Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member

Members

VS aka Jason Cole
M/United States    "I'm yearning for the glory days of most deft perfection/ My pen moving in motions that defied known direction/ Well-placed words can swallow whole the …
Jason Cole
53/M/Boaz, AL    Christian, husband, singer-songwriter, cowboy poet. James 4:14 (KJV) "Whereas ye know not what shall be on the morrow. For what is your life? It is …

Poems

Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
Jas  Jun 2015
Hi
Jas Jun 2015
Hi
Hi, hello, I'm here.
My name is Lucas-Jasper, but you can call me Jas. (pronounced J-***) Never call me LJ. That's weird.
I'm an Aries, and I'm dumb.

Sometimes I'll write about wth is going on, or I'll write poetry, or nothing at all.
Idk man.

(Feel free to message me whenever *** I'm always on the search for interweb friends)

- Jas
www.lucentlucc.tumblr.com

P.s.: I love Haikus
THE WODEN WESTFIELD CHRISTMAS PARADE




SUE’   HI AND WELCOME TO THE WODEN WESTFIELD CHRISTMAS PARADE

MARKING THE START OF SANTA’S JOURNEY, HERE, AND AT PRESENT

THEY ARE CLEANING THE FLOOR WAY, SO THEIR AIN’T ANY ACCIDENTS, MATE

AND ME SUE LONGWAYS HAS PETE WITH A CAROLD FROM US

PETE’  WE WISH YOU A MERRY CHRISTMAS

OH YEAH A JOLLY CHRISTMAS

A VERY MERRY CHRISTMAS

IN THE SOUTH OF CANBERRA TODAY

GOOD PRESENTS WE’LL GIVE

TO EACH OF OUR KIDS

YPU SEE WE WISH YOU A HAPPY CHRISTMAS AT

WODEN WESTFIELD TODAY

SUE’   THAT WAS A GREAT SONG AND NOW

HERE IS ANOTHER CAROL FROM PRUE

PRUE’   OH YEAH THE CHRISTMAS BELLS

OH ******* WHERE ARE THE KIDDIES

I CAN’T FIND THEM OH NO

AND THEN AS I WALK AROUND WOOLWORTHS YEAH

I FOUND MY KIDDIES, YEAH I DID

EATING CHOCOLATE AND MOTHER HAD TO PAY THE BILL YET AGAIN

SUE’  ME SUE LONGWAYS WILL BE BACK AFTER THIS BREAK BOBBYE SANTA LAND

THE KIDDIES ARE HERE

PART 2
SUE’   AND WELCOME BACK TO THE FRESH FOOD SECTION OF WODEN WESTFIELD AWAITING

THE START OF THE SANTA CLAUS PARADE

AND WHILE WE ARE WAITING, NEVER HESITATING WE ARE REALLY REALLY WAITING

TO START IT, HERE IS A YOUNG DUDE JINGLE BELLS, FROM BILLY

BILLY’  YO DUDES, WE ARE DASHING THRU THE EARTH, LIKE A YO SURFER SHARK

WITH ALL THE PRESENTS IN THE BACK, AND A GREAT BIG DOG THAT BARKS

YO LEAVE ME ALONE YA DOG

I WANT TO SEND YO SURFER TO SWIM

ON EVERY BEACH OF THIS GREAT BIG WORLD

AND RIDE THEV WAVES, THAT’S GREAT

JINGLE BELLS YO JINGLE BELLS

THE CHRISTMAS SHARK HAS COME

TO GIVE THE KIDS AND ADULTS GIFTS

AND ***** TO GET US BLIND

YA SEE WE HAVE XXXX AND VB TOO

AS WELL AS CHAMPAGNE YIPPEE I AY

YEAH THESE JINGLE BELLS ARE  RINGING DUDES

YEAH ON THIS CHRISTMAS DAY

YO, YA HERE THE CHRISTMAS BELLS

ARE RINGING WITH A LOUD SONG

AND THE REINDEER DOES A **** IN THE PADDOCK

AND BOY DOES IT MAKE A PONG

YA SEE YO SURFER SHARK IS COMING UP TO SAY

OH WHAT A WONDERFUL TIME OF YEAR WE HAVE

I WANT TO CELEBRATE CHRISTMAS EVERY DAY

JINGLE BELLS YO JINGKE BELLS

THE CHRISTMAS SHARK HAS COME

TO GIVE ALL THE KIDS AND ADULTS GIFTS

AND ***** TO GET US BLIND

SUE’    SORRY BILLYI MUST STOP YOU NOW, AS THE PARADE

HAS STARTED, WITHN A MONSTERLOOKING REALLY COOL

AND A FEW KABGAROOS AND REINDEERS AND A MARCHING BAND

AND ALSO SANTA WITH A BEAUTIFUL MRS CLAUS

THAT THIS CITY JAS EVER SEEN, AND WESTFIELD WODEN, IS COMING ALIVE

WITH HEAPS OF CHRISTMAS CHEER, AND THE MONSTER ISN’T A MONSTER

IT’S AN ALLIGATOR, OR EVEN SHREK, ******* LOOKS LIKE SHREK

YEAH IT’S RADICALLY AWESOME, AND THERE ARE A FEW PRETTY CHEER GIRLS

AND ALL THE BLOKES SAY, THEY ARE SOOOO HOT BABY

AND MRS CLAUS IS WAVING TO EVERYONE DANCING ALONG HAPPILY

TO EVERY CHRISTMAS SONG PLAYED BY THE GREAT BAND

MAN, SHE IS SWAYING FROM SIDE TO SIDE, DUDES

IT IS RADICALLY AWESOME DUDES

AND SANTA YELLED OUT, MERRY CHRISTMAS ON THE BOTTOM FLOOR

YEAH THIS IS COOL, AND IT’S THE ALLIGATOR, WHO IS THE FINEST COSTUME ANIMAL

AS WE ARE MAKING A GREAT TRAVEL AROUND THE WODEN WESTFIELD PLAZA

AND I SEE THE ELVES KEEPING CLOSE SHOWING THEIR CHRISTMAS SPIRIT

AND EVERYONE IS WAVING THEIR HANDS AS THE PARADE WENT ON

AND WE JUST PASSED A KID WITH A SUPERMAN SUIT ON, HE’S COOOL MAN

YEAH THIS IS RADICALLY AWESOME DUDES

SANTA GIVES ALL THE MEN CUDDLES AS HE TRIUMPHS THROUGH THE MALL

AND AS WE DRAW TO LINCRAFT ESCULATOR, THEY MOVE ON FORWARD

TO MAKE A STOP AT EPIC HAIR SALON

WHERE THEY MADE A TURN AROUND AND ME SUE LONGWAYS

IS HAVING A WOW OF A TIME

AS THE BIG SHEEP DOGS AND OWNERS, AND THE BEAUTIFUL CHEER GIRLS

AND THEN SANTA PATTED ME SUE LONGWAYS, ON THE SHOULDER

YOUR MY OFF SIDER, SUE LONGWAYS, AS ME SUE LONGWAYS IS WEARING

A SANTA SUIT FOR AAA YOUTUBE TV

AND NOW WE ARE HEADING TO THE ESCULATOR, NEAR THE BIG W ENTRANCE

AND THE BAND PLAY RUDOLPH THE RED NOSED REINDEER

HAS A VERY SHINY NOSE, AND IF YA EVER SAW IT, YA CAN EVEN SAY IT GLOWS, LIKEW A LIGHT BULB

ALL OF THE OTHER REINDEERS USED TO LAUGH AND CALL HIM NAMES, LIKE PINNOCHIO

THEY NEVER LET POOR RUDOLPH, JOIN IN ANY REINDEER GAMES, LIKE MONOPOLY

AND THEY GET TO THE NEXT DOWN LEVEL; AND THE BAND PLAYED

HERE COMES SANTA CLAUS HERE COMES SANTA CLAUS

RIGHT DOWN SANTA CLAUS LANE,BLITZEN AND ***** AND ALL THE REINDEERS

PULLING ON THE REIGNS

AND SANTA AND THE ALLIGATOR AND THE GINGERBREAD MAN WAVED

TO ALL THE KIDDIES AS THEY MAKE IT THROUGH

CHRISTMAS IS HERE AND PEOPLE ARE EATING LUNCH AS

WE ARE PARADING THROUGH THE FOOD COURT, OH YEAH

AND ME SUE LONGWAYS, THINKS THIS IS COOL, MAN

EAT MY FLAMING SHORTS, LIKE BART SIMPSON SAYS

AND SANTA AND THE ALLIGATOR ARE WALKING PAST HUNGRY JACKS AND MACCAS, YEAH MATE YEAH

YA KNOW, HAVING A WOW OF A FLAMING TIME

AND THEN THE BAND PLAYED

YOU BETTER WATCH OUT, YOU BETTER NOT CRY

YOU BETTER NOT POUT I AM TELLING YOU WHY

SANTA CLAUS IS COMING TO TOWN

AND THE REINDEER AND THE ALLIGATOR AND THE CHEER GIRLS, TEEN OR TWEEN, OH YEAH

AND WAVING TO EVERYONE WAVING TO EVERYONE

AND ONE LADY HAS THE GIFTS, SANTA WILL GIVE THE KIDDIES

AS THEY SIT ON HIS KNEES

AND WE PULL UP HERE AT MUFFIN BREAK

AND NOW WE ARRIVE AT SANTA’S WORKSHOP

AND ME SUE LONGWAYS IS EXCITED AS SANTA MEERTS HIS FIRSTKIDS IN THE LINE

ARE THE MOST EXCITIBLE KIDS IN WODEN

AS WE VWATCH THE KIDS EYES COME OUT WITH TOTAL AMAZEMENT

AS THE KIDDIES CHEER SANTA SANTA SANTA OI OI OI

WE ARE CHEERING ON OUR SANTA CLAUS, YEAH AND THE DOGS WALK ON THEIR PAWS

AND THE CROWD GOTN THEIR PHOTOS WITH THE GINGER BREAD MAN

AND NOW HERE IS BOBBHY WITH HIS SONG

BOBBY’   JINGLE BELLS JBATMAN SMELLS

ROBIN LAID AN EGG

THE BATMOBILE LOST IT’S WHEEL

AND THE JOKER GOT AWAY

JINGLE BELLS BATMAN SMELLS

ROBIN FLEW AWAY

WONDER WOMAN LOST HER *****,

FLYING QANTAS AIRWAYS

SUE’   AND WE LOST OUR MAN WHO SANG OUR JINGLE BELLS YOUNG DUDE SONG, SO WE CAN’T BRING HIM ON

BUT IT’S TIME TO GO AND PARTY DOWN IN SANTAS VILLAGE