Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
VM Sep 2024
Aku melangkah di jalanmu, terukir dalam batu. Di mana sungai-sungai retak dan keheningan berdengung. Lagu pengantar tidur terus menghantui, membungkusku seperti kain kafan. Bisikan-bisikan membusuk dalam kesunyian, tersisa di udara seperti rahasia yang terlupakan, sementara keputusan menggantung di kehampaan—mayat-mayat cahaya.

Panas menggigil menyiksa melalui tulang punggung gurun ini, tebal dan menindas, saat bayangan terus menggeliat, tertawa dengan kebencian yang membekukan. Kau telah lama menghilang—bertahun-tahun, mungkin selamanya—ketidakhadiranmu adalah luka yang tak kunjung sembuh. Tak ada tangan yang mengulurkan jari untuk menenangkan langkahku yang goyah, tak ada kehangatan untuk mengikat pikiranku yang berputar-putar, dan beban ketidakpedulianmu menekan, mencekik seperti aku sedang berada di kuburan.

Jika aku menutup mataku dan membiarkan diriku larut dalam kegelapan, apakah itu akan membangkitkan sesuatu di dalam dirimu, atau kau akan tetap tak tersentuh, seperti selama ini? Langit ini terasa seperti kaca, rapuh mudah pecah, dan siap hancur akibat kekosongannya sendiri. Sementara bumi di bawahku setipis bisikan, siap menyerah. Pernahkah kau benar-benar ada di sini, atau kau selalu gagal untuk ada, sosok yang menghantui sebagian mimpiku yang hancur?

Pemenggal kepala menjulang di depan, janji yang tak terpenuhi,  
takdir yang terasa hampir manis, ujungnya yang tajam seperti panggilan sirene. Aku berdiri di bawah nya, pucat dan kaku. Besi dingin itu memanggilku, dan aku bertanya-tanya— jika aku menerima kejatuhan ini, apakah kau akan menyaksikan akhir, atau kau hanya akan berpaling, acuh tak acuh terhadap kegelapan yang menelanku bulat-bulat?

Kau tidak hadir di tanah yang tandus ini, tak mengucapkan sepatah kata pun untuk menghancurkan kesunyian yang membentang tanpa henti. Hanya gema tanpa suara dari ketidakhadiranmu yang ada melalui kehampaan, pengingat tanpa henti tentang cinta yang tak pernah ada. Jika aku semakin terperosok ke jurang ini, mencari pelipur lara di kedalaman keputusasaan, akankah aku mendapati dirimu menunggu, atau akankah ketidakhadiranmu bergema lebih keras, mencekik napas terakhirku?

Aku telah menelusuri debu tempat jejak kakimu terkikis,  
tapi bumi di bawahku berputar ke dalam ketiadaan, rusak oleh beban yang kau tinggalkan. Jadi di sinilah aku berbaring, di reruntuhan yang kau buat, di bawah tatapan dingin langit, terjerat dalam kesunyian yang kau jalin, di mana waktu berhenti, dan sisa-sisa harapanku memudar ke dalam jurang.
Kehidupan singgah lebih cepat dari embun pagi. Manusia berdatangan lalu pergi. Kamu paham betul bahwa tidak ada gunanya terikat takdir dengan orang lain, cuma pedih dan perih yang akan kamu hadapi ketika mereka pergi nanti.

Perang antar dinasti yang kamu jalani sudah cukup banyak memberi pelajaran tentang hidup di dunia keji ini. Tanah kelahiranmu kamu bela sepenuh hati, kamu hancurkan tulang benulang mereka yang jadi lawanmu dengan tebasan setipis angin. Namun, hasil yang kamu dapat hanyalah puing-puing kota yang tidak bisa kamu kais lagi.

Kamu mulai berpikir, apa gunanya semua ini?

Rumah kayu yang ayahmu bangun runtuh, toko wijen dan daging di depan rumahmu ikut jatuh. Kedua matamu tersayat sampai-sampai penglihatanmu semu, kamu kehilangan seluruh keluargamu. Tanah airmu melebur bersama debu-debu perang yang berlalu.

Dan sialnya, setelah semua itu, kamu masih harus melanjutkan hidup.

Kehidupan pasca perang tidak seindah angan-anganmu. Negara barbar yang kamu bela dengan keringatmu tetaplah jadi tempat bengis tanpa hukum.

Kamu mulai menutup semua sisi yang membuat kamu menjadi manusia. Melumuri tangan dengan darah orang jahat kamu lakukan demi sekantung uang (dan kamu berpikir bahwa mungkin kamu lah orang jahat yang harus dibunuh demi uang).

Kamu membangun dinding yang memisahkan kamu dengan manusia lain. Kamu menyadari bahwa mereka yang datang kepadamu akan dengan cepat pergi seperti embun pagi.

Kamu berkelana ke seluruh negeri seorang diri. Bergulat bersama sepi setiap hari agar ia mengoyak kamu sampai mati.

Namun, rupanya kamu mengingkari janji untuk sendirian sampai mati.

Di tengah perjalananmu yang penuh sepi, kamu bertemu ia yang baru pertama kali menghadapi kehilangan di dunia ini. Semua yang ia punya direnggut sampai yang tersisa darinya cuma dendam yang buat kamu meringis.

Umurnya masih seujung jari, belum pernah menelusuri setiap celah dunia ini, kamu berpikir bahwa ia hanya akan jadi kerikil di dalam alas kakimu.

Kamu mendorong ia jauh-jauh, sana cari tempat lain untuk berteduh karena aku tidak punya apa-apa untuk mengobati luka-lukamu.

Kamu pernah kehilangan, kamu selalu kehilangan, kamu tidak punya apa-apa untuk membantu ia yang baru saja kehilangan.

Namun, ia bersikeras berteduh di bawah kain pelindung milikmu yang kumuh. Satu bulan perjalanan ia tempuh hanya untuk kembali ke kediamanmu.

Dinding yang kamu bangun bertahun-tahun mulai goyah karena kehadirannya yang mengisi hari-harimu.

Kamu biarkan ia tidur di atas kasurmu, kamu biarkan ia mengikuti perjalananmu. Kamu mulai menerima cuap-cuap yang ia lontarkan di tengah malam ketika kalian sulit tertidur. Kamu membiarkan ia menghancurkan seluruh dinding yang mengelilingimu.

Kemudian, tanpa kamu sadari, kamu lagi-lagi terikat takdir dengan manusia yang meruntuhkan pertahananmu.

Kamu lantas menyadari, ada kepingan cinta yang mulai muncul di sela-sela hatimu. Berpuluh-puluh kasih timbul di ruang terdalam hati yang kamu beri nama ruang kemanusiaan.

Dan tanpa kamu sadari, kamu mulai menjadi manusia lagi.

Kamu berpikir bahwa kamu akan mati sebagai makhluk bengis yang sebutannya bukan manusia. Namun, ketika ia datang ke hidupmu, kamu berpikir bahwa kamu layak mati sebagai manusia.

Kamu menikmati hari-harimu sebagai manusia baru.

Kali ini, kamu menelusuri negeri bersama orang lain. Kamu tidak lagi bergulat dengan sepi sampai mati.

Dan ketika kamu mati, ada ia yang berduka di pemakamanmu. Kamu mati dengan jutaan cinta yang bertabur di atas tanah kuburanmu.
Sebuah kisah tanpa tajuk--ditulis untuk ia yang hatinya kembali dibuat utuh.

— The End —