Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Silmi Afiqah Sep 2015
Di kala sunyi minda berlari
Di atas kertas pena menari
Mencoret kata yang tidak terperi
Melabuh beban yang memakan diri
She’s Luz-Vi-Minda
Priestess of Asia
When incubus harms
She takes out her charms…

Behold! Jose Rizal
Our hero national
Poet, doctor, researcher
Farmer, herder, school-builder
Fought Spaniards with paper and pen
Luzon’s charm – noblest of our men!

Behold! Lapu-Lapu!
Defender of Cebu
First terror of invaders
Famed Magellan’s death renders
Rammed Spaniards with native bolo
Visayas’ charm – quaintest hero!

Behold! Purmassuri!
Awesome Muslim lady
Wise heroine of Sulu
Foreigners cannot subdue
Disturbed Spaniards so tribesmen won
Mindanao’s charm – enemies thrown!

-11/27/2011
(Dumarao)
*First Incubus Collection
My Poem No. 63
fatin Oct 2017
menangis dan berontak jiwa muda
melawan prejudis dan komunis
minda anak kecil pula dijajah
katanya ini untuk masa depan
namun mereka lupa dan sentiasa lupa
dunia ini sifatnya selamanya sementara

diktator terus tersenyum
korupsi negeri negeri menjadi bukti mereka kuasa besar
kapal empayar tidak lagi membawa selamat
malah
--membawa mangsa untuk segala seterusnya

rakyat pula umpama anak kecil
terumbang ambing dan terus merengek
gaduh rebutkan yang tak pasti
cuma ada beberapa yang berani, kan kedengaran suaranya
lalu mereka itu dibunuh
agar senyap
agar tiada masalah ditelinga

kelihatan belia itu duduk
menongkat dagu
keluh resah dan bimbangnya kedengaran
berat nafasnya
--lalu berapa lama lagi?
tanda soal yang tidak berjawab di minda nya
umpama terdampar di laut dengan pelampung
menanti untuk diselamat
tapi masih tak pasti.

seru untuk semua yang ada;
yang masih berkudrat
yang masih waras akalnya
--lalu berapa lama lagi?

-f 1029pm oct 2nd
Raihah Mior Dec 2017
Dalam retrospeksi
minda naif kecilku pernah berimaginasi
memikirkan dunia luar sana yang bagaikan fantasi
hati merontakan suatu kebebasan yang diimpi
namun kini ku sedari, itu semua hanyalah persepsi
seorang gadis kecil yang dahulunya bercita-cita tinggi
masa sudah tiba untuk kembali ke realiti.

Selamat datang ke Kota Korupsi
di mana manusia-manusia bertopengkan syaitan
kehausan kuasa, kerakusan harta duniawi
dipuja, dipuji dan disanjung tinggi
pil penawar pula makanan ruji untuk depresi
tiada lagi tempat mengadu, tempat meluahkan hati
hanya tinggal kata-kata yang kehilangan erti
terpapar di kotak skrin empat segi.

Bangsaku semakin alpa, agamaku jauh sekali
soal halal haram tidak dipertikaikan lagi
hanya topik sembang santai di kedai kopi
bicara hari nanti ditolak dahulu ke tepi.

Dunia yang dahulu semakin pudar
hanya serpihan di hujung sudut memori
masa berlalu terlalu pantas, terlepas dari jari-jemari
sekarang sudahpun tiba generasi baru menapakkan kaki
namun, lihatlah sejarah mengulangi dirinya sekali lagi
selagi nafas belum terhenti
selagi kita belum pergi.
My first actual sajak written for my Penulisan Kreatif class. Not my best work, but I'm genuinely quite proud of it. We had to recite it in class and I actually did it, with hand movements, ****** expressions, intonation, all that jazz (it was even accompanied by a Tron soundtrack hahahah). Basically the poem's just a little commentary on what globalization has brought to the people of my side of town. But I guess it applies to everyone too. The world keeps changing and evolving anyway. What are we to do. *shrugs*
Jack Jun 2022
Terbangun aku di kamar mimpi,
dulunya kau ada di sisi,
kini sepi,

mata dan minda tempat ku jelajah,
menerokai diri mu tanpa lelah,

kembara kita tiada henti,
kerna, tiap kali kita bersua,
kucupan dan senyuman manis menghiasi pipi,

ku susun aksara ini,
untuk mereka tahu,
bertapa indahnya kau di mata ku

cereka tiada noktah atau koma,
kerna di sini,
kau kekal selamanya.

Bila kau tiada,
Jumantara ku gelita
Malam ku sunyi tanpa suara,
renjana pada roh ku kian lemah.

ku berharap kita bersua lagi,
dengan renjana sama dengan ku,
kau bagaikan sahmura,
menghiasi kamar mimpi,
dengan ukiran kirana di bibir,

kerna

Gian aku kepada sanubari mu,
tiada henti
Nat Lipstadt May 2014
Lactate motto naku smile.

this poem,
for my friend, who has hit the road,
in ways others only think they have done or know,
miss her firecracking wizardy,
she, the only inky reason
still talk to god,
to cover all the bases,
employ every tool and invention,
to make sure you are a-ok alright,
on the journey to an unknown destination

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~


Lactate motto naku smile
That is Apple talk.

My Apple language master
señor spell check,
thus advised and improved upon me,
way back on April 3rd of this year.

I wrote:
"last attempt to make you smile."

Apple translated my ginger finger snap taps
into American English as
"Lactate motto naku smile"

Stumbled on this oath, this midnight eve,
this phrase, duly nated and nested,
amidst our very long exchanges,
which someday soon,
am going to edit excerpt
as one most readable single poem,
a tribute to you, not,
that you, my traveling friend,
you already greedy got

no, just a dialogue
just a par example,
of how friendships are born,
how words lactate from each of our *******,
how relationship are birthed and nutured,
in a crazy place, where language lovers
are the nuclei of a dying breed,
once called the human place

***, back in ancient history,
way back on Sept. 29th
our first communication
tween our mutual alien races
tee hee, me wrote first
as follows

Each individual word,
was a separate message,
for such devices deserved of self-respect,
sometimes want their power demonstrated
on a stand alone basis and here that follows was how
Presented and Conceived

Nat Lipstadt  Sep 29, 2013
This

Nat Lipstadt  Sep 29, 2013
Message

Nat Lipstadt  Sep 29, 2013
Is

Nat Lipstadt  Sep 29, 2013
For

Nat Lipstadt  Sep 29, 2013
You

Nat Lipstadt  Sep 29, 2013
Only

Nat Lipstadt  Sep 29, 2013
Can a man fall in love with a name?


you permissioned me a
multiplicity of yeses,
thus began our star trekked voyage
in the stellar spatial space of the
galaxy of humanity

but part of your new trajectory,
a new orbit in a new spaceship
you champagne smashed anointed as
Mirabel

Now I know you hate my habit,
of slipping in a definition,
making the lazy reader
unself-sufficient,
but I grant, nay, take this liberty, I dew,
while in your quiet traveling disappearance time

Mirabel*
is a female name stemming from the Latin word mirabilis, meaning "wondrous" or "of wondrous beauty"

what ya know, ** **,
nothing could be fina,
than to be in your minda,
nothing more apropos,
than calling your ship in Latina,
a wondrous female beast of beauty

ok I know I go on too long
as is my wont, my nature,
but I could not shorten my course,
in any other way,
Ok,
I
Guess
I
Could
Have
Said
I miss ya terribly*

somewhat more succinctly
but what fun would that be?
Please be safe wherever you are... my Indian chieftess or as Apple would have me write chief tests!
For HTW
Jack Jun 2022
Jauh aku datang,
Singgahan sementara,
Ribut pasir di padang gersang,
Menari di sanubari hati,

Cahaya matahari menemani sunyi,
Bulan menghiasi langit yang gelap,
Harapan seperti menanti hujan,
Keras hatiku timbul rekahan,
Badan aku membara keseorangan,

Jarum detik sudah behenti,
Tetapi aku masih berjalan lagi,
Peluh bersilang ganti,
Nafas ku semakin pendek,
Persoalan berhimpun di minda,
Sampai bila, sampai bila.
Namun, getaran tenaga menjadi kudrat terakhir.
Hingga badan aku rebah dan tenaga aku gersang..
Dechanteur Apr 2017
Antara dua jalan buntu
Penentuan hati dan minda sekeras batu
Ku menerka ini hanya mainan perasaan
Persis jiwa-jiwa yang hiba kekosongan

Larilah wahai nafsu
Carilah serangkap wahyu
Cantaslah pucuk cemburu
Kerna manusia semakin layu
Lenturnya segenggam iman
Toksik meracuni setiap teman
Doalah waktu masih memberi ruang
Mewarnai tiap hitam putih perjalanan

Telan segala perit mencari abdi
Tiada yang kekal apatah lagi kendiri
Senyuman kekal menjadi sedekah amalan
Tuhan Maha Pengampun, manusia dahagakan amalan.
PLAINJETPLANE May 2020
merah jambu bukan lagi warnaku

meski masih ada putih
hitam juga yang aku pilih
7 tahun telah aku rasakan mati
cukup tiga, mungkin jiwaku tiada lagi baki

sering ku ingin pulang
bertinta di atas muka surat yang sama
tiap kali itu juga lemas aku berperang
tenat kepalaku melawan apa yang di minda

rapat aku tutup mata yang segar
mendambakan saat ia terbuka
sepi di dalam penuh di luar
melakar noktah di sudut sengsara

kerana begitu aku rindu
waktu diriku dihiasai merah jambu.
Delilah I Causin Dec 2021
MY TWO FRIENDS

by Delilah Ignacio Causin

She,
She paints from her dreams
draws nature and the sublime
verses she inks from her heart
deep in meaning; lofty in thought
her works transcend words with ease
the world is her canvas without surcease
at poetry's gate, weave picture ethereal
imagery dreamlike and surreal.

He,
Man and boy housed in one soul
emotions and anguish cajole
his pen steeped in love and pain
exonerates even the mundane,
discovers joy in every torment
breathes metaphor in each tender moment
poetically gives of his heart and wit
cunning or devious,artfully in poems writ.

Two friends have I,
Whose hearts ache and souls revel
web of thousand words, images reveal
take voice from the imperceptible
myriad colors intangible
their flair for prose and poetry
driven by the real, muses and deity
two souls' perception of beauty and truth
duplicate my reflection and thought.

Delilah I. Causin,
Aug 16, 2015
To my Poetess painter friend, Minda Marie De La Serna and and poet friend Narciso

— The End —