di ruang 3x3 meter kusesap lagi secangir kopi yang sudah tak lagi hangat masam terkecap, pahit tersisa buih-buih krema berjejer rapi di ujung mulut cangkir menggetarkan diri menciptakan nada detak jantung yang semakin tinggi dan mengundang semut-semut emosi pada ujung jemariku
didekap dibekap kebencian bersarang pada ekor jiwaku yang semerawut semakin hari, semakin menjadi-jadi
amarah yang tak terbendung perkara hati bukanlah sebatas ruang bukan juga sekedar sudut yang bisa disinggahi, diacak-acak, lalu ditinggal begitu saja tanpa dibereskan ibumu saja marah kalau kamarmu berantakan
debaranΒ Β demi debaran candu pada cairan pekat ini terkadang mengundang rasa kantuk bagai lorong tanpa ujung pikiranku melayang masuk ke masa lampau
amarah dan kebencian mengombangambingku belum reda kesalku kutuk bertaburan dari bibirku ada rangkaian rencana cela yang menari-nari di kepalaku
apa warasku pergi? apa warasku pergi? apa warasku pergi?
benci ini tak perlu lagi disiram terjebak realita semu, mantra-mantra sukar dipahami tetapi nyata efeknya betapa sulitnya meracik ramuan ketenangan jiwa
kalau kamu jahat, lalu aku balas jahat apa bedanya kamu dan aku? aku tidak mau sepertimu bukan pilhan pasif, dengan sadarku warasku ada aku pemenang petak umpetnya!
040719 | 00:55 AM pertanyaan tadi malam, seperti rokok yang kubakar diujung meja, kubiarkan mati dihisap angin.