Pada hari yang baik di bulan yang baik ini; Hujan turun lagi membasahi segenap pertanahan; Di balik bulirnya seorang pujangga termenung; Menuliskan kembali lirik-lirik tersedih dalam puisinya:
Wahai imaji hujan di masa lalu; Pernah kulupa namun mengapa belum kurela? Wahai melodi hujan di masa lalu; Kembali kau ketuk palung paling dalam; Kehalusan suara wanita yang pernah ada; Mengapa tak lenyap bersama kejatuhanmu?
Apakah lagi-lagi aku berdiri pada persimpangan yang sama? Penuh kabut, memudar namun seyogianya belum sirna; Tahun demi tahun telah berlalu bersama kejatuhan hujan; Namun mengapa kesepian tak pernah berlalu? Walau kesedihan menolak segala kefanaan; Yang belum berubah menjadi sebuah kejadian; Yang menolak segala bentuk pengulangan;
Apakah kekosongan merupakan bentuk realita tertunggal Yang selamanya akan terus berbahasa dalam kebisuannya? Mengapa masih aku mengaku yang tertabah; Jika musibah tak mampu melenyapkan; Segala terpaan angin rindu yang pernah berhembus? Jika segala ketakuan masih menjadi ada dalam tiada; Mengapa pernah juga kau lepas ikatan kita?
Perlahan kata-kata itu meresap kepada perakaran; Sebolehjadinya ujung pena tak mampu memahami; Segala makna yang tersirat dalam rampaian puisinya; Bila kepergianmu adalah kesenduan dari berkat kehidupan; Ajarkanlah aku berdamai dengan segala bentuk prasangka; Yang datang bersama bayanganmu di kala hujan.
Dan kembali pepohonan bersemi bersama dengan perakaran yang dibasahi titik hujan. Bagaikan prasangka menolak segala bentuk pengulangan. Seorang pujangga terjebak dalam ketidakpastian diskursif.