Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
R Jun 2020
Sahabatku selalu bilang, hidup adalah sebuah gedung yang ditempa oleh mimpi. Mimpi adalah pilar terkuat untuk hidup. Struktur gedung sahabatku sangat apik bagai dirancang oleh arsitek terkemuka, setiap sudutnya dikalkulasi dengan baik, interior gedung tertata dalam estetika yang berkelas. Setiap lantai gedung itu, memiliki cerita mimpi yang berbeda. Namun, gedung milik sahabatku tak pernah lepas dari sebuah warna cat yang ia sebut sebagai motivasi.

Nama gedung sahabatku adalah Kebahagiaan.

Sehari-hari gedung itu dipenuhi tawa dan senyum tiap orang yang berlalu-lalang di dalamnya. Tak jarang gedung itu mendapati kunjungan oleh Mimpi Yang Terkabul yang membikin gedung itu makin meriah dibuatnya.

Sahabatku selalu memberiku petuah bagaimana cara merawat gedungku, hidupku, dengan memiliki mimpi yang harus kuraih, meskipun jauhnya di ujung lautan sana, dan tetap harus ku kejar walaupun kemampuanku hanya sebatas merangkak.

Ketika ia bicara tentang pilar, ia tak tahu aku tak ingin punya gedung.

Kematian berbicara bagai gedung yang direnggut dari eksistensi. Dirubuhkan fisiknya. Dihancurkan. Namun, aku tak ingin punya gedung. Aku tak ingin ada di dalam lanskap kehidupan yang rumit ini. Skenario merawat, menjaga, dan mengasihi sebuah gedung membuatku bingung dan pusing.

Gedungku bahkan tak bisa dibilang gedung, hanya empat tembok kumuh yang lebih cocok disebut kandang. Aku tak punya pilar, hanya ada empat onggok tiang bambu yang perlahan dimakan rayap. Lantainya bukan dari marmer, tapi tanah becek yang bau ketika dicium hujan, tidak ada orang tertawa atau tersenyum di dalam gedungku, hanya ada aku dan rasa lapar yang berteriak sampai telingaku lelah.

Lantas, ketika aku terbangun dari tidurku yang tak pernah nyenyak dan disambut kegelapan, tanpa gedungku, tanpa ocehan sahabatku yang berkata sembari menutup mata dari kenyataan yang ku alami, aku bernapas lega.

Dalam incognito yang ku peroleh, aku merasa tenang. Terombang-ambing di tengah ada dan tiada. Menyatu dengan hitam, bersaru dengan putih. Aku tersenyum dan perlahan berterima kasih kepada Tuhan yang akhirnya memahami bahwa aku tak punya mimpi, selain menjadi tidak ada.

Namun, hatiku mencelos ketika Tuhan berbisik dengan lirih, bahwa aku hanya punya batas waktu hingga empat puluh delapan jam sebelum kembali pada kehidupan yang rumit.

“Tuhan,” kataku, “untuk apa aku ada, ketika orang-orang sibuk dengan gedung, sementara yang ku punya hanya seonggok bilik?”
enden er nær
enden på vores struktur-givne frihed
jeg har aldrig rigtig været andet end elev
først og fremmest
produktionens indlærte prioritering i min knoglemarv vi knækker uden skemaer over vores hverdag, hver dag er ikke vores
jeg har drømt om sommeren, om varmen og nu er den her den stikker
piskesmældssmil på solskinsform vi sveder
ingen gylden middelvej forude
vi fortsætter af den grå middelvej
slørede gråzoner
v a r m e b ø l g e r
jeg keder mig; jeg er overvældet
alt er for meget og
alt er for lidt
smiler til damen med demens i min gård, tænker på vejarbejdet på støvet
mine lår er klistret fast til stolen jeg føler mig
smaragdgrøn og rislende som en å

vi lukker af for verden de sagde ikke farvel til mig
er det kikset at være ordentlig? kan jeg tillade mig at smile til jer? kan jeg sige godmorgen uden at rødme over min akavethed?

TOLERANT ER IKKE ENSBETYDENDE MED SVAG

VENLIG ER IKKE SYNONYM FOR MINDREVÆRDIG

der ligger så meget forude og jeg kan ikke rigtig begribe det ikke forestille mig mere end det, der skal overkommes

en eller anden gang må det jo komme til mig

det der livsglæde

— The End —