Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Amira I Apr 2018
Waktu masih menunjukkan pukul satu lebih tiga puluh menit siang itu.
Aku sedang berada dalam perjalanan singkat yang ku tak tahu mengapa terasa lama.
Entah dari mana kabut-kabut itu muncul, menyapa dedaunan, ranting, serta bunga-bunga mungil yang baru saja mekar.
Hujan tidak lebat kala itu, bahkan tidak tumpah barang setetes pun.
Kabut yang teduh namun diam-diam membutakan.
Yang tanpa ku sadari telah menculikku ke entah berantah, jauh dari realita yang ada, aku berlarian menembusnya tanpa takut tergelincir pun terjatuh.
Meski dinginnya udara sudah meresap ke dalam tubuhku, mengalir bersama aliran darahku, juga perlahan menusuk tulang belulangku, aku merasa aman.
Sebab ternyata, kabut adalah teman baikku, yang telah lama hilang; namun kini ku menemukannya kembali.
So Dreamy Aug 2019
Setetes, dua tetes, tiga tetes, empat tetes
Air hujan akhirnya kembali pulang ke kampung halamannya
Ke tanah kering,
Berisi hamparan debu dan keluhan para penghuni kota yang melebur jadi satu
Melagu, menyelimuti atmosfer kota yang dihinggapi kebosanan dan ketergesaan
Kemajemukan dan kesamaan-kesamaan
Kebebasan dan keterbatasan
Kesempatan dan hambatan-hambatan

Jalan panjang menuju rumah
Dihuni sepi, tetesan hujan di jendela bus, dan pikiran-pikiran tak lumrah
Trotoar basah dan langit gelap
Berhenti di satu halte,
Seorang laki-laki berkemeja kotak-kotak datang menghampiri

Tanyanya,
“Hai, di sini kosong?”

Perempuan itu diam, mengangguk.
“Kosong.”

Laki-laki itu duduk di sebelahnya, memangku tas ransel hitam, dan bertanya lagi,
“Tahu kenapa langit tiba-tiba menangis?”

Perempuan itu menggeleng.
“Kenapa?”

Laki-laki itu bicara lagi, mendekatkan kepalanya,
“Karena langit sedang mencari rumahnya yang lama hilang.”

Tepat saat itu,
Si perempuan tersadar,
Terlalu lama ia tenggelam,
Dalam percakapan yang hanya hidup di ruang imajinasinya.

— The End —