Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member

Members

59/M/Calcutta, India    Naval Architect .

Poems

Tadi pagi kumakan anggur ungu
Buah kesukaanku
Asam manis rasanya
Tapi kulahap langsung semuanya

Taksadar ku gigit bijinya
Kecil dan tak nampak
Bergizi pun tidak
Dan kecut ternyata

Seperti rasa ini
Yang tak dihirau orang banyak
Juga kecut dihati kurasa

Tak berigizi memang
Tapi kalau tak dimakan mentah-mentah
Rasa itu takkan ada matinya
Malah hanya terbuang dan terinjak
Dan berakhir dipembuangan
Terlintas begitu saja
Sendu yang merana ingin segera hilang eksistensinya.

Aku merasakannya melalui deburan sayap-sayap imajinerku: lambat, lembam, berat, dan lekat.
Kabur dari kejaran mendung yang membayang di antara kepakku, pundi-pundi udaraku rasanya ingin kubakar saja. Kepada tangan-tangan Malam yang mulai menggelepar kelelahan, menyerahlah.
Diam kau, Rindu! Kunantikan Pagi hanya untuk berkubang dalam realitas yang menyejukkan tembolokku ini.

Sebuah transkripsi dari sunyinya Pagi, aku ingin bercinta dengannya. Ia juga menginginkanku. Aku lah Burung Gereja yang mengisi setiap jeda bisu dari upacara sakral pergantian periode. Aku tahu Pagi merindukanku. Aku tahu Pagi menantiku untuk duduk di pangkuannya dan menunduk, menghormati, dan pada akhirnya bersanding dengannya.

Biji mentari mulai retak. Fiksi-fiksi kemerahan mulai bersemi di ufuk timur. Burung Gereja yang munafik ini pun segera menertawakan Malam (mengapa ia terdiam saja? Mengapa ia tidak mengejarku? Ah sudahlah, mungkin ia akhirnya sadar) dan melesat dalam sudut lurus ke arah ranumnya penghujung subuh.

Segera ketika mendarat di antara embun pagi hari yang terkondensasi, jemari Pagi meraih wajahku. Merasuk hingga retinaku menjerit dalam sukacita. Bulba olfaktori yang menghirup segala nikmat dalam sejuknya nafas kabut (berbau mint, capucinno hangat yang dituang dalam cangkir marmer, dan pelukan hangat sepasang kekasih dalam satu ranjang untuk pertama kalinya) meronta dalam adiksi akan ciuman pertama Pagi kepada diriku. Lalu perlahan sinarnya mulai meraba tubuhku; dengan lembut dan penuh kasihlah Pagi selalu bersikap. Pelan tapi pasti, ia mulai menelanjangiku sampai pada suatu titik hingga aku sadar bahwa aku hanyalah sebuah bias eksistensi.

Aku ini tiada.

Aku ini bukan siapapun.

Akulah Sendulah yang merana!

Rindu mulai menjerat kaki-kakiku. Kemanakah benteng-benteng diksi verbal yang selalu kulontarkan dalam hipokrit tiada seekor Rindu pun yang boleh menggerayangi diriku! Aku berteriak meminta derma asih agar tidak terseret Malam yang tiba-tiba duduk dalam singgasananya sambil tersenyum penuh kemenangan. Aku tidak boleh kembali ke dalam Malam! Bagian bawah tubuhku seakan sudah menyerah dalam keadaan, tetapi lenganku meronta menjulur ke arah Pagi.

Yang kini tiada.

Yang memberikan harapan semu terbiaskan oleh lampu jalanan

Yang rupanya hanyalah delusi

Dari sebuah Sendu

Yang memunafikkan masa lalu dengan bersandar pada peluh masa depan

Yang rupanya hanyalah delusi
"Kepada seluruh mantan kekasih yang berusaha mencari pelarian"
ZZ  Mar 2018
Tandus
ZZ Mar 2018
TANDUS

Ketika kamu sudah mulai terbiasa, apa yang bisa memaksa?
Segala bentuk, bahkan segala hal yang buruk rupa Yang kau benci pada mulanya
Sekarang kau menikmatinya, bukan?

Apa yang tumbuh di dalam sana?
Di tanah yang mati kelihatannya.
Yang tak pernah berharap ada biji yang tumbuh disana
Tak ada buah yang diinginkan Hanya tanah tandus tanpa harapan

Betapa hebatnya waktu, bermain diatas hati manusia.
Mencoret, daan sekenanya menghapus tanpa mengizinkanku untuk memilih.
Kenapa tanah itu tak terus tandus saja?
Entah dari mana datangnya biji emas itu.
Yang hanya menimbulkan keserakahan dan kedengkian hati manusia.

Cuma aku sekarang disini.
Diatas tanah subur yang dulunya tandus Ditengah bunga bunga yang sedang merekah.
Jadi gagak hitam yang mematuki biji emas.
Antara berusaha mengukir emas dengan paruh tuanya
Atau berpikir emaslah sisa hidupnya. Dua-duanya mustahil.

Tanah yang tandus itu sendiri, tak juga bergeming dari bubungan harapan.
Menanyakan ketulusan, dimanakah letaknya?
14 Dec 2014,
juga dipost di halaman www.tintaqabila.wordpress.com/poems