Sedari kecil, aku mendambakan sepasang sayap di belakang punggung.
Ingin aku arungi langit yang melintang dengan bebas. Ingin aku jelajahi awan yang seperti gumpalan kapas. Ingin aku miliki sepasang sayap agar anganku lepas.
Burung-burung yang mengambang melantunkan tawa bahagia. Ketika aku menengadah, pandangan mereka jatuh menimpa iris jelaga. "Kenapa kamu tidak terbang?" kicauan mereka membentuk kalimat tanya.
"Aku ingin, tapi takdir menyuruh aku menapaki tanah," timpalku sedikit berteriak.
Burung-burung tertawa, melingkari kepalaku dengan serangkai gelak. Aku termenung, menatap sayap-sayap yang terbang menjauh.
Andai aku bisa terbang, akan aku susul mereka yang mengambang. Akan aku lintasi awan sampai berlubang. Akan aku imbangi laju mereka tanpa secuil bimbang.
Sayangnya, aku tidak bisa terbang.
Aku cuma bisa menengadah, menatap biru dan biru dan biru yang membentang. Aku pandangi tirai biru sampai warnanya bergeser jadi abu.
Siang yang biru diganti malam yang kelabu. Mirip seperti mimpi-mimpi yang dengan cepat menjadi semu.
Pikirku, sedari dulu mimpiku selalu gagal bertaruh. Mungkin aku terlalu belagu? Terlalu banyak menaruh harap pada hidup?
Aku berusaha maklum, berdamai dengan gagal yang mengikuti aku seperti hantu. Namun, terbang seperti burung adalah satu-satunya mimpi yang tidak mau aku buat luruh.
Aku ingin terbang, menyapa semilir angin yang menerpa wajah. Aku ingin terbang, merangkai kapas di atas awan untuk menutup luka.
Aku ingin terbang. Aku ingin terbang. Aku ingin damai datang ketika tubuhku melayang di udara.
Maka, kepada Tuhan yang tinggalnya jauh di atas semesta, aku mohon dengan amat sangat agar aku bisa terbang.
Aku menaiki undakan, menatap gemerlap kota yang mengimitasi kawanan kunang-kunang. Kedua tangan aku rentangkan, berharap Tuhan menjahit sayap yang kilau gemilang. Aku melompat, menantang kelam yang memenuhi langit malam.
Aku terbang.