Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2017
Sebuah cerita pendek*

Saat itu mereka sering menonton Mak Lampir di televisi, dan mulai memanggil wanita yang merupakan nenek kandungnya dengan nama yang sama.

Nenek itu punya nama, dan jelas namanya bukan Lampir. Tapi apa pedulinya anak-anak itu dengan nama aslinya? Mereka tak pernah mendengar nama nenek disebut. Mereka sendiri yatim-piatu, dan dahulu, orangtuanya tak pernah mengajarkan nama nenek mereka. Tapi begitu melihat Mak Lampir di teve, mereka langsung mendapat ide untuk memanggil nenek sebagai Mak Lampir. Rambutnya nenek putih panjang dan tiap malam dibiarkan terurai, ia sedikit bungkuk dengan kedua tangan yang terlihat begitu kuat dan cekatan. Matanya senantiasa melotot—bukan karena suka marah, tapi memang bentuknya seperti itu. Yang terbaik dari nenek, meski giginya menghitam sudah, nenek selalu berbau harum karena suka meramu minyak wanginya sendiri. Mereka tidak takut melihat Mak Lampir—mereka justru kagum karena sosok itu mengingatkan pada nenek yang selalu menjaga mereka.

Si nenek sama sekali tidak keberatan dengan julukan itu, ia malah merasa nyaman. Disebut sebagai Mak Lampir membuatnya merasa seperti orang tua yang sakti, hebat, dan serba bisa. Nenek adalah Mak Lampir baik hati yang selalu mengabulkan permohonan cucu-cucunya, serta memberi mereka wejangan. Jenar dan Narsih sayang dan berbakti pada nenek. Nenek—yang sekarang berubah panggilan menjadi Mak—adalah dunia mereka. Dua gadis itu dapat menghapal tiap lekuk pada keriput Mak, menebak-nebak warna baju apa yang akan dipakai Mak pada hari mendung, bahkan mereka ingat betul kapan saja uban-uban Mak mulai bermunculan.

Mak awalnya tidak menyukai, bahkan hampir membenci, dua anak gadis yang harus diurusinya. Ia terlalu tua untuk melakukan hal ini lagi. Wanita  yang sudah tak ingat dan tak ingin menghitung usianya lebih memilih kembang-kembang di taman ketimbang Jenar dan Narsih.  Mak lebih memilih segala tanaman yang ada di rumah kaca sederhananya ketimbang dua cucunya.

Tapi saat sedang menyirami bunga matahari dan membiarkan Jenar serta Narsih bergulingan tertutup tanah basah, Mak merasa seolah ada yang membisikinya, “Sama-sama dari tanah, sama-sama tumbuh besar. Dari tanah, untuk tanah, kembali ke tanah.” Wangsit itu langsung membawa matanya yang sudah sedikit rabun namun tetap nyalang pada sosok dua cucunya yang sudah tak karu-karuan, menghitam karena tanah.

Sejak saat itulah Mak menganggap Jenar dan Narsih sebagai kembang. Sebagai kembang. Sebagai kembang dan seperti kembang yang ia tanam dan kelak akan tumbuh cantik nan indah. Harum, subur, anggun, lebur. Perlahan Mak mulai meninggalkan kebun dan rumah kacanya, perhatiannya ia curahkan untuk Jenar dan Narsih, yang namanya Mak singkat sebagai Jenarsih saat ingin memanggil keduanya sekaligus. Jenarsih dijahitkannya baju-baju berwarna, diberi makanan sayur-mayur yang sehat, diajarkannya meramu minyak wangi, bahkan diberi minum jamu secara terjadwal sebagaimana Mak menyirami bunga.

Kebun Mak perlahan-lahan melayu dan makin sayu. Saat matahari mengintip, tidak ada bebunga yang tergoda untuk mekar. Semuanya redup dan meredup, mentari pun meredup pula di kebun Mak. Karena sirnanya kembang dan embun, Mak tak lagi bisa memetik dari kebunnya untuk membuat wewangian khasnya. Mak jadi sering menyuruh Jenarsih untuk memborong bunga.

Tapi sebagaimana ada gelap ada terang, selepas kebun yang muram, kau akan memasuki beranda rumah di mana matahari tak henti-hentinya bersinar. Bagian dalam rumah yang ditinggali seorang nenek ranum dan cucu-cucunya itu melukiskan hari cerah di musim penghujan.

Di musim penghujan
Di musim penghujan
Musim penghujan
Membawa mendung dan kabut yang menyelubungi mentari.

Narsih jatuh sakit, ia terbatuk-batuk dan memuntahkan darah
Darah merah
Darah
Merah
Jenar selalu di sisinya dan melarang Mak untuk mendekat karena takut tertular.

Mak, meski tak lagi dapat menghitung umurnya, mati-matian menawarkan Jenar agar mau digantikan oleh Mak saja. Umur Mak tak bakal sebanyak Jenar, mending Mak saja yang di sisi Narsih, katanya. Tapi Jenar tak mau tahu, ia lebih memilih berada di sisi kembarannya ketimbang menuruti perkataan Mak yang biasanya tak pernah ia bantah. Semenjak itu mentari tak lagi menyembul. Kebun telah mati, rumah kaca tak lagi rumah kaca, beranda dingin, dan setiap hari adalah penghujan yang tak pernah mau pergi.

Hijau dan jingga hangat berubah menjadi rona kehitaman dalam hijau pucat. Ranting-ranting serta daun memenuhi jalan. Sesekali Mak mengantarkan makanan ke depan pintu kamar Jenarsih, tapi sebagian besar usia senjanya kini dihabiskan mengurung diri di kamarnya setelah Jenar ikut membatukkan darah.

Di suatu sore Mak tidak memperdulikan apapun lagi. Ia menghambur masuk ke kamar Jenarsih dan bersimpuh di bawah kasur kedua cucunya. Jenarsih tak punya tenaga lebih untuk menghalangi Mak, mereka hanya punya satu permintaan. Satu keinginan yang kira-kira dapat membuat mereka merasa lebih baik.

Dengan tersengal-sengal,
“Mak Lam, Jenar dan Narsih ingin bunga matahari.”
“Akan Mak belikan segera di pasar kembang.”
“Ndak mau, Mak. Ingin yang Mak tanam seperti dulu.”
“Nanti menunggu lama,”
“Kami ingin itu, Mak.”

Mak tak membalas berkata. Hanya mengangguk lemas dan bergegeas meninggalkan kamar kedua cucunya, bunga yang telah layu. Di tengah hujan, dengan punggung sedikit bungkuk, tangan yang kuat, wanginya yang digantikan oleh bau tanah, dan gigi yang menghitam meringis menahan tangis, Mak Lampir berusaha menghidupkan kembali kebunnya yang mati. Mak Lampir seolah mau, dan dapat membangkitkan yang mati.

Tapi Mak Lampir tak dapat menyembuhkan.

Segera dibelinya bibit bunga matahari, dan di tanam dalam rumahnya yang kini sunyi.

Mak Lampir sudah tak dapat mengolah minyak bunga yang membuatnya selalu harum,
Sudah tak dapat meminta Jenarsih untuk membeli bunga yang mewarnai rumah mereka,
Sudah tak dapat melihat warna selain hijau, hitam, dan coklat.

Mak Lampir, menangisi kebun yang dahulu ditinggalkannya.

Apa untuk mendapatkan sesuatu selalu harus ada yang dikorbankan? Dan kini kebun, kembang, ranting, dan rumah kaca menuntut balas?
Diam-diam Mak menyelinap ke kamar Jenarsih, diambilnya darah cucu kesayangannya dan ia gunakan untuk menggantikan wewangian yang kini tak dapat ia buat lagi—salah satu cara yang ia gunakan untuk mengingatkannya bahwa Jenarsih masih ada bersamanya.

Mak Lampir sudah tak tahu berapa lama waktu berlalu selama ia hanya memperhatikan bunga matahari milik Jenar dan Narsih. Bunga itu, entah karena apa, tak dapat tumbuh. Mungkin Mak telah kehilangan tangan hijau dan kemampuannya untuk berkebun. Mak kembali ke rumah dan melihat Jenar serta Narsih masih terlelap tak bergerak, lalu ia ambil lagi sebotol kecil darah untuk menjaga wangi tubuhnya.

Ia tahu itu akan membuatnya sakit, dan hal ini akan dapat membuatnya merasakan penderitaan Jenarsih. Wanita tua yang rambut putihnya memerah karena darah kedua cucunya itu terheran-heran mengapa ia tak merasakan sakit di manapun kecuali di hatinya. Pedih di hati saat melihat Jenarsih.

Dibelinya lagi lebih banyak tanah dan bibit bunga matahari. Mak Lampir harus menemukan ramuan yang tepat untuk menumbuhkan bunga matahari yang sempurna. Bunga matahari hasil tanamnya sendiri yang akan membuat Jenarsih baikan. Mak tidak membawa jam, apalagi kalender. Mak hanya mengandalkan matahari untuk menyirami bunga mataharinya sendirian di rumah kaca kecil kumal sambil memakan dedaunan kering.

Di tengah malam, Mak yang kuat menitikkan air mata pada ***-*** bunga matahari di hadapannya. Berbotol-botol kecil minyak wangi dari darah Jenar dan Narsih perlahan ia teteskan pada *** yang tak kunjung berbunga juga. Perlahan, perlahan, perlahan. Lalu lambat laun menyesuaikan dengan jadwal menyiram bunga matahari yang seharusnya.

Dari tanah kembali ke tanah,
Dari tanah untuk tanah,
Dari tanah kembali ke tanah.

Desir angin menggesekkan dedaunan, membuat Mak mendengar bisikan itu lagi dan terbangun.
Mak mengusap matanya yang seolah mencuat keluar dan melihat bunga-bunga matahari berkelopak merah menyembul, mekar dengan indah pada tiap potnya. Hati mak berbunga-bunga. Bunga matahari merah berbunga-bunga. Matahari Jenarsih berbunga-bunga.

Tangan kuat Mak segera menggapai dan mencengkram dua *** tanah liat dan ia berlari memasuki beranda rumah yang pintunya telah reot. Dari jauh sudah berteriak, “Jenar, Narsih, Jenarsih!!”
Mak seolah mendengar derap langkah dari arah berlawanan yang akan menyambutnya, tapi derap itu tak terdengar mendekat. Maka berteriaklah Mak sekali lagi,

“Mak bawa bungamu Jenarsih! Bunga matahari merah yang cantik!”

Lalu Mak dorong dengan pundaknya pintu kamar Jenarsih yang meringkik ringkih,
Mak terdiam memeluk *** bunga,
Jenarsih terlelap seperti terakhir kali Mak meninggalkannya,

Sebagai tulang belulang semata.

                                                            ///

Aku menutup laptop setelah menonton ulang episode Mak Lampir Penghuni Rumah Angker yang aku dapat dari internet—episode yang membawaku kembali ke masa kecil saat Misteri Gunung Merapi masih ditayangkan di teve, dan aku menonton dengan takut. Di tengah kengerianku, ibu malah menceritakan kisah tentang Mak Lampir dan bunga matahari yang diyakininya sebagai kisah nyata.

Sekarang episode sinetron itu tak lagi membuatku bergidik, malah tutur ibu yang masih membekas. Kisah itu seringkali terulang dalam alam pikirku, terutama saat melirik rumah reot tetangga di ujung jalan yang dipenuhi dengan bunga matahari merah.


Januari, 2017
Noandy Jan 2016
Pondok Pancawarna*
Sebuah cerita pendek*

Apa aku harus menyesal pindah rumah? Tak ada anak seumuranku di sini. Tak ada penjual susu yang lewat tiap pagi, atau gelak tawa dari permainan sore hari. Aku sedih, tapi itu bukan masalah besar, mungkin. Toh tahun depan usiaku beranjak 15 tahun, aku tak punya waktu untuk banyak bermain. Rambut keritingku yang dipelihara ibu ini juga nantinya akan kupotong, aku tak mau berulangkali dikira sebagai perempuan di tempat tinggalku yang baru.

Tahun depan usiaku 15 tahun, dan aku takkan punya waktu untuk banyak bermain lagi. Aku ingin menghabiskan sisa usiaku dengan bermain di jalanan sampai sore hari. Sayangnya lingkungan ini terlalu asing untukku. semua jalannya terlihat sama dan terlalu besar, terlalu banyak rumput liar dari rumah-rumah kosong yang jaraknya terlalu jauh, dan dedaunan pohon menjuntai bak rambut kasar nenek tua.

Sayangnya lingkungan ini terlalu asing,

Dan aku tak punya pilihan lain selain menjelajahinya
Dengan senang hati.
Jangan bilang ibuku.

Ibu dan mbah selalu melarangku berjalan sendirian di luar saat pagi-siang-sore-malam semenjak pindah ke rumah yang terlalu besar ini, terlalu sepi ini. Mungkin untuk alasan keamanan. Aku tidak sebodoh itu untuk harus bertanya kenapa. Dan karena aku tidak sebodoh itu, aku tidak menyukai cara mereka—Wanti-wanti dari mereka agar aku tak berkeliaran sendiri.

Mereka bilang dahulu jalan besar di depan sana adalah tempat tengkorak para jawara-jawara pembela negara dikuburkan, dan tiap sore akan terlihat pria-pria muda dengan baju berlumur darah merokok serta makan-makan daun sambil bermain catur di pinggiran jalan.

Mbah tambah berkata kalau di perempatan sebelah rumah ini, apabila aku bermain sendirian, aku akan dikejar-kejar oleh serdadu kompeni tak berkepala yang akan menebas kepalaku, atau membawaku untuk disembunyikan.

Aku tak takut pada hantu-hantu bekas perang itu, aku juga tak tertarik pada mereka.
Kesalahan ibu dan mbah, dalam menakut-nakutiku, adalah menceritakan sebuah kisah yang, entah benar atau tidak, justru membuatku tertarik untuk mendekati sumbernya.

Di ujung gang, yang jalannya sedikit menurun, terdapat sebuah rumah kayu yang dijuluki oleh warga sekitar sebagai Pondok. Padahal, menurutku bentuknya tidak seperti Pondok. Rumah itu tidak buruk, justru didepannya terdapat taman besa. Sebuah gerbang mawar besar memagarinya; di taman indah itu, hanya terdapat lima jenis bunga bermekaran. Aku tak tahu jenisnya apa saja, yang kuingat dari cerita itu, pokoknya terdapat warna merah, ungu, biru, kuning, dan yang paling aneh, sebuah mawar hitam. Aku tak tahu bagaimana mawar hitam dapat tumbuh di tempat seperti ini. aku bahkan tak tahu kalau ada mawar yang berwana hitam.

Mereka menyebut rumah itu Pondok,
Pondok Pancawarna.
Pondok milik seorang pelukis yang kata orang-orang kakinya buntung.

Karena tak memiliki objek untuk dilukis, dan tak bisa keluar mencarinya, mereka bilang pelukis itu menarik gadis-gadis kecil dengan bunga yang indah di tamannya, lalu menyekap mereka dalam Pondok itu sampai ia puas melukisnya. Hal ini diceritakan setelah aku mendengar pembicaraan ibu saat membeli sayur pagi hari 2 minggu lalu, setibanya dirumah aku langsung menanyakannya soal cerita itu.
Seram?

Aneh, bukan seram. Memangnya seorang pelukis baru bisa melukis bila ada objeknya?

Kalau ingin membuatku berhenti berkeliaran dan bermain sampai larut malam di daerah baru, seharusnya mereka memberi alasan yang bagus dan masuk akal. Bukan malah menakut-nakutiku dengan sesuatu yang ditakuti anak perempuan.

Nah, malam ini aku akan menyelinap. Aku ingin mencari tahu mengenai pelukis itu; lumayan, aku dapat mencari kesenangan disela malam-malam yang selama ini selalu jenuh.

Setelah aku yakin ibu dan mbah terlelap dengan memperhatikan apa semua lampu sudah mati, aku melepas baju tidurku dan mengambil kemeja lengan pendek putih yang kupakai tadi pagi, celana pendek hitam, dan suspender yang biasanya kupakai setiap hari. Aku keluar lewat—Ini sebenarnya jendela atau pintu, sih? Bentuknya seperti jendela, terlalu besar, dan memiliki gagaing pintu—Aku keluar lewat jendela-pintu di kamarku yang langsung mengantarku ke serambi kanan rumah yang terlalu besar ini. Tanpa sepatu, aku berlari-lari kecil ditemani lampu jalan yang remang-remang dan rambut pohon yang menjuntai menuruni jalanan lebar nan sepi, menuju Pondok Pancawarna di ujung jalan.

Aku sampai didepan pagaarnya. Pagar besi hitam yang ditengahnya terdapat gerbang dari semak-semak mawar. Aku mendorog pagar yang ternyata tidak terkunci itu, berderit pelan, dan perlahan masuk. Kenapa tidak dikunci? Apa memang ia bertujuan untuk menarik anak-anak yang penasaran kemari? Dan sekarang, sejauh mata memandang dibawah bulan sabit yang temaram, aku hanya melihat hamparan taman bunga yang indah didepan sebuah rumah kayu tua yang mulai berlumut. Seperti kata mereka, dalam remang aku dapat melihat bahwa bunga didalam sini hanya memiliki 5 warna—mawar, yang jelas, bunga sepatu, lavender, violet—Entah apa lagi, aku hanya mengenali itu. taman ini terlihat makin gelap karena tak ada bunga yang berwarna putih. Aku mengambil sebuah ranting panjang yang patah, dan mengibas-ngibaskannya seolah itu adalah pisau untuk memotong dahan-dahan yang menghalangi jalan, aku seorang penjelajah.

Aku melihat taman dari ujung-ke-ujung, sampai akhirnya berhenti ketika aku mencoba untuk mencari jalan menuju belakang Pondok—
Di sana lah aku melihatnya,
Dengan sebuah lampu ublik yang ia letakkan di sebelah cagak kanvasnya,
Ia duduk pada sebuah kursi roda kayu,
Sambil terus melukis dan menoleh ke arahku.
“Nak?”
Ia memutar kursinya,
Dan kakinya tak ada—Tak ada dalam artian, benar-benar tak ada. Seolah tak ada apa-apa lagi setelah bagian bawah perutnya.
“Sedang apa kau kemari? Tak ada yang berani kesini, lho.”
Ia tidak tua seperti yang kubayangkan, tidak setua mbah, dan mungkin hanya beberapa tahun di atas ibu. Kemeja biru bergarisnya terlihat kusam di bawah mata sabit rembulan.
Aku terus mengayun-ayunkan ranting yang kupegang.
“Tak apa, aku hanya penasaran. Kukira bapak cuma sekedar cerita. Ibu dan mbah biasanya menakut-nakutiku.”
“Apa menurutmu aku terlihat seperti orang jahat?”
“Tidak. Bapak terlihat seperti—”
“Ya?”
“Orang sedih, pak.”
“Lho, mengapa?”
“Karena bapak melukis  sendirian jauh dari orang. Aku punya teman yang selalu menggambar sendirian saat sedih.”
Bapak itu hanya tertawa. Dan memanggilku untuk melihat lukisannya lebih dekat.
“Ada apa dengan kakimu, pak?”
“Ini Memento Mori. Kau tahu apa itu?”
“Apa itu?”
“Pengingat kematian.”
Aku melihat lukisannya—Seperti tamannya, aku hanya mengenali lima warna pada lukisannya.
“Datanglah lagi bila kau mau. ”

Ketika aku datang esok pagi, setelah beli sayur bersama ibu dan mbah, (aku menyelinap setelah mereka masuk ke rumah) ia tak ada disana. Aku mencoba kembali malam hari, dan saat itulah aku sadar bahwa ia selalu melukis tiap malam, dan entah berada di mana saat pagi. Aku mulai mengunjunginya tiap hari, tiap minggu, sewaktu kesepian dan suntuk melandaku.

Aku mulai hafal pola-pola lukisannya, gurat-guratan garisnya yang abstrak. Ia tidak pernah menggunakan warna yang tidak ada pada tamannya, seolah cat yang ia dapat berasal dari bunga-bunga yang ia tanam. Yang ia hancurkan, dan renggut warnanya.
Pada suatu malam yang anehnya tidak dingin, justru sedikit hangat, ia bertanya,
“Apa yang kau lihat di lukisan-lukisanku, nak?”
“Hmm.. Apa ya.. Warna yang dicampur-campur.. Lima warna.. Garis putus-putus..”
“Ini warna-warna dan suara masa lampau.”
Aku menatapnya penasaran,
“Kau masih ingat Memento Mori?”
“Pengingat kematian?”
“Kakiku yang hilang ini bukan hanya pertanda agar aku selalu mengingat kematian. Tapi agar aku tak bisa melupakan, dan meninggalkan masa lampau.”
“Maksud bapak, agar tak bisa meninggalkan tempat ini juga?”
“Ya, ini tempat dimana aku kehilangan banyak hal, kehilangan orang-orang yang kukasihi. Aku ingin tetap bersama jiwa mereka di Pondok ini. Rumah tua reot kami yang sudah lumutan.”
“Apa ini ada hubungannya dengan bunga yang hanya memiliki lima warna?”
Ia meletakkan kuasnya dan memutar kursi rodanya menghadapku, lalu melonggarkan kerah kemeja putih lusuhnya; aku lebih suka kemejanya yang biru bergaris.
“Aku dahulu tinggal dengan empat orang anakku, dan istriku. Ia sangat suka berkebun, dan menanam enam bunga sesuai warna kesukaanku kami. Ia sangat cantik, tak banyak memikirkan soal dirinya. Pada suatu hari, nak, ketika ia pergi ke pasar pagi buta, mendung semilir, dan aku masih menemani anak-anak yang belum terbangun—Badai terjadi. Kami lindung didalam rumah sedangkan—Entah apa jadinya pada istriku dan ibu-ibu yang ke pasar pada pagi hari. Yang kutahu, ketika hujan mulai reda dan semuanya kembali seperti sedia kala, taman kami sudah tak berbentuk, kacau. Pepohonan semua tumbang, jalan-jalan dipenuhi lumpur, dan entah berapa lamapun aku menunggu,
Ia tak kembali dari pasar pagi itu.
Cuaca sangat buruk, dan untuk keluarga di daerah terpencil seperti ini, flu bukanlah penyakit yang mudah, nak.”
“Kau kehilangan keempat anakmu karena flu, pak?”
“Tepat sekali, dan setelahnya, aku mencoba menghidupkan mereka dalam warna-warna yang mereka sukai. Lima warna yang mereka gemari di pekarangan kasih ini. Tapi entah bagaimanapun, mawar putih yang kutanam untuk istriku, di tanah hitam yang sedih dan lembab ini, mendadak menunjukkan bercak-bercak hitam yang makin menyebar ke seluruh kelopaknya. Seolah alam bahkan tak mengizinkanku untuk mengenang dan bertemu lagi dengannya,
Seolah kami takkan pernah bersatu lagi.”
“Aku tak tahan, nak. Aku ingin pergi dari sini. Tapi jika aku pergi, siapa yang akan merawat bunga-bunga ini dan mengenang, mengasihi mereka di gelap sana? Aku berusaha keras mengurungkan niatku, dan untuk memaksa diriku agar tak pergi,
Aku memotong kedua kakiku.”
“Apa tetangga-tetanggamu tak berpikir kau gila, pak?”
“Tentunya. Hal terakhir yang kuingat dari mereka hanyalah kursi roda kayu ini.”
“Mereka menuduhmu menculik anak-anak.”
“Aku tak pernah menculik mereka, mereka datang sendiri, dan aku memperlakukan anak-anak itu sepantasnya.”
“Dasar, gosip ibu-ibu.”
Cerita mengerikan itu terus menghantuiku. Tapi aku tak dapat berhenti mengunjunginya. Aku kasihan padanya, bapak itu pasti kesepian;

Sama sepertiku.

Setahun hampir berlalu, dan minggu depan usiaku akan menginjak 15 tahun. Aku akan dikirim untuk tinggal bersama ayah di ibu kota, dan harus meninggalkan tempat ini.
Aku mengkhianati keinginanku untuk tidak banyak bermain dan mulai menjadi anak yang serius,
Aku tidak ingin kehidupan dewasa yang terlihat sepi dan penuh sesak serta hambar,
Aku masih ingin bermain.

Semalam sebelum ulang tahunku, aku melesat ke Pondok Pancawarna. Aku bersembunyi diantara semak bunga biru sampai pak pelukis menemukanku.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
“Sembunyikan aku, pak! Sampai dua hari ke depan?”
“Apa? Mengapa? Mbah dan ibumu akan mencarimu!”
“Aku tak ingin jadi orang dewasa yang sedih dan membosankan, aku masih ingin bahagia dan bermain! Besok lusa ayah akan menjemputku, dan aku harus ikut dengannya untuk belajar di ibu kota—Dengan seragam yang pucat dan kehidupan yang ketat.”
“Bukannya kau pernah bercerita akan memotong rambut keritingmu itu dan berhenti bermain-main.”
“Itu hanya untuk menghibur sepiku—”
“Jangan membohongi dirimu, nak.”

Aku menoleh melihat lukisannya—Lukisan yang biasanya abstrak. Meskipun tidak jelas, aku dapat melihat bahwa itu adalah lukisan Pondok ini, dengan hamparan taman harum dan 4 anak yang bermain riang bersama orangtua mereka, berlarian di pekarangan.

“Kuharap aku dapat bersenang-senang seperti yang lukisanmu itu.”
“Hei, ayolah, jangan murung. Kau harus senang dapat bersama orangtuamu.”
Aku hanya membenamkan wajahku dalam lututku.
“Baiklah, kau boleh menginap untuk dua hari ke depan.”

Pak pelukis menggiringku masuk sambil memutar roda kursinya; ia mempersilahkanku untuk tidur di kamar anaknya, dan minum teh malam sebelum terlelap. Aku biasa melakukannya dengan ibu, mbah, dan ayah; tapi semenjak pindah kemari dan ayah harus berada di ibu kota, ibu dan mbah tidak lagi mengajakku minum teh sebelum tidur

Keesokan harinya aku terbangun, cahaya matahari menyinari jendela kamar yang sedikit berdebu ini, namun terlihat lebih indah dan menarik daripada tadi malam. Mainan dan buku berserakan dibawahnya. Kakiku sedikt nyeri saat tak sengaja menginjak empat batang krayon yang tergeletak di karpet. Aku mencari pak pelukis, tapi sebelum menemukannya aku mendengar tawa riang anak-anak.

Aku berlari ke pintu depan yang letaknya kuraba-raba; aku tak tahu. Tadi malam kami masuk lewat pintu belakang. Pintu depan berhasil kucapai, dan dengan melindungi mataku dari sinar matahari pagi, aku beranjak keluar untuk melihat sebuah keluarga bahagia; empat orang anak dan sepasang suami istri bermain, berlari riang pada sebuah pelataran mengenakan mahkota bunga.
Sang ayah, dengan kemeja biru bergarisnya dengan mudah kukenali,
Itu pak pelukis, tapi ada yang berbeda dengannya.
Ia berdiri pada kedua kaki, dan berdansa dengan riang bersama istri serta anak-anaknya,
Tangannya terulur, ia mengajakku untuk bergabung dengannya,
Dan aku menyambutnya.

Kami berdansa, berdendang, dan makan enak sepanjang hari. Saat malam, aku mencoba untuk melewati gerbang mawar dan mengintip keadaan rumahku; tapi tak bisa. Yang kulihat selepas gerbang mawar adalah hamparan taman yang sama, lebih besar dan luas dari ini.

Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, tapi tak bisa.
Seolah ada kain kasar tebal yang membatasi antara aku dan taman selanjutnya.

Keesokan harinya kami masih bermain, bersenang-senang. Aku semakin akrab dengan empat orang anak yang pakaiannya berwarna sesuai dengan kesukaan mereka, dan dapat dengan mudah mengambil hati istri pak pelukis.
Tapi, malam ini,
Saat aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, di depan tirai kain tebal itu;
Yang kulihat adalah wajah ibu.
Wajah ibu, mbah, dan ayah yang panik serta berteriak seolah memukul-mukul tirai kain.
Aku menoleh ke belakang,
Istri pak pelukis memanggilku untuk makan malam.
Pagi hari setelahnya kami masih terus berdendang, dan berbahagia bersama. Tapi ini sudah esok lusa, dan aku harus pulang karena pasti ayah sudah kembali ke ibu kota dan tak akan ada yang mengambilku lagi.
Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, didepan tirai kain tebal itu;
Aku masih tak dapat melewatinya,
Tapi sekarang aku tak melihat taman bunga, ataupun wajah ibu dan mbah yang terlalu dekat—
Aku melihat ruang tamu rumahku,
Dengan ibu, mbah, dan ayah duduk termenung menundukkan kepalanya.
Aku menoleh ke belakang,
Pak pelukis mengajakku bermain lagi; empat anaknya, serta beberapa anak lain, berlari mengejar, menarik tanganku untuk tinggal bersama mereka.

Tinggal dan berbahagia di Pondok Pancawarna untuk selamanya.
Sorry for writing in my native language lately ^^
So Dreamy Jan 2017
Di ujung jalan Merbabu III, ada sebuah bangunan tua berwarna cokelat muda berlantai satu dengan sebuah taman yang dipenuhi semak bunga Gardenia dan sebuah pohon pinus. Itu adalah rumah kami. Sebuah gunung berdiri tegak di depan kami. Teh beraroma melati yang disajikan dalam cangkir putih membiarkan asapnya mengepul memenuhi udara dan menghangatkan atmosfer di sekitar kami hanya untuk sepersekian detik. Ditemani sepiring pisang goreng atau roti bakar berisi selai cokelat yang meleleh, bersama ibuku, kami berbincang tentang banyak hal di atas kursi kayu di teras rumah berlatar gunung.

Kami banyak membicarakan tentang masalah pendidikkan dalam negeri, masalah keluarga, hobi masing-masing, masa depan, pelajaran di sekolah, pekerjaan lainnya, dan mengeluh bagaimana hal-hal tidak berjalan sesuai dengan ekspektasi kami. Ibuku adalah sahabat terbaikku. Bisa dibilang dia merupakan orang terfavoritku walaupun aku lebih mengidolakan band-band asal Inggris yang jaya di pertengahan era 90-an. Tapi, ibuku adalah pendengar terbaik selain secarik kertas HVS putih yang biasa kutulisi dengan rangkaian kata menggunakan pulpen biru Faster. Dia mendengar, benar-benar mendengar. Dia mengerti apa maksud dari seluruh ucapanku, bukan hanya sekedar menyimak cerita-ceritaku.

Setiap kali aku mengeluh tentang suatu hal, Ibu menghujaniku dengan nasihat-nasihat dan pepatah-pepatah hebat. Ia selalu mengingatkanku untuk selalu bersyukur.

“Bu,” panggilku pada suatu siang di tengah bulan Juni yang sangat panas.

Kami sedang membersihkan sayur kangkung dan ikan Gurame di dapur dengan jendela yang terbuka lebar di hadapan kami sehingga kami bisa melihat jelas isi dari taman belakang rumah sebelah.

“Aku heran mengapa bunga-bunga liar ini bisa tumbuh. Maksudku dari mana mereka berasal dan bagaimana bisa mereka tumbuh begitu saja?" tanyaku.

Ibuku tersenyum. “Penyebaran bibit itu bermacam-macam. Lewat serangga, bisa jadi?” jawabnya sambil terus membersihkan sisik ikan. “Lagi pula, bunga rumput itu sangat cantik. Setuju dengan Ibu?”

Aku mengangkat sebelah alis, kemudian menggeleng. “Cantik apanya? Mereka berantakan, ya, kan? Bagaimana bisa Bu Jum betah melihatnya tanpa merasa gatal untuk segera mencabutnya?”

“Mereka adalah bunga yang kuat,” katanya, “mereka tumbuh di mana saja, kapan saja. Mereka tidak peduli seperti apa rupa lingkungan sekitarnya dan bagaimana lingkungan sekitarnya bersikap pada mereka, menampar atau menerima. Mereka tetap tumbuh, bertahan, dan hidup. Bunga rumput adalah bunga liar yang sering diacuhkan banyak orang, tapi mereka adalah bunga yang kuat dan mereka terlihat cantik dengan cara mereka sendiri.”

Aku tertegun.

“Itu hanya pandangan Ibu saja. Semacam filosofi, kamu paham, kan?”

Sejak saat itu, aku percaya pada kecantikan di setiap kesederhanaan. Hal-hal yang biasa tidak diperhatikan atau dilupakan banyak orang sesungguhnya memiliki keindahannya sendiri. Meneguk secangkir kopi panas di malam hari ketika tiada satu pun suara dan bintang berkedip di langit tinggi, cahaya matahari yang mengintip dari balik dedaunan dan ranting pohon atau jendela kamar, mendengar dan melihat bagaimana tetes-tetes hujan turun dari genting ke permukaan tanah. Jalanan kelabu yang basah dan sepi, suara dan kilatan petir, kabut yang memenuhi ruang udara setiap Subuh. Suara deburan ombak yang berujung mencium garis pantai atau suara aliran sungai yang mengalir dengan tenang. Hal-hal seperti itu, selain mereka cantik dengan caranya masing-masing, mereka juga indah tanpa pernah sekalipun menyadari bahwa mereka indah. Dan, itu adalah kecantikan yang paling murni dari segala hal yang nyata.
Jamie Riley  May 2018
Berlusconi
Jamie Riley May 2018
Bunga Bunga everywhere,

a powerful man with silly hair
seduced a girl too young and scared,
was married too but didn’t care.
Corrupt and feared!

Bunga Bunga sounds like fun,

a swimming pool and saucy sun,
an Egyptian that was on the run
Or, under-aged Morocun
Who ****** the boss!

Bunga Bunga ***** and *****,

coffles of women to choose
and buy and grab and ride and use,
with confidence
and so much to lose,
but why didn’t he lose?

Why didn’t he lose when it was on the news
and hundreds of thousands of people accused  
him of scandal and incompetence?
He never revealed his conscience
or any remorse for play boy antics
so far removed from his pedantic
stereotype as a political leader,
more like a ****** wheeler dealer,
pervy old ***** geezer,
over cologned,
greasy,
heavy breather;
machinating falsifier;
misogynistic *******.

He prized a Ruby above the rest.
Bunga bunga, what a pest...
she leaked his private fetish fest;
poor Silvio, he tried his best
to hide the bribes and bets
and ****** and drugs and threats
but never could care
what was right and
what was fair.
Could only care
about the colour of his
**** hair.
Miru Mcfritz  Dec 2018
Liham
Miru Mcfritz Dec 2018
ito ay isang liham na isinulat ng buong tapat
para sayo at para sakin

maaring pag lipas ng panahon
ay makalimutan ko ito
at maaring mag laho
ang liham na ito ng tuluyan

nakalaan ang liham na ito
sa taong mag tatago ng ating mga alaala habang
siya ay nabubuhay

simula ng makilala kita
ay naakit ako sa maaaring
maging sanhi at bunga nito

sa simula, inakala ko ang katuparan ng aking mga pangarap ang bunga

hindi nag tagal naisip ko ang paulit ulit natin pag uusap ay siyang bunga nito

pagkatapos non'

naniwala ako na ang simula ng aking bagong buhay sa ibang mundo ang bunga

ngayon ko lang napag alaman kung ano ang tunay na bunga

kung ang sanhi ay
ang pagkakaroon
ng lihim na pag mamahal sayo,
ang bunga ay ang pagka-wala ng lahat sa buhay ko

ang kinabukasan ko,
ang panuntunan ko,
ang mga taong malapit sa buhay ko,
at maging ikaw

hindi ko natitiyak ang mga mangyayari mula ngayon

tuluyan na ba natin makakalimutan ang bawat isa?

kung magpapatuloy ang mga alaala at habang buhay na
pag durusa

isa lamang ang hihilingin ko

ang manatili ka sa puso at isip ko

dahil katumbas ng walang hangang nararamdamang sakit ang mapag kaitan ng mga alaala mo

at para sayo kung sakaling mabasa mo ang liham kong ito

isa lamang ang dalangin ko,
nawa'y hindi mo na malaman na ito ay para sa iyo.
So Dreamy Nov 2014
Diawali dengan udara pukul setengah empat sore yang hangat dan suasana hati yang sedang bagus, aku melihat perempuan itu berada di tamannya yang berantakan. Ya, berantakan kataku. Tamannya, bukan dirinya. Ia duduk di sana, dengan anggun dan cantiknya membibiti bunga bakung dan menyirami bunga krisan. Di sekelilingnya terdapat semak bunga mawar liar dan pohon pinus tua. Pohon itu berbatang tebal dan tampak kukuh, kini ia duduk menyila di bawahnya, berbincang dengan semak lavender di sebelahnya. Ia tidak gila, tapi tampak penyayang dan sangat lembut. Rambutnya yang berwarna gelap itu diterpa angin senja, di atasnya secerah sinar matahari menyeruak dari balik dedaunan membuat wajahnya tampak berkilau. Lihat bagaimana cara matanya mengerling dan lihat bagaimana caranya tersenyum; manis sekali.

Itu dia, Qinaani.

(Mahesa)
Noandy Jan 2016
Laut Anyelir*
Sebuah cerita pendek*

Apa kau masih ingat kisah tentang laut di belakang tempat kita tinggal? Laut—Ah, entah apa nama sebenarnya—Yang jelas, itu laut yang oleh paman dan para tetangga disebut sebagai Laut Anyelir. Kau mungkin lupa, sibuknya pekerjaan dan kewajibanmu jauh di seberang sana sepertinya tidak menyisakan tempat-tempat kecil dalam otak dan hatimu untuk mengingat dongeng muram macam itu. Tapi aku ingat, dan tak akan pernah lupa. Hamparan pantainya yang kita injak tiap sore setelah bersepeda selama 10 menit menuju Laut Anyelir, angin sepoinya yang samar-samar membisikkan gurauan dan terkadang kepedulianmu yang terlalu sering kau sembunyikan, dan bau asinnya yang busuk seperti air mata.

Kau mungkin  lupa mengapa Laut Anyelir disebut demikian.

Kau juga mungkin sudah lupa ombak kecil dan ketenangan Laut Anyelir kala malam yang terkadang berubah menjadi merah darah saat memantulkan bulan serta arak-arakan awan dan bintangnya.

Iya, pantulan bulan dan bintang yang lembut pada air Laut Anyelir pada saat tertentu berwarna merah,

Semburat merah dan bergelombang,

Seperti rangkaian puluhan bunga Anyelir merah yang dibuang ke laut lambangkan duka.

Biasanya, setelah terlihat berpuluh bercak-bercak merah melebur di Laut Anyelir, akan ada sebuah duka nestapa yang menyelimuti kita semua. Mereka bilang, laut bersedih dan melukai dirinya untuk hal-hal buruk yang tak lama akan datang. Menurutku itu kebetulan saja, mungkin hanya puluhan alga merah yang mekar atau ada pencemaran.

Tapi aku masih tak tahu mengapa semua hal itu selalu terjadi bertepatan,

Dan, sudahlah, laut itu memang cocok disebut sebagai Laut Anyelir. Aku tidak berlebihan seperti katamu biasanya.

Kau sangat suka cerita sedih, mungkin sedikit-sedikit masih dapat mengingat kisah sedih dari paman yang juga tak percaya soal pertanda Laut Anyelir, cerita soal kekasihnya yang hilang saat mereka berenang di pantai sore hari ketika kemarin malamnya, air laut berwarna merah.

Benar, hari ulang tahun mereka bertepatan, dan pernikahan untuk bulan depan di tanggal yang sama juga sudah direncanakan dengan baik. Kekasih paman sangat jago dalam berenang, ia mengajari paman yang penakut dengan gigih, sampai pada sore hari ulang tahun mereka, paman mengajaknya untuk berenang di Laut Anyelir sekali lagi,

Sebagai hadiah,

Untuk menunjukkan bagaimana paman mengamalkan segala ilmu yang diajarkannya, sebagai pertanda bahwa mereka dapat berenang bebas bersama, kapanpun. Mereka memakai pakaian renang sebelum mengenakan baju santai dan berbalap sepeda ke pantai seperti yang biasanya kita lakukan. mereka langsung berhamburan ke Laut Anyelir tanpa memperdulikan desas-desus tadi pagi bahwa kemarin malam airnya berubah warna. Kekasih paman sangat terkejut dan bangga melihat jerih payahnya selama ini terbayar. Berbagai macam gaya yang ia ajarkan telah dilakukan oleh paman, dan sekarang ia akan mencoba menyelam dengan melompat dari sebuah karang tepat di tengah laut. Paman mendakinya—Ia handal mendaki, dan sekarang handal berenang—Lalu menatap kekasihnya dengan rambut kepang dua yang melihatnya begitu bahagia. Ia melompat dengan indah, dan meskipun sedikit kesusahan untuk kembali menyeimbangkan dirinya dalam air, paman akhirnya muncul dengan wajah sumringah, memanggil serta mencari-cari kekasihnya.

Tapi ia tak ada di sana,
Ia tak ada dimanapun.

Itu kali terakhir paman melihat kekasihnya, melihatnya tersenyum, sebelum akhirnya ia menemukan pita merah rambutnya terselip diantara jemari kakinya.

Malam menjelang, semua warga dikerahkan untuk mencari kekasihnya, namun sampai bulan penuh terbangun di langit dan dilayani beribu bintang yang menyihir air laut menjadi kebun anyelir, kekasihnya masih tak dapat ditemukan.

Itulah sebabnya apabila mendengar laut berubah warna lagi kala malam, paman tak akan memperbolehkan kita untuk mendekati laut sampai dua hari ke depan.

Kau bukan saudaraku—Bukan saudara kandungku. Tapi aku menganggapmu lebih dari sekedar teman, bahkan lebih dari saudara kandung atau saudara angkat. Kau bukan saudaraku, tapi paman begitu peduli padamu seperti anaknya sendiri. Sama seperti bagaimana ia menyayangiku.

Dahulu kami hanya rajin mendengarmu, tetangga pindahan, memainkan gitar di kamarmu sendirian, melihatmu dari balkon lantai 2 rumah kayu kami sampai kau akhirnya sadar dan tidak pernah membuka tirai jendelamu lagi. Mungkin kau malu, tapi kami masih dapat mendengar sayup-sayup suara gitarmu. Namun setelahnya, paman justru hobi melemparkan pesawat-pesawat kertas yang berisi surat-surat kecil. Mereka kadang berisi gambar-gambar pemandangan alam—Salah satunya Laut Anyelir—Dan surat-surat itu sering tersangkut di tralis kamarmu. Akhirnya paman memberanikan diri dan menggandeng tanganku untuk segera mengetuk pintu rumahmu, usiaku belum beranjak belasan, dan aku hobi mengenakan celana pendek serta sandal karet yang mungkin tidak cukup sopan dipakai untuk memperkenalkan diri. Tapi kalian tidak peduli, dan menyambut kami dengan ramah—Paman menceritakan bagaimana ia menyukai musik-musik kecilmu, dan mengajak kalian untuk melihat-melihat keadaan sekitar sekaligus berkenalan dengan para warga,

Paman mengajak kalian ke Laut Anyelir,

Kalian menyukainya;

Dan paman mulai bercerita soal kisah Laut Anyelir yang menghantui, serta ketakutan-ketakutan warga. Tapi ia belum menceritakan kisahnya.

Namun kalian, sama seperti kami yang menghibur diri,
Tidak peduli, dan tidak takut akan semburat merah pertanda dari Laut Anyelir.
“Benar, itu mungkin hanya kebetulan!”
Sahut kalian.

Hampir dua tahun kita saling mengenal, dan pada hari ulang tahunmu, paman mengajak kita semua untuk berpiknik di pantai Laut Anyelir pada sebuah sore yang cerah. Aku memakan lebih dari 3 kue mangkuk, bahkan hampir menghabiskan jatahmu. Tapi tidak masalah, orangtuamu juga tidak menegurku. Kau sudah menghabiskan jatah klappertaartku, dan menyisakan hanya satu sendok teh.

Apa kau masih ingat betapa cantiknya Laut Anyelir saat matahari tenggelam? Seperti sebuah panggung sandiwara yang set nya sedang dipersiapkan saat-saat menuju lampu menggelap. Matahari sirna dan berganti dengan senyum bulan di atas sana, bintang-bintang kecil perlahan mulai di gantung dengan rapih,

Dan air laut yang biru gelap berubah menjadi lembayung,

Sebelum akhirnya mereka menderukan ombak, dan terlihat bercak-bercak merah pada tiap pantulan cahaya bintang. Sekilas terlihat seperti lukisan yang indah namun sakit. Kalian tidak takut, justru takjub melihat replika darah menggenang pada hamparan lautan luas dengan karang ditengahnya. Paman langsung menyuruh kita semua untuk bergegas membereskan keranjang piknik, dan berjalan pulang diiringi deru angin malam. Ia tak memperbolehkan kita mendekati pantai esok harinya.

Esok lusanya, kedua orangtuamu pergi ke kota untuk melapor pada atasannya, kau dititipkan pada paman. Mereka berjanji untuk pulang esok harinya,

Tapi mereka tidak pulang.
Mereka tidak kembali,
Dan kita masih menganggapnya sebagai sebuah kebetulan saja.
Kau bersedih, namun tidak menangis.

Aku yang sedikit lebih gemuk darimu memboncengmu dengan sepeda merahku dan mencoba untuk menghiburmu yang terus-terusan memeluk gitar di Laut Anyelir. Aku yakin saat itu aku pasti sangat menyebalkan; terus-terusan berbicara tanpa henti dan menarik lengan bajumu dengan erat sampai kau memarahiku karena takut akan sobek.

Tapi akhirnya aku berhasil membujukmu untuk memainkan gitarmu lagi, kau tersenyum sedikit,
Dan entah kenapa aku cukup yakin kau mulai tidak menyukaiku karena terlalu memaksa;
Namun menurutku itu sama sekali bukan masalah.

Kau mulai tinggal bersama paman dan aku sejak saat itu, dan menjadi kesayangannya. Ketika kita sudah cukup dewasa ia selalu membawamu saat bekerja di toko jam—Kau sangat handal dalam merakit jam serta membuat lagu-lagu untuk jam kantung automaton dengan kotak musik—dan aku ditinggalkan sendiri untuk mengurus pekerjaan rumah. Tapi tetap saja aku tak dapat menghilangkan kebiasaanku untuk menyeretmu bersepeda ke Laut Anyelir saat senggang dan tidak bekerja; kau akan memainkan gitarmu dan aku akan entah menulis surat untuk teman-temanku atau menggambar, dan terkadang menghujanimu dengan berbagai pertanyaan yang tak pernah kau jawab.

Begitu kita kembali, paman yang biasanya akan menggantikanmu untuk bercerita dan bercuap-cuap sampai makan malam dan kita pergi tidur.

Kau orang yang pendiam,
Dan aku yakin paman kesepian.
Orang yang kesepian terkadang banyak berbicara.

Seiring usiaku bertambah, cerita menyenangkan paman terkadang berubah menjadi cerita-cerita yang pedih dan menyayat hati. Kau tak mengatakannya, tapi aku dapat melihat dari matamu bahwa kau sangat menikmati mendengar cerita seperti itu. Aku tak menyukainya, tapi aku tak akan menyuruh paman untuk berhenti bercerita demikian. Kalian berdua membutuhkannya.

Saat itulah paman menceritakan kisah tentang dirinya dan kekasihnya saat kita akan menyelesaikan makan malam. Aku kembali tidur dihantui cerita mengenai laut yang melahap kekasihnya itu. Dalam mimpi, aku seolah dapat melihat ombak darah menerjang dan melahapku. Aku tidak ingin hal itu terjadi padaku, padamu, atau pada paman. Aku mulai menghindari Laut Anyelir pada saat itu.

Bunga Anyelir,
Dalam bahasa bunga, secara keseluruhan ia menunjukkan keindahan dan kasih yang lembut, seperti kasih ibu, kebanggaan, dan ketakjuban; namun kadangkala kita tidak memperhatikan arti masing-masing warnanya—
Anyelir merah muda berarti aku tak akan pernah melupakanmu,
Anyelir merah menunjukkan bahwa hatiku meradang untukmu,
Anyelir merah gelap merupakan pemberian untuk hati yang malang dan berduka.
Kurasa semua itu menggambarkan Laut Anyelir dengan tepat.

Setelah itu paman mulai makin sering bercerita soal kekasihnya yang hilang di Laut Anyelir. Aku tidak tahu mengapa, namun sore itu kau begitu ingin untuk pergi ke Laut Anyelir dengan gitarmu. Kali ini kau yang menggeretku menuju tempat yang selama beberapa hari kuhindari itu, kau tahu bagaimana aku menolak untuk pergi, kau yang biasanya tak ingin repot bahkan sampai menyiapkan sepedaku dan mengendarainya lebih dahulu.

Aku tak ingin kau pergi sendirian, aku mengikutimu. Kurasa tidak apa, tidak akan ada apapun hal buruk yang terjadi. Lagipula kita tidak akan berenang atau berencana untuk pergi jauh setelahnya.

Aku mengikutimu menuju Laut Anyelir. Kau duduk tanpa sepatah katapun, hanya menatapku. Dan mulai memainkan Sonata Terang Bulan oleh Beethoven dengan gitarmu saat matahari menjelma menjadi bulan. Saat itu barulah aku tersadar bahwa itu hari ulang tahunku, dan kau sengaja memainkannya untukku. Malam itu kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir berbincang-bincang, meskipun aku lebih banyak berbicara daripadamu. Aku tidak membawa surat-suratku, jadi aku hanya bisa memainkan dan memelintir rambutmu sambil berkata-kata.

Kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir, dan tidak menyadari bahwa air lautnya berubah menjadi merah. Aku terkejut dan berlari seperti anak anjing ketakutan ketika menyadarinya; kau berganti menarik lengan bajuku dan berkata bahwa tidak apa, bukan masalah. Aku, kau, dan paman akan terus bersama. Mungkin Laut Anyelir berubah merah bukan untuk kita namun warga pemukiman yang lain, pikirmu.

“Jangan berlebihan, kau manja, selalu bertanya, dan terlalu membesar-besarkan sesuatu.” Katamu, sekali lagi. Itu hal yang selalu keluar dari mulutmu.

Pintu rumah kuketuk, paman membukakan. Aku terkejut ketika tahu bahwa paman sudah menyiapkan banyak makanan kesukaanku termasuk klappertaart; kali ini aku tidak memperbolehkanmu untuk memakan klappertaartku. Ternyata ini rencana kalian berdua untuk membuat pesta kecil-kecilan di hari ulang tahunku, merangkap ulang tahun paman keesokan harinya.

Paman, tidak kusangka, ingin mengajak kita untuk berenang di Laut Anyelir esok. Ia ingin mengingat masa mudanya ketika menghabiskan banyak waktu berenang bersama kekasihnya di Laut Anyelir, dan kata paman, kita adalah pengganti terbaik kekasihnya yang belum kembali sampai sekarang.

Aku tidak ingin mengiyakannya, mengingat barusan kita melihat sendiri air laut berubah warna menjadi merah darah. Tapi aku tak ingin kau lagi-lagi mengucapkan bahwa aku manja dan berlebihan. Aku menyanggupi ajakan paman. Namun aku takkan berenang, aku tidak pernah belajar bagaimana caranya berenang, dan tidak mau ambil resiko meskipun aku percaya kalau kau dan paman akan mengajariku.

Esok pagi kita berangkat dengan sepeda. Kali ini paman memboncengku, dan kau membawa keranjang piknik yang sudah kusiapkan sejak subuh serta memanggul gitarmu seperti biasa.
Begitu tiba, kau dan paman langsung menyeburkan diri pada ombak biru Laut Anyelir dan berenang serta mengejar-ngejar satu sama lain. Aku duduk di tepian air, menggambar kalian yang begitu bahagia sampai akhirnya kalian keluar dari air untuk mengambil roti lapis dan botol minum. Setelah menghabiskan rotinya, paman berdiri dan kembali ke air sambil berkata lantang,

“Aku akan mencoba menyelam dari karang itu lagi.”
Tanpa menoleh ke arah kita.
“Jangan, paman. Kau sudah tua.”
“Sebaiknya tidak usah, paman. Hari makin siang.” Kau juga mencoba menghentikannya, tetapi paman tidak bergeming. Ia bahkan tak menatap kita dan terus berenang sampai ke tengah. Kau mencoba menyusulnya dengan segera, tapi sebelum kau sampai mendekati karang,

Paman sudah terjun menyelam.

Setelah tiga menit yang terasa lama sekali, kau menunggu ditengah lautan dan aku terus memanggil paman serta namamu untuk kembali ke tepian, paman tetap tidak muncul.

Kau menyelam, menyisir sampai ke tepi-tepi untuk mencari paman, namun hasilnya nihil, dan kau kembali padaku menggigil. Aku membalutkan handuk padamu, dan meninggalkanmu untuk kembali bersepeda dan memanggil warga yang tak sampai setengah jam sudah berbondong-bondong mengamankan Laut Anyelir dan mencari paman.

Malam hari datang,
Hari perlahan berganti,
Bulan demi bulan,
Tahun selanjutnya—
Paman masih belum kembali, dan kita tak memiliki kuburan untuknya.

Kita tinggal berdua di rumah itu, kau bekerja tiap pagi dan aku memasak serta mengurus rumah. Disela-sela cucianku yang menumpuk dan hari libur, kau rupanya tak dapat melepaskan kebiasaan kita untuk bersantai di Laut Anyelir yang sudah lama ingin kutinggalkan. Aku tak dapat menolak bila itu membuatmu senang dan merasa tenang.

Dan aku bersyukur,
Selama hampir setahun penuh, sama sekali aku tak melihat air Laut Anyelir berubah warna lagi menjelang malam. Memang beberapa hal buruk sesekali terjadi, namun aku sangat bersyukur karena aku tak melihat pertanda kebetulan itu dengan mata kepalaku sendiri.

Pada suatu hari kau memberiku kabar yang menggemparkan, ini pertamakalinya aku melihat senyuman lebar di wajahmu; kau terlihat semangat, bahagia, penuh kehidupan. Kulihat para pria-pria muda di sekitar sini juga sama bahagianya denganmu. Mereka bersemangat, dan mereka bangga akan adanya hal ini karena ini adalah waktu yang tepat untuk berkontribusi kepada negara. Katamu, tidak adil bila yang lain pergi dan berusaha jauh disana sedangkan kau hanya berada di sini, memandangi laut.

Kau memohon untuk kulepaskan menjadi sukarelawan perang, dan aku menolak.
Kau memohon, aku menolak,
Kau memohon, aku menolak,
Aku menolak, kau memohon.

Dan karena aku sepertinya selalu memberatkanmu, atas pertimbangan itu, aku ingin membuatmu lega dan bahagia sekali lagi—Aku akhirnya melepaskanmu untuk sementara, asal kau berjanji untuk kembali kapanpun kau diizinkan untuk kembali.

Kau tak tahu kapan, dan aku akan selalu menunggu.

Aku akan selalu berada di sini, dengan Laut Anyelir yang berubah warna, dan hantumu serta hantu paman
Gitarmu yang selalu kau rawat,
Untuk sementara waktu aku takkan bisa menarik ujung lengan bajumu,
Dan tak akan mendengarmu memanggilku manja dan berlebihan.

Kita tidak pergi ke Laut Anyelir sore itu, begitu pula esok harinya. Kita sibuk mempersiapkan segala hal yang kau butuhkan untuk pergi, aku memuaskan menarik ujung lengan bajumu, dan menyelipkan harmonika pemberian paman yang tidak pernah bisa kugunakan untukmu.

Ia akan lebih baik bila berada di tanganmu, dan ia akan menjadi pengingat agar kau pulang ke rumah, kembali padaku.

Kita tidak melihat ke Laut Anyelir sampai hari keberangkatanmu, di mana dengan sepeda kau akhirnya memboncengku untuk pergi ke pelabuhan. Kita tidak melihat Laut Anyelir, aku tak tahu apa airnya berubah warna atau tidak.

Setelah kau naik ke kapal d
Bayani --
Sa tuwing nagtatapo ang aking kanang kamay at ang aking dibdib
Doon ko mas naisasaisip at naisasapuso ang pagiging isang Pilipino
Na hindi ako isang banyagang titirik sa malaparaisong lupain
At panandaliang mabibihagni sa mga likas na yaman
O mismong sa mga modernong Maria Clara
O mga aktibisang nagmistulang mga bayani
Sa kanilang walang pag-imbot
Sa pagsulong nang may paninindigan
Sa kani-kanilang ideolohiya.

Sa araw-araw kong pagbibilad sa araw
At pagharap sa bawat pagsubok na minsang nakapapatid at nakapagpapatalisod,
Ni minsa'y hindi ko pinangarap na gawaran ng salitang "bayani."

Dito sa aking Bayang, "Perlas ng Silanganan,"
Ako'y nahubog maging sanay at buo ang loob
Hindi ng mga kahapong idinaan na sa hukay
At nagsilbing bihag ng kasaysayan at rebolusyon,
Bagkus ng sariling karanasang
Nagbukas sa aking ulirat
Na may iba pa palang pintuan patungo sa kahapon.
At pupwede ko palang matuklasan
Na hindi lamang sa mga nag-alay ng buhay sa sariling bayan
Maihahambing ang katuturan ng mahiwagang salita.

Paano nga ba na sa bawat pagsilang ng araw at pagbukod ng mga ulap sa kanya
Ay maituturing ko ang sarili bilang isang bayani?
Nagigising ako na pinamumunuan hindi lamang ng isang pangulo
Kundi ng mga katauhan na siya ring nagbibigay kabuluhan sa pagrespeto ko sa aking sarili
At sa tuwing nag-aalay ako ng mga hakbang at padyak sa pampublikong mga lugar
Ay nahahaluan ang aking pagkatao ng mga abo ng mga nagtapos na sa serbisyo
At tila ba sa kaloob-looban ko ay may sumisigaw na hindi ko alam kung ano
At sumisira sa mga pintuang minsan ko nang sinubukang sipain
Ngunit hindi naman ako pinagbuksan.

Masasabi kong natuto akong hindi sumuko sa laban ng aking buhay
Pagkat ako rin pala'y may pinaglalaban
Hindi ko ninais na maging talunan sa bawat paglisan ng araw sa kabundukang minsan ko na ring inakyat at pinagmasdan
Akala ko hanggang doon na lamang ako
Na ang buhay ko'y hindi isang nobelang magiging mukha sa salapi
At pagkakaguluhan saan man sila magdako
Ngunit minsa'y limot na ang halaga.

Dito sa aking istorya'y hindi ko maipagmamalaking ako ay isang bayani --
Ngunit sa kabila ng paglaganap ng demokrasya
Ay nais ko pa ring makasalamuha ang kahigpitan ng hustiya
Nang sa gayo'y masilaya't malasap ko ring mahalaga pa rin sa lahat
Ang pagbuwis ng mga buhay --
Silang mga pinagbunyi o silang nilimot ng sarili nilang mga kababayan.

Gusto kong manatili bilang isang Pilipinong may dangal sa aking pagkatao
Na ako'y titingala hindi dahil ako'y nagmamataas
Bagkus sagisag at bunga ito ng paghilom sa akin ng may Likha
At isang grasya ang buhay na hindi ko nanaising itapon sa wala.

Hindi ako magbibigay-pugay sa watawat na walang kamuang-muang
Na ang aking laban ay tapos na.
Hindi ako magpapadaig sa lipunang maaaring bumagsak sa kahit anong pagkakataon
Kapag ito'y nakalimot sa Ngalang higit na tanyag sa kanya.
At kung ito ang magiging dahilan para ako'y maliko sa ibang ideolohiya'y
Lilisanin ko na lamang ang aking pagkatao --
Ngunit ako'y madiing magpapatuloy sa aking lakaring higit pa sa pagka-Pilipino
Kahit na ang mga tungkuling nasa harap ko'y hindi pa lubos na malinaw
Pero pangako --
Hindi ako titigil.

Oo, pupuwede akong magsimula sa wala
Pero ako ay may mararating
At marahil bukas o sa makalawa,
Kung tayo lamang ay magpapatuloy sa pakikibaka para sa ating mga paniniwala'y
Magiging higit pa tayo sa mga bayani.
At hindi mahalaga kung tayo'y limutin ng bukas
Gaya ng paghawi ng masidhing hangin sa mga ulap na emosyonal.

Ayos lang --
Pagkat sa likod ng mga kurtina nang walang humpay na palakpakan
Ay naroon ang tunay na mga bayani
Na hindi sigaw at mga pagbubunyi ang mithiin.
Hindi ginto’t mga pilak ang maibubulsa sa kamatayan
Bagkus ang makapaglingkod sa bayan na may bukal na puso't malinis na konsensya
At kalakip nito ang higit pa sa mga pamanang medalya ng kasaysayan.

Sa muling pagkikita, salubong ng ating mga ninuno
Ay mabubuksan ang ating pagkatao sa isang paraisong patay na ang kabayanihan.
Doon, sama-sama nating lilisanin ang ganid na administrasyon
At hihipuin ang galit ng lambing ng Liwanag na higit pa sa milyong mga lampara
At doon lamang natin lubos na maaakap ang pagiging isang "bayani."
Favian Wiratno Mar 2019
Dibalik sejuta bunga yang tertanam disini,
ada dirimu; sebuah keindahan yang tidak pernah meminta perhatian.
tersenyum tanpa terpaksa
menangis tanpa air mata
tertawa tanpa aba-aba
jika boleh tau, mengapa kita harus berpisah?
apa karena kau terlalu menyukai kota sejuta bunga?
atau karena aku bukanlah laki-laki yang baik untuk hubungan kita?
apapun alasanya, kuharap kau bahagia.
karena sesungguhnya, keindahan sepertimu tidak akan pernah meminta perhatian.
terhalang keindahan kota sejuta bunga.
tertanam dibawah, tersembunyi tanpa jejak amarah.
kalau begitu, laki-laki ini ingin pamit; membawa segala pilu yang membiru tanpa perlu pusing memikirkan hatinya.
Hello, its been a while! this poem really describe how i felt about my ex so yea, enjoy! And i'll try post more often so please do enjoy the poem!
Chapter Two

“I think of art, at its most significant, as a DEW line, a Distant Early Warning System that can always be relied on to tell the old culture what is beginning to happen to it.”                Marshall McLuhan  
  
I attended Bucknell University in Lewisburg, Pennsylvania because my father was incarcerated at the prison located in the same town.  My tuition subsidized to a large extent by G.I. Bill, still a significant means of financing an education for generations of emotionally wasted war veterans. “The United States Penitentiary (USP Lewisburg)” is a high-security federal prison for male inmates. An adjacent satellite prison camp houses minimum-security male offenders. My father was strictly high-security, convicted of various crimes against humanity, unindicted for sundry others. My father liked having me close by, someone on the outside he trusted, who also happened to be on his approved Visitor List. As instructed, I became his conduit for substances both illicit, like drugs, and the purely contraband, a variety of Italian cheeses, salamis, prepared baked casseroles of eggplant parmesan, cannoli, Baci chocolate from Perugia, in Tuscany, south of Florence, and numerous bottles of Italian wine, pungent aperitifs, Grappa, digestive stimulants and sweet liquors. I remained the good son until the day he died, the source of most of the mess I got myself into later on, and specifically the main caper at the heart of this story.

I must confess: my father scared the **** out of me.  Particularly during those years when he was not in jail, those years he spent at home, years coinciding roughly with my early adolescence.  These were my molding clay years, what the amateur psychologists write off with the term: “impressionable years hypothesis.” In his own twisted, grease-ball theory of child rearing, my father may have been applying the “guinea padrone hypothesis,” in his mind, nothing more certain would toughen me up for whatever he and/or Life had planned for me. Actually, his aspirations for me-given my peculiar pedigree--were non-existent as far as the family business went. He knew I’d never be either a Don or a Capo di Tutti Capi, or an Underboss or Sotto Capo.)  A Caporegime—mid-management to be sure, with as many as ten crews of soldiers reporting to him-- was also, for me, out of the question. Dad was a soldier in and of the Lucchese Family, strictly a blue-collar, knock-around kind of guy. But even soldier status—which would have meant no rise in Mafioso caste for him—was completely out of the question, never going to happen for me.

A little background: the Lucchese Family originated in the early 1920s with Gaetano “Tommy” Reina, born in 1889 in Corleone, Sicily. You know the town and its environs well. Fran Coppola did an above average job cinematizing the place in his Godfather films.  Coppola: I am a strict critic when it comes to my goombah, would-be French New Wave auteur Francis Ford Coppola.  Ever since “One From the Heart, 1982”--one of the biggest Hollywood box office flops & financial disasters of all time--he’s been a bit thin-skinned when it comes to criticism.  So, I like to zing him when I can. Actually, “One From the Heart” is worth seeing again, not just for Tom Waits soundtrack--the film’s one Academy Award nomination—but also Natasha Kinski’s ***: always Oscar-worthy in my book. My book? Interesting expression, and factually correct for once, given what you are reading right now.

Tommy Reina was the first Lucchese Capo di Tutti Capi, the first Boss of All the Bosses. By the 1930s the Luccheses pretty much controlled all criminal activity in the Bronx and East Harlem. And Reina begat Pinzolo who begat Gagliano who begat Tommy Three Finger Brown Lucchese (who I once believed, moonlighted as a knuckle ball relief pitcher for Yankees.)
Three Finger Brown gave the Lucchese Family its name. And Tommy begat Carmine Tramunti, who begat Anthony Tony Ducks Corallo. From there the succession gets a bit crazy. Tony Ducks, convicted of Rico charges, goes to prison, sentenced to life.  From behind bars he presides through a pair of candidates most deserving the title of boss: enter Vittorio Little Vic Amuso and Anthony Gaspipe Casso.  Although Little Vic becomes Boss after being nominated by Casso, it is Gaspipe really calling the shots, at least until he joins Little Vic behind bars.
Amuso-Casso begat Louis Louie Bagels Daidone, who begat the current official boss, Stephen Wonderboy Crea.  According to legend, Boss Crea got his nickname from Bernard Malamud’s The Natural, a certain part of his prodigious anatomy resembling the baseball bat hand-carved by Roy Hobbs. To me this sounds a bit too literary, given the family’s SRI Lexile/Reading Performance Scores, but who am I to mock my peoples’ lack of liberal arts education?

Begat begat Begato. (I goof on you, kind reader. Always liked the name Begato in the context of Bible-flavored genealogy. Mille grazie, King James.)

Lewisburg Penitentiary has many distinguished alumni: Whitey Bulger (1963-1965), Jimmy Hoffa (1967-1971) and John Gotti (1969-1972), for example.  And fictionally, you can add Paulie Cicero played by Paul Scorvino in Martin Scorsese’s Goodfellas, not to be confused with Paulie Walnuts Gualtieri played by Tony Sirico from the HBO TV series The Sopranos. Nor, do I refer to Paulie Gatto, the punk who ratted out Sonny Corleone in Coppola’s The Godfather, you know: “You won’t see Paulie no more,” according to fat Clemenza, played by the late Richard “Leave the gun, take my career” Castellano, who insisted to the end that he wasn’t bitter about his underwhelming post-Godfather film career. I know this for a fact from one of my cousins in the Gambino Family. I also know that the one thing the actor Castellano would never comment on was a rumor that he had connections to organized crime, specifically that he was a nephew to Paulie Castellano, the Gambino crime family boss who was assassinated in 1985, outside Midtown New York’s Sparks Steak House, an abrupt corporate takeover commissioned by John Teflon Don Gotti. But I’m really starting to digress here, although I am reminded of another interesting historical personage, namely Joseph Crazy Joe Gallo, who was also terminated “with extreme prejudice” while eating dinner at a restaurant.  Confused? And finally--not to be confused with Paul Muldoon, poetry gatekeeper at The New Yorker magazine, that Irish **** scumbag who consistently rejects publication of my work. About two years ago I started including the following comment in my on-line Contact Us, poetry submission:  “Hey Paulie, Eat a Bag of ****!”

This may come as a surprise, Gentle Reader, but I am a poet, not a Wise Guy.  For reasons to be explained, I never had access to the family business. I am also handicapped by the Liberal Arts education I received, infected by a deluge, a veritable Katrina ****** of classic literature.  That stuff in books rubs off after awhile, and I suppose it was inevitable. I couldn’t help evolving for the most part into a warm-blooded creature, unlike the reptiles and frogs I grew up with.

Again, I am a poet not a wise guy. And, first and foremost, I am a human being. Cold-blooded, I am not. I generate my own heat, which is the best definition I know for how a poet operates. But what the hell do I know? Paulie “Eat a Bag of ****” Muldoon doesn’t think much of my work. And he’s the ******* troll guarding the New Yorker’s poetry gate. Nevertheless, I’m a Poet, not a Wise Guy.  I repeat myself, I know, but it is important to establish this point right from the start of this narrative, because, if you don’t get that you’re never going to get my story.

Maybe the best way to explain my predicament—And I mean PREDICAMENT in the sense of George Santayana: "Life is not a spectacle or a feast; it is a predicament." (www.brainyquote.com), not to be confused with George’s son Carlos, the Mexican-American rock star: Oye Como Va, Babaloo!

www.youtube.com/watch?v...YouTube Dec 20, 2011 - Uploaded by a106kirk1, The Best of Santana. This song is owned by Santana and Columbia Records.

Maybe the best way for me to explain my predicament is with a poem, one of my early works, unpublished, of course, by Paulie “Eat a Bag of ****” Muldoon:

“CRAZY JOE REVISITED”  
        
by Benjamin Disraeli Sekaquaptewa-Buonaiuto

We WOPs respect criminality,
Particularly when it’s organized,
Which explains why any of us
Concerned with the purity of our bloodline
Have such a difficult time
Navigating the river of respectability.

To wit: JOEY GALLO.
WEB-BIO: (According to Bob Dylan)
“Born in Red Hook, Brooklyn in the year of who knows when,
Opened up his eyes to the tune of accordion.

“Joey” Lyrics/Send "Joey" Ringtone to your Cell
Joseph Gallo, AKA: "Joey the Blond."
He was a celebrated New York City gangster,
A made member of the Profaci crime family,
Later known as the Colombo crime family,

That’s right, CRAZY JOE!
One time toward the end of a 10-year stretch,
At three different state prisons,
Including Attica Correctional Facility in Attica, New York,
Joey was interviewed in his prison cell
By a famous NY Daily News reporter named Joe McGinnis.
The first thing the reporter sees?
One complete wall of the cell is lined with books, a
Green leather bound wall of Harvard Classics.
After a few hours mainly listening to Joey
Wax eloquently about his life,
A narrative spiced up with elegant summaries,
Of classic Greek theory, Roman history,
Nietzsche and other 19th Century German philosophers,
McGinnis is completely blown away by Inmate Gallo,
Both Joey’s erudition and the power of his intellect,
The reporter asks a question right outta
The Discrete Charm of the Bourgeoisie:
“Mr. Gallo, I must say,
The power of your erudition and intellect
Is simply overwhelming.
You are a brilliant man.
You could have been anything,
Your heart or ambition desired:
A doctor, a lawyer, an architect . . .
Yet you became a criminal. Why?”

Joey Gallo: (turning his head sideways like Peter Falk or Vincent Donofrio, with a look on his face like Go Back to Nebraska, You ******* Momo!)

“Understand something, Sonny:
Those kids who grew up to be,
Doctors and lawyers and architects . . .

They couldn’t make it on the street.”

Gallo later initiated one of the bloodiest mob conflicts,
Since the 1931 Castellammare War,
And was murdered as a result of it,
While quietly enjoying,
A plate of linguini with clam sauce,
At a table--normally a serene table--
At Umberto’s Clam House.

Italian Restaurant Little Italy - Umberto's Clam House (www.umbertosclamhouse.com)
In Little Italy New York City 132 Mulberry Street, New York City | 212-431-7545.

Whose current manager --in response to all restaurant critics--
Has this to say:
“They keep coming back, don’t they?
The joint is a holy shrine, for chrissakes!
I never claimed it was the food or the service.
Gimme a ******* break, you momo!
I should ask my paisan, Joe Pesci
To put your ******* head in a vise.”

(Again, Martin Scorsese getting it exactly right, This time in  . . . Casino (1995) - IMDb www.imdb.com/title/tt0112641/Internet Movie Database Rating: 8.2/10 - ‎241,478 votes Directed by Martin Scorsese. With Robert De Niro, Sharon Stone, Joe Pesci, James Woods. Greed, deception, money, power, and ****** occur between two  . . . Full Cast & Crew - ‎Trivia - ‎Awards - ‎(1995) - IMDb)

Given my lifelong, serious exposure to and interest in German philosophy, I subscribe to the same weltanschauung--pronounced: veltˌänˌSHouəNG—that governed Joey Gallo’s behavior.  My point and Mr. Gallo’s are exactly the same:  a man’s ability to make it on the street is the true measure of his worth.  This ethos was a prominent one in the Bronx where and when I grew up, where I came of age during the 1950s and 60s.  Italian organized crime was always an option, actually one of the preferred options--like playing for the Yankees or being a movie star—until, that is, reality set in.  And reality came in many forms. For 100% Italian kids it came in a moment of crystal adolescent clarity and self-evaluation:  Am I tough enough to make it on the street?  Am I ever going to be tough enough to make it on the street? Will I be eaten alive by more cunning, more violent predators on the street?

For me, the setting in of reality took an entirely different form.  I knew I had what it takes, i.e., the requisite ferocity for street life. I had it in spades, as they say. In fact, I’d been blessed with the gift of hyper-volatility—traced back to my great-grandfather, Pietro of the village of Moschiano, in the province of Avellino, in the region of Campania, Italia Sud. Having visited Moschiano in my early 20s and again in my late 50s, I know the place well. The village square sits “down in the holler,” like in West Virginia; the Apennine terrain, like the Appalachians, rugged and thick. Rugged and thick like the people, at least in part my people. And volatile, I am, gifted with a primitive disposition when it comes to what our good friend Abraham Maslow would call lower order needs. And please, don’t ask me to explain myself now; just keep reading, *******.  All your questions will be answered.

Great Grandfather Pietro once, at point blank range, blew a man’s head off with a lumpara, or sawed-off shotgun. It was during an argument over—get this--a penny’s worth of pumpkin seeds--one of many stories I never learned in childhood. He served 10 years in a Neapolitan penitentiary before being paroled and forced to immigrate to America.  The government of the relatively new nation--The Kingdom of Italy (1861)--came up with a unique eugenic solution for the hunger and misery down south, south of Rome, the long shin bone, ankle, foot, toes & kickball that are the remote regions of the Mezzogiorno, Southern Italy: Campania, Basilicata, Calabria, Puglia & Sicilia. Northern politicians asked themselves: how do we flush these skeevy southerners, these crooks and assassins down South, how do we flush the skifosos down the toilet—the flush toilet, a Roman invention, I report proudly and accept the gratitude on behalf of my people. Immigration to America: Fidel Castro did the same thing in the 1980s, hosing out his jails and mental hospitals with that Marielista boatlift/Emma Lazarus Remix: “Give us your tired and poor, your lunatics, thieves and murderers.” But I digress. I’ll give you my entire take on the history of Italy including Berlusconi and the “Bunga Bunga” parties with 14-year old Moroccan pole dancers . . . go ahead, skip ahead.

Yes, genetically speaking, I was sufficiently ferocious to make it on the street, and it took very little spark to light my fuse. Moreover, I’ve always been good at figuring out the angles--call it street smarts--also learned early in life. Likewise, for knowing the territory: The Bronx was my habitat. I was rapacious and predacious by nature, and if there was a loose buck out there, and legs to be broken, I knew where to go.
Yet, alas, despite all my natural talents & acquired skills, I remained persona-non-grata for the Lucchese Family. To my great misfortune, I fell into a category of human being largely shunned by Italian organized crime: Mestizo-Italiano, a diluted form of full strength 100% Italian blood. It’s one of those voodoo blood-brotherhood things practiced by Southern European, Mediterranean tribal people, only in part my people.  Growing up, my predicament was always tricky, always somewhat bizarre. Simply put: I was of a totally different tribe. Blame my exotic mother, a genuine Hopi Corn Maiden from Shungopavi, high up on Second Mesa of the Hopi Reservation, way out in northern Arizona. And if this is not sufficiently, ******* nuts enough for you, add to the child-rearing minestrone that she raised me Jewish in The Bronx.  I **** you not. I took my Bar Mitzvah Hebrew instruction from the infamous Rabbi Meir Kahane, that’s right, Meir “Crazy Rebbe” Kahane himself--pronounced kɑː'hɑːna--if you grok the phonetics.

In light of the previously addressed “impressionable years hypothesis,” I wrote a poem about my early years. It follows in the next chapter. It is an epic tale, a biographical magnum opus, a veritable creation myth, conceived one night several years ago while squatting in a sweat lodge, tripping on peyote. I
G A Lopez Apr 2020
Noong ako'y nasa elementarya,
Ang pag-ibig para sa akin ay mahiwaga.
Hindi ko maintindihan
Kung ano nga ba ang kahulugan.

Marahil hindi ko pa nararanasan
Ang umibig at ibigin ng lubusan
Ngunit mayroong dalawang tao
Ang sa akin ay nagturo; narito ang kwento.

Maganda at payapa
Ganiyan ilarawan ng dalaga
Ang kaniyang mundo noong wala pa ang binata
Hindi lubos akalaing sa isang iglap ay mawawala.

Wala pa sa isipan ng dalaga
Ang pag-aasawa
Hanggang sa dumating ang binata
Nagsimula ng mangarap na sila'y maging isa

Hindi niya alam ang kaniyang motibo
Kung ito ba'y pagpapanggap o totoo
Basta't ang alam niya siya ay masaya
Kung panaginip man ay ayaw na nitong magising pa.

Ang babae ay nalinlang
Sa mukha ng isang lalakeng nilalang
Kaniya siyang binusog ng mabulaklak na salita
Ang lalake ay labis na natutuwa

Nagtagumpay ang plano
Sa likod ng kaniyang mukhang maamo
Dala nito'y tukso
Ang babae ay nabulag sa kaniyang panlabas na anyo.

Kaniyang ibinigay ang lahat
Pati ang mga bagay na hindi dapat
Hindi inisip ang bukas
Ngayo'y nagsisisi sa naging wakas

Sa tagal ng kanilang pinagsamahan
Mauuwi rin pala ito sa hiwalayan
Nagdaan ang mga araw
Ang lalake ay hindi na muling tumanaw.

Umalis na ng tuluyan
Mag-isa na lamang siyang nagduduyan.
Ang nasa kaniyang isipan,
Ay ang bata sa kaniyang sinapupunan.

Ang babae sa tula ay ang aking matapang na ina
Ang lalake sa tula ay ang aking duwag na ama
Si babae na takot masaktan ngunit piniling lumaban
Si lalake na duwag ngunit nagtatapang tapangan.

Ako ang naging bunga
Ng kanilang pagsasama
Sa katunayan
Ako ay bunga ng kasalanan.
I WAS RAISED IN A FAMILY WHERE WOMEN MADE IT HAPPEN WITHOUT MAN.
Pakibasa po ang kasunod ng aking tula'ng ito na pinamagatang "Tunay Na Pag-ibig"
Support natin ang isa't isa HAHAHAHA

— The End —