Hari ini tadi,
dokter bantu keluarkan empat buah batu dari empeduku.

Suatu hari nanti,
mana tahu dokter atau entah siapa itu
akan bantu keluarkan sebuah nisan dari tubuhku?

Hidup untukku, maukah kamu?
Hidup dan hadapi semua takutmu, maukah kamu?
Hidup dan hadapi semua aku, maukah kamu?
Hidup dan hadapi sepenuhnya kamu, maulah aku.

Rinduku pemalu
tidak melulu sampai kepadamu,
kadang tersesat dalam diam
termenung, terhuyung, melamun
atau yang terparah
sudah sampai di depan pintu hatimu,
tapi Rindu lupa cara mengetuk pintu.

Semoga pendek nafsumu dengan puasa,
dan panjanglah nafasmu dengan puisi.

Aku ingin jadi anak kecilmu.
Menyusup di antara pagimu,
menjadi sibukmu,
di malam hari sebelum lelap.
Menyusup di ember jemuran,
di kuda-kudaan,
di bak mandi,
di kaus kaki bayi,
begitu mungil sampai aku muat untuk selalu ada di mana-manamu.
Tanya aku tentang apa yang paling kumau,
jawabku satu dan akan selalu:
Aku ingin lahir dari jalan tengahmu, besar sebagai anak kecilmu.

Kutemukan banyak kamu
di waktu-waktu
yang terlalu dini untuk selamat pagi
dan telanjur lewat untuk selamat istirahat.
Kalau begini,
baiknya aku ucapkan selamat apa, ya?

Tak ada yang lebih tabah
dari akhir bulan Februari,
disandarkannya tubuh rindu
kepada rak buku di pojok kamar itu.

Ini malam, sekali lagi
kuteguk obat kantuk
—menulis semalam sekali
bila perlu, bila rindu—
supaya lekas sembuh
kangen kerasku.
Dan kiranya,
sampai jumpa di pejam mata.
Ya?
Ya.

Lapar, kantuk, dan rindu
semuanya sama saja.
Sama-sama tidak tahu waktu,
tidak kenal tunggu.

Ada banjir di suatu petang,
banjir yang paling kutakuti.
Banjir air sudah biasa,
banjir yang ini luar biasa.
Kenangan di mana-mana.  ​
Banjir basah di mata,
banjir pilu di hati,
banjir rindu di ulu.