Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
D Aug 2019
“Tiga tahun dan kau tak pernah menulis tentangku.”
Katanya setengah bercanda, rambut hitam sebahu itu menutupi sebelah matanya. Bahkan saat berbicara tentang kecewa, dia tetap memilih untuk tidak menatap mataku.
“Tidak seperti pada si musisi itu, atau si perempuan yang kau bilang jahat.”
“Kau tahu aku hanya bisa menulis saat aku terluka, atau saat ada kafe baru di Jakarta — Namun itu tuntutan.”
Dia mendelik, tapi aku tahu dia sedang menahan tawa. Tawa yang kudengar hampir setiap hari setahun lalu. Selain bunyi tawa, terlalu banyak yang kita tahu akan masing-masing.
“Ya. Sepertinya seru kalau ada yang menulis tentangku.”
“Menulis tentangmu? Harus kumulai dari mana tulisan itu?”
Walau pemilihan kata “Seru” terdengar sangat remeh ditelingaku, pikiranku hinggap ke hal lain; mungkin harus kutekankan pada si konyol bersampul Rock and Roll ini bahwa ide tentangnya memang terlalu banyak dan terlalu dalam untuk digambarkan lewat satu atau seribu kata, setidaknya untukku. Di saat banyak yang mengagumiku karena lidah ini terlalu banyak berceloteh tentang film, sastra dan bercinta, laki-laki satu ini telah mendengar sinisnya makian yang terlontar dari lidahku — serta menjadi saksi akan terlemparnya makian tersebut ke sudut-sudut ruang. Selama dua tahun kedua bola mata coklatnya harus melihat ratusan lembar diri ini. Setiap hari lembaran yang berbeda. Namun aku tahu, dari sekian lembar yang ia baca, hanya beberapa yang betul-betul ia hafal - telaah - dan dia simpan di memori terdalamnya untuk suatu saat ia bolak-balik lagi. Setelah setahun berpisah dengannya, tubuh ini seakan tak mampu menghapus rasa yang begitu familiar, begitu kental, begitu erat, saat bersanding disebelahnya. Tidak pernah ada yang melihatku setelanjang ini.
“Kamu ingat saat kita hendak berangkat ke Bandung?”
“Untuk nonton konser Jazz?”
“Ya.”
Aku bisa merasakan nafasku berhenti.
“Aku melemparmu dengan handphone-ku.”
“Yang lalu retak dan mati.”
“Aku meneriakimu.”
“Aku juga.”
Terlepas persona beringasnya, suaranya hampir tidak pernah bernada tinggi, kecuali satu kali.
“Hari itu aku bertengkar dengan Ibu.”
Ada sesuatu dari dirinya yang sampai detik ini tak bisa kutemukan pada orang lain; ketidakmunafikannya.
“Kalian berdua sama sarapnya. Itulah yang bikin kalian begitu dekat.”


Dia tidak pernah berusaha menenangkanku dengan khotbah klise tentang kasih Ibu, atau tentang tanggung jawab seorang Ibu yang begitu berat — yang kadang membuatnya meledak membanjiri semesta dengan segala emosinya. Dia tidak pernah berpura-pura menjadi filsuf, menaruh tanda tanya kepada setiap kata dan kejadian, atau tidak pernah menjadi psikolog gadungan yang memaksaku bercerita saat otak ini masih melepuh belum waras. Jika banyak perempuan yang dalam hati berdarah-darah karena ingin diperhatikan, kekagumanku terhadap cuainya lelaki ini patut dipertanyakan. Sikap yang terlihat acuh tak acuh itu malah terlihat begitu natural di mataku. Ada perasaan nyaman yang tak bisa dijelaskan lewat kata-kata di saat aku tidak lagi mendengar rentetan omong kosong seperti; “Semua akan baik-baik saja.” “Tuhan akan membalas suatu yang baik dan buruk.” “Kamu perempuan yang kuat.”
Sebaliknya, lelaki nyentrik ini lebih memilih untuk menatap diam sebelum ia menyetel lagu pilihannya untukku keras-keras. Mengenal orang ini begitu lama, ada sedikit banyak hal yang kupetik dari hubungan kita yang lebih sering tidak jelas; mungkin cinta kasih tak harus repot.
Kylia Dec 2014
Here you go. You want to hear it, don't you?
For all the space in your handphone I
Wasted sending you
Useless messages,
For how I borrowed you too much,
Ranting on about life, apparently too much,
Because I thought I'd finally found someone who'd
Listen, I guess I thought wrong.

And I sit on my bed, and wonder,
Were you ever the guy I
Thought you were?
Probably not.
While I automatically go about my day,
I keep my phone at hand.
I am yearning. yearning for the sound of bells,
The sound that I reserved for your messages.
Bells ringing, angels.

I used to think of you as my
Little devil,
Bad boy as you were.
****, was I right.
It hurts, you know.
How I opened me out,
Lied spread-eagled on the floor.
Dug out all my secrets, my Achilles heel,
me...I trusted you.
But I was Prometheus and you were the eagle,
You dug my insides out.
Ate them.

And for trusting you,
For believing, even once
That you were the one,

I'm sorry.
People change. I really miss him. It hurts when you're thinking abut him, and you know he's not thinking about you. It's frustrating, annoying, makes you feel sweet, and sour, and spicy all at once, but you simply can't help it.
AidaDonn Dec 2016
I saw this young lady
She stepped into Starbucks
Holding a thick novel by Murakami
And a wrapped sandwich from Subway
In front of the counter
She smiled to the Barista
Ordered her coffee
Grande hot caramel latte, i guess
She chose to seat at the corner
Tasted her coffee using the stirrer
Unwrapped her sandwish, began to eat
I kept my eyes on this young lady
While she was eating, she was scrolling
Wasnt sure what was she looking at
But I saw she smiled, and giggled to herself
She was all alone
Accompanied by her handbag, handphone, coffee, and subway
But her face didn't show that she was lonely
She ate halfway, i knew she enjoyed her sandwich a little while ago,
She seemed to made a phone call out
Her pleasant face changed expression
While she was talking on the phone
She took the Starbucks serviette
Started tearing, began to cry
What a long conversation she had.
I watched her for a moment
What made this young lady cried?
I wonder.
She didn't finish her sandwich,
I wasnt sure bout her coffee, but she threw it away as she stepped out from Starbucks.
I whispered to my self,
"What drama I just watched?"
Hoshiko Mar 2020
Like as umbrella
Protected from dangerous
It loves sincerely

Like as bamboo trees
Has been started of the root
Grower big to old

Like hold the handphone
Provide my needs and guarded
Can't buy by money

Thought, 01.03.2020 ☆

— The End —