Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
absolutely scandalous the way you are..
you treat me mercilessly for feeling cheerful ..

so cruel attitude you are ..
thou silent throughout my sense of my disappointment to smile ..

truly evil your touch ..
you whip my heartbeat pounding and carefree ..

indeed bear your concern ..
you fill up my weak with politely invincible ..


really sneaky way you are ..
you stole my heart a dozen years ago to freeze and harden ..

indeed savage your sincerity ..
you satisfy and pamper me until i could not walk on the mainland ..

because you are the villain of heart of mine..!*


┈┈┈┈┈»̶·̵̭̌✽✽·̵̭̌«̶  ƦУ  »̶·̵̭̌✽✽·̵̭̌«̶┈┈┈┈┈┈┈┈

san­g penjahat hati..!

sungguh keji caramu..
engkau perlakukan perasaanku tanpa ampun untuk ceria..

sungguh kejam sikapmu..
engkau bungkam seluruh rasaku kecewaku hingga tersenyum..

sungguh jahat sentuhanmu..
engkau cambuk detak jantungku berdegup kencang dan riang..

sungguh tega perhatianmu..
engkau jejali lemahku dengan santunmu hingga tak terkalahkan..

sungguh licik caramu..
engkau curi hatiku belasan tahun lalu hingga membeku dan membatu..

sungguh biadab ketulusanmu..
engkau puasi dan manjakan asaku hingga tak sanggup kupijak daratan..

karena enkau adalah sang penjahat hatiku..!
the best index to a person character is how she/he treats people who can't do her/him any good..
and how she/he treats people who can't fight back...
Regulus Cayapata Aug 2020
Sayang, kita tak sedang menenggelamkan kepala dalam-dalam ke kubangan lumpur.
Sayang, kita sedang meminum darah yang mulai membusuk.
Sayang, kita mungkin akan diperkosa dengan biadab oleh diri kita sendiri.
Seperti pendosa.
Elle Sang May 2018
Sambil mengendarai mobil, aku melirik calar yang menghiasi tangan kananku. Merah seakan salah satu kucingku baru saja mengamuk. Tapi hanya aku dan sebilah pisau di kamar yang tahu itu bukan hasil karya seekor kucing melainkan binatang yang jauh lebih biadab, depresi.
Lampu dijalanan berubah merah, sambil melihat sekeliling aku tersenyum mengamati hiruk pikuk yang sedang terjadi.
Aku jadi rindu perasaan utuh yang lambat laun terkikis waktu dan kalimat-kalimat bernoda.
"Kurang kuat iman sih"
Tak ada kaitannya dengan imanku, sayang.
"Mungkin cuma ada di kepalamu saja."
Dan kepalaku adalah satu-satunya tempat dimana aku tak bisa lari.
"Memang penyebab depresimu apa?"
Karena 1095 hariku tercemar darah, puntung rokok, pecahan gelas, dan caci makian tiada henti. Tak semudah itu untuk keluar hidup-hidup dari kandang singa, harus ada luka yang aku tanggung seumur hidup.
"Apakah kau gila?"
Aku bukan gila, aku baik-baik saja. Hanya ada bagian di dalam sana yang mati dan tak bisa diperbaiki lagi.
Lampu hijau dan klakson dari mobil membangunkanku dari suara-suara itu.
Tapi ketika sudah melaju dengan kecepatan yang nyaman ada satu suara yang muncul lagi, menoreh hatiku.
"Aku tak habis pikir bagaimana seseorang bisa nekat melukai dirinya sendiri sedangkan masih banyak yang bisa dilakukan"
Kalau kau tak paham, tak mengapa.
Tapi aku melakukan itu bukan untuk mati, aku lelah tak merasa apapun karena ada bagian di dalamku yang memang sudah mati.
"Kau mirip banteng ketaton"
Ya, aku marah kalau kau seenaknya menyebut aku gila.
Aku terluka kalau kau seenaknya main hakim sendiri.
Calar itu adalah sebuah pengingat bahwa aku masih hidup.
Untuk mereka, korban kebiadaban depresi.
Kalian tidak sendiri.
"dasar kamu anak biadab"
sekali,dua kali aku tersakiti
sekali,dua kali aku ingin mati
sekali,dua kali aku hanya ingin disayangi

siang ini aku mati
malam ini aku mati
bulan sebagai saksi
tetes,tetes aku pun senyap
kelam hidup ini

hampa,sunyi aku tidak ingin sepi
sekali dua kali,aku tidak hidup lagi
tuhan,maaf aku tidak kuat lagi
senyap senyap jiwaku ini
ditelan oleh bumi

— The End —