Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
Aridea P Feb 2012
Jakarta, 28 Mei 2009

Suatu malam aku gelisah
Menunggunya tuk hadir di sini
Dia yang sangat ku cinta
Pangeran dari Kerajaan Inggris

Ya Tuhan
Maafkanlah aku
Aku t’lah mencintai orang yang salah
Tolong bangunkan aku

Aku diam seribu bahasa
Aku menangis, “Aku hanya bermimpi!”

Lalu ku lihat seorang pria
Berdiri di depanku
“Ya Tuhan, aku bermimpi lagi”
Dia menyentuh tanganku

Sekali lagi...
“Ya Tuhan, ini nyata!”

Aku memeluknya
Dan kemudian aku benar-benar sadar
Inilah kenyataannya
Pangeran dari Kerajaan Inggris
Aridea P Oct 2011
Jakarta, 10 Mei 2008

Lirik lagu tentang cinta itu
Buatku seakan dia ciptakan untukku
Padahal dia ciptakan untuk yang lain

Tapi kenapa harus dia
Yang indah buatku luluh
Angin bawakan sejuk untukku
Karenanya suara lirik itu terdengar

Aku pun menangis
Begitu indahnya sampai ku bermimpi
Tak henti mimpi sampai saat ini
Yang tak ingin ku akhiri

Percuma, dia takkan tahu aku di sini
Meski ku kuras s’luruh air mata
Ku ucapkan seluruh kata cinta
Hingga tak tersisa lagi

Berulang kali angin bawakan lagu itu
Sekali lagi untukku, dari dia yang indah
Selamanya sungguh ku cinta
Karna sampai kini tak pernah ku lupa
Aridea P Jan 2014
Palembang, 11 Januari 2014

Ini kisahku
Kisah mengharu biru
Tentang aku yang tak berkawan
Di pulau perantauan

Ini ceritaku
Cerita yang terekam waktu
Tentang seorang anak Hawa
Yang mati tapi bernyawa

Alarm berbunyi, memecah sunyi
Aku diam di sini, sendiri
Mencoba tuk menutup mata, tapi selalu terjaga
Menerawang masa depan, melukiskan kehidupan

Terdengar Ayam bernyanyi, berirama seni
Aku masih merenungi, siapa jati diri?
Mencoba tuk menutup mata lagi, meski ku pun tak yakin
Ku coba sekali lagi, berharap mulai bermimpi

Esok hari penting, tak ingin ku langkahi
Kemarin hari sendu, birkan berlalu
Sekarang hari biasa, cobalah terbiasa
Kenangan akan tercipta, berawal dari mimpi di kala senja
Joshua Soesanto Jul 2014
Sepertiga rasa
jatuh pada botol kecupan asa
mimpi berkelap-kelip berbias cahaya
kamu selalu indah, mengikat semesta.

Satu persatu melankolis tertawa
mengeja satu puisi
jatuhnya pun tiba-tiba
seperti cinta, mudah terisi.

Mengelukanmu seperti bidadari
menulis berbaris-baris puisi
tentang dirimu
hingga terhipnotis sampai lupa diri
kini rasa sendiri.. hinggap lagi
kembali menagih janji.

Ternyata rasa suka itu..
tidak pernah satu paket dengan kata "bersama"

Rasa pun akan mati nantinya
aku selalu penasaran
mengapa rona pelangi suka mempermainkan pikiran dan hati?
di ujung perjumpaan
oleh sebab ketiadaan ia menghilangkan jejak ini.

Sudah cukup perjumpaan ini?
aku kira kita masih bisa bersama untuk bermimpi


Mungkin sudah waktunya
aku kembali lagi
berangkat mencari sepotong daging yang terpisah dari jiwa
dan anggur-anggur memabukkan jati diri.
https://soundcloud.com/keithkenniff/to-be
Aridea P Jun 2012
Palembang, 9 Juni 2012

Kau bagaikan embun di pagi hari
Menyegarkan tubuhku dengan sejukmu
Merasakan kamu di setiap ku hirup udaramu

Kau bagaikan sinar mentari di siang hari
Menyelimutiku dengan terikmu
Berada di atasku setiap waktu

Kau bagaikan udara di sore hari
Menyentuhku tak disengaja
Membelai rambutku dan aku bahagia

Kau bagaikan gelap di malam hari
Tak pernah melihat wajahmu
Tak pernah bermimpi kamu

Kau adalah nafasku untuk hidup
Yang selalu ku ingat setiap waktu untuk ku hirup
Fahali Machi Nov 2013
Ku terlelap seperti lalu lintas jakarta, berjalan dan berhenti, dari padat menjadi kosong. Yang tak tahu pergi kemana. Gambar-gambar yang lewat begitu saja seperti cepatnya kereta. Lampu-lampu jalan yang menerangi aspal hitam. penjual-penjual yang menjual minuman di lampu merah. Pengamen yang bermimpi membuat kemacetan menjadi hal musikal. Keringat-keringat dibalik helm dan jaket kulit. Tawa-canda dibaluti pendingin didalam mobil. Bis-bis kota dengan kepenuhan penumpang. Orang-orang yang mengumpat jika kau dengar dengan seksama, umpatan mereka begitu indah, tak ada seorangpun di bagian dunia lain mampu menirunya. para pedestrian yang semakin tergeser eksistensinya karena tak ada lagi ruang bagi mereka. Stasiun-stasiun yang nampak menakjubkan ketika sepi. Spanduk-spanduk keagamaan yang dipasang sembarangan sama layaknya dengan iklan-iklan yang berteriak ke telingamu tiap radius 10 meter. aku terlelap bagaikan lalu lintas jakarta. Aku tak tahu kemana.
Aridea P Jan 2012
Palembang, 31 Desember 2011

Ku tak berharap malam ini akan spesial
Mengingat kembang api tak mau memperlihatkan sinarnya
Terompet pun enggan mengumandangkan suara nyaringnya
Apalagi, arang bersumpah takkan membara malam ini

Jahat sekali mereka padaku 

Aku sudah mengira malam ini akan menjadi bosan
Ditinggal sendirian di rumah
Dilarang pergi ke rumah teman
Ditambah modem tak mau konek

Jahat sekali kalian padaku 

Baiklah
Aku hanya bisa bermimpi saja
Mendengar gemuruh kembang api
Melihat cahaya indahnya
Menghirup wangi jagung bakar
Menyantap ayam panggang
Dan ketika aku kenyang, aku tertidur

Esok pagi
Yang ku temui hanya sepi
Maman Screams Jan 2014
Sebelum nafasku yang terakhir
Ku luar kan kepadamu
Engkaulah yang ku tunggu
Engkaulah bintangku

Dan kamu
Aku masih sayang kepadamu
Biarlah ini satu rahsia buatmu

Adakah ini suatu mimpi
Yang selama ini engkau menyelami
Menyinari
Menghiasi alamku dengan warna cinta pelangi

Engkau ada tetap dihatiku walau ku tiada
Engkau ada tetap dijiwaku walau bisa
Dan ku harap kau maafkanlah segala dosa
Sebelum ku pejamkan mata untuk selama-lamanya

Dan kamu
Aku masih sayang kepadamu
Biarlah ini satu mimpi indah bagiku

Apabila nadiku berhenti
Tamatlah sudah puisiku ini
Tapi ini bukanlah satu erti
Kuharap engkau kan terus bermimpi

Kubina cinta di alam mimpi
Bayanganmu ku kan salji
Selalu berada sentiasa disisi
Selamanya kepadamu
Aku..
Aku berjanji..


©2014 RevoLusi
©2014 Maman Screams
Taken and re-arrange with consent from my band "RevoLusi".
Lyrics were taken from my band upcoming latest single, "Mimpiku Yang Terakhir".
The whole lyrics have been re-arrange and some phrases are added in for this piece.
This is my first time writing up a song in my mother-tongue language, "Bahasa Melayu".
This is the poetry version for the song.
Aridea P Oct 2011
Ku duduk di sini
Kaki ku membeku karena dingin
Mata ku kantuk karena larut
Malam ku gelap tanpa sinar bulan

Telinga ku sepi, tiada yang terdengar
Bibir ku rapat, tak ada yang terucap
Badan ku lelah serasa ingin roboh
Ingin ku pejamkan mata tuk sementara

Namun terlelap dalam mimpi
Takkan tersesat walau sendiri
Harap ku akan bermimpi lagi
Mimpi yang paling indah dari kemrin
Agar temani di malam sunyi ini
Hingga aku membuka mata esok hari

by.
Aridea Purple
Aridea P Nov 2011
Ini aku
Gadis remaja yang sedang jatuh cinta
Yang jatuh cinta kepada mu
Yang bermimpi bisa memiliki mu

Aku yang mengenal mu tak sengaja
Yang mengagumi mu dengan seribu alasan
Yang mengklaim mu sebagai makhluk istimewa
Ciptaan Tuhan yang ku harap adalah jawaban

Aku yang merasa bodoh di hadapan mu
Yang salah tingkah ketika berbicara dengan mu
Yang tak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan mu
Yang selalu gugup bertemu dengan mu

Aku di sini..
yang berharap bisa lebih mengenal mu
Yang berharap bisa membuat mu jatuh cinta kepada ku
AM Mar 2016
sekarang ini, aku itu sedang bermimpi
ada sebuah wajah yang namanya aku amini
ditiap bisikan doa kepada bulan dan matahari
hingga seluruh semesta berhenti bernyanyi

aku bahagia lagi—kan sekarang ini ada kamu
yang mencintai aku tiap hari Minggu
jika benar ini mimpi, jangan bangunkan aku
karena aku butuh lebih banyak waktu

untuk memeluk tubuhmu lebih lama
untuk buatmu jatuh cinta dihari lainnya
dan
untuk membawa kamu ikut jadi nyata
Aridea P Jan 2012
Di suatu tempat, di suatu hari

Kini ku beranjak dewasa
Dan malam ini aku berfikir
Hormonku telah mencapai puncak

Aku butuh bercinta
Ya... memang gila diriku ini
Tapi... aku benar-benar dan sangat ingin

Ku butuh pelukan seorang pria
Di setiap malamku yang dingin
Ku butuh ciuman mesranya
Untuk menghangatkan tubuh ini

Adakah pangeran yang mau melakukannya untukku?

Setiap malam aku kesepian
Hanya bermimpi...
Bercumbu dengan bayangannya
Memeluknya... menciumnya
Begitu mesra menyentuh jiwa

Gila! Gila! Gila!
Memang gila fikiranku ini
Tapi tak bisa ku hindari
Saat nafsu ini melumuri jiwaku
Pikiranku... dan cintaku

Begitu jauh...rumah pangeranku
Tak sanggup sendiri aku ke sana
Sekali lagi...
Pelukan...
Sentuhan...
Kecupan...

Dan saat-saat bercintalah yang akan ku tunggu
Hingga sang pangeran tiba
Aridea P Dec 2011
Palembang, 17 Desember 2011

Aku kehilangan emosi ku
Ketika semua terlepas hilang

Bukan aku
Bukan
Bukan
Bukan aku

Merenung . . .
Hanya ada aku
Di ruang hampa
Di negeri antah berantah
Menunggu cahaya
Tuk menarikku keluar
Ke terik sinar mentari terpanas
Tuk memerah peluh sendiri
Karena terlalu lama beku akan kesunyian

Pernah ku bermimpi nirwana
Indah, tak terharga
Dibuat dari batu ketaatan
Dilapisi emas keimanan
Dipagari kayu keikhlasan
Sederhana, tak menarik
Sulit pun tuk di huni

Aku sudah di sini
Di tempat aku berada
Di gedung mewah penuh kesenangan
Dibuat dari berlian kemusyrikan
Dilapisi perak kemunafikan
Dipagari besi keserakahan

Aku sudah terlanjur di sini
Mati rasa
Aridea P Oct 2011
Cinta…
Betapa sayang ku lebih
Kau tak tau berada di sini
Bahwa sayangku tersembunyi

Cinta…
Lama sudah ada di sini
Kau tak dengar jeritan ini
Lirikmu yang selalu mewakili

Kasih…
Lebih indah saat ku bermimpi
Tapi, tidak pernah terjadi
Aku, hanya duduk sendiri

Kasih…
Lamunanku tertuju padamu…
Tak sadar aku inginkan kamu
Dan selamanya aku Cinta kamu Kasih…


by. Aridea Purple
Aridea P Oct 2011
Segenap usia t'lah ku pegang. Namun, akankah telepas? Usia akhir hampirkah dekat. Apakah raga akan terbunuh?

Cintaku belum tergapai. Bisik hasut baik, terngiang di telinga. menyerukan kata indah tentang cinta. Agar ku tak merasa terikat usia.

Belum lama ku cicipi dunia. Akankah kandas bagai tergilas. Tiupan angin menjadi puing. Terbakar api menjadi debu.

Nyawa kini menjadi asap. Tak berguna tanpa cinta. Menangis haru karena suara indah. Dan tersenyum bahagia bermimpi cinta.

Created by. Aridea Purple
“Hai.”
“Hai.”
Tulisan ini datang dari mimpi tanggal 24 Mei 2019, setelah mimpi-mimpi lainnya.
Aridea P Oct 2011
Andai aku seindah mu
Rasa hati ku kan bahagia
Lekuk senyum ku tak seindah mu
Oh, sungguh berbeda antara kita
Namun, ku tak peduli
Semua akan hilang terbawa angin
Yang akan tercipta rasa cinta, terus membuat ku bermimpi

Merpati terbang melayang
Indah tak kan hancur sedikitpun
Rusa berlari kencang
Akankah menggapai kebahagiaan?
Luapan cinta tak tergapai
Dalam hati ku berkata
Inikah takdir hidup ku?

Creates by Aridea Purple
KA Poetry Jun 2018
Tak pernah luput wajahmu yang selalu muncul di benakku.
Berkata " jemput diriku ".
Semakin mendekat, Semakin terasa mimpi.
Hingga kini, diriku memutuskan untuk bermimpi.
05/06/2018 | 20.51 | Indonesia | K.***
wonderwall Aug 2019
Pukul 02.30
Aku terdiam tanpa berbahasa
Memikirkan sejuta hal yang seharusnya kulakukan
Aku terbiasa bermimpi
Namun kini aku tak mampu

Pukul 02.30
Andai waktu adalah lomba
Maka aku selalu kalah
Lagi-lagi aku tidak dapat terpejam

Pukul 02.30
Aku dan semua lamunanku
Terhenti sejenak oleh suara dengkuran disebelahku
atau mungkin suara angin sejuk dari mesin diatasku

Pukul 02.30
Aku ingin berlari ke dalam lautan
Menantang ombak berderu kencang
Lalu terhempas oleh bayang-bayang

Pukul 02.30
Aku berurai air mata
Berusaha mengartikan rasa
Pencarian yang tak berujung

Pukul 02.30
Katanya Tuhan itu Mahakuasa
Maka aku percaya jawaban itu ada
Dan kupejamkan mataku
Harap semua ini sirna

-wonderwall-
So Dreamy Nov 2017
Seperti halnya dasar teori Quantum, aku percaya bahwa semua kemungkinan memiliki probabilitas masing-masingnya untuk terjadi, tak peduli sefantastis atau setidak masuk akal apapun itu.

Begitu juga dengan aku.

Aku percaya bahwa dunia ini terlalu luas sehingga tidak ada yang hal tidak mungkin untuk terjadi. Di samping terlalu banyak memikirkan presentase probabilitas dari suatu kejadian, menerka-nerka dengan menggunakan pertanyaan ‘What if?’ ― akulah satu orang yang mati jiwanya diikat sistem pendidikkan yang selama ini kuselami, akulah satu orang yang mati jiwanya karena pendidikkan yang kuselami selalu mengedepankan teori dan tak punya hati, semua orang seolah hanya pandai berpikir secara logis. Seolah hanya itu yang menjadi tolak ukur seseorang dipanggil cerdas, intelektual, calon pemimpin besar di masa yang akan datang. Kemudian, orang-orang itu seolah berkompetisi penuh ambisi demi mewujudkan hasil terbaik, nilai terbaik, peringkat terbaik. Hasil menjadi tolak ukur mereka untuk bermimpi. Kemudian, sekarang, akulah satu-satunya pemimpi yang kebanyakan orang sebut tidak realistis. Mereka manusia-manusia realistis, aku paham benar, dan aku satu manusia yang memegang idealisme dari sebuah prinsip yang selama ini kugenggam, kuikat aman-aman di sela-sela jemariku, kuingat lamat-lamat di dalam kepalaku yang berbelit-belit ― impianku adalah untuk melakukan hal yang paling kusuka. Kau tahu apa, untuk bersua seumur hidup dengan objek yang paling kucinta; kertas dan pena, untuk menjadi inspirasi bagi para pembaca, untuk berguna bagi orang-orang di luar sana. Aku ingin menulis. Aku ingin menulis seumur hidup. Menjadi inspirasi bagi khayalak luas, terinspirasi untuk menginspirasi. Suatu hari nanti, tulisanku akan mengalir, akan ada waktunya di mana setiap untaian kata yang kusematkan dalam tulisanku menjadi hidup, kemudian mampu menggerakkan orang lain; terinspirasi untuk menginspirasi. Begitu banyak macam-macam orang; orang-orang dengan pikiran yang praktis, orang-orang yang logis dan serba teratur, orang-orang konservatif yang senang mengerjakan hal sama berulang-ulang, politikus yang kritis, orang-orang berjiwa bisnis, orang-orang berjiwa sosial, musisi, seniman yang nyentrik. Dan, aku memilih untuk menjadi seorang berjiwa puitis yang melankoli, pemimpi yang gemarnya mengkhayalkan hal-hal manis dan sederhana. Memiliki jiwa yang sedikit sendu, sudah biasa. Menjadi sedih dan terlalu melankoli, juga bukan hal yang tabu. Lumrah saja, santapan sehari-hari. Dikecewakan dunia? Sudah tak lagi asing. Begitu banyak orang berlalu-lalang, datang dan pergi dari ruang kehidupanku, sehingga rasanya lama-lama ringan saja. Dikecewakan manusia? Sudah biasa. Itulah sebabnya mengapa dirimu sendiri adalah temanmu yang paling sejati, mereka membangun dinding untuk melindungi dirimu dari sakit hati, kemudian menjadikanmu sebagai sahabat terbaiknya. Kertas dan pena, persoalan yang berbeda. Mereka hadir kala diri tak lagi kuat menahan beban, menjadi tulang belakang yang setia menopang, kala dunia tak bersabahat. Dikecewakan ekspektasi? Sudah terlalu sering. Salahnya diri ini terlalu berharap pada orang lain, mengharapkan bahwa kebaikan apapun yang kita lakukan pada mereka akan selalu dibalas, lupa bahwa kadang, ada saja orang-orang tak berhati mulia. Menjadi diri sendiri? Adalah hal yang penting. Menjadi kuat untuk diri sendiri? Jauh lebih penting. Disamping kertas, pena, kata-kata, aku menginginkan kemandirian di dalam hidup ini. Kau pikir ini terdengar sedikit individualis, sayangnya aku tak lagi peduli. Dunia mengajarkan bahwa menjadi kuat untuk berdiri sendiri adalah hal yang penting, di mana terlalu banyak rasa sakit hati yang tak diharapkan terulang kembali. Bukan tak memaafkan atau tak mampu melupakan, hanya saja aku mulai belajar untuk tidak lagi peduli pada  hal-hal yang mengganggu kebahagiaan hidup saya. Untuk itu, saya perlu menjadi kuat bagi diri saya sendiri.
Coco May 2019
Hari ini aku ingin bercerita
Bagaimana sebuah rasa berubah menjadi sebuah asa

Saat itu..

Aku melihatmu
Berjalan, tapi tetap pada bayangan yang sama
Bagaimana bisa?
Kau sudah melewati beberapa cahaya
Yang bahkan berbeda beda

Aku penasaran
Rasa untuk membawamu dari bayangan itu muncul
Aku berharap usahaku berhasil
Sebuah rasa yang berubah menjadi asa

Lagi. Aku bermimpi
Agar kau tak berhubungan lagi dengan bayangan lalu mu
Aku bertindak. Membantumu
Lagi, asa itu berasal dari rasa yang sama.
Rasa untuk membantumu bangkit dari bayangan itu.

Namun, lambat laun rasa itu berubah
Berubah menjadi asa untuk kita memiliki bayangan yang sama

Ketika waktunya tiba, ku kira aku berhasil
Ternyata... sangat jauh dari kata itu

Kau lebih memilih menghentikan usahaku, tindakanku
Dengan alasan “aku butuh jeda”

Baik. Ku turuti maumu
aku bahkan masih berpikur positif.
Tapi semakin larut, kau tak juga kembali

Oh. Dan kusadari,
Kau pergi, bersama bayangan itu lagi
Kau menjauhi ku dan mendekati bayangan itu, lagi

Sungguh aku tak sanggup mencernanya
Rasa itu. Asa itu. Bahkan kau tak pernah menganggapnya, kan?
Sungguh, apakah kau mengerti maksud dari segala cerita tentang rasaku?
Tentang asaku?

Kau pergi tanpa mengucapkab selamat tinggal.
Bukan. Setidaknya kau bisa memujiku
Memuji atas rasa dan asa ku.

Sekali lagi, karena rasa ini, asa ku muncul kembali
Ya, sebuah asa.
Asa untuk melenyapkan segala rasaku padamu
Baik itu rasa penasaran, ingin menolong, atau rasa ingin memiliki bayangan bersama mu
Aridea P Mar 2017
Palembang, 27 Maret 2017

aku pernah bermimpi tentangmu
kamu menggenggam erat tanganku
menuntunku ke tempat yang belum pernah ku tuju
sesaat kau hilangkan semua perasaan sesak dihatiku
kita bergandengan berdua, ya, di dalam mimpiku
kamu begitu tampan sehingga ku tak bisa berpaling memandangmu
kamu seorang yang belum pernah ku temui sebelumnya
kamu yang membuatku teringat kembali rasanya jatuh cinta
kamu menghargai setiap aksiku
kamu memandangiku bak perhiasan yang berharga
kamu jua lah yang membuatku berharap ketika ku kembali ke dunia nyata
Atta Feb 2018
buat apa bermimpi
pada akhirnya terperosok jauh

buat apa mengkhayal
pada akhirnya tersesat dalam ilusi

mungkin itu cara Tuhan
untuk mengajarkan kita
cara untuk berusaha

atau mungkin itu cara Tuhan
untuk menjauhkan kita
dari kesenangan yang fana
dan keterpurukan yang nyata

terima kasih Tuhan









tapi aku sudah larut dalam keterpurukan itu, Tuhan.
menyalahkan Tuhannya ketika dia jatuh dan membenarkan dirinya, egois.
EVewritesss Aug 2018
Kala malam sudah semakin gelap
Sinar bintang mulai berbinar
Kepala terangkat membelalak langit yang kian lungai berkedip kedip

Ada malam yang aku rasa masih terang karena lampu taman
Gelap masih sembunyi berselisih paham dengan cahaya listrik

Ada senja juga yang kadang sulit kutemukan
Jujur saja, sangat langka akhir akhir ini
Sungguh jarang aku melihat jingganya yang begitu matang bergelora bersama langit
Begitu indah

Ada juga pagi yang aku bayangkan udara bersih dan putih
Namun, kau tahu bukan.
Sudah ada asap yang bermunculan berselih juga dengan kabut
Aku juga berfikir itu kabut
Nyatanya asap sampah pinggir jalan
Sunggu pilu..

Jadi, apa yang bisa kamu bayangkan dari pengandaian itu?
Tidak semua hal yang katanya begitu akan jadi begitu
Tidak semua tanya akan dijawab benar
Tidak semua hal yang kau bayangkan sesuai ekspetasi dan bayanganmu
Setinggi galaksi bima saktipun kau bermimpi jika memangtuhan tidak mengiyakan
Ya.. sudah
Apa boleh buat
Cari
Cari pertanyaan yang lain yang mampu dijawab
Yang tak akan membuatmu kecewa
Yang bisa kau perlihatkan
Yang bisa kau puja
(Santunan malam selasa)
senjakala May 2019
Ini adalah kisah tentang angan dan kenyataan.
Bukan tentang dia yang tanpa sadar membuatku jatuh cinta, kemudian menghempaskan diriku begitu saja.
Semua begitu indah, sampai suatu hari dia mematahkan sayapku, dan mencampakkan aku kembali ke tanah.

Aku pernah bermimpi; seorang taruna menghampiriku yang sedang duduk sendirian di sebuah taman.
Tanpa kawan; aku memang sedang tenggelam dalam pikiran tentang angan.

Dia mampir dengan maksud menjadi titik akhir dari seluruh penantian panjangku.
Setidaknya, itulah yang aku harapkan menjadi satu alasan pasti mengapa dia datang ke dalam hidupku.

Aku tak peduli siapa dia, setampan apa rupanya.
Aku tak memimpikan seorang pangeran berkuda putih datang membawa emas dan berlian.
Aku pun tak berangan ingin dihujani pujian dan harta kekayaan.
Aku tidak butuh semua itu.

Bohong, pasti ada yang merasa aku hanya melakoni peran.
Atau, memang sudah diucapkan untuk menceramahiku.
Sungguh, telingaku panas.
Aku memang begini, tak suka hal-hal tinggi.
Hanya akan memilih dia yang mencintai sepenuh hati.
Gadis kecil berpipi bulat senang menari di taman.
Kadang sendiri, kadang bersama kawan.
Suatu hari gadis kecil berpipi bulat bertemu seekor singa.
"Jangan dekati dia! Dia sedang terluka!" Teriak seorang teman.

Gadis kecil berpipi bulat memperhatikan Raja Hutan.
Luka bekas sayatan menganga lebar di dada.
Ia bermandikan darah dan air mata.
Gadis kecil berpipi bulat terkesima.

"Tuan Singa, Tuan Singa! Siapa yang melukai anda?" Tanya gadis kecil berpipi bulat penasaran.
Seekor singa dengan bulu kecokelatan lebat sekilas mendongak, lalu kembali tergolek lemas.
Sekilas bola cokelat mengintip dibalik mata sipitnya.

"Tuan Singa, Tuan Singa ! Apa anda kesepian atau ingin mencari mangsa ?"
Tanya gadis kecil berpipi bulat penasaran. Ia terpesona dan ingin mengobati Raja Hutan.
Tapi bisa saja ia disantap sekali lahap.
Gadis kecil berpipi bulat tetap tidak beranjak.

                  Semoga gadis kecil berpipi bulat tidak dalam bahaya.

[Jakarta, 17 Juni 2019.]

__


Gadis kecil berpipi bulat menemani Tuan Singa bercerita.
Seekor betina pernah singgah dan mempermainkan luka.
Tuan Singa pandai bersandiwara!
Sesekali tertawa di selipan duka.
Gadis kecil berpipi bulat melihat.

Gadis kecil berpipi bulat menemani Tuan Singa bercerita.
Tuan Singa pernah kesepian dan ketakutan.
Takut menengok ke belakang dan diterkam dosa.
Seekor raja hutan meninggalkan banyak korban, pun selamatkan diri sendiri ia lupa.
Gadis kecil berpipi bulat terdiam.

"Semudah itu manusia mati dan semudah itu manusia hidup." Dongeng Tuan Singa.

Si Raja Hutan lelah, dan mulai menyanyikan lagu "Bangunkan Aku ketika September Usai" dari Hari Hijau.
Gadis kecil berpipi bulat menikmati senandung minor luka pengantar tidur.

"Tuan Singa, aku mengantuk. Tapi izinkan aku menemani tuan sampai tuan tidak butuh aku lagi, ya.
Selamat tidur dan bermimpi.
Semoga mimpi malam ini indah."
Ucap Gadis kecil berpipi bulat sebelum pulas.

[ Jakarta, 22 Juni 2019 ]

——

Gadis kecil berpipi bulat sudah terjebak.
Gawat.
Raja hutan mempermainkan teka-tekinya.
Gadis kecil berpipi bulat sibuk mengobati hingga lupa ia pun melukai diri sendiri.

“Tuan singa. Tuan singa.
Apa yang tuan inginkan?
Sebuah hati lagi, atau aku beranjak pergi?”

[5 Agustus 2019]

——

Raja Singa sedang terluka.
Ia gelisah.
Tapi gadis kecil berpipi bulat tidak bisa mengobati.
Atau,
bukan dia, yang sang raja cari ?

[19 September 2019]

_

Cukup.
Waktunya telah tiba.
Gadis kecil berpipi bulat harus pergi.
Semoga kamu bisa tidur.

[04 Oktober 2019]
Saya tulis untuk seorang Singa yang pernah saya kenal.
ga Sep 2018
Nyatanya aku masih terjaga
Disaat kuucapkan selamat tidur untukmu
Setiap jengkal serat tubuhku tak ingin berpisah darimu
Sekalipun malam telah membelaimu dengan lembut, siap sedia menyanyikan lagu tidur untukmu
Aku tak rela

Nyatanya aku masih bermimpi, di pagi hari kau membangunkanku
Tak ingin kulepaskan genggaman tanganku
Tak ingin kusudahi wajah kita yang saling menatap
Takkan kubiarkan hangat tubuhmu menguap
Aku tak ingin terjaga

Nyatanya aku merindukan dirimu
Saat aku mengurungkan niat untuk berkabar
Saat amarah memberi mata pada cinta, hingga ia tak lagi buta
Ketika tawa tak lagi terdengar
Ketika kata tak mampu terucap
Aku tak ingin berpisah

Nyatanya kau tetap setia
Sekalipun cintamu berlayar dalam diam
Kala sumpah serapah yang membabi buta, mengawali malam kejam yang tak membiarkanmu terlelap
Meskipun air mata telah menggantikan suara
Dan dua surga yang tak bisa bersatu
Maafkan aku
01/09/2018
Maafkan aku, aku tak ingin berpisah, aku tak rela
GEIGA VIA TANARO Jul 2017
tuan putri
paduka rajanya pergi
tuan putri
buku dongengnya berenti
waktunya tidur
pergi bermimpi
flitz Nov 2020
Mana mungkin pendosa seperti aku berjalan ke syurga itu,
Mana mungkin manusia sesuci kamu tidak berjalan terus ke syurga itu.

Aku mampu bermimpi,
Aku mampu berdoa,
Akan tetapi hakim dunia tetap akan memandang sucinya engkau yang bertutup litup sebagai bidadari syurga.
Sedangkan aku, hanyalah si cela.
Nabiila Marwaa Dec 2020
pukul 02.04
aku terdiam tanpa berbahasa
memikirkan sejuta hal yang seharusnya kulakukan
aku terbiasa bermimpi
namun kini aku tak mampu

pukul 02.11
andai waktu adalah lomba
maka aku selalu kalah
lagi-lagi aku tidak dapat terpejam

pukul 02.19
aku dan semua lamunanku
terhenti sejenak oleh suara dengkuran disebelahku
atau mungkin suara angin sejuk dari mesin diatasku

pukul 02.22
aku ingin berlari ke dalam lautan
menantang ombak berderu kencang
lalu terhempas dan menghilang

pukul 02.30
aku menahan air mata
berusaha mengartikan rasa
pencarian yang tak berujung
katanya tuhan itu mahakuasa
maka aku percaya jawaban itu ada
dan kupejamkan mataku
harap semua ini sirna

— The End —