne sparshikkunnathu yaadharthyathil maravicha ormakalude jeevanulla viralukal..
Ivide njan anubhavikkunnathu yaadhaarthyathil oru pazhjadamaaya ente, chetananiranja
chalanagal..allayo Swapname ethakshayapaathrathil ninnedukkunnu nee ithratholam
jyothithullikale,ente raathrikalil prakaasham choriyuvaanaayi..Pakshe, oru maathrayude
maathrayolam polum illallo ninte aayussinte dairkhyathinu...Kizhakkile chakavarthiyude
udayam asthamippikkunnathu vimookamaaya aa sundara swapnathinullile sooryane ..
Kizhakkile chakavarthiyude sobha vazhithelikkunnathu swapnathil maathram
swathanthranaya ee kuthirayude adimathwathilekkulla thirichupookkine...


Njan oru kuthirayaanu..jeevashavamaayoru kalippattam..Enikku chaadaam,odaam,
shabdamundaakam..pakshe ellam oru thaakkolinte kanakkinanussarichu..,oru kurunnu
baalante manassinanussarichu..avane rasippikkuvan kazhinjal..avante viralukale
anussarikkan kazhinjal enikku kure neeram chalikkam..kalankamariyaathorukuttiyude
adimayaayi eere naal jeevanillathe jeevikkam..ente suhruthukkale...shashvathamaayoru
maranathe polum aagrahikkan avakaashamillatha ente ee janmam shapikkappettathalle...
Niraveettan aavathillatha Aashaakalum mohangalum ente manassil kumilukalaai pirann
anthimam parasparam thattichithari athmahathya cheyyunnathu shaapameetathinalalle..
avarozhukkiya chorathullikal polum adimakalaakunnathu shapikkappetta ente
manassinullile irunda shoonyathayilalle..Nikoodatha koodukoottiya vanangaliloode
paanju pokuvaan..Marangaleyum pakshikaleyum pinnilaaki kodumkaattinte gathiyepolum
athijeevichu oru kuthirayude lokathekku raapaarkkan..sharamazha peyyunna yudhabhoomiyileekku raajyatinaayi poruthunna sippaikalude naduvileekku, raajaakkanmareyum padathalavanmaareyum purathiruthi avasaana shwasathe sharangal thulachukeerumvare dheeramaayi poraadi maranamadayan oru kuthira aagrahichaal athil thettilla,pakshe oru kalippattam aaya kuthira aagrahichaal
athahankaaramaakunnathengane..Kalippatamenkilum kuthirayalle njanum..Enikku mathram
enthe aagrahangalkku neere kuda nivarthendivarunnathu...Enikkuchuttum maathram enthe
kudakkyu keezhe athimohangal nizhalikkunnathu..

Ennal, Kudaykku keezhile ANDHAKAARAM oru divasam enikku thannu, Irulil janichuveenu
shwethajwaalayayi valarunna swapnangalee..Kalippattamaaya njan annumuthal andhakaarathe
snehichu thudangi....kaaranam Swapnathil njan kalippattamalla..jeevanulla kuthirayaanu..
Njan adimathvatinte theerangalilalla, swaathanthriyathinte ananthasamudrathilaanu..
Vimokamaaya aa sundara swapnam vechuneettiya sowbhagyangale enikku nishedikakkan
kazhinjilla, yaadhaarthyathilekku oru madangipookkinu ente manassu madichu..
swapnavaathilukal orikkalum adayalle ennaashichu..pakshe ente mohangalkkethirayi
swapnasooryan swapnachakravaalathileekasthamichu thudangi..swapnavaathilukal adyaan
thudangi.swapnagale swanthamaakkunna swapnangal kanda njan, ente madagivaravinaay
kaathirikkunna yadharthyathe avaganichu..swapnalokathe sweekarichu..Vilangukal
pottichodunna kuttavaaliye pole njan odirakshappettu..Yaadharthyathinorikkalum
ethippedaan kazhiyaathathra doorangalilekku njan yathrayaay..pakshe, Aashakalum
Mohanglum niraveettiya santhoshathinte velicham amithavegam polinju..Kalippatamaay
jeevichirunna lokathorikalum anubhavappettittillathoru thalarcha ente shareerathe
aswasthamaakki..Marubhoomiyile mantharikal orittu mazhaykkayi kezunnathu pole ente
thondayum oru thullidaahajalathinay karanju..divasangal kadannu poyi..swapnathiloodeyum
narakathe praapikkam ennu njan manassilaakki...Vikruthmaayoru aantharikathe maraykkunna
ente swapnamohangalude kadanjedutha swaroopangalekkal ethrayo dhanyamaanu, roopamillatha
ente yaadarthyamohangal ennu njan manassilaakki..Vilaapaswarangal maathram paadunna ente
swapnamohangalude prathidhwanikalekkal ethrayodhanyamaanu, uumakalaya ente
prathyaashakal, ennu njan manassilaaki.Enne jeevanode njerukkunna ente swapnamohangalude
viralukalekkal ethrayo dhanyamaanu, maravicha ente yaadarthya ormakal ennu njan
manassilakki,Ennil ninnum chethana oottunna ente chethana niranja chalanangalekkal
ethrayo dhanyamaanu,oru kurunnu baalante chundilpirakunna punchiriyude maathru
janmam, oru paazhjadamaaya kalippaattathinte janmam...ennu njan manassilaakki...

         -----------------------------------------------------------------­

Vaathilukal pinnum thurannu.."Madangivaru kalippattame"..Kurunnu baalante chundil veendum
oru niranja punchiri pirannu...

                           -----Renjith Prahlad
Hikirit-an ko pirme ikaw hadto
Ha kada paglalagos ko ha diskanso
Tangpi han salog, didto may kahabub-an
Sapit han narra han kanda nanay bungsaran.

Udanon ko la ikaw kit-on
Talagsa ka la gihap sumid-ap ha akon
Bisan man kun makusog an sulog han tubig
Dire ka man naaanod bis' di ka nasarig.

Maupay pagkit-on an imo mga mata
Baga hin bituon kun masirom na
Ngan kun kulopay nakabati ak han imo pag tangis
Iba man an tunog, baga hin huni'n gangis.

Tulo pa la ak ada ka tuig hadto
Baga dire na gud ak nakanumdom
Ambot. Yana, dire ko na man ikaw hinkikit-an
Waray na gihap an narra didto'n kanda nanay bungsaran.
This piece was inspired by the song "Diwata" by Abra and Chito Miranda, but with a darker tone
A cold winter noon
Perched atop a new ruin,
Toothpick stirring a remix bhajan,
Rocking in a lame chair, there I am.
Taking in the sun,
Thinking of the world, the poor
And sipping on my ***.

‘’Ayele kanda, batata’’
Ah, there goes my line.
Why doesn’t the idiot shut up?
We can’t anymore buy onion and potato.

A lonely koel perches on the antenna
Clears its throat and tries to sing,
Hoot! Out of my sight you noisy thing.
Give me peace and let me think.

One more sip, the line comes again,
The down trodden!
A girl of sixteen was ***** and killed.
Who will punish the bustards? Such a shame.

A mother of two violated,  
Shorn and paraded naked.
Served her right, the five magi hissed
Her threadbare boy shouldn’t a Brahmin have kissed!

The stocks went down; the Taj has gone brown,
Down with the rightists, down with the leftists,
Down with the middle-east, down with the Pakis,
And the Chinese, a foreign hand, don’t you see?

Rocking in the lame chair,
Taking in the sun,
Thinking of the world
And sipping on my ***.
"Ayele Kanda batata"- cry of the hawkers selling onion,potato and other vegetables door to door in Mumbai. They are famous for their piercing high pitched cries.

— The End —