Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2017
Sebuah cerita pendek*

Saat itu mereka sering menonton Mak Lampir di televisi, dan mulai memanggil wanita yang merupakan nenek kandungnya dengan nama yang sama.

Nenek itu punya nama, dan jelas namanya bukan Lampir. Tapi apa pedulinya anak-anak itu dengan nama aslinya? Mereka tak pernah mendengar nama nenek disebut. Mereka sendiri yatim-piatu, dan dahulu, orangtuanya tak pernah mengajarkan nama nenek mereka. Tapi begitu melihat Mak Lampir di teve, mereka langsung mendapat ide untuk memanggil nenek sebagai Mak Lampir. Rambutnya nenek putih panjang dan tiap malam dibiarkan terurai, ia sedikit bungkuk dengan kedua tangan yang terlihat begitu kuat dan cekatan. Matanya senantiasa melotot—bukan karena suka marah, tapi memang bentuknya seperti itu. Yang terbaik dari nenek, meski giginya menghitam sudah, nenek selalu berbau harum karena suka meramu minyak wanginya sendiri. Mereka tidak takut melihat Mak Lampir—mereka justru kagum karena sosok itu mengingatkan pada nenek yang selalu menjaga mereka.

Si nenek sama sekali tidak keberatan dengan julukan itu, ia malah merasa nyaman. Disebut sebagai Mak Lampir membuatnya merasa seperti orang tua yang sakti, hebat, dan serba bisa. Nenek adalah Mak Lampir baik hati yang selalu mengabulkan permohonan cucu-cucunya, serta memberi mereka wejangan. Jenar dan Narsih sayang dan berbakti pada nenek. Nenek—yang sekarang berubah panggilan menjadi Mak—adalah dunia mereka. Dua gadis itu dapat menghapal tiap lekuk pada keriput Mak, menebak-nebak warna baju apa yang akan dipakai Mak pada hari mendung, bahkan mereka ingat betul kapan saja uban-uban Mak mulai bermunculan.

Mak awalnya tidak menyukai, bahkan hampir membenci, dua anak gadis yang harus diurusinya. Ia terlalu tua untuk melakukan hal ini lagi. Wanita  yang sudah tak ingat dan tak ingin menghitung usianya lebih memilih kembang-kembang di taman ketimbang Jenar dan Narsih.  Mak lebih memilih segala tanaman yang ada di rumah kaca sederhananya ketimbang dua cucunya.

Tapi saat sedang menyirami bunga matahari dan membiarkan Jenar serta Narsih bergulingan tertutup tanah basah, Mak merasa seolah ada yang membisikinya, “Sama-sama dari tanah, sama-sama tumbuh besar. Dari tanah, untuk tanah, kembali ke tanah.” Wangsit itu langsung membawa matanya yang sudah sedikit rabun namun tetap nyalang pada sosok dua cucunya yang sudah tak karu-karuan, menghitam karena tanah.

Sejak saat itulah Mak menganggap Jenar dan Narsih sebagai kembang. Sebagai kembang. Sebagai kembang dan seperti kembang yang ia tanam dan kelak akan tumbuh cantik nan indah. Harum, subur, anggun, lebur. Perlahan Mak mulai meninggalkan kebun dan rumah kacanya, perhatiannya ia curahkan untuk Jenar dan Narsih, yang namanya Mak singkat sebagai Jenarsih saat ingin memanggil keduanya sekaligus. Jenarsih dijahitkannya baju-baju berwarna, diberi makanan sayur-mayur yang sehat, diajarkannya meramu minyak wangi, bahkan diberi minum jamu secara terjadwal sebagaimana Mak menyirami bunga.

Kebun Mak perlahan-lahan melayu dan makin sayu. Saat matahari mengintip, tidak ada bebunga yang tergoda untuk mekar. Semuanya redup dan meredup, mentari pun meredup pula di kebun Mak. Karena sirnanya kembang dan embun, Mak tak lagi bisa memetik dari kebunnya untuk membuat wewangian khasnya. Mak jadi sering menyuruh Jenarsih untuk memborong bunga.

Tapi sebagaimana ada gelap ada terang, selepas kebun yang muram, kau akan memasuki beranda rumah di mana matahari tak henti-hentinya bersinar. Bagian dalam rumah yang ditinggali seorang nenek ranum dan cucu-cucunya itu melukiskan hari cerah di musim penghujan.

Di musim penghujan
Di musim penghujan
Musim penghujan
Membawa mendung dan kabut yang menyelubungi mentari.

Narsih jatuh sakit, ia terbatuk-batuk dan memuntahkan darah
Darah merah
Darah
Merah
Jenar selalu di sisinya dan melarang Mak untuk mendekat karena takut tertular.

Mak, meski tak lagi dapat menghitung umurnya, mati-matian menawarkan Jenar agar mau digantikan oleh Mak saja. Umur Mak tak bakal sebanyak Jenar, mending Mak saja yang di sisi Narsih, katanya. Tapi Jenar tak mau tahu, ia lebih memilih berada di sisi kembarannya ketimbang menuruti perkataan Mak yang biasanya tak pernah ia bantah. Semenjak itu mentari tak lagi menyembul. Kebun telah mati, rumah kaca tak lagi rumah kaca, beranda dingin, dan setiap hari adalah penghujan yang tak pernah mau pergi.

Hijau dan jingga hangat berubah menjadi rona kehitaman dalam hijau pucat. Ranting-ranting serta daun memenuhi jalan. Sesekali Mak mengantarkan makanan ke depan pintu kamar Jenarsih, tapi sebagian besar usia senjanya kini dihabiskan mengurung diri di kamarnya setelah Jenar ikut membatukkan darah.

Di suatu sore Mak tidak memperdulikan apapun lagi. Ia menghambur masuk ke kamar Jenarsih dan bersimpuh di bawah kasur kedua cucunya. Jenarsih tak punya tenaga lebih untuk menghalangi Mak, mereka hanya punya satu permintaan. Satu keinginan yang kira-kira dapat membuat mereka merasa lebih baik.

Dengan tersengal-sengal,
“Mak Lam, Jenar dan Narsih ingin bunga matahari.”
“Akan Mak belikan segera di pasar kembang.”
“Ndak mau, Mak. Ingin yang Mak tanam seperti dulu.”
“Nanti menunggu lama,”
“Kami ingin itu, Mak.”

Mak tak membalas berkata. Hanya mengangguk lemas dan bergegeas meninggalkan kamar kedua cucunya, bunga yang telah layu. Di tengah hujan, dengan punggung sedikit bungkuk, tangan yang kuat, wanginya yang digantikan oleh bau tanah, dan gigi yang menghitam meringis menahan tangis, Mak Lampir berusaha menghidupkan kembali kebunnya yang mati. Mak Lampir seolah mau, dan dapat membangkitkan yang mati.

Tapi Mak Lampir tak dapat menyembuhkan.

Segera dibelinya bibit bunga matahari, dan di tanam dalam rumahnya yang kini sunyi.

Mak Lampir sudah tak dapat mengolah minyak bunga yang membuatnya selalu harum,
Sudah tak dapat meminta Jenarsih untuk membeli bunga yang mewarnai rumah mereka,
Sudah tak dapat melihat warna selain hijau, hitam, dan coklat.

Mak Lampir, menangisi kebun yang dahulu ditinggalkannya.

Apa untuk mendapatkan sesuatu selalu harus ada yang dikorbankan? Dan kini kebun, kembang, ranting, dan rumah kaca menuntut balas?
Diam-diam Mak menyelinap ke kamar Jenarsih, diambilnya darah cucu kesayangannya dan ia gunakan untuk menggantikan wewangian yang kini tak dapat ia buat lagi—salah satu cara yang ia gunakan untuk mengingatkannya bahwa Jenarsih masih ada bersamanya.

Mak Lampir sudah tak tahu berapa lama waktu berlalu selama ia hanya memperhatikan bunga matahari milik Jenar dan Narsih. Bunga itu, entah karena apa, tak dapat tumbuh. Mungkin Mak telah kehilangan tangan hijau dan kemampuannya untuk berkebun. Mak kembali ke rumah dan melihat Jenar serta Narsih masih terlelap tak bergerak, lalu ia ambil lagi sebotol kecil darah untuk menjaga wangi tubuhnya.

Ia tahu itu akan membuatnya sakit, dan hal ini akan dapat membuatnya merasakan penderitaan Jenarsih. Wanita tua yang rambut putihnya memerah karena darah kedua cucunya itu terheran-heran mengapa ia tak merasakan sakit di manapun kecuali di hatinya. Pedih di hati saat melihat Jenarsih.

Dibelinya lagi lebih banyak tanah dan bibit bunga matahari. Mak Lampir harus menemukan ramuan yang tepat untuk menumbuhkan bunga matahari yang sempurna. Bunga matahari hasil tanamnya sendiri yang akan membuat Jenarsih baikan. Mak tidak membawa jam, apalagi kalender. Mak hanya mengandalkan matahari untuk menyirami bunga mataharinya sendirian di rumah kaca kecil kumal sambil memakan dedaunan kering.

Di tengah malam, Mak yang kuat menitikkan air mata pada ***-*** bunga matahari di hadapannya. Berbotol-botol kecil minyak wangi dari darah Jenar dan Narsih perlahan ia teteskan pada *** yang tak kunjung berbunga juga. Perlahan, perlahan, perlahan. Lalu lambat laun menyesuaikan dengan jadwal menyiram bunga matahari yang seharusnya.

Dari tanah kembali ke tanah,
Dari tanah untuk tanah,
Dari tanah kembali ke tanah.

Desir angin menggesekkan dedaunan, membuat Mak mendengar bisikan itu lagi dan terbangun.
Mak mengusap matanya yang seolah mencuat keluar dan melihat bunga-bunga matahari berkelopak merah menyembul, mekar dengan indah pada tiap potnya. Hati mak berbunga-bunga. Bunga matahari merah berbunga-bunga. Matahari Jenarsih berbunga-bunga.

Tangan kuat Mak segera menggapai dan mencengkram dua *** tanah liat dan ia berlari memasuki beranda rumah yang pintunya telah reot. Dari jauh sudah berteriak, “Jenar, Narsih, Jenarsih!!”
Mak seolah mendengar derap langkah dari arah berlawanan yang akan menyambutnya, tapi derap itu tak terdengar mendekat. Maka berteriaklah Mak sekali lagi,

“Mak bawa bungamu Jenarsih! Bunga matahari merah yang cantik!”

Lalu Mak dorong dengan pundaknya pintu kamar Jenarsih yang meringkik ringkih,
Mak terdiam memeluk *** bunga,
Jenarsih terlelap seperti terakhir kali Mak meninggalkannya,

Sebagai tulang belulang semata.

                                                            ///

Aku menutup laptop setelah menonton ulang episode Mak Lampir Penghuni Rumah Angker yang aku dapat dari internet—episode yang membawaku kembali ke masa kecil saat Misteri Gunung Merapi masih ditayangkan di teve, dan aku menonton dengan takut. Di tengah kengerianku, ibu malah menceritakan kisah tentang Mak Lampir dan bunga matahari yang diyakininya sebagai kisah nyata.

Sekarang episode sinetron itu tak lagi membuatku bergidik, malah tutur ibu yang masih membekas. Kisah itu seringkali terulang dalam alam pikirku, terutama saat melirik rumah reot tetangga di ujung jalan yang dipenuhi dengan bunga matahari merah.


Januari, 2017
Classy J Nov 2016
Diving into bath salts, raving flue that is as sicking as math, at least that is what I conclude from my findings presented to the court. Objection, objection, sir I don't see the connection, maybe your rhyme scheme needs perfection. Maybe it does, but ***** it, I'm blessed by God; baby please sit down and take a chill pill and just enjoy this buzz. Busting off, so back off, bout to prove my case like I’m Ace Attorney, oh and I know it’s off topic but if I lived in America, I would’ve voted for Bernie. What the **** am I on? Came to save the digital world you can call me a digimon, you bet I’m a champion! Serendipity dear deputy; I’ll be typically wittingly searching for some tranquility. What is the validity of this vicinity as I only accept notability and won’t let this become a liability!

Pathologically paraplegic hypochondriac with insomniac who be popping poems profusely perfect; while whimsically worm's try to be strategic, but sadly choke and lose it. Miles set apart; it certainly is not a strut in some park, but everyone has to start somewhere before they engrave their mark. Don't reside yourself to just being a silhouette, nor be one to toot your clarinet. Two sides to every person like Dr.Jekyll and Mr.Hyde; be careful to not let your pride turn into carbon monoxide. For pride will always lead to your downfall, so please take off your iron curtain and tear down your Berlin wall. Improvident incongruous incredulous confidence; underwhelming astonishment of such fundaments of these heinous and callous acts of deceitfulness. Trickery of thy decadence; why art though jittery when you are full of benevolence? So used to getting what you want I bet; well this situation can not be fixed by dough, so I see why you are in a cold sweat! Fake confidence won't help you here especially when one lies; you made a mistake and will face the consequences and I am not one quick to forgive no matter how much you apologize.  

Don’t have time to consider your sensibility, because my life is going a twitter with too much hyperactivity for me to deal with your stupidity. Befittingly that I’ll be building up the intensity, to infinity and beyond goes this creativity of this anomaly. Not going to prolong this phenomenon, I’ll be going off like a Molotov over this intercom, yeah you better not ever underestimate this underdog. Lackadaisical are these other rappers; they’re so replaceable and incapable to be educational. Incomprehensible is this loop of hip-hop now a days, why can’t we be inspirational or is it to late because we left morals and substance back in the olden days. Can’t afford to be anchored anymore, I’ve poured in too much time to be just be locked behind some door. I refuse to be ignored and be left ashore; I am not worried about going into the storm; because you are bound to come across some things that need some work like chores. Spinning the wheel, reminiscing of how it felt when I no longer concealed who I was and my self-image had been healed.

Used to be reclusive & convinced myself that I was a duffass, but now I’m exclusive to being a smart ***. This is the new era, this is a new fire; it’s time to spice things up so better pull out the sriracha. Leading the revolution like I’m Che Guevara, I’m light as feather whatever the endeavor even if my life story doesn’t end up as pristine as Cinderella’s. Why so infatuated by worldly wants? Why so decorated when you can't hide the fact that you're the same basic *** font? Trying be something else, striving to be someone else, wanting to be anything else. You are who you are, if you think it will make things better you cucu, because in my eyes you are really a star. You have to expand your interpretation and perspective of life, you have to demand without hesitation a piece of that collective pie; because I believe everyone should be equal in this life.

Calculated bullets that go straight through my cranium; manufactured outlets that show great things but have also turned us into brainless aliens. Complicated hookups that grow irritating and become as unstable as uranium; what was once sacred has become as spontaneous as going to a gymnasium. Confiscated trinkets cast away and leaves those affected very irritate; while also simultaneously making apathetic souls that have gone through the same thing be able to understand, help or relate. Cultivated rebellious culprits that don't take the memo of being cooperative, instead they choose to be provocative and opposite of the other conglomerates. I’m so fascinated by this fabricated segregated supposedly liberated and sophisticated community; where-as some so foolishly stupidly amusingly think that everyone has the same equal chance at opportunity. Moderated, regulated and orchestrated where some are situated; if you don’t think that it has something to do with be affiliated to a certain demographic then maybe you never got educated in the affairs of those discriminated. It’s a good thing then that class is in session; so viewer or listener  please use discretion when taking time to witness or hear my position. Deafening out all ill whims; wrestling with these unsettling menacing fears and guilt from all of my sins.

Yeah no need for hallucinogens, all I need is two hydrogens and one oxygen. Rocking in my moccasins; so you can bet I am not one to drop my promises. Native honour who is also a innovative scholar and who was created not to falter. I may not be good with numbers, but I'm good at making sure you never slumber on my words; because I work on them day and night in my 36 chambers. Beware the pretender, they are manufactured by the vendors to keep us from being together. Defend your heart; be wise who you befriend and who you pick for your counterpart. There will be hurt and affection can be perverted, so know your worth and never ever let yourself be distorted. It is not your fault, it is not my fault, so then who is at fault? Is it just life in general? Is it because of the being who lives eternal? Is it all of the above? I don't know, but we shouldn't judge and instead choose to accept and love!

Pardon me Martin, but if this class were a prison I’d be the warden. I make the rules here and I took the tools given to me to get me here. So listen, please listen to my lesson that I have to present to you as class is still in session. Loading yawl with ammunition to be able to transition to be able to complete your goals or missions. No I’m not tripping, I’m driven  by a higher force to break away the old ways of thinking such as division. This is not the prohibition anymore, so please open your minds and join me on this expedition. Going into the unknown, so here’s to hoping you get through this, as time goes on and be able to look back at it we may feel like this was no more than a tiny but important milestone.  Achieve, believe, conceive, receive, intrigue, and succeed because I think you are unique. You are the only you in the whole galaxy, don’t let agony turn into tragedy; ***** anxiety; yeah and never let your dreams just be some fantasy.

Outro: Sit down class ain't over yet, forfeit those frowns or fake faint or try to jet. Lastly remember what transpired today; don't go hastily and forget about it on December break okay? For though class may be over, more days or years to come until its finally over. Though education ends, one never stops learning even on vacations with family or friends.  I hope you can look back with fondness, I hope you can stay on track in the future if you truly take the time to just focus. Is there truly an end or is this just the beginning to a new bend.
Aridea P Oct 2011
Teriakan demi teriakan
Kami... menangis...
Sakit... sakit...
Kenapa? Mengapa?

Setiap detik hati kami
Selalu resah dan gelisah
Terbelenggu, kami terbelenggu
Apa salah kami? Apa yang jadi dendam?

Anak cucu kami
Tak bersalah? Tak tahu menahu?
Tapi mengapa?
Kau binasakan mereka?
Kau hancurkan kami?

Mengapa kami, tempat tinggal kami?
Kenapa? Mengapa?
Tolong... tolong... Tuhan
Apa rencana-Mu?
Apa yang Kau inginkan?

Kami sabar, kami diam!
Seakan menunggu ajal datang
Kami diam, kami takut
Suara ledakan hancurkan hati kami

Kenapa? Tak ada pembelaan?
Mengapa? Harus ada perang?
Kami lemah kami tak  berdaya!
Kami hanya bisa menunggu!
Entah apa yang ditunggu.

Ajalkah...
Damaikah...
Ataupun derita...
Ya Tuhan kami...
Mengapa ini terjadi??
Sebab hari tak beraut mentari
Sinar malam yang di curi teknologi
Senyum anak cucu tanpa gigi

Mari pukul tifa deng menari..
Biarpun tanah adat sudah jadi kali
hutan ruba kulit
laut tinggal ari-ari

mari pukul tifa deng manari
biarpun suku tinggal hitung jari

id,02/april/2014, tegalrejo, bantul
MuhIdra Faudu May 2014
Sebab hari tak beraut mentari
Sinar malam yang di curi teknologi
Senyum anak cucu tanpa gigi

Mari pukul tifa deng menari..
Biarpun tanah adat su jadi kali
hutan ruba kulit
laut tinggal ari-ari

mari pukul tifa deng manari....
biarpun suku tinggal hitung jari
di bunuh tamu: dari pulau mati
id,02/april/2014, tegalrejo, bantul
nyatanya, sampai kini kau merasa aku sudah pulih,
namun tuanku sayang,
aku belum cukup kuat untuk melangkah,
ragaku masih tertatih meraba jalan pulang,
masih terasa sesak luka yang kau buat.

apa kau mengerti, anak cucu adampun akan merintih bila disakiti.
bukan, bukanku menyalahkanmu.
hanya saja aku yang terlalu terbuai.
menggantungkan seluruh hidup dan matiku padamu,
tanpa pernah terpikir olehku,
bahwa kaupun tidak mungkin menggantungkannya padaku seorang.

jika menurutmu aku baik-baik saja,
ya, kau benar, aku baik-baik saja.
setidaknya sampai aku besar nyali untuk mengutarakannya di depan wajah tak bersalahmu.

kau tak benar-benar tahu, sayang.
tapi, ah sudahlah!

semoga Tuhan menggenggam luka kita kuat-kuat.

— The End —