Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Hinanya Kematian Mustafa Kemal Attatürk yang Dikenal sebagai ‘Bapak Modernisasi Turki’ dari perspektif Barat, dia sebenarnya adalah tokoh yang meng’sekuler’kan dan ‘membunuh’ syiar Islam di Turki. Siapa lagi jika bukan Mustafa Kemal Attatürk yang diberi gelar Al-Ghazi (orang yang memerangi). "Attatürk" berarti "Bapak Orang Turki". Attatürk adalah orang yang bertanggung jawab meruntuhkan Khilafah Islam Turki pada tahun 1924. H.S. Armstrong, salah seorang pembantu Attatürk dalam bukunya yang berjudul Al-Zi’bu Al-Aghbar atau Al-Hayah Al-Khasah Li Taghiyyah telah menulis: "Sesungguhnya Attatürk adalah keturunan Yahudi, nenek moyangnya adalah Yahudi yang pindah dari Spanyol ke pelabuhan Salonika". Golongan Yahudi ini dinamakan dengan Yahudi "Daunamah" yang terdiri dari 600 keluarga. Mereka mengaku beragama Islam hanya sebagai identitas, tetapi masih menganut agama Yahudi secara diam-diam. Ini diakui sendiri oleh bekas Presiden Israel, Yitzak Zifi, dalam bukunya Daunamah terbitan tahun 1957. Attatürk mengubah ucapan Assalamualaikum menjadi Marhaban Bikum (Selamat Datang), melarang menggunakan busana Islam dan sebaliknya mewajibkan memakai pakaian ala Barat. Dalam tempo beberapa tahun saja, dia berhasil menghapuskan perayaan Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha serta melarang kaum muslim menunaikan ibadah Haji, melarang poligami dan melegalkan perkawinan wanita muslim dengan non muslim. Dia membatalkan libur pada hari Jum'at, melarang adzan dalam bahasa Arab dan menggantinya dengan bahasa Turki. Tindakan yang dilakukan oleh Attatürk ini nyata sekali telah memisahkan budaya Turki dari akar agama Islam dan menghapuskan Islam sebagai agama resmi negara Turki. Attatürk berusaha keras untuk menghancurkan para penentangnya. Dia membakar majelis-majelis, menangkap para pimpinan majelis dan juga mengawasi para ulama. Attatürk pernah menegaskan bahwa “negara tidak akan maju kalau rakyatnya tidak cenderung kepada pakaian modern”. Dia menggalakkan minum arak secara terbuka, mengubah Al-Quran yang kemudian dicetak dalam bahasa Turki. Bahasa Turki sendiri diubah dengan membuang unsur-unsur Arab dan Parsi. Attatürk mengubah Masjid Besar Aya Sofia menjadi gereja dan setengahnya untuk musium, menutup masjid serta melarang shalat berjamaah, menghapuskan Kementerian Wakaf dan membiarkan anak-anak yatim dan fakir miskin. Dia membatalkan undang-undang waris, faraid secara Islam, menghapus penggunaan kalendar Islam dan mengganti huruf Arab ke dalam huruf Latin. Attatürk mengganggap dirinya tuhan sama seperti firaun. Ketika itu ada seorang prajurit ditanya “siapa tuhan dan di mana tuhan tinggal?” karena takut, prajurit tersebut menjawab "Kemal Attatürk adalah tuhan”, dia tersenyum dan bangga dengan jawaban yang diberikan. Saat-saat menjelang kematiannya, Allah mendatangkan kepadanya beberapa penyakit yang membuatnya tersiksa dan tak dapat menanggung azab yang Allah berikan di dunia, diantaranya penyakit kulit dimana dia merasakan gatal di sekujur tubuh. Dia juga menderita penyakit jantung dan darah tinggi. Kemudian rasa panas sepanjang hari, tidak pernah merasa sejuk sehingga pompa air dikerahkan untuk menyirami rumahnya selama 24 jam. Attatürk juga menyuruh para pembantunya untuk meletakkan kantong-kantong es di dalam selimut untuk membuatnya sejuk. Maha Suci Allah, walau telah berusaha keras, tidak ada yang dapat mereka lakukan untuk mengusir rasa panas itu. Oleh karena tidak tahan dengan panas yang dirasakan, dia menjerit sangat keras hingga seluruh istana mendengarnya. Karena tidak tahan mendengar jeritan, para pembantunya membawa Attatürk ke tengah lautan dan diletakkan dalam kapal dengan harapan beliau akan merasa sejuk. Maha Besar Allah, panasnya tak juga hilang!! Pada 26 September 1938, dia pingsan selama 48 jam disebabkan panas yang dirasakannya dan kemudian sadar tetapi dia hilang ingatan. Pada 9 November 1938, dia pingsan sekali lagi selama 36 jam dan akhirnya meninggal dunia. Ketika itu tidak ada yang mau mengurus jenazahnya sesuai syariat. Mayatnya diawetkan selama 9 hari 9 malam, sehingga adik perempuannya datang meminta ulama-ulama Turki untuk memandikan, mengkafankan dan menshalatkannya. Tidak cukup sampai disitu, Allah tunjukkan lagi azab ketika mayatnya akan dimakamkan. Sewaktu mayatnya hendak ditanam, tanah tidak menerimanya (tak dapat dibayangkan bagaimana jika tanah tidak menerimanya). Karena tidak diterima tanah, mayatnya diawetkan sekali lagi dan dimasukkan ke dalam musium yang diberi nama EtnaGrafi selama 15 tahun hingga tahun 1953. Setelah 15 tahun mayatnya hendak dikuburkan kembali, tapi Allah Maha Agung, bumi sekali lagi tak menerimanya. Sampai akhirnya mayat Attaturk dibawa ke satu bukit dan disimpan dalam celah-celah marmer seberat 44 ton. Lebih menyedihkan lagi, ulama-ulama yang sezaman dengan Attatürk mengatakan bahwa jangankan bumi Turki, seluruh bumi Allah ini tidak akan menerimanya. Naudzubillah.
el Mar 2016
lagi, aku menulis untukmu. tidak pernah bosan jemari ini menari diatas kertas putih merangkai kata hanya untukmu, seseorang yang lebih berharga dari sebutir berlian termahal di duna ini.

teruntuk seseorang yang namanya masih belum mampu aku tulis diatas kertas ini,
selamat hari minggu. semoga minggu depan lebih baik dari minggu ini. tenang saja, aku sudah meminta kepada Tuhan untuk menukar seluruh kesedihanmu selama seminggu ke depan dengan kebahagiaanku. ah, tenang saja. aku bisa menahan rasa sedih sebanyak apapun itu.

apa kabar? bagaimana senjamu kemarin? apakah mengesankan? ah, sangat disayangkan. bagiku, setiap senja datang mengunjungi mengintip dari sela-sela jendela kamar, sinarnya selalu mengingatkanku kepadamu. aneh, bukan? hah, mengapa setiap hal yang aku lihat selalu mengingatkanku padamu? mau sampai kapan kamu tetap bersarang dibenakku? tapi aku berjanji, setelah kamu selesai membaca surat usang ini, aku sudah melupakanmu dan seluruh kenangan indah tentangmu.

tujuanku kali ini adalah untuk mengucapkan terima kasih. terima kasih telah mengajariku bagaimana rasanya dijaga dan diperhatikan. bagaimana rasanya jatuh hati. bagaimana rasanya ditinggalkan begitu saja. bagaimana rasanya mengukir rindu diatas batu. aku ingin berterima kasih kepadamu. dan aku berterimakasih kepadamu. karenamu, aku dapat paham bagaimana rasanya mencintai seseorang tanpa timbal balik.

aku hendak pergi. maka itu, aku menulis surat ini sebagai tanda perpisahan denganmu. aku akan pergi meninggalkanmu di belakang. aku akan melepasmu pergi, membiarkanmu mencari kebahaigaanmu sendiri. karena aku akan berkelana mencari kebahagiaanku.

aku akan mengikuti kemana angin akan membawaku. aku ingin bebas leluasa mencari penggantimu. tidak mungkin selamanya aku akan hidup di dalam bejanamu. sudah cukup banyak air mata yang tertahan karena diam mengagumi dari jauh. hal itu sudah cukup membuat hati tersayat sangat dalam. bahkan dengan kecupan macam apapun tidak akan memperbaikinya.

satu hal yang aku minta darimu.
berbahagialah dengan siapapun itu perempuan pilihanmu. hargai dia dan perlakukan dia seperti dia adalah perempuan terakhir yang akan kamu lihat. aku tidak akan pernah berhenti mendoakan kebahagiaanmu. dimanapun kamu berada, berbahagialah.

selamat tinggal. terima kasih untuk 1.700 hari ini. aku belajar sangat banyak. aku tidak akan melupakanmu seutuhnya. aku akan selalu mengingatmu sebagai senja favoritku.
berjanjilah, jangan pernah mencariku lagi.
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Islam adalah ajaran yang sangat sempurna, sampai-sampai cara berpakaian pun dibimbing oleh Alloh Dzat yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi diri kita. Bisa jadi sesuatu yang kita sukai, baik itu berupa model pakaian atau perhiasan pada hakikatnya justru jelek menurut Alloh. Alloh berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu adalah baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal sebenarnya itu buruk bagimu, Alloh lah yang Maha mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al Baqoroh: 216). Oleh karenanya marilah kita ikuti bimbingan-Nya dalam segala perkara termasuk mengenai cara berpakaian.

Perintah dari Atas Langit

Alloh Ta’ala memerintahkan kepada kaum muslimah untuk berjilbab sesuai syari’at. Alloh berfirman, “Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu serta para wanita kaum beriman agar mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka mudah dikenal dan tidak diganggu orang. Alloh Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (Al Ahzab: 59)

Ketentuan Jilbab Menurut Syari’at

Berikut ini beberapa ketentuan jilbab syar’i ketika seorang muslimah berada di luar rumah atau berhadapan dengan laki-laki yang bukan mahrom (bukan ‘muhrim’, karena muhrim berarti orang yang berihrom) yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shohihah dengan contoh penyimpangannya, semoga Alloh memudahkan kita untuk memahami kebenaran dan mengamalkannya serta memudahkan kita untuk meninggalkan busana yang melanggar ketentuan Robbul ‘alamiin.

Pertama

Pakaian muslimah itu harus menutup seluruh badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangan (lihat Al Ahzab: 59 dan An Nuur: 31). Selain keduanya seperti leher dan lain-lain, maka tidak boleh ditampakkan walaupun cuma sebesar uang logam, apalagi malah buka-bukaan. Bahkan sebagian ulama mewajibkan untuk ditutupi seluruhnya tanpa kecuali-red.

Kedua

Bukan busana perhiasan yang justru menarik perhatian seperti yang banyak dihiasi dengan gambar bunga apalagi yang warna-warni, atau disertai gambar makhluk bernyawa, apalagi gambarnya lambang partai politik!!!; ini bahkan bisa menimbulkan perpecahan diantara sesama muslimin. Sadarlah wahai kaum muslimin…

Ketiga

Harus longgar, tidak ketat, tidak tipis dan tidak sempit yang mengakibatkan lekuk-lekuk tubuhnya tampak atau transparan. Cermatilah, dari sini kita bisa menilai apakah jilbab gaul yang tipis dan ketat yang banyak dikenakan para mahasiswi maupun ibu-ibu di sekitar kita dan bahkan para artis itu sesuai syari’at atau tidak.

Keempat

Tidak diberi wangi-wangian atau parfum karena dapat memancing syahwat lelaki yang mencium keharumannya. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang wanita diantara kalian hendak ke masjid, maka janganlah sekali-kali dia memakai wewangian.” (HR. Muslim). Kalau pergi ke masjid saja dilarang memakai wewangian lalu bagaimana lagi para wanita yang pergi ke kampus-kampus, ke pasar-pasar bahkan berdesak-desakkan dalam bis kota dengan parfum yang menusuk hidung?! Wallohul musta’an.

Kelima

Tidak menyerupai pakaian laki-laki seperti memakai celana panjang, kaos oblong dan semacamnya. Rosululloh melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki (HR. Bukhori)

Keenam

Tidak menyerupai pakaian orang-orang *****. Nabi senantiasa memerintahkan kita untuk menyelisihi mereka diantaranya dalam masalah pakaian yang menjadi ciri mereka.

Ketujuh

Bukan untuk mencari popularitas. Untuk apa kalian mencari popularitas wahai saudariku? Apakah kalian ingin terjerumus ke dalam neraka hanya demi popularitas semu. Lihatlah isteri Nabi yang cantik Ibunda ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha yang dengan patuh menutup dirinya dengan jilbab syar’i, bukankah kecerdasannya amat masyhur di kalangan ummat ini? Wallohul muwaffiq.

(Disarikan oleh Abu Mushlih dari Jilbab Wanita Muslimah karya Syaikh Al Albani)
pukul empat sore tadi
seorang pria tua penuh keriput diwajahnya
pergi melangkahkan kaki rentanya
keluar dari pondok jati tempat semalam ia terlelap
lengkap dengan pakaian rapih kebesarannya, sepatu boot dan tak lupa topi baret miliknya

diambilnya sepeda jengki bercat kusam
dengan sedikit bercak karat pada besi besinya
yang disandarkan oleh empunya pada pagar kayu depan pondok

digiringlah sang sepeda jengki menuju jalan sambil melangkah
menuju tempat tujuannya
selang beberapa saat, ia tunggangi sepeda jengki itu
ia kayuh sambil berpeluh pada dahi sampai ke tubuh
berbulir menetes tak ada ragu

lirih ia dendangkan lagu
yang telah ia hafal selama hidupnya
saat ia masih muda
yang dapat memacu semangatnya dulu
saat akan hendak pergi berperang bersama kawan-kawannya dulu

sesampainya ia di Jalan Kusumanegara
di depan taman berpagar tembok putih
di-remnya sepeda jengki kusam itu
tepat di tepi seorang wanita yang sudah terduduk rapi menggelar dagangannya

"Saya beli kembangmu, cukup lima ribu saja." itu katanya
sang wanita penjual lekas membungkuskan permintaannya dengan senyum dibibir

sembari memberikan bungkusan kembang kepada pria bersepeda jengki itu, ia lalu bertanya "Kalau boleh saya tahu, untuk siapa kembang ini Bapak beli?" ujarnya santun hormat

sang pria bersepeda jengki terdiam, ia lalu tertawa kecil
tawa khas seorang di usia senjanya

"Saya mau jenguk kawan seperjuangan saya, hari ini 20 Desember, tepatnya 68 tahun yang lalu, ia berpamitan ingin menuju dunia Qadim milikNya saat kami sedang berjuang untuk Negara" jawabnya

Pria bersepeda jengki itu lalu undur diri, dititipkannya sepeda tua miliknya
pada sang wanita penjual kembang, ia lalu berjalan kaki
memasuki gerbang tembok bercat putih
bertuliskan Taman Makam Pahlawan Kusumanegara
Daerah Istimewa Yogyakarta
dengan langkah mantap dan juga senyum mengembang di wajah keriputnya

" Assalamu'alaikum, Aku njaluk sepuro yo Di Mas, Kepriye kabarmu? Ayo gek tak ceritani kabar Indonesia saiki! "
terinspirasi saat berada di kota Yogyakarta melihat Para Veteran di kawasan Alun-Alun Selatan Kota Yogyakarta di sore hari, saya rindu suasana Yogyakarta :)
Gymnossienne Jul 2014
Tenggelam dalam riak nafasmu
Bagai ombak bertalu-talu di tepian kalbu
Terbuai oleh lantunan irama kehidupan
Bersenandung dibalik kerangkeng iga

Aku perahu di lautan luasmu
Tanpa dermaga yang hendak ku tuju
Hening malam tak kuasa membungkam
Detak yang berteriak memuja semesta

_________

*Engulfed in the ripples of your breath
Tides pulsing at the shorelines of soul
Lulled by the chanting rhythm of life
Strumming against the rib cage

I am a boat in your vast ocean
Without a harbor to go to
The silence of night can't hold in
the heartbeats that bellow praises to universe
Aridea P Mar 2017
Palembang 27 Maret 2017

Untuk diriku sang penikmat kopi

Aku telah bangun saat fajar masih terlelap
Kemudian aku membuka jendela agar embun menatapku
Ku biarkan tamu pagi nan sejuk menyapu rambutku yang pirang
Seketika itu aku teringat tuk menyeruput kopi di gelas favoritku
Segelas Capuccinno hangat di tanganku sekarang
Mulai ku teguk sambil ku pejamkan mata
Ku rasakan manisnya krimer di lidahku
Mengingatkanku pada kamu
Pemanis di dalam hidupku

Aku hendak bekerja seperti biasanya
Kini mentari menantangku untuk menakhlukkannya
Ku pasang perisaiku dengan lengkap
Kemudian ku berpikir tuk mendapatkan segelas Caramel Frappe tuk menyejukkan hari ini

Tak terasa mentari kini telah lelah tuk bersinar
Sehingga membuat dunia kian gelap
Aku seduh Black Coffee tanpa gula
Tak ku hiraukan rasa pahitnya ketika menyentuh lidahku
Lebih pahit mana dengan kenyataan aku hidup tanpa cintamu?
D Aug 2019
“Tiga tahun dan kau tak pernah menulis tentangku.”
Katanya setengah bercanda, rambut hitam sebahu itu menutupi sebelah matanya. Bahkan saat berbicara tentang kecewa, dia tetap memilih untuk tidak menatap mataku.
“Tidak seperti pada si musisi itu, atau si perempuan yang kau bilang jahat.”
“Kau tahu aku hanya bisa menulis saat aku terluka, atau saat ada kafe baru di Jakarta — Namun itu tuntutan.”
Dia mendelik, tapi aku tahu dia sedang menahan tawa. Tawa yang kudengar hampir setiap hari setahun lalu. Selain bunyi tawa, terlalu banyak yang kita tahu akan masing-masing.
“Ya. Sepertinya seru kalau ada yang menulis tentangku.”
“Menulis tentangmu? Harus kumulai dari mana tulisan itu?”
Walau pemilihan kata “Seru” terdengar sangat remeh ditelingaku, pikiranku hinggap ke hal lain; mungkin harus kutekankan pada si konyol bersampul Rock and Roll ini bahwa ide tentangnya memang terlalu banyak dan terlalu dalam untuk digambarkan lewat satu atau seribu kata, setidaknya untukku. Di saat banyak yang mengagumiku karena lidah ini terlalu banyak berceloteh tentang film, sastra dan bercinta, laki-laki satu ini telah mendengar sinisnya makian yang terlontar dari lidahku — serta menjadi saksi akan terlemparnya makian tersebut ke sudut-sudut ruang. Selama dua tahun kedua bola mata coklatnya harus melihat ratusan lembar diri ini. Setiap hari lembaran yang berbeda. Namun aku tahu, dari sekian lembar yang ia baca, hanya beberapa yang betul-betul ia hafal - telaah - dan dia simpan di memori terdalamnya untuk suatu saat ia bolak-balik lagi. Setelah setahun berpisah dengannya, tubuh ini seakan tak mampu menghapus rasa yang begitu familiar, begitu kental, begitu erat, saat bersanding disebelahnya. Tidak pernah ada yang melihatku setelanjang ini.
“Kamu ingat saat kita hendak berangkat ke Bandung?”
“Untuk nonton konser Jazz?”
“Ya.”
Aku bisa merasakan nafasku berhenti.
“Aku melemparmu dengan handphone-ku.”
“Yang lalu retak dan mati.”
“Aku meneriakimu.”
“Aku juga.”
Terlepas persona beringasnya, suaranya hampir tidak pernah bernada tinggi, kecuali satu kali.
“Hari itu aku bertengkar dengan Ibu.”
Ada sesuatu dari dirinya yang sampai detik ini tak bisa kutemukan pada orang lain; ketidakmunafikannya.
“Kalian berdua sama sarapnya. Itulah yang bikin kalian begitu dekat.”


Dia tidak pernah berusaha menenangkanku dengan khotbah klise tentang kasih Ibu, atau tentang tanggung jawab seorang Ibu yang begitu berat — yang kadang membuatnya meledak membanjiri semesta dengan segala emosinya. Dia tidak pernah berpura-pura menjadi filsuf, menaruh tanda tanya kepada setiap kata dan kejadian, atau tidak pernah menjadi psikolog gadungan yang memaksaku bercerita saat otak ini masih melepuh belum waras. Jika banyak perempuan yang dalam hati berdarah-darah karena ingin diperhatikan, kekagumanku terhadap cuainya lelaki ini patut dipertanyakan. Sikap yang terlihat acuh tak acuh itu malah terlihat begitu natural di mataku. Ada perasaan nyaman yang tak bisa dijelaskan lewat kata-kata di saat aku tidak lagi mendengar rentetan omong kosong seperti; “Semua akan baik-baik saja.” “Tuhan akan membalas suatu yang baik dan buruk.” “Kamu perempuan yang kuat.”
Sebaliknya, lelaki nyentrik ini lebih memilih untuk menatap diam sebelum ia menyetel lagu pilihannya untukku keras-keras. Mengenal orang ini begitu lama, ada sedikit banyak hal yang kupetik dari hubungan kita yang lebih sering tidak jelas; mungkin cinta kasih tak harus repot.
D May 2019
Baru saja tubuh beserta ruh ini menggelar ritual yang dianggap kekal
Ritual dimana aku bisa merasakan tubuhku merukuk, merunduk, menekuk-nekuk seikhlasnya tanpa meminta apapun kecuali untuk tubuh ini dibimbing Nya
Tak peduli jika doaku belum juga dijabah
Sesungguhnya Tuhan hanya ingin jiwa ini pasrah
Sebiadab-biadabnya laku ku sebagai manusia, terkadang haus juga akan ibadah

Disaat kedua tangan ini hendak selesai menggulung kain sajadah, Muncul pesan berisi alamat.
“Sampai ketemu.”
Seakan lupa terhadap perihal ritual kekal dunia akherat
Ujung kepala sampai ujung kaki ini sepakat untuk berangkat
Mengapa akal sulit digunakan jikala merindu?
Aku bersumpah, tak ada yang tahu.




Dalam sesingkatnya waktu aku menjadi saksi akan kehadiran tubuhku di ruang serba asing
Satu-satunya yang tak asing adalah rupanya.
Ditengah kegaduhan batin yang luar biasa,
Hati ini hanya bisa berkata;
“Akhirnya aku kembali melihat matanya.”
Setengah sayup setengah berbinar,
Sepasang bola mata itu menatap milikku,
Suara familiar yang sekarang terdengar serak parau dibabat dunia itu bercerita;
“Aku lelah.”
“Aku tahu.”

Tak sampai tiga puluh menit diriku kembali menjadi saksi akan ingkarnya sumpahku,
Karena aku bisa melihat tubuh ini kembali merukuk, merunduk, menekuk berliuk-liuk
Di momen itu, segala pengetahuan lucut bersama pakaian.
Saat pakaianku dilempar ke lantai,
Harga diri yang kupeluk erat ikut jatuh bersamanya.
Adegan pengingkaran sumpah itu berlangsung entah berapa lama

Buah sinar Matahari mulai mengintip untuk meberitahu bahwa hari baru sudah nampak
Aku bergegas mengambil seribu jejak,
Di jalan pulang aku menerima pesan;
“Terima kasih.”
“Kembali.”
Butuh seribu tahun untuk hancur ini diperbaiki.







Semua ini, sedangkan aku hanya ingin melihat matanya.
Annisa Aug 2018
tuan menjejak
nona mendongak
'apa?' Nona bertanya
nafas tuan dihela
'tidak apa-apa'

'nona, sudah berapa lama kau disini?'
nona berdiri
mengintip dari balik dinding
'cukup lama. yang jelas, aku sendiri'
tuan tersenyum
nona berubah ranum
dinding perantara, runtuh

'sampai nanti, nona'
'sampai mati, tuan'

sekatmu, dekatku
jarakmu, ragaku
tawamu, tangisku
gelakmu, senduku

'hendak kemana tuan?'
menoleh pun enggan
nona tertahan
nona kembali bertatapan
dengan puing-puing dinding yang berserakan
Iqbal Ramadhan Jun 2020
Pemerintah Indonesia secara terang-terangan melakukan pemerasan dan perampasan terhadap sumber kekayaaan di tanah Papua. Masyarakat Papua kerap dihalangi dalam menentukan taraf hidupnya, mereka dibenturkan dengan kebijakan yang justru bertentangan dengan kebiasaan hidup masyarakat Papua. Bentuk menghalan-halangi masyarakat Papua untuk bertanggung jawab dan menentukan kehidupannya sendiri merupakan sebuah bentuk penindasan yang ditutupi dengan iming-iming kesejahteraan palsu.

Hal ini hendak menggambarkan campur tangan pemerintah Indonesia dalam mencampuri fitrah ontologi penentuan nasib masyarakat Papua. Hingga kini pemerintah Indonesia melakukan tindakan yang semakin memperlihatkan penindasan terhadap masyarakat Papua. Mereka dituduh makar, ditakuti-takuti, diteror bahkan hingga dibunuh!

Pemerintah Indonesia layak menyandang julukan "si kejam" atas tindakannya selama ini kepada masyarakat Papua. Pemerintah Indonesia yang dengan kekuasaannya melahirkan orang - orang yg terhempas dari kehidupannya sendiri.

Bagaimana bisa masyarakat Papua memulai kehidupan yang bebas, sedangkan mereka adalah hasil dari kekejaman itu sendiri?

Bagaimana mungkin mereka mendukung suatu tindakan yang membawa mereka kepada kehidupan yang terindas?
Penunggang badai Feb 2021
Kuingat, waktu itu aku membawamu ke sebuah kedai. Sebuah tempat yang hari lalu pernah kujanjikan padamu. Dengan motor tua peninggalan ayahku, aku merasa bangga. Dengan kau di jok belakang, malu-malu mendekap badanku erat, kita melaju tanpa banyak bicara melintasi jalanan kota.

Sesampainya kita, aku menoleh kesana-kemari mencari tempat yang pas. Tempat yang khidmat untuk kita menunaikan ibadah temu, setelah lama menjalankan puasa rindu.

Masih seperti biasanya, tanpa memandang situasi bagaimanapun, kita tetap saja seperti biasa: tidak banyak mengobrol. Hanya tersenyum, basa-basi (aku dengan pernyataan pamungkas bahwa "rambutmu cantik hari ini", dan "jangan memujiku terus" adalah andalanmu ketika malu) , tersenyum lagi dan salah tingkah sejadinya. Begitu kikuk kita di waktu itu.

Kita begitu seadanya. Saling berhadapan, saling menggenggam tangan meski canggung. Kutengok dari balik jendela, hujan perlahan jatuh membasahi seisi bumi. Tentu kedai tempat kita juga. Kulihat ramai manusia mulai bergegas dan menepi menghindari tumpah ruah sang hujan.

Rinainya mulai melantun tak beraturan di jalanan, di atap kedai, di jok motorku dan di hati kita berdua. Sambil memandang keluar, aku yakin kau merefleksikan hal yang sama dengan apa yang ada dipikiranku. Bahwa keping ingatan masa lalu mulai berpendar, berputar dalam kepala. Yang mungkin selalu berusaha kita lupa.

Satu hal yang benar, bahwa hujan dengan begitu saja telah menjadi bagian dari identitas kita berdua. Kutipan bahwa hujan turun selalu membawa kenangan, bagiku sesekali benar. Dan diantara kau dan aku, memiliki kisah yang dianggap kelam.

Kita adalah dua manusia yang hatinya pernah patah dan kecewa, lalu dipertemukan dengan cara yang begitu acak oleh semesta. Atau, entahlah. Aku hanya yakin begitu. Mungkin buku-buku Fiersa Besari banyak mempengaruhi caraku berpikir soal ini.

Ditemani lagu-lagu dari Dialog Dini Hari, dan dinginnya suasana kedai sebab hujan yang menggerayangi, semakin menambah kesan romansa terlebih kopi pesanan kita datang menghampiri.

Masih ditengah hujan yang mulai menjinak, aku mengingatkanmu soal buku bacaan yang telah kita sepakati sebelumnya saat masih hendak merencanakan via telepon. Ya, benar, tujuan utamaku adalah mengajakmu menikmati buku bersama. Untukku, Ini kali pertama. Semoga saja engkau suka.

Dan hujan, adalah diluar dari rencana. Aku tersadar, bahwa ia membantuku banyak kali ini. Untuk memeluk hatimu kian erat, untuk menghempas keluh-kesahmu jauh tak terlihat.

Kita mulai mengeluarkan bacaan. Dari ranselku, dari tas jinjingmu.

Aku dengan Tan Malaka, kau dengan Boy Candra. Begitu kontras, namun kutau bahwa ada bahagia dengan harta yang masing-masing kita miliki itu. Yang bahwa kita membacanya karena terpana dengan mantra disetiap kata-katanya—atau juga karena pemikiran kritis yang disulap menjadi sebuah goresan pena pada setumpuk kertas oleh sang aditokoh. Kagum dengan warisannya—dalam tulisan, mereka benar-benar kekal selamanya—dalam ingatan.

Kita tenggelam jauh kedalamnya, jauh kedalam setiap paragrafnya. Mata kita beradu sesekali saat fokus tergoyah, saling melempar senyum karenanya. Lalu pada satu waktu, kita mulai menutup buku, mengartikan temu, menyempurnakan rasa hingga waktu tenggelam berlalu.

Berlalu... Benar, semuanya berlalu sejalan dengan gerak sang waktu. Tak terkecuali kita didalamnya.

Aku menyayangimu, sebagaimana keberlakuanku pada buku. Aku merindumu, sebagaimana bumi merindukan hujan. Dan episode-nya bagiku selalu saja menyajikan wangi yang sama, sebagaimana wangi petrichor yang tersisa, dari rinai yang pergi meninggalkan bentala.

Kita menjadi "pernah", lalu lestari selamanya.

— The End —