Dengarlah gemuruh hujan pada malam hari ini;
Dengan irama tetesannya kebisuan dicurahkan;
Dalam kegelapan jua para pencari melangkah;
Menyusuri persimpangan jalanan yang basah;
Mungkinkah sudah keraguan mereka terhapuskan?
Ataukah praduganya telah menjadi satu bentuk prasangka,
Yang sekiranya kembali menolak untuk lagi-lagi berbicara?
Dengan satu sapuan halusnya kembalilah dikau sunyi menjadi hening,
Hening menjadi tiada, seperti tiada memunculkan hampa;
Lalu hampa pergi meninggalkan luka yang menganga pada dikau;
Hanya kesembuhan dari hujan yang dinanti mereka yang terluka;
Seperti juga berkat yang dinantikan dikau yang tak lelah menanti;
Memegang erat setiap butiran yang mungkin tak mampu dimiliki;
Mendengar irama yang selamanya tak mampu dimengerti;
Bersabdalah hujan pada semesta di malam hari ini;
Hanya kesunyian yang terus ia ajak bicara dalam isyarat;
Hanya kegelapan yang selamanya tak mampu ia lihat;
Pengheningan resah telah menjadi gundah sang hujan;
Seperti gundah itu sendiri menjadi gulana dikau;
Seperti dikau yang hadir dan hilang dalam rimbanya hujan,
Kembali dicari namun tak mampu dihilangkan.
Niraksara perbincangan antara sang Pujangga dan Hujan. Sampai kapanpun kebisuan merupakan satu-satunya bahasa yang mempertemukan mereka.