Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Vijaya Balan Feb 2017
You should have been the soul that Edgar Allen Poe loved,
So that he wouldn't have died miserable and alone,
You are the Morticia to my Gomez; deadly in love,
We would make a quirky Addams family, bar none,

I love the nerds in us and the banter of annoyance,
I love the moments of radiant love and our nature of being different,
'Cause we did meet exceptionally over persistence,
And we accept each other regardless of difference,

I wish that our love will remain eternal,
Narrated by Obi-Wan,
With a theme song by John Williams,
Directed by Lucas, nah, we don't need direction,
I do know, we need a Queen, and that's you my puddin'!
Leia to my Solo,
A Queen-B-lovin'-Quinn to my Joker,
A die-hard Drake lover with a heart for the Dark Side,
This Vader loves his Amidala, xoxoxo,
We would revel on any side but the holy!
May this love never fade, and be full of surprises,
But not the kind where there is nasi lemak with no ikan bilis!
But you make the best **** nasi lemak, sigh,
I'm forever grateful for my Babloo
I'm forever grateful that you're by my side,
My Annabel Lee, I'm grateful Poe never met you,
'Cause you're all mine!
A poem dedicated to my wife.
Noandy Aug 2017
Pagi memamah bangkai di halaman. Bangkai yang kami mangsa bersama semalam sembari duduk melingkar dan mengumpat atas ketidakmujuran yang menghantui kami. Ah, tapi ketidakmujuran dan kesendirian itu toh akhirnya diobati oleh makan malam bersama yang getir dan sangit. Kami sendirian bersama. Kami tidak mujur dan sendirian bersama agar dapat menyantap makan malam ini. Makan malam dengan menu bangkai bersaus pedas ditambah rempah, baunya yang pedih menusuk sengaja kami umbar sebagai pertanda bahwa kami telah hadir di kaki gunung yang belum menampakkan kehangatannya. Kaki gunung yang masih menjegal kaki kami. Kaki gunung yang tajam. Tapi malam mewujud dari lingsir menjadi lengser dan mentari dengan cepatnya kembali mencemooh melalui pagi. Lebih cepat dari kami yang sedang memangsa bangkai. Lebih cepat dari kunyahan kami pada tiap otot dan lemak. Sisa-sisa bangkai yang kami mangsa bersama semalam pun tercecer di halaman bersama bulir beras serta bebijian yang terjatuh dari kelopak mata kami, gantikan air mata. Kami harus membuang bangkai itu segera dan tak boleh sampai terlihat memangsa bangkai. Memangsa bangkai bukanlah hal yang patut dibanggakan terlebih lagi di kaki gunung yang beradab. Halaman kami berbau bangkai. Tak masalah jika aroma itu menujam hidung kala malam, karena manusia yang lalai akan menganggapnya sebagai mimpi belaka. Namun jika sampai bau itu tercium kala pagi maka kami lah yang akan kena kutuk. Kami akan menjadi anak-anak terkasih setan kaki gunung. Meski kami memangsa bangkai, kami tak menginginkannya. Kami hanya ingin bahagia dan dapat saling mencintai. Bangkai-bangkai itu tercecer dan kami tak memiliki tanah untuk mengubur bongkahan yang kini dimamah oleh pagi yang acuh. Pagi yang dingin. Pagi yang memanas. Pagi yang bising. Pagi yang dangdut. Pagi yang berdebu. Pagi yang memamah bangkai di halaman. Kami tak memiliki tanah untuk mengubur bangkai yang kami mangsa. Segala tanah telah beralih pada bak lapuk di kamar mandi agar kami dapat mensucikan diri siang nanti. Dan yang tersisa di halaman hanyalah bangkai, bulir beras, serta darah yang mengalir deras dari sungai di belakang kami. Pagi baru di ujung kepala. Belum banyak mata yang dapat menyaksikan nestapa kami. Bangkai-bangkai yang belum selesai kami kunyah, kami harus segera menyingkirkannya.

Pagi memamah bangkai di halaman. Kami memamah bangkai di halaman.

Serreh, 2017

— The End —