Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Nura  Jun 2018
Not a terrorist
Nura Jun 2018
I am a Muslim, not a terrorist.
Don‘t judge me because of my religion. Don‘t judge us all the same. My religion teaches me peace. My religion teaches me love. It tells me to show compassion, not what you think of us.
I have only one request. That I‘d kindly wish you to look beyond the hate and hurt, and see Muslims are just like you. Peaceful. Loving. Caring. We have families too.
Terrorizing and vandalizing isn‘t Islam heritage.
Muslim, Catholic, Atheist, yellow, black, white, men, women and children. We are all born to this world for a purpose. We are in a world full of discrimination, based on our religion, color, nationality and gender.
Yet, they propagate Islam with a bad image, wich is a huge damage.
They call me terrorist, they call me danger. I‘m feeling like a stranger.
Remember, there is only one world and it is all for us.
We Muslims are the holders of peace, we spread love. Why am I being represented by their false actions?
They say that they are Muslims and they say, they stand for Islam. If they are Muslims, their actions would show it.
Muslims stand in prayer. Shoulder to shoulder, to stop the devil winning.
A terrorist kills someone and Muslims are blamed, a Christian kills someone and he‘s just a ******.
Violence is not Islam.
Terrorists are not Muslims.
Alhamdullilah I am Muslim.
-Nura
Derrick Feinman  Mar 2015
Fated
Derrick Feinman Mar 2015
So unlikely, us
Distance, Obstacles, Intent
Alhamdullilah
Penyair itu melangkahi pengemis pincang yang lelap itu.
Kasurnya adalah trotoar dan mimpinya ntah apa.
Jangan bahas mimpi jadi jutawan dengan kemeja dasi rambut klimis.
Mimpi basah saja harus sembunyi sembunyi.
Kan takut toh masturbasi di pinggir kali ?

Soalnya guys,
coli itu pun harus pake tangan kanan
selain soal tekanannya yang konstan ..

KALAU TANGAN KIRI KIRI KIRI,
Disangka PKI !
Ini perihal dosa Illahi saudara saudari!



Lalu pengemis itu Menatap angannya setinggi bintang di lantai 53 menara menara ibu kota.
Mengelus ngelus perut kurusnya.
Alhamdullilah, hari ini bisa santap sisa paha ayam dari restoran kebarat baratan itu.

Mungkin baginya, Tuhan menjelma dalam bentuk tempat sampah.
Menyediakan pangan sisa sisa umat kesayangan-Nya.
Dan dia, umat yang lupa ia punya.

Pagi datang.
Ia terus berjalan tanpa alas kaki.
Sekelibat melihat lamborgini, berkawal polisi.
Presiden mungkin ah?
Nomor satu, atau duah?

Dia tidak pernah berharap pada Tuhan.
Atau presiden.
Mungkin ia harus tetap berjalan saja.
Atau mungkin ia harus berharap pada ratu adil.
Entah kapan ia munculnya.

Apa ketika jari-jari kakinya lepas.
Hingga tidak bisa melangkah lagi.
Atau lelah menguasai tubuh.
Hingga enggan melangkah lagi.
Atau seluruh kakinya patah
Pun ia tidak peduli lagi?

Apa ratu adil sedang sibuk memasang konde besarnya
Takut takut tidak terlihat cantik saat hadir sebagai pahlawan kesiangan.
Atau ratu adil sedang sibuk
Memutuskan hukuman adil untuk penyair ini yang mempertanyakan kuasa Ilahi dia punya?
Atau mungkin ratu adil berhati dingin.
Seharusnya iya karena mana mungkin beliau yang welas asih membiarkan hambanya pontang panting,
malah sibuk mengurus penyair mengkritik program kerja-Nya tahun ini.

Yah ..

Memperhatikan pengemis itu terpincang-pincang lebih asyik daripada mengurus Tuhan.
Presiden. Atau ratu adil.

Apakah Mas Aristoteles meramalkan distopia pada nusantara?
Pertama kali saya bacakan di Paviliun Puisi, edisi Dys/Utopia pada 6 April 2019.

— The End —