Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
“I am just not afraid of being alone,”

Dia datang dari bumi sebelah sana, jauh ke sini untuk mencari lupa pada dunia. Pada suatu sore menjelang senja, dia menyari bahwa bentuk ganda muncul karena rasa takut pada tunggal semata.

Menjadi sendiri bisa membawa resah, terlebih ketika semua berkata ini sudah waktunya. Harga diri bisa membantah, namun di dalam hati takut memang menjadi jawab untuk sebuah tanya; ketika kondisi belum menyajikan jalan untuk berpasangan, apa yang sebenarnya di khawatirkan?

Bila sendiri berupa satu kalut yang perlu dihindari, adakah untuk meraih tenang memang lewat menjadi dua? Bila bahagia adalah satu titik yang telah dilimitasi, apakah untuk mencapainya harus melalui sebuah jika?

Para pendaki bisa menemukan damai pada puncak walau tanpa kawan, petapa sengaja menyepi demi bertemu tenang, biksu bisa merasa teduh walau tanpa sandingan, mereka yang khusyuk menemukan tentram dalam sujudnya yang panjang. Sendiri, walau secara manusiawi.

"Now, I’m just enough with myself,"

Melihat keberpasangan sebagai sebuah hasrat memang tak akan pernah bertemu lengkap, karena bersua dengan damai hanya lewat kata cukup. Setelah kata cukup dipungut, menjadi sepasang bukanlah lagi sekedar penawar kalut.

"So, isn’t this enough?"
Diska Kurniawan May 2016
Dengarkan ketika kau merasa takut,
akan semua ketulian,
Gosip dan kata-kata tak bermakna,    
Semua berita peperangan
Maupun musik tanpa nada.
Telingamu seharusnya takut.

Lihatlah ketika kau merasa takut,
akan semua kebutaan,
Kebajikan yang munafik,
Imajinasi yang berlebihan
Terlebih jika kau tampik
Matamu selayaknya takut.

Ucapkan ketika kau merasa takut,
akan semua puisi dan syair,
Mantra yang mereka panjatkan,    
pada setan dimana mereka lahir
Semua bisu yang kau nyanyikan
Bibirmu seharusnya takut.

Cintai ketika kau merasa takut    
akan semua iba dan nestapa,
Mabuk dengan segelas kasih,
Mereka yang bertelanjang jiwa
Sehingga matipun tertatih
Hatimu selayaknya takut

Pikirlah ketika kau merasa takut
akan semua yang dungu,
dimana nuklir-nuklir itu mereka sesap,
dan kebijaksanaan para ***** dituju
Ketika para pendeta tergagap.
Otakmu seharusnya takut

Rasalah ketika kau merasa takut
akan semuanya yang berbentuk,
menyerupakan tawa dengan doa,
Yang menyayat hiruk pikuk
Derap dan tangis yang fana
Dirimu selayaknya takut
                                                                          
Maka biarkan aku berani
Karena kau hidup, dan aku tak punya diri.
Hiatus until the end of my fatigue.
Diadema L Amadea Dec 2018
ini ceritanya jejak si bucin



'dasar bucin !'
'mau mauan aja, bucin !'
'jangan bucin kenapasih !'


salah menyampaikan sayang ?
salah menyuarakan cinta ?
salah mengekspresikan kasih ?

itu semua salah ?
terlebih terhadap pasangan
sana sini memandang, bucin
kenapa ?
berlebihan ?
ya. demi botol nestle kemarin
mungkin berlebihan tapi tidak juga

apakah lebih baik pistol dan pisau daripada bunga dan pita ?

iya saya juga bingung
bucin dianggap remeh
seperti benda yang harus dilepeh

ada apa si dengan bucin ?
makhluk hidup yang mengekspresikan rasanya kan ?

ah tidak tau
tapi semenjak aku bertemu dia
aku tidak apa disebut bucin
karena membuat lengkung di bibirnya
salah satu pencapaian

sudah ya,
pokok pikirannya tidak dapat.
sudah pusing.
hahaha.

salam bucin !
dapat disimpulkan bucin bisa menggantikan kata kata kebon binatang kala kita ingin mengumpat, lebih hina ternyata mas mba.

ckckck
Noandy Aug 2017
Pagi memamah bangkai di halaman. Bangkai yang kami mangsa bersama semalam sembari duduk melingkar dan mengumpat atas ketidakmujuran yang menghantui kami. Ah, tapi ketidakmujuran dan kesendirian itu toh akhirnya diobati oleh makan malam bersama yang getir dan sangit. Kami sendirian bersama. Kami tidak mujur dan sendirian bersama agar dapat menyantap makan malam ini. Makan malam dengan menu bangkai bersaus pedas ditambah rempah, baunya yang pedih menusuk sengaja kami umbar sebagai pertanda bahwa kami telah hadir di kaki gunung yang belum menampakkan kehangatannya. Kaki gunung yang masih menjegal kaki kami. Kaki gunung yang tajam. Tapi malam mewujud dari lingsir menjadi lengser dan mentari dengan cepatnya kembali mencemooh melalui pagi. Lebih cepat dari kami yang sedang memangsa bangkai. Lebih cepat dari kunyahan kami pada tiap otot dan lemak. Sisa-sisa bangkai yang kami mangsa bersama semalam pun tercecer di halaman bersama bulir beras serta bebijian yang terjatuh dari kelopak mata kami, gantikan air mata. Kami harus membuang bangkai itu segera dan tak boleh sampai terlihat memangsa bangkai. Memangsa bangkai bukanlah hal yang patut dibanggakan terlebih lagi di kaki gunung yang beradab. Halaman kami berbau bangkai. Tak masalah jika aroma itu menujam hidung kala malam, karena manusia yang lalai akan menganggapnya sebagai mimpi belaka. Namun jika sampai bau itu tercium kala pagi maka kami lah yang akan kena kutuk. Kami akan menjadi anak-anak terkasih setan kaki gunung. Meski kami memangsa bangkai, kami tak menginginkannya. Kami hanya ingin bahagia dan dapat saling mencintai. Bangkai-bangkai itu tercecer dan kami tak memiliki tanah untuk mengubur bongkahan yang kini dimamah oleh pagi yang acuh. Pagi yang dingin. Pagi yang memanas. Pagi yang bising. Pagi yang dangdut. Pagi yang berdebu. Pagi yang memamah bangkai di halaman. Kami tak memiliki tanah untuk mengubur bangkai yang kami mangsa. Segala tanah telah beralih pada bak lapuk di kamar mandi agar kami dapat mensucikan diri siang nanti. Dan yang tersisa di halaman hanyalah bangkai, bulir beras, serta darah yang mengalir deras dari sungai di belakang kami. Pagi baru di ujung kepala. Belum banyak mata yang dapat menyaksikan nestapa kami. Bangkai-bangkai yang belum selesai kami kunyah, kami harus segera menyingkirkannya.

Pagi memamah bangkai di halaman. Kami memamah bangkai di halaman.

Serreh, 2017
Penunggang badai Feb 2021
Kuingat, waktu itu aku membawamu ke sebuah kedai. Sebuah tempat yang hari lalu pernah kujanjikan padamu. Dengan motor tua peninggalan ayahku, aku merasa bangga. Dengan kau di jok belakang, malu-malu mendekap badanku erat, kita melaju tanpa banyak bicara melintasi jalanan kota.

Sesampainya kita, aku menoleh kesana-kemari mencari tempat yang pas. Tempat yang khidmat untuk kita menunaikan ibadah temu, setelah lama menjalankan puasa rindu.

Masih seperti biasanya, tanpa memandang situasi bagaimanapun, kita tetap saja seperti biasa: tidak banyak mengobrol. Hanya tersenyum, basa-basi (aku dengan pernyataan pamungkas bahwa "rambutmu cantik hari ini", dan "jangan memujiku terus" adalah andalanmu ketika malu) , tersenyum lagi dan salah tingkah sejadinya. Begitu kikuk kita di waktu itu.

Kita begitu seadanya. Saling berhadapan, saling menggenggam tangan meski canggung. Kutengok dari balik jendela, hujan perlahan jatuh membasahi seisi bumi. Tentu kedai tempat kita juga. Kulihat ramai manusia mulai bergegas dan menepi menghindari tumpah ruah sang hujan.

Rinainya mulai melantun tak beraturan di jalanan, di atap kedai, di jok motorku dan di hati kita berdua. Sambil memandang keluar, aku yakin kau merefleksikan hal yang sama dengan apa yang ada dipikiranku. Bahwa keping ingatan masa lalu mulai berpendar, berputar dalam kepala. Yang mungkin selalu berusaha kita lupa.

Satu hal yang benar, bahwa hujan dengan begitu saja telah menjadi bagian dari identitas kita berdua. Kutipan bahwa hujan turun selalu membawa kenangan, bagiku sesekali benar. Dan diantara kau dan aku, memiliki kisah yang dianggap kelam.

Kita adalah dua manusia yang hatinya pernah patah dan kecewa, lalu dipertemukan dengan cara yang begitu acak oleh semesta. Atau, entahlah. Aku hanya yakin begitu. Mungkin buku-buku Fiersa Besari banyak mempengaruhi caraku berpikir soal ini.

Ditemani lagu-lagu dari Dialog Dini Hari, dan dinginnya suasana kedai sebab hujan yang menggerayangi, semakin menambah kesan romansa terlebih kopi pesanan kita datang menghampiri.

Masih ditengah hujan yang mulai menjinak, aku mengingatkanmu soal buku bacaan yang telah kita sepakati sebelumnya saat masih hendak merencanakan via telepon. Ya, benar, tujuan utamaku adalah mengajakmu menikmati buku bersama. Untukku, Ini kali pertama. Semoga saja engkau suka.

Dan hujan, adalah diluar dari rencana. Aku tersadar, bahwa ia membantuku banyak kali ini. Untuk memeluk hatimu kian erat, untuk menghempas keluh-kesahmu jauh tak terlihat.

Kita mulai mengeluarkan bacaan. Dari ranselku, dari tas jinjingmu.

Aku dengan Tan Malaka, kau dengan Boy Candra. Begitu kontras, namun kutau bahwa ada bahagia dengan harta yang masing-masing kita miliki itu. Yang bahwa kita membacanya karena terpana dengan mantra disetiap kata-katanya—atau juga karena pemikiran kritis yang disulap menjadi sebuah goresan pena pada setumpuk kertas oleh sang aditokoh. Kagum dengan warisannya—dalam tulisan, mereka benar-benar kekal selamanya—dalam ingatan.

Kita tenggelam jauh kedalamnya, jauh kedalam setiap paragrafnya. Mata kita beradu sesekali saat fokus tergoyah, saling melempar senyum karenanya. Lalu pada satu waktu, kita mulai menutup buku, mengartikan temu, menyempurnakan rasa hingga waktu tenggelam berlalu.

Berlalu... Benar, semuanya berlalu sejalan dengan gerak sang waktu. Tak terkecuali kita didalamnya.

Aku menyayangimu, sebagaimana keberlakuanku pada buku. Aku merindumu, sebagaimana bumi merindukan hujan. Dan episode-nya bagiku selalu saja menyajikan wangi yang sama, sebagaimana wangi petrichor yang tersisa, dari rinai yang pergi meninggalkan bentala.

Kita menjadi "pernah", lalu lestari selamanya.
Amira I Jun 2019
mencintai tanpa memiliki.
klasik, ya, apa boleh buat?
aku tak pernah menganggapmu adalah milikku, pun aku adalah milikmu.
namun rasa itu tumbuh di antara kita, tanpa satu pun yang memaksa.
aku tau kau masih memiliki seseorang dalam daftar prioritasmu, terlebih, mungkin dirinya lah yang nomor satu.
tunggu, bukan berarti aku senang dijadikan yang ke-sekian; lagi-lagi, apa boleh buat?
aku hanya bisa menunggu sampai sang waktu memberiku lelah yang luar biasa hingga rasa sabarku perlahan habis,
karena ku tau rasa cintaku takkan pernah.
untuk bumi yang masih dan akan terus be-revolusi pada matahari.
audrey Feb 2018
hello, I miss you very much.
but later on, you ignored me.
you left me on read.
I know you're so busy but hey?
oh. nevermind, I'm sorry if my existence and my texts disturb you.

I know, life is being hard. to me, not to you. and I need you to cheer me up but?? I want nothing. I just want you, your attention, like usual. but you came up with this. your ignorance. and that's hurts.

I never ask for money, free treats, jewels, or anything else. I just want you. I know, I'm not-so-called-a-pretty-and-hottie-girl. I'm showing you my real side. like, my love for you. lol. so cheesy.

If you're wondering out up to the sky, remember. Don't ever forget, that I'll always by your side. behind ya. I got your back. When the world's trying to bring you down, I'm here. I'll always be here for you, cheering you up, helping you with these burdens called "tugas-dari-guru-guru-terlebih-yang-killer" ehe. I'll stand by your side, I'd never leave you, trust me. Some of people may think "janji ada untuk dilanggar" but not for me.

I...I'm sorry for everything. Sorry for those times when you were burned up because of me. I'm sorry for disturbing you, just. sorry, sorry, and sorry.  sorry for my weakness.

Tolong, maafin kekuranganku, keburukanku, dan lain-lainnya, ya. Aku lagi berusaha untuk menjadi lebih dewasa, tentunya.

I don't know if you read this or not,  I'm just sharing my thoughts 'anonymously' here. I can't say nothing beside "I miss you" and type this ( a not so called ) long *** paragraph.

Have a blast friday, baby. My precious human.
Nabiila Marwaa Nov 2020
kapan kamu mau menyadari bahwa bentuk ganda muncul karena rasa takut pada tunggal semata?
menjadi sendiri memang bisa membawa resah, terlebih ketika semua berkata ini sudah waktunya
harga diri bisa membantah, namun di dalam hati takut memang menjadi jawab untuk sebuah tanya
bila sendiri berupa satu kalut yang perlu dihindari, adakah untuk meraih tenang hanya lewat menjadi dua?
tapi kamu lupa; petapa sengaja menyepi demi bertemu tenang, biksu bisa merasa teduh walau tanpa sandingan, mereka yang khusyuk menemukan tentram dalam sujudnya yang panjang
sendiri, walau secara manusiawi
karena bersua dengan damai hanya lewat kata cukup
setelah kata cukup dipungut, menjadi sepasang bukanlah lagi sekedar penawar kalut
Nabiila Marwaa Nov 2020
mencintai tanpa memiliki.
klasik, ya, apa boleh buat?
aku tak pernah menganggapmu adalah milikku, pun aku adalah milikmu.
namun rasa itu tumbuh di antara kita, tanpa satu pun yang memaksa.
aku tau kau masih memiliki seseorang dalam daftar prioritasmu, terlebih, mungkin dirinya lah yang nomor satu.
tunggu, bukan berarti aku senang dijadikan yang kesekian; lagi-lagi, apa boleh buat?
aku hanya bisa menunggu sampai sang waktu memberiku lelah yang luar biasa hingga rasa sabarku perlahan habis,
karena ku tau perasaanku takkan pernah.
fustypetals Sep 29
aku takut jatuh,
terlebih kepada cinta
rasa yang menghanyutkan,
menenggelamkan kesadaran

aku takut jatuh,
terlebih kepada luka
rasa yang menyedihkan,
menenggelamkan harapan
(Indonesian ver.)

— The End —