Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2016
Cerita Pendek Tentang Hantu*
Sebuah cerita pendek*

Anak-anak muda itu bilang bahwa Sundari cumalah hantu. Bagi mereka, Sundari sekedar cerita orang-orang tua zaman dahulu yang tak ingin anak lakinya pergi sampai larut malam. Parahnya lagi, mereka terkadang menganggap Sundari isapan jempol dan menggunakan namanya sebagai ejekan. Berbagai lelucon mereka buat untuk merendahkan Sundari,

Mereka pada saat tertentu menganggapnya seperti hewan kelaparan yang bersembunyi dan siap menerkam mereka,

Ketakutan sesaat.

Sayangnya, pada hari-hari berikutnya, Sundari malah terkadang lebih rendah daripada hewan.

Jika binatang buas dapat sewaktu-waktu muncul dan menyantap mereka dengan mudah, para pemuda justru berpikir bahwa mereka lebih tinggi dan mulia dibanding Sundari sehingga ia hanya akan menjadi segelibat penampakan.

Sundari cuma monster dan angan-angan, katanya, di zaman seperti ini mana ada hantu penculik jejaka. Pikiran anak muda memang berbeda dengan kebanyakan orangtuanya.

Padahal, Sundari sama seperti kita.

Sundari bukanlah siluman, hantu, atau makhluk mengerikan yang layak dijadikan lelucon semata.

Apalagi bahan cerita setan dan sarana menakut-nakuti bocah.

Dengar baik-baik, ia tidak terbang, ia tidak menghilang. Ah, Sundari bahkan tak punya kemampuan macam itu.

Sundari berjalan dengan dua kaki, melihat dengan dua mata, dan dapat memelukmu dengan dua tangan hangatnya. Yang mungkin berbeda adalah hati Sundari yang entah di mana sekarang. Inilah yang membuat ibu-ibu dengan anak lelaki begitu menakuti Sundari. Mereka yakin bahwa Sundari-lah yang akhir-akhir ini menculik buah hati mereka yang pergi malam, lalu menghilang selama satu minggu dan ditemukan gundul tanpa nyawa,

Tanpa hati,

Pada suatu sore yang hangat di padang ilalang dekat dusun.

Beberapa mengira bahwa Sundari adalah perwujudan pesugihan atau tumbal yang mengincar jawara-jawara muda, seperti andong-andong pocong yang dahulu sempat marak. Dahulu, pergantian kepala dusun di sini dilakukan dengan adu kekuatan. Para sesepuh percaya bahwa teh dari seduhan rambut pemuda dapat memperkuat diri dan meningkatkan kekebalan, ini menjadi salah satu spekulasi motif Sundari selain tumbal-tumbalan itu. Beberapa berpikir kalau Sundari menjual rambut lelaki muda di desa demi mendapatkan keuntungan baginya.

Kalau di antara gadis-gadis belia nan jelita yang bergelimang asmara, Sundari kerap digunakan sebagai sebutan untuk penyerebot kekasih orang. Terkadang huruf i di hilangkan, sehingga menjadi Sundar saja.

“Dasar, dia memang Sundari!”

“Padahal telah lama kita menjalin kasih, kenapa ia harus jatuh ke tangan Sundar macam dirinya!”

Apa Sundari begitu buruk hingga namanya lekat dengan orang serta kasih yang hilang?

Padahal dahulu Sundari hidup tenang,

Memang dahulu ia juga sumber perhatian,

Tapi ia hidup tenang dan dihujani kasih—

Yah, itu sebelum dusun ini akhirnya mengadili sendiri suaminya yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Menurut mereka, sangat tidak masuk akal seorang wanita pintar, seperti Sundari yang bekerja sebagai pendidik, memiliki suami yang lebih muda darinya. Pemuda berambut panjang itu hidupnya mungkin berkesan asal-asalan. Dandanannya serampangan, rambutnya berantakan dan panjang; padahal di dusun ini, sangat wajar bagi lelaki untuk memiliki rambut panjang. Banyak yang bilang tubuhnya bau tengik, dan ia jarang terlihat bekerja. Pada kedua tangannya, sering terdapat guratan-guratan warna. Berbeda dengan para petani pekerja keras yang terkadang tangannya diwarnai oleh tanah, warna-warna yang ada pada tangannya merupakan warna cerah yang tak mungkin didapatkan secara alami. Namun Sundari dan suaminya tetap dapat hidup dengan layak dan nyaman menggunakan upah mereka. Pasangan itu tak pernah meminjam uang, tak pernah mencuri.

Tak di sangka, orang-orang di dusun yang memandang bahwa agar dapat hidup berkecukupan harus digandrungi serta ditempa dengan kerja keras yang dapat dilihat oleh semua orang memandang bahwa dalam rumah tangga itu, hanya Sundari yang bekerja keras melayani suaminya. Sedangkan sang lelaki, menurut mereka, ambil enaknya saja dan kesehariannya sekedar leha-leha di teras rumah kayu mereka sambil merokok sebatang dua batang.

Mereka, terutama para bujangan, mencari-cari kesalahan pasutri bahagia itu.

Mereka kembali memanggil-manggil dan menggoda Sundari yang makin merapatkan kerudung hijau yang biasanya ia selampirkan apabila berjalan ke sekolah tiap pagi dengan kebaya sederhananya. Para bujang itu dipimpin oleh  Cak Topel yang istrinya lumpuh dan selalu ia tinggal sendiri dirumah. Mereka menungguinya tiap pulang, dan menghalangi jalannya kembali kerumah. Pernah sekali suaminya mengantarnya ke gedung sekolah reot itu, dan menungguinya sampai pulang. Sedihnya, ditengah perjalanan pulang ia babak belur dihajar  pemuda-pemuda berbadan besar itu—Setelahnya, Sundari melarangnya untuk sering menampakkan dirinya di depan warga dusun.

Yang harus dikagumi di sini adalah sifat pantang menyerah mereka. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjungkalkan Sundari dan suaminya dalam fitnah, sampai akhirnya mereka mencium sesuatu yang janggal dari rumah senyap mereka.

Bau tengik,

Ada yang bilang, jenis pesugihan macam tuyul sebagus apapun tetap akan mengeluarkan bau tengik atau busuk.

Mereka mulai menyambungkan hal ini dengan warna pada tangan suami Sundari,

“Itu tidak mungkin didapat dari bekerja di ladang.”

“Warna-warna itu pasti ramuan dukun.”

Dari situ, dapat dipastikan bagaimana Sundari dan suaminya dapat selalu hidup berkecukupan bahkan dengan uang mereka yang pas-pasan. Bujang-bujang berbadan besar itu segera menyebarkan cerita dan tuduhan-tuduhan yang membuat telinga panas. Sundari dan suaminya makin menarik diri dari warga dusun. Sundari bahkan berhenti mengajar setelah menemui kelas-kelas yang seharusnya ia ajar seringkali kosong, dan menemukan tatapan-tatapan sinis para ibu rumah tangga mengintipnya dari depan pagar kayu sekolah yang alakadarnya itu.

Entah kita harus bersyukur atau tidak, persembunyian itu tidak berlangsung lama. Pada sebuah malam bulan purnama yang lembab dan becek, Sundari melihat bola-bola cahaya dari jendela rumahnya yang ditutupi oleh anyaman jerami. Nyala api itu berasal dari berpuluh obor warga dusun yang berteriak-teriak dan menuntut Sundari dan suaminya agar mengaku bahwa mereka menggunakan pesugihan.

Sundari keluar sembari menyelampirkan kerudung hijaunya, diikuti suaminya yang rambutnya digelung tak rapih. Belum sempat mereka mengucapkan sepatah kata, para bujang menarik suami Sundari dengan menjambaknya dan melamparkannya ke tanah becek, menendangi pertunya, lalu menghajarnya seolah ia binatang peliharaan yang tak pernah patuh pada majikannya. Sundari hanya dapat menjerit dan menariki baju sejumlah laki-laki yang menghunuskan kepalannya pada tubuh kecil dan rapuh orang yang dicintainya. Setinggi apapun ia berteriak, suaranya seolah tenggelam dalam arus deras kebencian yang tak berdasar.

Jeritan untuk orang yang dikasihi itu lambat laun berubah menjadi jeritan untuk dirinya sendiri. Istri Cak Topel yang lumpuh rupanya merayap di tanah dengan sigap seolah laba-laba berkaki seribu, dan menarik bagian belakang kebaya Sundari sampai ia terjerembab ke tanah di mana ujung matanya menangkap sang suami yang rambutnya digunduli tanpa ampun dengan alat yang tak pantas. Saat menyaksikan adegan romansa sedih tersebut, wanita-wanita dusun menjambaki rambutnya, menampari pipinya dan menghajarnya tanpa ampun sambil menghujaninya dengan ludah-ludah mereka yang menasbihkan berpuluh hujatan menyayat hati. Setelah pasutri itu terkulai lemas di tanah musim hujan, barulah warga membumihanguskan mereka berdua yang tangannya tetap bergandengan.

Nasib naas, entah harus disyukuri atau tidak, menimpa suaminya yang terbakar hangus sepenuhnya. Sedangkan Sundari, dengan tubuhnya yang telah setengah terbakar, berhasil kabur dan hilang dari peredaran untuk beberapa saat.

Untuk beberapa saat,

Sampai lelaki yang menggoda, menghajar, membawa mereka pada keterpurukkan semuanya hilang satu persatu, termasuk Cak Topel.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau ronda, dan ditemukan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Orang-orang bilang bahwa ini Sundari yang menuntut balas. Meskipun entah di mana dirinya berada, ia masih tetap menghantui. Membayang-bayangi dengan perasaan bersalah yang menyakitkan bagi seluruh warga dusun,

Karena

Sundari dan suaminya tidak pernah melakukan pesugihan.

Dan, ah, itu cuma tipu muslihat para bujangan yang cemburu dan bersedih karena tak bisa mendapatkan Sundari dalam dekapan mereka sekeras apapun mereka berusaha. Entah sudah berapa lelaki dan lamarannya ditolaknya, ia justru jatuh hati pada pelukis bertubuh kecil yang sepuluh tahun lebih muda darinya.

Bagaimana amarah mereka tidak tersulut?

Seandainya warga dusun lebih mengenal bau cat dan minyak untuk melukis, mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk menuduh Sundari dan suaminya terkait pesugihan.

Ah, coba mereka masuk ke rumah kayu kecil itu sebelum main hakim sendiri. Mereka tak akan sekaget itu saat menemukan gubuknya penuh dengan cat dengan bau tengiknya, tumpukan kertas dan bahan bacaan, serta lukisan-lukisan yang masih dikerjakan.

Hilangnya para bujangan lalu diikuti dengan hilangnya murid-murid sekolah menengahnya, dan lelaki muda lainnya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan ini.

Sundari tidak berhenti.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau berjalan di pematang sawah, saat menantang diri mengaku “tidak takut dengan Sundari itu!” lalu ditemukan dengan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Sundari menyukai kerudung hijaunya yang hilang kala malam,

Kerudung tipis indah yang digunakan untuk menutupi kondenya—Yang direnggut paksa darinya lalu hangus rata dengan tanah.

Tapi Sundari lebih menyukai kehadiran,

Kehadiran suaminya dan tangannya yang bekerja melukis diam, kehadiran kerudung hijau yang melindunginya dari tatapan tajam, kehadiran murid-murid lelakinya yang dengan polos melontarkan lelucon serta godaan-godaan untuk Ibu Guru Sundari mereka, kehadiran anak-anakmu yang sombong.

Sundari menyukai kehadiran, dan itu merupakan alasan lain mengapa ia menggundul habis lelaki yang diculiknya, lalu mengupulkan rambut mereka yang ia sambung, anyam, serta kenakan dengan nyaman bak kerudung dan mantel bulu.

Maka dari itu, orang-orang yang melihatnya terkadang bilang kalau Sundari cumalah hantu; bayang-bayangnya selalu muncul dalam bentuk segumpal rambut menjelang malam.

Sundari lebih suka kehadiran,

Keadilan.

Tapi apa membalas dendam seperti ini juga salah satu bentuk keadilan?

Entahlah, ini pilihan hidup Sundari. Sudah kubilang kalau hatinya entah di mana.

Sekali lagi, Sundari bukanlah hantu. Ia manusia yang teraniaya sama seperti kita. Manusia yang disalahi.

Kalau dipikir lagi, bukannya setan terkejam adalah manusia sendiri?

Yah, itu sih sudah berpuluh tahun lalu. Entah apa jadinya Sundari sekarang. Sekarang lelaki cenderung berambut pendek, tak seperti dulu. Bayang-bayang Sundari kemungkinan tidak se beringas waktu itu, dan telah berkurang frekuensinya. Namun wanti-wanti mengenai dirinya terus ada dan berubah seiring berjalannya waktu, bervariasi.

Itu sudah
Berpuluh tahun lalu.
Mungkin sekarang ia telah jadi hantu sungguhan, atau ada perwujudan Sundari-Sundari lainnya?

Tidak masuk akal, ya?

Aneh, omong kosong, isapan jempol.

Kalau dipikir lagi, bukannya dunia ini selalu penuh omong kosong dan tangis dalam gelak tawa?
Jean Cocteau es un ruiseñor mecánico a quien le ha dado cuerda Ronsard.

Los únicos brazos entre los cuales nos resignaríamos a pasar la vida, son los brazos de las Venus que han perdido los brazos.

Si los pintores necesitaran, como Delacroix, asistir al degüello de 400 odaliscas para decidirse a tomar los pinceles... Si, por lo menos, sólo fuesen capaces de empuñarlos antes de asesinar a su idolatrada Mamá...

Musicalmente, el clarinete es un instrumento muchísimo más rico que el diccionario.

Aunque se alteren todas nuestras concepciones sobre la Vida y la Muerte, ha llegado el momento de denunciar la enorme superchería de las "Meninas" que -siendo las propias "Meninas" de carne y hueso- colgaron un letrerito donde se lee Velázquez, para que nadie descubra el auténtico y secular milagro de su inmortalidad.

Nadie escuchó con mayor provecho que Debussy, los arpegios que las manos traslúcidas de la lluvia improvisan contra el teclado de las persianas.

Las frases, las ideas de Proust, se desarrollan y se enroscan, como las anguilas que nadan en los acuarios; a veces deformadas por un efecto de refracción, otras anudadas en acoplamientos viscosos, siempre envueltas en esa atmósfera que tan solo se encuentra en los acuarios y en el estilo de Proust.

¡La "Olimpia" de Manet está enferma de "mal de Pott"! ¡Necesita aire de mar!... ¡Urge que Goya la examine!...

En ninguna historia se revive, como en las irisaciones de los vidrios antiguos, la fugaz y emocionante historia de setecientos mil crepúsculos y auroras.

¡Las lágrimas lo corrompen todo! Partidarios insospechables de un "régimen mejorado", ¿tenemos derecho a reclamar una "ley seca" para la poesía... para una poesía "extra dry", gusto americano?

Todo el talento del "douannier" Rousseau estribó en la convicción con que, a los sesenta años, fue capaz de prenderse a un biberón.

La disección de los ojos de Monet hubiera demostrado que Monet poseía ojos de mosca; ojos forzados por innumerables ojitos que distinguen con nitidez los más sutiles matices de un color pero que, siendo ojos autónomos, perciben esos matices independientemente, sin alcanzar una visión sintética de conjunto.

Las frases de Oscar Wilde no necesitan red. ¡Lástima que al realizar sus más arriesgadas acrobacias, nos dejen la incertidumbre de su ****!

El cúmulo de atorrantismo y de burdel, de uso y abuso de limpiabotas, de sensiblería engominada, de ojo en compota, de retobe y de tristeza sin razón -allí está la pampa... más allá el indio... la quena... el tamboril -que se espereza y canta en los acordes del tango que improvisa cualquier lunfardo.

Es necesario procurarse una vestimenta de radiógrafo (que nos proteja del contacto demasiado brusco con lo sobrenatural), antes de aproximarnos a los rayos ultravioletas que iluminan los paisajes de Patinir.

No hay crítico comparable al cajón de nuestro escritorio.

Entre otras... ¡la más irreductible disidencia ortográfica! Ellos: Padecen todavía la superstición de las Mayúsculas.

Nosotros: Hace tiempo que escribimos: cultura, arte, ciencia, moral y, sobre todo y ante todo, poesía.

Los cubistas cometieron el error de creer que una manzana era un tema menos literario y frugal que las nalgas de madame Recamier.

¡Sin pie, no hay poesía! -exclaman algunos. Como si necesitásemos de esa confidencia para reconocerlos.

Esos tinteros con un busto de Voltaire, ¿no tendrán un significado profundo? ¿No habrá sido Voltaire una especie de Papa (*****) de la tinta?

En música, al pleonasmo se le denomina: variación.

Seurat compuso los más admirables escaparates de juguetería.

La prosa de Flaubert destila un sudor tan frío que nos obliga a cambiarnos de camiseta, si no podemos recurrir a su correspondencia.

El silencio de los cuadros del Greco es un silencio ascético, maeterlinckiano, que alucina a los personajes del Greco, les desequilibra la boca, les extravía las pupilas, les diafaniza la nariz.

Los bustos romanos serían incapaces de pensar si el tiempo no les hubiera destrozado la nariz.

No hay que admirar a Wagner porque nos aburra alguna vez, sino a pesar de que nos aburra alguna vez.

Europa comienza a interesarse por nosotros. ¡Disfrazados con las plumas o el chiripá que nos atribuye, alcanzaríamos un éxito clamoroso! ¡Lástima que nuestra sinceridad nos obligue a desilusionarla... a presentarnos como somos; aunque sea incapaz de diferenciarnos... aunque estemos seguros de la rechifla!

Aunque la estilográfica tenga reminiscencias de lagrimatorio, ni los cocodrilos tienen derecho a confundir las lágrimas con la tinta.

Renán es un hombre tan bien educado que hasta cuando cree tener razón, pretende demostrarnos que no la tiene.

Las Venus griegas tienen cuarenta y siete pulsaciones. Las Vírgenes españolas, ciento tres.

¡Sepamos consolarnos! Si las mujeres de Rubens pesaran 27 kilos menos, ya no podríamos extasiarnos ante los reflejos nacarados de sus carnes desnudas.

Llega un momento en que aspiramos a escribir algo peor.

El ombligo no es un órgano tan importante como imaginan ustedes... ¡Señores poetas!

¿Estupidez? ¿Ingenuidad? ¿Política?... "Seamos argentinos", gritan algunos... sin advertir que la nacionalidad es algo tan fatal como la conformación de nuestro esqueleto.

Delatemos un onanismo más: el de izar la bandera cada cinco minutos.

Lo primero que nos enseñan las telas de Chardin es que, para llegar a la pulcritud, al reposo, a la sensatez que alcanzó Chardin, no hay más remedio que resignarnos a pasar la vida en zapatillas.

Facilísimo haber previsto la muerte de Apollinaire, dado que el cerebro de Apollinaire era una fábrica de pirotecnia que constantemente inventaba los más bellos juegos de artificio, los cohetes de más lindo color, y era fatal que al primero que se le escapara entre el fango de la trinchera, una granada le rebanara el cráneo.

Los esclavos miguelangelescos poseen un olor tan iodado, tan acre que, por menos paladar que tengamos basta gustarlo alguna vez para convencerse de que fueron esculpidos por la rompiente. (No me refiero a los del Louvre; modelados por el mar, un día de esos en que fabrica merengues sobre la arena).

¡La opinión que se tendrá de nosotros cuando sólo quede de nosotros lo que perdura de la vieja China o del viejo Egipto!

¡Impongámosnos ciertas normas para volver a experimentar la complacencia ingenua de violarlas! La rehabilitación de la infidelidad reclama de nosotros un candor semejante. ¡Ruboricémonos de no poder ruborizarnos y reinventemos las prohibiciones que nos convengan, antes de que la libertad alcance a esclavizarnos completamente!

El cemento armado nos proporciona una satisfacción semejante a la de pasarnos la mano por la cara, después de habernos afeitado.

¡Los vidrios catalanes y las estalactitas de Mallorca con que Anglada prepara su paleta!

Los cubistas salvaron a la pintura de las corrientes de aire, de los rayos de sol que amenazaban derretirla pero -al cerrar herméticamente las ventanas, que los impresionistas habían abierto en un exceso de entusiasmo- le suministraron tal cúmulo de recetas, una cantidad tan grande de ventosas que poco faltó para que la asfixiaran y la dejasen descarnada, como un esqueleto.

Hay poetas demasiado inflamables. ¿Pasan unos senos recién inaugurados? El cerebro se les incendia. ¡Comienza a salirles humo de la cabeza!

"La Maja Vestida" está más desnuda que la "maja desnuda".

Las telas de Velázquez respiran a pleno pulmón; tienen una buena tensión arterial, una temperatura normal y una reacción Wasserman negativa.

¡Quién hubiera previsto que las Venus griegas fuesen capaces de perder la cabeza!

Hay acordes, hay frases, hay entonaciones en D'Annunzio que nos obligan a perdonarle su "fiatto", su "bella voce", sus actitudes de tenor.

Azorín ve la vida en diminutivo y la expresa repitiendo lo diminutivo, hasta darnos la sensación de la eternidad.

¡El Arte es el peor enemigo del arte!... un fetiche ante el que ofician, arrodillados, quienes no son artistas.

Lo que molesta más en Cézanne es la testarudez con que, delante de un queso, se empeña en repetir: "esto es un queso".

El espesor de las nalgas de Rabelais explica su optimismo. Una visión como la suya, requiere estar muellemente sentada para impedir que el esqueleto nos proporcione un pregusto de muerte.

La arquitectura árabe consiguió proporcionarle a la luz, la dulzura y la voluptuosidad que adquiere la luz, en una boca entreabierta de mujer.

Hasta el advenimiento de Hugo, nadie sospechó el esplendor, la amplitud, el desarrollo, la suntuosidad a que alcanzaría el genio del "camelo".

Es tanta la mala educación de Pió Baroja, y es tan ingenua la voluptuosidad que siente Pío Baroja en ser mal educado, que somos capaces de perdonarle la falta de educación que significa llamarse: Pío Baroja.

No hay que confundir poesía con vaselina; vigor, con camiseta sucia.

El estilo de Barres es un estilo de onda, un estilo que acaba de salir de la peluquería.

Lo único que nos impide creer que Saint Saens haya sido un gran músico, es haber escuchado la música de Saint Sáéns.

¿Las Vírgenes de Murillo?

Como vírgenes, demasiado mujeres.

Como mujeres, demasiado vírgenes.

Todas las razones que tendríamos para querer a Velázquez, si la única razón del amor no consistiera en no tener ninguna.

Los surtidores del Alhambra conservan la versión más auténtica de "Las mil y una noches", y la murmuran con la fresca monotonía que merecen.

Si Rubén no hubiera poseído unas manos tan finas!... ¡Si no se las hubiese mirado tanto al escribir!...

La variedad de cicuta con que Sócrates se envenenó se llamaba "Conócete a ti mismo".

¡Cuidado con las nuevas recetas y con los nuevos boticarios! ¡Cuidado con las decoraciones y "la couleur lócale"! ¡Cuidado con los anacronismos que se disfrazan de aviador! ¡Cuidado con el excesivo dandysmo de la indumentaria londinense! ¡Cuidado -sobre todo- con los que gritan: "¡Cuidado!" cada cinco minutos!

Ningún aterrizaje más emocionante que el "aterrizaje" forzoso de la Victoria de Samotracia.

Goya grababa, como si "entrara a matar".

El estilo de Renán se resiente de la flaccidez y olor a sacristía de sus manos... demasiado aficionadas "a lavarse las manos".

La Gioconda es la única mujer viviente que sonríe como algunas mujeres después de muertas.

Nada puede darnos una certidumbre más sensual y un convencimiento tan palpable del origen divino de la vida, como el vientre recién fecundado de la Venus de Milo.

El problema más grave que Goya resolvió al pintar sus tapices, fue el dosaje de azúcar; un terrón más y sólo hubieran podido usarse como tapas de bomboneras.

Los rizos, las ondulaciones, los temas "imperdibles" y, sobre todo, el olor a "vera violetta" de las melodías italianas.

Así como un estiló maduro nos instruye -a través de una descripción de Jerusalén- del gesto con que el autor se anuda la corbata, no existirá un arte nacional mientras no sepamos pintar un paisaje noruego con un inconfundible sabor a carbonada.

¿Por qué no admitir que una gallina ponga un trasatlántico, si creemos en la existencia de Rimbaud, sabio, vidente y poeta a los 12 años?

¡El encarnizamiento con que hundió sus pitones, el toro aquél, que mató a todos los Cristos españoles!

Rodin confundió caricia con modelado; espasmo con inspiración; "atelier" con alcoba.

Jamás existirán caballos capaces de tirar un par de patadas que violenten, más rotundamente, las leyes de la perspectiva y posean, al mismo tiempo, un concepto más equilibrado de la composición, que el par de patadas que tiran los heroicos percherones de Paolo Uccello.

Nos aproximamos a los retratos del Greco, con el propósito de sorprender las sanguijuelas que se ocultan en los repliegues de sus golillas.

Un libro debe construirse como un reloj, y venderse como un salchichón.

Con la poesía sucede lo mismo que con las mujeres: llega un momento en que la única actitud respetuosa consiste en levantarles la pollera.

Los críticos olvidan, con demasiada frecuencia, que una cosa es cacarear, otra, poner el huevo.

Trasladar al plano de la creación la fervorosa voluptuosidad con que, durante nuestra infancia, rompimos a pedradas todos los faroles del vecindario.

¡Si buena parte de nuestros poetas se convenciera de que la tartamudez es preferible al plagio!

Tanto en arte, como en ciencia, hay que buscarle las siete patas al gato.

El barroco necesitó cruzar el Atlántico en busca del trópico y de la selva para adquirir la ingenuidad candorosa y llena de fasto que ostenta en América.

¿Cómo dejar de admirarla prodigalidad y la perfección con que la mayoría de nuestros poetas logra el prestigio de realizar el vacío absoluto?

A fuerza de gritar socorro se corre el riesgo de perder la voz.

En los mapas incunables, África es una serie de islas aisladas, pero los vientos hinchan sus cachetes en todas direcciones.

Los paréntesis de Faulkner son cárceles de negros.

Estamos tan pervertidos que la inhabilidad de lo ingenuo nos parece el "sumun" del arte.

La experiencia es la enfermedad que ofrece el menor peligro de contagio.

En vez de recurrir al whisky, Turner se emborracha de crepúsculo.

Las mujeres modernas olvidan que para desvestirse y desvestirlas se requiere un mínimo de indumentaria.

La vida es un largo embrutecimiento. La costumbre nos teje, diariamente, una telaraña en las pupilas; poco a poco nos aprisiona la sintaxis, el diccionario; los mosquitos pueden volar tocando la corneta, carecemos del coraje de llamarlos arcángeles, y cuando deseamos viajar nos dirigimos a una agencia de vapores en vez de metamorfosear una silla en un trasatlántico.

Ningún Stradivarius comparable en forma, ni en resonancia, a las caderas de ciertas colegialas.

¿Existe un llamado tan musicalmente emocionante como el de la llamarada de la enorme gasa que agita Isolda, reclamando desesperadamente la presencia de Tristán?

Aunque ellos mismos lo ignoren, ningún creador escribe para los otros, ni para sí mismo, ni mucho menos, para satisfacer un anhelo de creación, sino porque no puede dejar de escribir.

Ante la exquisitez del idioma francés, es comprensible la atracción que ejerce la palabra "merde".

El adulterio se ha generalizado tanto que urge rehabilitarlo o, por lo menos, cambiarle de nombre.

Las distancias se han acortado tanto que la ausencia y la nostalgia han perdido su sentido.

Tras todo cuadro español se presiente una danza macabra.

Lo prodigioso no es que Van Gogh se haya cortado una oreja, sino que conservara la otra.

La poesía siempre es lo otro, aquello que todos ignoran hasta que lo descubre un verdadero poeta.

Hasta Darío no existía un idioma tan rudo y maloliente como el español.

Segura de saber donde se hospeda la poesía, existe siempre una multitud impaciente y apresurada que corre en su busca pero, al llegar donde le han dicho que se aloja y preguntar por ella, invariablemente se le contesta: Se ha mudado.

Sólo después de arrojarlo todo por la borda somos capaces de ascender hacia nuestra propia nada.

La serie de sarcófagos que encerraban a las momias egipcias, son el desafío más perecedero y vano de la vida ante el poder de la muerte.

Los pintores chinos no pintan la naturaleza, la sueñan.

Hasta la aparición de Rembrandt nadie sospechó que la luz alcanzaría la dramaticidad e inagotable variedad de conflictos de las tragedias shakespearianas.

Aspiramos a ser lo que auténticamente somos, pero a medida que creemos lograrlo, nos invade el hartazgo de lo que realmente somos.

Ambicionamos no plagiarnos ni a nosotros mismos, a ser siempre distintos, a renovarnos en cada poema, pero a medida que se acumulan y forman nuestra escueta o frondosa producción, debemos reconocer que a lo largo de nuestra existencia hemos escrito un solo y único poema.
Bien puedo yo pintar una hermosura,
y de otras cinco retratar a Elena,
pues a Filis también, siendo morena,
ángel Lope llamó de nieve pura.
Bien puedo yo fingir una escultura,
que disculpe mi amor, y en dulce vena
convertir a Filene en Filomena
brillando claros en la sombra escura.
Mas puede ser que algún letor extrañe
estas musas de Amor hiperboleas,
y viéndola después se desengañe.
Pues si ha de hallar algunas partes feas,
Juana, no quiera Dios que a nadie engañe,
basta que para mí tan linda seas.
Caminas adentro de ti mismo y el tenue reflejo serpeante que te conduce
    no es la última mirada de tus ojos al cerrarse ni es el sol tímido golpeando tus párpados:
    es un arroyo secreto, no de agua sino de latidos: llamadas, respuestas, llamadas,
    hilo de claridades entre las altas yerbas y las bestias agazapadas de la conciencia a obscuras.
    Sigues el rumor de tu sangre por el país desconocido que inventan tus ojos
    y subes por una escalera de vidrio y agua hasta una terraza.
    Hecha de la misma materia impalpable de los ecos y los tintineos,
    la terraza, suspendida en el aire, es un cuadrilátero de luz, un ring magnético
    que se enrolla en sí mismo, se levanta, anda y se planta en el circo del ojo,
    géiser lunar, tallo de vapor, follaje de chispas, gran árbol que se enciende y apaga y enciende:
    estás en el interior de los reflejos, estás en la casa de la mirada,
    has cerrado los ojos y entras y sales de ti mismo a ti mismo por un puente de latidos:
                                  EL CORAZÓN ES UN OJO.

    Estás en la casa de la mirada, los espejos han escondido todos sus espectros,
    no hay nadie ni hay nada que ver, las cosas han abandonado sus cuerpos,
    no son cosas, no son ideas: son disparos verdes, rojos, amarillos, azules,
    enjambres que giran y giran, espirales de legiones desencarnadas,
    torbellino de las formas que todavía no alcanzan su forma,
    tu mirada es la hélice que impulsa y revuelve las muchedumbres incorpóreas,
    tu mirada es la idea fija que taladra el tiempo, la estatua inmóvil en la plaza del insomnio,
    tu mirada teje y desteje los hilos de la trama del espacio,
    tu mirada frota una idea contra otra y enciende una lámpara en la iglesia de tu cráneo,
    pasaje de la enunciación a la anunciación, de la concepción a la asunción,
    el ojo es una mano, la mano tiene cinco ojos, la mirada tiene dos manos,
    estamos en la casa de la mirada y no hay nada que ver, hay que poblar otra vez la casa del ojo,
    hay que poblar el mundo con ojos, hay que ser fieles a la vista, hay que
                  CREAR PARA VER.

    La idea fija taladra cada minuto, el pensamiento teje y desteje la trama,
    vas y vienes entre el infinito de afuera y tu propio infinito,
    eres un hilo de la trama y un latido del minuto, el ojo que taladra y el ojo tejedor,
    al entrar en ti mismo no sales del mundo, hay
ríos y volcanes en tu cuerpo, planetas y hormigas,
    en tu sangre navegan imperios, turbinas, bibliotecas, jardines,
    también hay animales, plantas, seres de otros mundos, las galaxias circulan en tus neuronas,
    al entrar en ti mismo entras en este mundo y en los otros mundos,
    entras en lo que vio el astrónomo en su telescopio, el matemático en sus ecuaciones:
    el desorden y la simetría, el accidente y las rimas, las duplicaciones y las mutaciones,
    el mal de San Vito del átomo y sus partículas, las células reincidentes, las inscripciones estelares.

    Afuera es adentro, caminamos por donde nunca hemos estado,
    el lugar del encuentro entre esto y aquello está aquí mismo y ahora,
    somos la intersección, la X, el aspa maravillosa que nos multiplica y nos interroga,
    el aspa que al girar dibuja el cero, ideograma del mundo y de cada uno de nosotros.
    Como el cuerpo astral de Bruno y Cornelio Agripa, como las granes transparentes de André Breton,
    vehículos de materia sutil, cables entre éste y aquel lado,
    los hombres somos la bisagra entre el aquí el allá, el signo doble y uno, V y ^ ,
    pirámides superpuestas unidas en un ángulo para formar la X de la Cruz,
    cielo y tierra, aire y agua, llanura y monte, lago y volcán, hombre y mujer,
    el mapa del cielo se refleja en el espejo de la música,
    donde el ojo se anula nacen mundos:

    LA PINTURA TIENE UN PIE EN LA ARQUITECTURA Y OTRO EN EL SUEÑO.


    La tierra es un hombre, dijiste, pero el hombre no es la tierra,
    el hombre no es este mundo ni los otros mundos que hay en este mundo y en los otros,
    el hombre es la boca que empaña el espejo de las semejanzas y dice sí,
    el equilibrista vendado que baila sobre la cuerda floja de una sonrisa,
    el espejo universal que refleja otro mundo al repetir a éste, el que transfigura lo que copia,
    el hombre no es el que es, célula o dios, sino el que está sienpre más allá.
    Nuestras pasiones no son los ayuntamientos de las substancias ciegas pero los combate y los abrazos de los elementos riman con nuestros deseos y apetitos,
    pintar es buscar la rima secreta, dibujar al eco, pintar el eslabón:
    El Vértigo de Eros es el vahído de la rosa al mecerse sobre el osario,
    la aparición de la aleta del pez al caer la noche en el mar es el centelleo de la idea,
    tú has pintado al amor tras una cortina de agua llameante

    PARA CUBRIR LA TIERRA CON UN NUEVO ROCÍO.


    En el espejo de la música las constelaciones se miran antes de disiparse,
    el espejo se abisma en sí mismo anegado de claridad hasta anularse en un reflejo,
    los espacios fluyen y se despeñan bajo la mirada del tiempo petrificado,
    las presencias son llamas, las llamas son tigres, los tigres se han vuelto olas,
    cascada de transfiguraciones, cascada de repeticiones, trampas del tiempo:
    hay que darle su ración de lumbre a la naturaleza hambrienta,
    hay que agitar la sonaja de las rimas para engañar al tiempo y despertar al alma,
    hay que plantar ojos en la plaza, hay que regar los parques con risa solar y lunar,
    hay que aprender la tonada de Adán, el solo de la flauta del fémur,
    hay que construir sobre este espacio inestable la casa de la mirada,
    la casa de aire y de agua donde la música duerme, el fuego vela y pinta el poeta.
Aridea P  Sep 2012
marah
Aridea P Sep 2012
Palembang, 7 September 2012

Apa kau bilang?
Seenaknya memerintah!
Tuk apa Tuhan menciptakan raga yang sehat,
kaki yang kuat.
Bila kau tak mau menggerakkannya.
Kau hanya membuat mereka terdiam.
Mereka akan mati!
Mati mengurangi ***** di tubuhmu.

Apa kau bilang tadi?
Bukannya ku ini babu mu!
Seenaknya memerintah!
Menganggap yang muda mudah diperdaya.
Kau ini pintar!
Tapi tak cukup pintar.
Untuk apa kau sekolah tinggi?
Jika mulutmu tak dijaga.

Masih bilang apa kau tadi?
Kau memang lebih tua,
sudah banyak menghasilkan uang.
Tapi aku tidak bodoh!
Aku muda tapi bisa menghasilkan uang.
Aku terpelajar!
Ku akan miliki pekerjaan yang buat kau berkata WOW!

Aku balas apa yang kau katakan.
Terus, kau mau apa?
Natalia Rivera Jun 2015
Cuando la luna es nueva, el sale de su polvoriento cobijo.
A saludar la vida que solía tener, y a sentir las voces cantoras del viento.
Saboreaba la savia que le obsequiaba las estrellas,
Y me servía de grata compañía.
Era un acontecimiento único, insólito.
Habían pasado varias fases sin venir,
Llegue a pensar que se había extraviado en las muelas del bosque,
Pero hoy, el venia.
Saque una taza vieja, y le preparaba un café
Para cuando llego, la luna ya podía verse.
Le entallaba el hermoso e entristecido rostro.
Quise preguntar “porque, como y cuando”, pero me resigne
Y solo le di una torcida sonrisa, y él me la devolvió.
Se sentó en la mesa sin murmuro alguno,
Y mirando la luz que penetraba por la ventana bebió.
Le ofrecí un abrigo para el frió, el alzo su mirada perdida
Y me llevo afuera; caminamos por un sendero lleno de lamentos.
Podía escucharlos, pero a él no le parecía importar.
“Almas olvidadas” musito con voz firme.
Paro un segundo y continuo “hemos llegado, he aquí la luna creciente”
Yo lo miraba perpleja, y solo pude sentarme a su lado mirándolo fijamente.
Y miles de interrogantes golpeaban mi cabeza;
No pude comenzar a preguntar cuando el dio inicio
“Cuando la luna está en su fase creciente, parece una bola partida a la mitad.
Para mí, es el momento en donde puedo conversar contigo
Con esa parte que solía ser, que solíamos ser.
Por eso he de venir solo cuando la luna está en esta fase,
Para contarte como me va en mi vida de olvido, y para escuchar como vives sin mí.
Por eso sin notarlo, en los días más oscuros y silenciosos te has de parar en la ventana
Susurrándole a los astros poesías que llevan mi nombre.
Por eso sin notarlo, yo he de pintar el mejor paisaje para que sonrías cada noche.”
Una avalancha repetitiva me sucumbía, podía escuchar pequeños fragmentos
Una y otra vez, y otra vez
“Por eso sin notarlo, en los días más oscuros”
“Yo he de pintar el mejor paisaje para que sonrías cada noche”
Termine mirando constelaciones, y sintiendo como su mano
Caliente y delicada acariciaba mi rostro.
Sentí la necesidad de besarlo, y de contarle mis poesías.
Me tomo y me sumergió en el abismo del que fue
Un beso con sabor a historias, a quererlo nuevamente.
Al dejarme nuevamente en mi aposento me ha devuelto el abrigo
Y plasmo en mi frente un beso que desato una tormenta en mis pequeños y cansados ojos.
Para cuando los abrí, mi mitad se había ido, y la luna ya era llena.
En su abrigo había una pequeña carta, un poema y decía.

“pequeña niña de cristal
Llevas el espíritu de la estrella que me guía en las noches,
Y el color de la maleza en tus tiernos ojos.
En cada luna que veas, recítame todo tus versos
Seré el océano que remoja tu lunar.
No me olvides, que si no es en esta fase, será en la otra
Pero serás mía en cualquier dimensión.”
Aridea P Nov 2011
Palembang, Selasa 29 November 2011

Aku yang selalu menyalahkan diri sendiri atas kesalahan ku
Terus menerus berfikir apa pantas tuk mendapatkan itu
Bila berdoa saja pun aku selalu bolos

Aku yang kata orang tak sadar diri
Selalu dan selalu membela diri
Memang iya, aku melakukannya sendiri

Aku yang sedang-sedang saja
Tak pintar, tak menarik pun tak beruang
Masih mau bersedekah untuk batin ini juga

Aku yang segalanya
Segalanya bohong, malas, bodoh
Hanya bisa menangis ataupun acuh seperti orang hilang

Aku yang masa depannnya suram
Tak berani berucap mau jadi apa
Kalau mengadu pada-Nya saja aku sungkan

Aku yang hidupnya menyedihkan
Duduk memangku harapan
Menunggu keajaiban Tuhan
Sentado e descalço, sobe um banco de madeira preta,
Pintei o quarto de verde vivo, igual ao vaso do quintal,
Contrastando com a cor amarela da flor que parara de crescer!
Queria ver aquela flor mais verde que o vaso que acabara de pintar.
Apressado como de costume e porque admito é feitio meu,
Pegava desajeitado e pouco reflectido com vontade de florir,
O amarelo perdido daquela planta que me havia já esquecido,
Não era tinta vazia, que ela queria, mas carinho de minhas mãos,
Peguei nela caída, encostei-a a mim e disse-lhe que gostava dela,
Suspirou-me ao ouvido e perguntou-me porque não a levava comigo,
Encostei-a a mim trouce-a cuidadosamente ao colo para dentro de casa,
Dei-lhe um copo de água e aconcheguei-lhe a terra do caule,
O adubo que ela recebia de mim, em carinhos fizeram-na adormecer!
Sentei-me no banco quase seco de tinta verde e pintei as calças,
Adormecendo como que um pai olhando seu filho dormir!
Sonhei pela noite fora e quando acordei, aquela flor amarela,
Que eu havia trazido comigo, sorriu-me nos olhos estremunhados,
Acordei feliz e cheio de alegria porque em seu olhar a flor vivia.
Por vezes a vida descabida de pressa por coisas vazias,
É tão bonita quando na calma do tempo um carinho te dá alento.
E eu voltei a pintar todo dia e em cada dia que passava a flor crescia,
O amarelo que lhe percorria o ser mudava de cor para a cor de esperança.
A cada dia, eu dormia mais feliz, porque sentia seu cheiro chegar a mim.
Essa flor um dia pegou-me nos olhos e pediu-me de novo carinho,
E eu olhei-a, da maneira que sempre quis cheirá-la e encostei-a a mim,
Enquanto dormia!

Autor: António Benigno
Dedico à minha vida que nem para nem anda!
Aridea P  Feb 2012
Mimpi Ku
Aridea P Feb 2012
Jakarta, 25 April 2009

Kampung halamanku
Di mana tempatku dilahirkan
Di pagi hari di bulan Mei
Tanggal 20 tahun 1995

Aku diberi nama Erika
Ku dibesarkan
Sampai aku berumur 7 tahun, aku pindah ke Ibu Kota
Dengan keluargaku
Ayah, Ibu, dan adik-adikku

Aku tumbuh menjadi seorang remaja
Dan mulai merasakan jatuh cinta
Jatuh cinta pada seorang remaja pria di sekolah
Dia sangat hebat dan pintar
Dia adalah motivatorku
Tuk meraih semua mimpiku
Lacuna Nov 2016
aku suka dia
salah
emm aku cinta dia
tak tau alasannya apa
dia tidak terlalu tampan
tak terlalu pintar
bahkan ada yang menganggap nya tidak menarik
tapi aku tertarik dengan dia
aku tertarik dengan dia sejak pertama kali teman ku menyebut nama nya
menceritakan hal-hal konyol akan dirinya
yang membuat ku jatuh lebih dalam kepadanya
mata nya biasa saja
manik hitam yang keliatan coklat saat terkena sinar matahari
tapi bagi ku
mata itu bisa memberikan kebahagiaan
kebahagiaan ku
hanya aku yang boleh merasakan kebahagiaannya
kalian tidak boleh
sudah lah, aku lelah
jika aku terus menulis tentang betapa aku mengagumi nya
kurasa tangan ku akan lepas.
Una noche invernal, de las más bellas
Con que engalana enero sus rigores
Y en que asoman la luna y las estrellas
Calmando penas e inspirando amores;
Noche en que están galanes y doncellas
Olvidados de amargos sinsabores,
Al casto fuego de pasión secreta
Parodiando a Romeo y a Julieta.

En una de esas noches sosegadas,
En que ni el viento a susurrar se atreve,
Ni al cruzar por las tristes enramadas
Las mustias hojas de los fresnos mueve
En que se ven las cimas argentadas
Que natura vistió de eterna nieve,
Y en la distancia se dibujan vagos
Copiando el cielo azul los quietos lagos;

Llegó al pie de una angosta celosía,
Embozado y discreto un caballero,
Cuya mirada hipócrita escondía
Con la anchurosa falda del sombrero.
Señal de previsión o de hidalguía
Dejaba ver la ***** de su acero
Y en pie quedó junto a vetusta puerta,
Como quien va a una cita y está alerta.

En gran silencio la ciudad dormida,
Tan sólo turba su quietud serena,
Del Santo Oficio como voz temida
Débil campana que distante suena,
O de amor juvenil nota perdida
Alguna apasionada cantilena
O el rumor que entre pálidos reflejos
Suelen alzar las rondas a lo lejos.

De pronto, aquel galán desconocido
Levanta el rostro en actitud violenta
Y cual del alto cielo desprendido
Un ángel a su vista se presenta
-¡Oh Manrique! ¿Eres tú? ¡Tarde has venido!
-¿Tarde dices, Leonor? Las horas cuenta.
Y el tiempo que contesta a tal reproche
Daba el reloj las doce de la noche.

Y dijo la doncella: -«Debo hablarte
Con todo el corazón; yo necesito
La causa de mis celos explicarte.
Mi amor, lo sabes bien, es infinito,
Tal vez ni muerta dejaré de amarte
Pero este amor lo juzgan un delito
Porque no lo unirán sagrados lazos,
Puesto que vives en ajenos brazos.

»Mi padre, ayer, mirándome enfadada
-Me preguntó, con duda, si era cierto
Que me llegaste a hablar enamorado,
Y al ver mi confusión, él tan experto,
Sin preguntarme más, agregó airado:
Prefiero verlo por mi mano muerto
A dejar que con torpe alevosía
Mancille el limpio honor de la hija mía.

»Y alguien que estaba allí dijo imprudente:
¡Ah! yo a Manrique conocí en Sevilla,
Es guapo, decidor, inteligente,
Donde quiera que está resalta y brilla,
Mas conozco también a una inocente
Mujer de alta familia de Castilla,
En cuyo hogar, cual áspid, se introdujo
Y la mintió pasión y la sedujo.

Entonces yo celosa y consternada
Le pregunté con rabia y amargura,
Sintiendo en mi cerebro desbordada
La fiebre del dolor y la locura:
-¿Esa inocente víctima inmolada
Hoy llora en el olvido su ternura?
Y el delator me respondió con saña:
-¡No! La trajo Manrique a Nueva España.

»Si es la mujer por condición curiosa
Y en inquirir concentra sus anhelos,
es más cuando ofendida y rencorosa
siente en su pecho el dardo de los celos
Y yo, sin contenerme, loca, ansiosa,
Sin demandar alivios ni consuelos,
Le pregunté por víctima tan bella
Y en calma respondió: -Vive con ella.

»Después de tal respuesta que ha dejado
Dudando entre lo efímero y lo cierto
A un corazón que siempre te ha adorado
Y sólo para ti late despierto,
Tal como deja un filtro envenenado
Al que lo apura, sin color y yerto:
No te sorprenda que a tu cita acuda
Para que tú me aclares esta duda».

Pasó un gran rato de silencio y luego
Manrique dijo con la voz serena
-«Desde que yo te vi te adoro ciego
Por ti tengo de amor el alma llena;
No sé si esta pasión ni si este fuego
Me ennoblece, me salva o me condena,
Pero escucha, Leonor idolatrada,
A nadie temo ni me importa nada.

»Muy joven era yo y en cierto día
Libre de desengaños y dolores,
Llegué de capitán a Andalucía,
La tierra de la gracia y los amores.
Ni la maldad ni el mundo conocía,
Vagaba como tantos soñadores
Que en pos de algún amor dulce y profundo
Ven como eterno carnaval el mundo.

»Encontré a una mujer joven y pura,
Y no sé qué la dije de improviso,
La aseguré quererla con ternura
Y no puedo negártelo: me quiso.
Bien pronto, tomó creces la aventura;
Soñé tener con ella un paraíso
Porque ya en mis abuelos era fama:
Antes Dios, luego el Rey, después mi dama.

»Y la llevé conmigo; fue su anhelo
Seguirme y fue mi voluntad entera;
Surgió un rival y le maté en un duelo,
Y después de tal lance, aunque quisiera
Pintar no puedo el ansia y el desvelo
Que de aquella Sevilla, dentro y fuera,
Me dio el amor como tenaz castigo
Del rapto que me pesa y que maldigo.

»A noticias llegó del Soberano
Esta amorosa y juvenil hazaña
Y por salvarme me tendió su mano,
Y para hacerme diestro en la campaña
Me mandó con un jefe veterano
A esta bella región de Nueva España...
¿Abandonaba a la mujer aquella?
Soy hidalgo, Leonor, ¡vine con ella!

»Te conocí y te amé, nada te importe
La causa del amor que me devora;
La brújula, mi bien, siempre va al norte;
La alondra siempre cantará a la aurora.
¿No me amas ya? pues deja que soporte
A solas mi dolor hora tras hora;
No demando tu amor como un tesoro,
¡Bástame con saber que yo te adoro!

»No adoro a esa mujer; jamás acudo
A mentirle pasión, pero tú piensa
Que soy su amparo, su constante escudo,
De tanto sacrificio en recompensa.
Tú, azucena gentil, yo cardo rudo,
Si ofrecerte mi mano es una ofensa
Nada exijo de ti, nada reclamo,
Me puedes despreciar, pero te amo».

Después de tal relato, que en franqueza
Ninguno le excedió, calló el amante,
Inclinó tristemente la cabeza;
Cerró los ojos mudo y anhelante
Ira, celos, dolor, miedo y tristeza
Hiriendo a la doncella en tal instante
Parecían decirle con voz ruda:
La verdad es más negra que la duda.

Quiere alejarse y su medrosa planta
De aquel sitio querido no se mueve,
Quiere encontrar disculpa, mas le espanta
De su adorado la conducta aleve;
Quiere hablar y se anuda su garganta,
Y helada en interior como la nieve
Mira con rabia a quien rendida adora
Y calla, gime, se estremece y llora.

¡Es el humano corazón un cielo!
Cuando el sol de la dicha lo ilumina
Parece azul y vaporoso velo
Que en todo cuanto flota nos fascina:
Si lo ennegrece con su sombra el duelo,
Noche eterna el que sufre lo imagina,
Y si en nubes lo envuelve el desencanto
Ruge la tempestad y llueve el llanto.

¡Ah! cuán triste es mirar marchita y rota
La flor de la esperanza y la ventura,
Cuando sobre sus restos solo flota
El ***** manto de la noche obscura;
Cuando vierte en el alma gota a gota
Su ponzoñosa esencia la amargura
Y que ya para siempre en nuestra vida
La primera ilusión está perdida.

Leonor oyendo la ****** historia
Del hombre que encontrara en su camino,
Miró eclipsarse la brillante gloria
De su primer amor, casto y divino;
Su más dulce esperanza fue ilusoria,
Culpaba, no a Manrique, a su destino
Y al fin le dijo a su galán callado:
-«Bien; después de lo dicho, ¿qué has pensado?

»Tanta pasión por ti mi pecho encierra
Que el dolor que me causas lo bendigo;
Voy a vivir sin alma y no me aterra,
Pues mi culpa merece tal castigo.
Como a nadie amaré sobre la tierra
Llorando y de rodillas te lo digo,
Haz en mi nombre a esa mujer dichosa,
Porque yo quiero ser de Dios esposa.

Calló la dama y el galán, temblando,
Dijo con tenue y apagado acento:
-«Haré lo que me pidas; te estoy dando
Pruebas de mi lealtad, y ya presiento
Que lo mismo que yo te siga amando
Me amarás tú también en el Convento;
Y si es verdad, Leonor, que me has querido
Dame una última prueba que te pido.

»No tu limpia pureza escandalices
con este testimonio de ternura
No hay errores, ni culpas, ni deslice
Entre un hombre de honor y un alma pura;
Si vamos a ser ambos infelices
Y si eterna ha de ser nuestra amargura,
Que mi postrer adiós que tu alma invoca
Lo selles con un beso de mi boca».

Con rabia, ciega, airada y ofendida,
-«No me hables más,- repuso la doncella
Sólo pretendes verme envilecida
Y mancillarme tanto como a aquélla.
Te adoro con el alma y con la vida
Y maldigo este amor, pese a mi estrella,
Si hidalgo no eres ya ni caballero
Ni debo amarte, ni escucharte quiero».

Manrique, entonces la cabeza inclina,
Siente que se estremece aquel recinto,
Y sacando una daga florentina,
Que llevaba escondida bajo el cinto
Como un tributo a la beldad divina
Que amó con un amor jamás extinto,
Altivo, fiero y de dolor deshecho
Diciendo: -«Adiós, Leonor», la hundió en su pecho.

La dama, al contemplar el cuerpo inerte
En el dintel de su mansión caído,
Maldiciendo lo ***** de la suerte,
Pretende dar el beso apetecido.
Llora, solloza, grita ante la muerte
Del hombre por su pecho tan querido,
Y antes de que bajara hasta la puerta
La gente amedrentada se despierta.

Leonor, a todos sollozando invoca
Y les pide la lleven al convento
Junto a Manrique, en cuya helada boca
Un beso puede renovar su aliento.
Todos claman oyéndola: «¡Está loca!»
Y ella, fija en un solo pensamiento
Convulsa, inquieta, lívida y turbada
Cae, al ver a su padre, desmayada.

Y no cuentan las crónicas añejas
De aquesta triste y amorosa hazaña,
Si halló asilo Leonor tras de las rejas
De algún convento de la Nueva España.
Tan fútil como todas las consejas,
Si ésta que narro a mi le lector extraña,
Sepa que a la mansión de tal suceso,
Llama la gente: «El Callejón del Beso».
Miguel Serrano  Dec 2015
Ella
Miguel Serrano Dec 2015
Existe una ciudad de cuarzo exquisita
cuyas rosadas calles yo recorrí
siguiendo su sinuosidad caprichosa
en ensoñaciones o tiempos de ensueño;
contemplé su nimbada altura de sol
en un baño de anochecientes tinturas
que raro artista podrá nunca pintar.

Mis ojos velados de recuerdos hoy
reflejan las puertas cerradas, oscuras;
los muros, cercantes con custodio rol,
que se alzan, fieros y hostiles, ante mí.
Yo hago frente, y grito con voz poderosa
mas no caen los muros y voy a quedar
fuera de la ciudad de cuarzo exquisita.
I wrote this poem quite a long time ago, never uploaded it cause it was written in Spanish though; but I don´t care anymore. It was meant to be longer, but the circumstances changed and I couldn't finish it, not as it was supposed to be.

— The End —