Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
So Dreamy Jun 2017
Bagiku, kamar adalah satu ruangan persegi yang paling krusial di antara ruangan-ruangan lainnya. Magis, nyaman, penting, dan pribadi. Kamar tak hanya berisi tentang selimut dan bantal-bantal yang dilapisi kain bercorak bunga-bunga atau selimut berbulu yang lembut. Tidak juga tentang tumpukan baju sekali pakai yang dilipat di atas nakas dan kursi roda meja belajar. Tidak juga tentang jendela yang selalu terbuka lebar setiap pagi, mengajak udara segar untuk memasuki rongga hidung, membawa masuk lantunan burung-burung. Terlepas dari karpet cokelat muda yang selalu tergelar di tengah-tengah ruangan, yang dihuni berbagai remah-remah makanan—keripik kentang, biskuit, roti kering—ruangan berukuran 4x4 ini menyimpan dan menyembunyikan banyak hal.

Cerita, rahasia, asa.

Bagiku, kamar adalah saksi bisu. Saksi bisu atas upaya yang pernah ditempa, semangat yang tak pernah padam untuk membara, diri yang selalu kembali bangkit setiap kali jatuh ditampar dunia, serta doa-doa yang mulai dibisikkan dengan lembut sejak fajar menyingsing. Meja belajar yang tak pernah rapi, rak buku yang ditinggali berbagai macam buku; novel, buku puisi, buku pelajaran, buku latihan soal, tempat pensil yang berantakan, cahaya dari lampu meja belajar yang hampir rusak, serta mading yang tak pernah sepi dari berbagai kertas target dan to-do-list yang ditempel.

Kamar juga mata bagi segala perasaan; marah, kecewa, putus asa, sendu. Inilah tempat di mana sepi terpelihara dengan baik, yang anehnya, terasa menyenangkan dan bersahabat. Tenggelam dalam kesibukan sendiri, menulis seorang diri, membaca dengan latar musik indie, yang barangkali hanya satu dari sepuluh orang pernah mendengarnya. Ruangan persegi ini merupakan tempat di mana lagu The Trial of the Century – French Kicks diputar, selalu bergandengan dengan kekecewaan yang perlahan merekah di bilik dada. Tempat di mana Fall Harder – Skyler Spence diputar bertepatan dengan lamunan, ide-ide abstrak, membayangkan hal-hal manis yang misterius. She'll lose herself in bright-lit skies, she watches the sun go by, and even if her love runs dry, she'll be there for the summertime. Ialah sesuatu yang terasa cukup magis dan menyihir, bagaimana lagu tersebut selalu membawaku ke dalam lamunan dan gambaran yang muncul seketika di benak, lalu terbitlah ide-ide dan keinginan untuk membuat sesuatu.

Menulis.

Ruangan persegi ini adalah ruangan kecil yang paling setia menaungi ide-ideku yang seringkali tumpah-ruah tak tahu waktu dan tempat, yang kadang dapat direalisasikan menjadi sebuah karya, kadang juga hanya duduk diam tak mau bergerak di dalam kepala. Ialah ruangan persegi yang dengan sabar mendukungku untuk selalu bergerak mengikuti dinamika inspirasi yang datang, memberontak minta dikeluarkan dari kepala, memintaku untuk selalu menjadi produktif. Tentang menulis cerita singkat dan puisi (karena penulis hebat tidak pernah kehilangan inspirasi, menulis dan bermain dengan kata-kata, bercanda ria dengan rima adalah asupan hariannya layaknya menghirup oksigen). Membaca banyak buku dan terus belajar. Melepaskan tangisan dan emosi yang lelah dipenjara di dalam hati, membiarkan mereka menghujani kertas kosong dalam bentuk kata-kata yang bebas. Mengevaluasi diri, membuat target-target.

Membuat prakarya-prakarya sederhana. Menyanyi lepas dan menari mengikuti irama musik. Menjadikan musik indie sebagai latar musik yang membuat semua komponen di ruangan persegi ini menjadi lebih menyatu, saling melengkapi, menciptakan ide baru, lagi.
Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
In response to a sardonic essay written in the recent Saturday Nation by Proffessor Ekara Kabaji, wryly  disregarding the position of Kwani in the global literary movement within and without Kenya , I beg to be permitted a leeway  to observe that any literature, orature, music,drama,cyborature,prisnorature,wallorature,streetorature , sculptor  or painting can effortlessly thrive and off course it has been thriving without professors of  literature, but the reverse is not possible as a proffessor of literature cannot be when literature is not there. Facts in support of this position are bare and readily available in the history of world literature, why they may not be seen is perhaps the blurring effects from tor like protuberant irrelevance of professors of literature in a given literary civilization.
A starting point is that literature exists as a people’s subculture, it can be written or not written like the case of orature which survive as an educative and aesthetic value stored in the collective memory of the given people. The people to be pillars of this collectivity of the memory are not differentiated by academic ranking for superlativity of any reason, but they are simply a people of that place, that community, that time, that heritage, that era and that collective experience. Writing it down is an option, but novels and other written matter is not a sine qua non for existence of literature in such situations. This is not a bolekaja of literature as Proffessor Ekara Kabaji would readily put, but it is a stretch towards realism that it is only people’s condition that creates literature. Poverty, slavery, colonialism, ***, marriage, circumcision, migration, or any other conditions experienced as collective experience of the people is stored or even stowed away in the collective memory of the people as their literature. Literature does not come from idealistic imagination of an educated person.
Historical experience of written literature informs us that the good novels, prose, drama and poetry were written before human society had people known as professors of literature. I want you my dear reader and You-Tube audience to reflect on the Cantos of Dante Alighieri in Italy, novels of Geoffrey Chaucer in England, Herman Melville and his Moby **** in Americas, poetry of Omar khwarisim in Persia, Homeric epics of Odyssey in Greece and the Makonde sculptures of Africa and finally link your reflections to Romesh Tulsi who grafted the Indian epic poetry of Ramayana and Mahabharata. At least you must realize that in those days literature was good, full of charm, very aesthetic and superbly entertaining. This leads to a re-justification that, weapon of theory is not useful in literature. University taught theories of literature have helped not in the growth of literature as compared to the role played by folk culture.
Keen observation will lead you dear reader, down to revelations that; professors of literature squarely depend on the thespic work of the people who are not substantially educated to make a living. Let me share with you the story about Dr. Tom Odhiambo who went to University of Witwasterand in South Africa for post graduate studies in literature only to do his Doctoral research on books of David G Maillu. Maillu is a Kenyan writer, he did not finish his second year of secondary school education but he has been successfully writing poetry and prose for the past three decades. His successful romantic work is After 4.30, probably sarcasm against Kenyan office capitalism, while his eclectic, philosophical and scholarly work is the Broken Drum. Maillu has many other works on his name. But the point is that Dr. Odhiambo now teaches at University of Nairobi in the capacity of senior lecturer in Literature. What makes him to put food on the table is the effort of un-educated person in the name of David Maillu. Dr.Odhiambo himself has not written any book we can mention him for, apart from regular literary journalism he is often involved in on the platforms of the Literary discourse in the Kenyan Saturday Nation which are in turn regular Harangues and ripostes among literature teachers at the University of Nairobi, the likes of Dr Siundu, Proffessor wanjala Chris and Evans Mwangi just but to mention by not being oblivious to professors; Indangasi and Shitanda.
No study has yet been done to establish the role of university professors on growth of African literature. One is overdue. Results may be positive role on negative role, myself I contemplate negative role. Especially when I reflect on how the African literati reacted on the publication of Amos Tutuola’s book The Palm Wine Drinkard. The reactions were more disparaging than appreciative. Taban Lo Liyong reacted to this book by calling Amos Tutuola the son of Zinjathropus as well as taking a self styled intellectual responsibility in form of writing a more  schooled version of this book; Taking Wisdom up the Palm Tree. Nigerians of Igbo (Tutuola being a Yoruba) nation cowed from being associated with the book as it had shamefully broken English, broken grammar etc. Wole Soyinka had a blemished stand, but it is only Achebe who came out forthrightly to appreciate the book in its efforts to Africanize English for the purpose of African literature. Courtesy of Igbo wisdom. But in a nutshell, what had happened is that Amos Tutuola had taken a plunge to contribute towards written literature in Africa.
One more contemplated result from the research about professors and African literature can be that apart from their role of criticism, professors write very boring books. A ready point of reference is deliberate and reasonless obscurantism taken Wole Soyinka in all of his books, Soyinka’s books are difficult to understand, sombre, without humour and not capable to entertain an average reader. In fact Wole Soyinka has been writing for himself but not for the people. No common man can quote Soyinka the way Achebe’s Things Fall Apart is quoted. Achebe wrote Things Fall Apart when he had not began his graduate studies. However, he did not escape the obvious mistake of professors to become obscure in the Anthills of the Savanna, the book he wrote when he had become a proffessor. This is on a sharp contrast to entertaining effectiveness, simplicity and thematic diversity of Captain Elechi Amadi, Amadi who studied chemistry but not literature. He does not have a second degree, but his books from the Concubine, The great Ponds, and Sunset in the Biafra and Isibiru are as spellbinding as their counterparts in Russia.
Kenyan scenario has Ngugi wa Thiongio, he displayed eminence in his first two books; Weep not Child and The River Between. These ones he wrote when he was not yet educated, as he was still an undergraduate student at Makerere University. But later on Ngugi became a victim of prosaic socialism, an ideology that warped his literary imagination only to put him in a paradoxical situation as an African communist who works in America as an English teacher at Irvine University. His other outcrops are misuse of Mau Mau as a literary springboard and campaigning for use of Kikuyu dialect of the Gema languages to become literary Lingua Franca in Kenya. Such efforts of Ngugi are only a disservice to Kenyan literature in particular and African literature collectively. Ngugi having been a student of Caribbean literature has failed to borrow from global literary behaviour of Vitian S. Naipaul.  Ngugi’s position also contrasts sharply with Meja Mwangi whose urban folksy literature swollen with diversity in themes has remained spellbinding entertainers.
The world’s literary thirsty has never failed to get palatable quenching from the works of Harriet Bechetor Stowe, Robert Louis Stevenson, Shakespeare, Alice Munro, Octavio Paz, Pablo Neruda, John Steinbeck, Garcia Guarbriel Marguez,Salman Rushdie, Lenrie Peters, Cyprian Ekwenzi, Nikolai Gogol,I mean the list is as long as the road from Kaduna to Cape town. Contribution of these writers to global literature has been and is still critical. Literature could not be without them. Surprisingly, most of them are not trained in literature; they don’t have a diploma or a degree in literature, but some have won literature Nobel Prize and other prizes. Alfred Nobel himself the author of a classical novella, The Nemesis, does not have University education in literature. What else can we say apart from acceding to the truth that literature can blossom without professors, the Vis-à-vis an obvious and stark impossibility.
So Dreamy May 2017
Hari itu hari Sabtu. Dan, aku sedang ulangtahun.

Sepi. Hanya terdengar suara tetesan air dari keran yang lupa ditutup rapat di wastafel dapur. Desiran angin yang menggesek dedaunan di halaman belakang. Bambu angin yang bersiul di teras rumah tetangga sebelah. Jalanan beraspal yang kosong. Terpaan sinar matahari. Mangkuk beling yang diketuk penjual makanan keliling. Suara jarum detik jam dinding.
Dalam diam aku menunggu. Mahesa belum juga datang. Duduk di atas sofa, perlahan kulahap sekantung keripik kentang, suara iklan di televisi kini menjadi musik latar yang mengisi siang terikku yang sepi ini. Lupakan fakta bahwa kakakku, Mas Kekar, adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulangtahunku. Ucapan ulangtahunnya tiba tadi pagi pukul tujuh lewat pesan suara. Kalau ada Nenek, ia pasti akan membuat kue tar dan nanti malam kami akan duduk melingkar di atas meja makan, menyantapnya bersama-sama sambil minum teh lemon. Sayangnya, sekarang rumahnya jauh; di surga.
Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Satu notifikasi baru, ada satu pesan masuk. Dari Mahesa, katanya ia akan sampai lima menit lagi. Baiklah, akan kutunggu dengan sabar. Walaupun ia bilang akan menjemput pukul setengah dua belas ― aku sudah menunggunya sejak pukul sebelas lewat, sekarang pukul satu, dan lima menit lagi ia akan datang. Menghabiskan waktu seharian bersama Mahesa selalu menjadi momen istimewa bagiku, membuat jantung jumpalitan tak karuan, dan berakhir tersenyum-senyum sendiri setiap kali sebelum memejamkan mata di atas tempat tidur pada malam hari. Singkatnya adalah orang ini selalu membuatku bahagia, sadar atau tidak sadar dirinya, ialah sumber kebahagiaanku. Bulan dan bintang bagi malamku.
OK. Kubalas pesannya, lalu kubuka pesan-pesan lain yang mungkin belum kubuka. Tidak ada pesan lain atau telepon. Belum ada telepon dari Ayah ataupun pesan singkat. Entah kapan ia akan pulang. Entah kapan ia akan menyempatkan diri membuka kalender, teringat akan sesuatu, dan mengucapkan, “Selamat ulangtahun.”.
Aku berjanji tidak pernah ingin jadi orang yang hidup tanpa memiliki waktu.
Bel berbunyi dan pintu diketuk. Spontan, aku merapikan rambut, memakai tas selempang, dan bangkit. Kusiapkan senyum terbaik untuk menyambut Mahesa. Setelah pintu kubuka, senyumku langsung sirna. Mang Ijang, tukang pos daerah kami yang malah muncul.
“Siang Mbak Maura, ada tiga surat buat Bapak,” dia menyerahkan tiga surat berbentuk persegi panjang yang sangat familiar bagiku. Sudah berpuluh, bahkan mungkin ratusan kali aku menerima surat macam ini sejak lima tahun terakhir. Kubaca nama perusahaan yang tertera di kop surat itu. Masih sama seperti biasanya; bank, perusahaan listrik, perusahaan telepon.
“Tandatangan di sini dulu, Mbak,” Mang Ijang menyerahkan pulpen dan sebuah kertas tanda terima surat. Setelah kutandatangani, ia pergi.
Kubuka surat itu satu per satu sambil duduk di kursi teras. Surat-surat tagihan, seperti biasa. Hampir dua bulan rupanya Ayah tidak membayar tagihan telepon. Aku bahkan tidak berselera lagi membaca nominalnya. Aku menghela napas dan memandangi jalanan kosong di depan rumah. Kuputuskan untuk memakai earphone, memilih playlist di aplikasi musik, menunggu Mahesa di kursi teras sambil ditemani angin semilir.
5 menit.
Everything is Embarrassing – Sky Ferreira.
10 menit.
Please, Please, Please, Let Me Get What I Want – The Smiths.
15 menit.
Love Song – The Cure.
Dua puluh menit kemudian, Mahesa datang. Senyumku seketika merekah, walaupun ia terlihat begitu lelah. Kaos polo abu-abunya basah oleh keringat, dahinya dibanjiri keringat, napasnya terengah-engah dengan ritme yang tak beraturan. Aku duduk di sampingnya yang memegang kemudi dan masih bisa mencium wangi parfumnya samar-samar, meskipun tujuh puluh persennya sudah bercampur dengan semerbak peluh. Tapi, siapa peduli? Menurutku, ia tetap mengagumkan.
“Maaf lama, Ra. Tadi ada urusan penting yang mendadak,” katanya sambil memilih-milih saluran radio. 19.2, saluran radio yang khusus memutarkan musik-musik indie dan jadul. Mungkin ini salah satunya mengapa sejak awal aku tertarik dengan manusia yang satu ini dan berujung benar-benar mengaguminya, kami menyukai jenis musik yang sama. “Jadi, ke mana kita hari ini? Dan, akan mengobservasi apa?”
Kubuka catatan jadwal terakhir kami, “Hmm. Hari ini jadwal kita ke galeri seni kontemporer yang ada di sebelah balai kota dan pameran seni di hotel Metropolite. Kita bakal mengobservasi lukisan kontemporer supaya bisa membandingkan dengan jenis lukisan yang lain.”
Kamu benar, sesungguhnya ini hanyalah sekadar tugas kelompok bahasa Indonesia. Mungkin bagi Mahesa begitu, tapi bagiku bukan sama sekali. Kuanggap ini sebuah kebetulan yang ajaib. Kebetulan kami sekelompok. Kebetulan kami berdua sama-sama tidak masuk di hari ketika guru Bahasa Indonesia kami membagikan kelompok dan kami masuk ke dalam kelompok terakhir, kelompok sisa. Kebetulan kami memilih tema seni lukis dan belum ada kelompok lain yang mengambil topik itu. Kebetulan dua anggota kelompok kami yang lainnya tidak bisa diandalkan, yang satunya sakit berat dan yang satunya lagi sudah dikeluarkan dari sekolah sejak bulan lalu. Kebetulan hanya aku dan Mahesa yang tidak bermasalah. Maka, hanya kami berdua yang selalu jalan ke tempat-tempat untuk mengobservasi. Sejak saat itu, aku percaya akan keajaiban.
---
Semuanya berawal dari pertemuan singkat kami di minggu keempat kelas sebelas. Oke, ralat, bukan sebuah pertemuan lebih tepatnya, melainkan hanya aku yang memandanginya dari jauh. Namun, itu satu-satunya kejadian yang mungkin dapat memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana perasaan ini bisa muncul. Bukan secara tidak sengaja dan spontan seperti yang biasa kau dapatkan di adegan jatuh cinta pada film-film romansa norak, tetapi adeganku sederhana, penuh kehati-hatian, dan perlahan.
Kelas sebelas adalah tahun yang cukup sulit bagiku. My dad was busy more than ever—well, until now dan itu tahun pertama Mas Kekar menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Dia diterima di salah satu universitas negeri ternama di Bandung, jadi hanya pulang ke rumah setiap akhir bulan. Aku punya waktu sendirian di rumah dengan jumlah yang berlebih.
In that year, my friends left me. Ghia pindah ke luar kota dan Kalista bergabung dengan anak-anak populer sejak mendaftar sebagai anggota baru di tim pemandu sorak. Kami hanya makan siang bersama pada beberapa hari di minggu pertama sekolah, setelah itu dia selalu dikelilingi dan menjadi bagian dari kelompok cewek-cewek pemakai lip tint merah dan seragam yang dikecilkan. Aku mengerti, barangkali dia memang menginginkan posisi itu sejak lama dan citra dirinya memang melejit pesat, membuat semua leher anak cowok melirik barang beberapa detik setiap ia berjalan di tengah koridor. Lagipula, jika ia sudah mendapatkan status sosial yang sangat hebat itu, mana mungkin dia masih mau berteman dengan orang sepertiku? Maura, the average one, yang selalu mendengarkan musik lewat earphone, yang lebih banyak menyantap bekal di dalam kelas pada jam istirahat. Aku hanya masih tidak paham bagaimana seseorang yang semula kau kenal bisa berubah menjadi orang lain secepat itu.
Tapi, hal lainnya yang cukup melegakan di tahun itu adalah aku bertemu dengan Indira. Kami berkenalan pada hari Senin di minggu kedua kelas sebelas, hari pertama dia masuk sekolah setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit karena DBD. Begitu melihatku duduk sendirian di baris paling belakang, dia buru-buru menghampiri sambil bertanya, “Sebelahmu kosong?”. Sejak itulah kami berteman.
Indira dan teman-temannya biasa menghabiskan makan siang di bangku koridor lantai satu yang menghadap ke lapangan, bukan di kantin. Walaupun secara harfiah aku bukan salah satu bagian dari kelompok pertemanan mereka, Indira selalu mengajakku bergabung dan orang-orang baik itu rupanya menerimaku.
Di bangku koridor itu kali pertama aku memerhatikan anak laki-laki yang bermain bola setiap jam istirahat kedua. Hanya ada dua-tiga orang kukenal, itu juga karena mereka teman sekelasku sekarang atau di kelas sepuluh, sementara selebihnya orang asing bagiku. Di antaranya ada yang berperawakan tinggi, rambut tebal, rahang yang tegas. Aku hanya belum tahu siapa namanya waktu itu.
Selanjutnya, aku bertemu dengan laki-laki itu di kantin, sedang duduk bersama beberapa cowok yang tidak kukenal, tertawa lepas. Mungkin karena aku jarang ke kantin, aku baru melihatnya di sana waktu itu. Pada acara demo ekskul, aku melihat dia lagi. Bermain bass di atas panggung. Anggota klub musik rupanya. Pemain bass. Pada hari-hari berikutnya, aku lebih sering melihatnya berjalan di koridor depan kelasku, kadang sendirian dengan earphone, kadang ada beberapa temannya. Anak kelas sebelas juga rupanya, jurusan IPS juga. Hari-hari berikutnya, selalu kutengokkan kepala ke jendela setiap kali ia lewat di depan kelasku. Aku penasaran, kenapa mataku tidak pernah melihat orang semenarik dia sebelumnya? Dan, kenapa dia hanya muncul di tempat dan saat-saat tertentu, seperti saat istirahat, masuk sekolah, dan jam pulang? Hari-hari berikutnya, berpapasan dengannya membuatku senang sekaligus semakin penasaran. Dia anggota klub fotografi juga, aktif, sering memimpin rapat anggota di kantin sepulang sekolah, dan ternyata karyanya banyak dipublikasikan di majalah sekolah. Dari situ aku tahu namanya, Mahesa.
---
“Geser ke kanan sedikit. Bukan, bukan, sedikiiit lagi. Sedikiiit, oke, pas!”
Sebagai dokumentasi, Mahesa memotret beberapa lukisan dari berbagai angle dan beberapa kali memintaku untuk berpose ala-ala tak sadar kamera. Tentu saja aku pasti bersedia, selalu bersedia. Dia juga merekam keadaan sekitar dalam bentuk video, yang katanya, bakal dia edit menjadi super artsy.
“Percaya sama gue, kita bakal jadi tim paling keren yang menghasilkan dokumentasi paling berseni, Ra,” kata Mahesa sambil tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya.
Destinasi terakhir kami—pameran lukisan yang sedang digelar selama seminggu di hotel Metropolite—akan tutup sepuluh menit lagi, tepat pukul tujuh malam. Setelah terakhir kalinya Mahesa merekam keadaan pameran dan beberapa pengunjung yang masih melihat-lihat, baterai kameranya habis. Sebelum pulang, Mahesa bilang dia tahu tempat makan enak di sekitaran sini. Jadi, kami mampir untuk mengisi perut dengan soto ayam dan berbincang-bincang sebentar, setelah itu baru benar-benar pulang.
Di perjalanan pulang, derai hujan turun perlahan. Karena rumah kami terletak di pinggiran kota, jadi kami harus melalui jalan tol atau kalau tidak, akan lebih jauh. Mahesa memencet-mencet tombol radio, mencari saluran nomor 19.2, tapi setelah mendengar acara yang dibawakan penyiar radio, dia langsung mengganti asal saluran radio yang lain. Saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu pop kekinian yang sedang hits.
“Sekali-kali dengerin genre lain, ya, Ra,” katanya sambil menginjak rem. Jalanan seketika padat merayap di depan kami. Mungkin karena hujan mulai deras, jalanan mulai tergenang, orang-orang mengemudi dengan lebih hati-hati.

(bersambung.)
to be continued.
Aridea P Oct 2011
Sabtu, 14 Agustus 2010

Sekarang jam 1.21 pagi
Ku masih di ruang TV yang sekaligus dapur
Ku duduk di kursi meja makan
Masih tak mau tertutup mata ini
Ku membaca, membahas soal
Sendiri...
Terdengar suara-suara aneh
Kicauan burung, gemuruh atap
Cat cit cut tikus
Suasana, uh, terasa seram

Tapi aku tak peduli
Karena bulan ini adalah Ramadhan
Tak mungkin ada yang terlepas
Namun, kapan aku bisa terlelap?


Created by. Aridea .P
Diska Kurniawan Apr 2016
Pukul satu, kakiku melangkah ke sudut warung kecil itu
Sunyi, lalu ku pilih tempat duduk di ujung sana
Setelah memesan kopi, pilot ku menggores kertas
Yang sama putihnya dengan kulitmu
Tak lupa kubakar ujung rokokku
Yang namanya sehangat pelukanmu
Lalu kuhembuskan kepulan asap tembakau
Menguar sama harumnya dengan tubuhmu
Sepekat nikotin di pembuluhku

Ku tulis kisah kita, dari awal mula hingga akhir bersua
Yang terdampar di sudut kenangan dan rindu,
dan kupaksakan masuk ke dalam loker kerjaku
Sehingga lupa ku adalah tabu, dan memoir adalah *****
Dirimu ku lukis dalam surat ini;


"Di hingar bingar kota, dimanakah kau berada?
Jika lelahmu beradu, dimakah kau berteduh?
Aku disini kasih, Surabaya tempatmu lari
Menolehlah jika kau ada di sudut persimpangan
Mungkin, aku disitu mencari dan mencari
Sisa-sisa cintamu jika itu memang terjatuh
Menadah air matamu, jika itu memang tercecer.
Temui aku, jika berkenan menjumpa nostalgia"


Kuhembuskan uap-uap tar yang menguning
Menerawang di bohlam remang-remang.
Ketika kabut itu pergi, begitu pula aku
Saat api ini padam, redup juga jiwaku

Pukul tiga aku beranjak,
Bayar dan pergi
Surat itu kutinggalkan di atas meja.
Credit to Burhan-san for title
Aku berdiri kaku di depan cermin menatap nanar dirimu.

Bertanya...

Berapa banyak malam yang kau habiskan untuk mencaci tubuh tak bersalah itu?
Mencabiknya agar kau tetap bisa merasa hidup.
Biru dan ungu selalu menjadi tanda bahwa kau menang melawanku.

Aku ingat beberapa orang
mengubahmu menjadi kelabu,
membunuhmu dengan kejam,
lalu membuangmu jauh ke jurang hitam.

Kita berjalan beriringan dengan kapak berlumur kata-kata tak dimaksudkan,
tapi kau bilang kau telah mati jauh sebelum kita berdamai.

Lalu bagaimana denganku?

Seperti ruang kosong yang hilang ditelan kesendiriannya,
aku berjalan menuju ujung lorong yang tak pernah sempat kau injak.
Menari-nari di bawah binar harapan seperti aku lupa bahwa kau tak lagi diam di sana.

Ingatkah kau saat kita duduk di meja makan bersama dua orang asing?
Kau sibuk bermain dengan gelisahmu,
sementara aku tersenyum lebar berperan sebagai hantu.
Kau melahap habis semua isi di sana, tetapi hanya berakhir pada kamar air yang sengaja kau sembunyikan.

Kau mati.
Lalu bagaimana denganku?
Noandy Sep 2016
Kuharap ingatanku tidak
Berjalan mundur perlahan
Dengan keteguhan
Lalu berdiam
Melebur
Hancur
Seperti
Jam
Jam
Di
Ran
Ting
Ranting
Lukisan Dali

Kuharap aku
Disalib
Melayang
Tanpa
Lihat
Duka
Mu

Hantu-hantu
Vermeer
Dal­am
Ruang
Ter
Tutup
Menjelma
Meja
Menopang
Detik
Demi
Detik

Dali,
Mungkin­ begitu
Seru dunianya
Tanpa kau di dalam sana
Surya Kurniawan Oct 2017
1/
Biasanya aku melihatmu di pojokan ruang itu. Melamun betapa sedih dan merananya jika jadi dirimu. Senyummu usang, sudah selayaknya kau buang. Atau paling tidak, kau gadaikan ke pasar loak. Pertimbangkan, aku bahkan menawarkan diri untuk jadi gerobak rombengnya.

2/
Mengamatimu bagai meneliti susunan arsitektur sarang semut, bercabang rumit walau sekelumit rahasiamu tak terungkit, atau paling tidak cerita masa lalu mu tak pernah terkuak.
Omong-omong, sudah tiga hari aku datang dan duduk di bangku yang sama, bahkan meja dan kursinya tak segan menyapaku dari kejauhan "kawan, mari duduk sini dan amati keindahan". Aku tak begitu paham bahasa furnitur, jadi ku jawab seadanya.

3/
Duduk diam mengawasi kerumunan, siapa tahu kau kembali terlihat, tanpa terhalangi punggung, atau ransel. Pintu maupun kerudung. Jangan bilang aku penguntit, karena aku tak bermaksud buruk. Aku hanya tak tahu apa yang harus ku lakukan untuk sekedar bertukar sapa, atau paling tidak tatapan mata. Menurut ku matamu cukup layu jika tak ada kawanmu yang menemani. Air mukamu tak pernah kulihat benar-benar menikmati hidup merdeka, mereka tetap saja terjajah. Entah karena sedih atau kecewa.

4/
Hari ini kau tak ada di antara kerumunan, tak ada dalam ruang, tak ada diantara rekan, tak pula hadir dalam lamunan. Aku takut telah menculikmu tanpa sengaja dengan tatapan. Aku terus memandang kedepan, mendengar percakapan.

5/
Tak ada. Aku tahu. Tak berharap pula aku akan tibamu di dalam ruang.

6/
Aku mendengar gosip dan rumor, bahwa kau yang di ujung ruang telah berpindah ke lain ruang. Ujung koridor. Aku bergegas kesana.

7/
Hari ini aku berhasil mengejarmu, berbicara padamu. Tapi kau tampak tak senang, dan hanya mengulang kata-kataku. Aku juga tak sengaja menemuimu di toilet. Masih mengulang kata-kataku. Sore ini aku berjanji akan menemuimu di ruang ujung koridor.

Kala itu, dia menghadap cermin. Menyapa citranya sendiri. Di ruang ujung koridor.
Teka-teki yang selalu membuat aku keki
Surya Kurniawan Apr 2018
Pertama, siapkan air mendidih
Tuang sebungkus hidup dalam gelas
Lalu, menurut anjuran para ahli
Tambahkan satu sendok makan gula
Berharaplah manis, jika dirasa kurang
Luapkan hidupnya dalam gelas tinggi
Cobalah amati lubernya, lihat saja
Hidup mengalir keluar
Cicipi luberan hidup yang tumpah,
Hayati rasanya yang tajam, aromanya yang pekat, serta partikel-partikel yang asing
Hingga kau tahu, bahwa rasa hidup yang tumpah sama dengan rasa meja
Jika sudah, teguk hidup dalam gelas
Murni, tanpa ada partikel asing di dalamnya
Coba bedakan antara hidup yang murni dengan hidup rasa meja
Aneh bukan?
Memang, jika kau patuh
Hidup akan lebih pahit jika diseduh.
Untuk yang sialnya aku kasihi, seduhan apalagi yang kamu buat?
Andika Putra Jul 2019
Matanya yang kalap di kotak

menghampas debur debu dari atap ke puncak dahan. Menutup temaram lampion.

Berusaha menampik getar di dada yang telanjang. Itu-kini

sampai kesekian lintas kelokan. Terlewati.

Enam uang logam terbuai lendir lintah saat kududuki kursi tak ubahnya senjakala & engkau sadar. Berdiam & terus bungkam

menunggu henti nyanyian puan nun sumbang

berkaca daku yang terpasung, itu di abu

letupan yang mencandu hujam asam &

melulu jadi bisu-kita. Di renda setengah tertutup/ semua orang sudah tahu.

Perihal hening yang memang tak pernah membuah harap.


Hilangnya alkisah kemuning pala kambing yang enggan memerah.
Walau bertumpu akan cita dalam almanak musnah-karam

/ tiada henti di jaga oleh wajah-wajah muram;

di garis vertikal

di persegi dua dimensi/ hitam

pun segitiga/ jajar genjang

& semut kita mengerubung oval. Seraya penonton menyilang dua lengan di dada

di lingkar rafia sementara ini semakin terasa di Kursi. Meja. Cangkir. Jendela. Cat. Kuas & Tv. Lentera. Buku. Radio. Senter

/beringin di jiwa.
Penunggang badai Feb 2021
Akhir memaksa hadir di sela-sela kisah yang sementara kita bangun dengan asa—tanpa aba-aba. Bersamanya getir, menetapkan takdir dari apa yang tak pernah kau dan aku amini sebelumnya. Mengaburkan fungsi intuisi, hilang arah semua kata demi kata dalam kepala. Membekukan imaji, runtuh semua rasa dan karsa.

Ditengah terombang-ambingnya alur cerita yang kita garap, kau tetiba menyerah dan berhenti berharap.

Menanggalkan semua mimpi dan asa, biar berserakan di atas meja tanpa perduli akan masa depan cerita. Meninggalkan aku, yang pernah menjadi ruang bagimu menuangkan ide perihal apa saja yang kau cinta.

Adalah karenamu, duniaku kembali berputar.
Adalah karenamu, aku belajar menulis tentang rasa.
Adalah karenamu pula, aku mencoba mengartikan perihal cara mengikhlaskan.

Dan mungkin itu sebabnya—tanpa sadar, kau juga mengajarkan soal kedatangan dan kepergian. Hadirmu menghentakkan semestaku untuk bergerak dan mesti beradaptasi. Tanpamu semestaku berusaha untuk terus berjalan tanpa harus kembali berhenti.

Aku mencoba bertanggungjawab atas apa yang telah kita mulai. Mencoba menantang badai meski hanya berteman bayangan diri sendiri.

Peran menulis naskah cerita kini sepenuhnya milikku, yang dulunya adalah tugas kita bersama. Terus melanjutkan dan memikirkan penyelesaiannya—meski tak ada lagi peleburan ide kita didalamnya.

Semua yang rumpang akan rampung, sedih akan berbalas bahagia pada akhirnya. Waktu adalah saksi, upaya dan sabar akan menjawabnya. Belajar bangkit dari keterpurukan, hadapi dan rangkul baik segala kenyataan.
Ada hal yang terlalu indah.
Tak bisa di jamah,
Pembicaraan dengan mu yang mengusik kalbu ,
Menambah candu pada irama suaramu.

Singkat , penuh arti.

Kau yang terlalu pemalu,
Aku yang begitu terpaku.
Ingin bercakap hingga lupa waktu.
Namun gengsi masih terbelenggu.


Diam-diam menatap ,
Diam-diam bergejolak,
Matapun saling menatap,
Garis senyum mulai terkuak.


Kita sama-sama saling
Saling tahu,
Saling ingin,
Dan tak saling mengungkapkan,.


Sore yang mnjadi saksi mata,
Pada pembicaraan di meja kedua,
akan sekeping hati yang kian pasrah,
Rasa Ketidakpastian yang ditelan mentah,
Menjadi tema pembicaraan yang kian membetah.


Sejatinya, harapan kian menggersang,
Mengikis hati tanpa bak diiris pedang,
Dan semakin rasa ini mendalam,
Semakin menumbuh renjana dalam diam.


-Tan

— The End —