Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
"Senja dan jingga kembali bertemu,
aksara tentang rindu terlantun hingga senja kembali ke peraduannya.
Ada jeda diantaranya yang tak bisa dieja, gelap meleyapkan, bulan menggantikan.."

Surabaya, 31 Juli 2019
Noandy Jan 2017
Sebuah cerita pendek*

Saat itu mereka sering menonton Mak Lampir di televisi, dan mulai memanggil wanita yang merupakan nenek kandungnya dengan nama yang sama.

Nenek itu punya nama, dan jelas namanya bukan Lampir. Tapi apa pedulinya anak-anak itu dengan nama aslinya? Mereka tak pernah mendengar nama nenek disebut. Mereka sendiri yatim-piatu, dan dahulu, orangtuanya tak pernah mengajarkan nama nenek mereka. Tapi begitu melihat Mak Lampir di teve, mereka langsung mendapat ide untuk memanggil nenek sebagai Mak Lampir. Rambutnya nenek putih panjang dan tiap malam dibiarkan terurai, ia sedikit bungkuk dengan kedua tangan yang terlihat begitu kuat dan cekatan. Matanya senantiasa melotot—bukan karena suka marah, tapi memang bentuknya seperti itu. Yang terbaik dari nenek, meski giginya menghitam sudah, nenek selalu berbau harum karena suka meramu minyak wanginya sendiri. Mereka tidak takut melihat Mak Lampir—mereka justru kagum karena sosok itu mengingatkan pada nenek yang selalu menjaga mereka.

Si nenek sama sekali tidak keberatan dengan julukan itu, ia malah merasa nyaman. Disebut sebagai Mak Lampir membuatnya merasa seperti orang tua yang sakti, hebat, dan serba bisa. Nenek adalah Mak Lampir baik hati yang selalu mengabulkan permohonan cucu-cucunya, serta memberi mereka wejangan. Jenar dan Narsih sayang dan berbakti pada nenek. Nenek—yang sekarang berubah panggilan menjadi Mak—adalah dunia mereka. Dua gadis itu dapat menghapal tiap lekuk pada keriput Mak, menebak-nebak warna baju apa yang akan dipakai Mak pada hari mendung, bahkan mereka ingat betul kapan saja uban-uban Mak mulai bermunculan.

Mak awalnya tidak menyukai, bahkan hampir membenci, dua anak gadis yang harus diurusinya. Ia terlalu tua untuk melakukan hal ini lagi. Wanita  yang sudah tak ingat dan tak ingin menghitung usianya lebih memilih kembang-kembang di taman ketimbang Jenar dan Narsih.  Mak lebih memilih segala tanaman yang ada di rumah kaca sederhananya ketimbang dua cucunya.

Tapi saat sedang menyirami bunga matahari dan membiarkan Jenar serta Narsih bergulingan tertutup tanah basah, Mak merasa seolah ada yang membisikinya, “Sama-sama dari tanah, sama-sama tumbuh besar. Dari tanah, untuk tanah, kembali ke tanah.” Wangsit itu langsung membawa matanya yang sudah sedikit rabun namun tetap nyalang pada sosok dua cucunya yang sudah tak karu-karuan, menghitam karena tanah.

Sejak saat itulah Mak menganggap Jenar dan Narsih sebagai kembang. Sebagai kembang. Sebagai kembang dan seperti kembang yang ia tanam dan kelak akan tumbuh cantik nan indah. Harum, subur, anggun, lebur. Perlahan Mak mulai meninggalkan kebun dan rumah kacanya, perhatiannya ia curahkan untuk Jenar dan Narsih, yang namanya Mak singkat sebagai Jenarsih saat ingin memanggil keduanya sekaligus. Jenarsih dijahitkannya baju-baju berwarna, diberi makanan sayur-mayur yang sehat, diajarkannya meramu minyak wangi, bahkan diberi minum jamu secara terjadwal sebagaimana Mak menyirami bunga.

Kebun Mak perlahan-lahan melayu dan makin sayu. Saat matahari mengintip, tidak ada bebunga yang tergoda untuk mekar. Semuanya redup dan meredup, mentari pun meredup pula di kebun Mak. Karena sirnanya kembang dan embun, Mak tak lagi bisa memetik dari kebunnya untuk membuat wewangian khasnya. Mak jadi sering menyuruh Jenarsih untuk memborong bunga.

Tapi sebagaimana ada gelap ada terang, selepas kebun yang muram, kau akan memasuki beranda rumah di mana matahari tak henti-hentinya bersinar. Bagian dalam rumah yang ditinggali seorang nenek ranum dan cucu-cucunya itu melukiskan hari cerah di musim penghujan.

Di musim penghujan
Di musim penghujan
Musim penghujan
Membawa mendung dan kabut yang menyelubungi mentari.

Narsih jatuh sakit, ia terbatuk-batuk dan memuntahkan darah
Darah merah
Darah
Merah
Jenar selalu di sisinya dan melarang Mak untuk mendekat karena takut tertular.

Mak, meski tak lagi dapat menghitung umurnya, mati-matian menawarkan Jenar agar mau digantikan oleh Mak saja. Umur Mak tak bakal sebanyak Jenar, mending Mak saja yang di sisi Narsih, katanya. Tapi Jenar tak mau tahu, ia lebih memilih berada di sisi kembarannya ketimbang menuruti perkataan Mak yang biasanya tak pernah ia bantah. Semenjak itu mentari tak lagi menyembul. Kebun telah mati, rumah kaca tak lagi rumah kaca, beranda dingin, dan setiap hari adalah penghujan yang tak pernah mau pergi.

Hijau dan jingga hangat berubah menjadi rona kehitaman dalam hijau pucat. Ranting-ranting serta daun memenuhi jalan. Sesekali Mak mengantarkan makanan ke depan pintu kamar Jenarsih, tapi sebagian besar usia senjanya kini dihabiskan mengurung diri di kamarnya setelah Jenar ikut membatukkan darah.

Di suatu sore Mak tidak memperdulikan apapun lagi. Ia menghambur masuk ke kamar Jenarsih dan bersimpuh di bawah kasur kedua cucunya. Jenarsih tak punya tenaga lebih untuk menghalangi Mak, mereka hanya punya satu permintaan. Satu keinginan yang kira-kira dapat membuat mereka merasa lebih baik.

Dengan tersengal-sengal,
“Mak Lam, Jenar dan Narsih ingin bunga matahari.”
“Akan Mak belikan segera di pasar kembang.”
“Ndak mau, Mak. Ingin yang Mak tanam seperti dulu.”
“Nanti menunggu lama,”
“Kami ingin itu, Mak.”

Mak tak membalas berkata. Hanya mengangguk lemas dan bergegeas meninggalkan kamar kedua cucunya, bunga yang telah layu. Di tengah hujan, dengan punggung sedikit bungkuk, tangan yang kuat, wanginya yang digantikan oleh bau tanah, dan gigi yang menghitam meringis menahan tangis, Mak Lampir berusaha menghidupkan kembali kebunnya yang mati. Mak Lampir seolah mau, dan dapat membangkitkan yang mati.

Tapi Mak Lampir tak dapat menyembuhkan.

Segera dibelinya bibit bunga matahari, dan di tanam dalam rumahnya yang kini sunyi.

Mak Lampir sudah tak dapat mengolah minyak bunga yang membuatnya selalu harum,
Sudah tak dapat meminta Jenarsih untuk membeli bunga yang mewarnai rumah mereka,
Sudah tak dapat melihat warna selain hijau, hitam, dan coklat.

Mak Lampir, menangisi kebun yang dahulu ditinggalkannya.

Apa untuk mendapatkan sesuatu selalu harus ada yang dikorbankan? Dan kini kebun, kembang, ranting, dan rumah kaca menuntut balas?
Diam-diam Mak menyelinap ke kamar Jenarsih, diambilnya darah cucu kesayangannya dan ia gunakan untuk menggantikan wewangian yang kini tak dapat ia buat lagi—salah satu cara yang ia gunakan untuk mengingatkannya bahwa Jenarsih masih ada bersamanya.

Mak Lampir sudah tak tahu berapa lama waktu berlalu selama ia hanya memperhatikan bunga matahari milik Jenar dan Narsih. Bunga itu, entah karena apa, tak dapat tumbuh. Mungkin Mak telah kehilangan tangan hijau dan kemampuannya untuk berkebun. Mak kembali ke rumah dan melihat Jenar serta Narsih masih terlelap tak bergerak, lalu ia ambil lagi sebotol kecil darah untuk menjaga wangi tubuhnya.

Ia tahu itu akan membuatnya sakit, dan hal ini akan dapat membuatnya merasakan penderitaan Jenarsih. Wanita tua yang rambut putihnya memerah karena darah kedua cucunya itu terheran-heran mengapa ia tak merasakan sakit di manapun kecuali di hatinya. Pedih di hati saat melihat Jenarsih.

Dibelinya lagi lebih banyak tanah dan bibit bunga matahari. Mak Lampir harus menemukan ramuan yang tepat untuk menumbuhkan bunga matahari yang sempurna. Bunga matahari hasil tanamnya sendiri yang akan membuat Jenarsih baikan. Mak tidak membawa jam, apalagi kalender. Mak hanya mengandalkan matahari untuk menyirami bunga mataharinya sendirian di rumah kaca kecil kumal sambil memakan dedaunan kering.

Di tengah malam, Mak yang kuat menitikkan air mata pada ***-*** bunga matahari di hadapannya. Berbotol-botol kecil minyak wangi dari darah Jenar dan Narsih perlahan ia teteskan pada *** yang tak kunjung berbunga juga. Perlahan, perlahan, perlahan. Lalu lambat laun menyesuaikan dengan jadwal menyiram bunga matahari yang seharusnya.

Dari tanah kembali ke tanah,
Dari tanah untuk tanah,
Dari tanah kembali ke tanah.

Desir angin menggesekkan dedaunan, membuat Mak mendengar bisikan itu lagi dan terbangun.
Mak mengusap matanya yang seolah mencuat keluar dan melihat bunga-bunga matahari berkelopak merah menyembul, mekar dengan indah pada tiap potnya. Hati mak berbunga-bunga. Bunga matahari merah berbunga-bunga. Matahari Jenarsih berbunga-bunga.

Tangan kuat Mak segera menggapai dan mencengkram dua *** tanah liat dan ia berlari memasuki beranda rumah yang pintunya telah reot. Dari jauh sudah berteriak, “Jenar, Narsih, Jenarsih!!”
Mak seolah mendengar derap langkah dari arah berlawanan yang akan menyambutnya, tapi derap itu tak terdengar mendekat. Maka berteriaklah Mak sekali lagi,

“Mak bawa bungamu Jenarsih! Bunga matahari merah yang cantik!”

Lalu Mak dorong dengan pundaknya pintu kamar Jenarsih yang meringkik ringkih,
Mak terdiam memeluk *** bunga,
Jenarsih terlelap seperti terakhir kali Mak meninggalkannya,

Sebagai tulang belulang semata.

                                                            ///

Aku menutup laptop setelah menonton ulang episode Mak Lampir Penghuni Rumah Angker yang aku dapat dari internet—episode yang membawaku kembali ke masa kecil saat Misteri Gunung Merapi masih ditayangkan di teve, dan aku menonton dengan takut. Di tengah kengerianku, ibu malah menceritakan kisah tentang Mak Lampir dan bunga matahari yang diyakininya sebagai kisah nyata.

Sekarang episode sinetron itu tak lagi membuatku bergidik, malah tutur ibu yang masih membekas. Kisah itu seringkali terulang dalam alam pikirku, terutama saat melirik rumah reot tetangga di ujung jalan yang dipenuhi dengan bunga matahari merah.


Januari, 2017
Waktu aku kecil
Dunia adalah kubus empat belas inci
Yang menayangkan gambar warna-warni
Penuh imajinasi
Waktu aku kecil
Dunia adalah permen loli warna pelangi
Merah jingga kuning hijau biru nila ungu menari
Rasanya manis seperti senyum mentari
Waktu aku kecil
Dunia adalah bulir-bulir air hujan
Yang jatuh mengaliri selokan
Disambut riang tawa kawan-kawan
Waktu aku kecil
Dunia adalah daun-daun kering
Tertiup angin ketika fajar menyingsing
Lalu berputar seperti gasing
Waktu aku kecil
Apalah arti politik dan ekonomi
Tak mengerti sengketa dan perang sana-sini
Yang aku mau boneka Barbie!
Sekarang..
Waktu dan Aku sudah tidak kecil lagi
Waktu tambah berisi
Aku bertambah tinggi
Harus lalui gejolak emosi
Tak bisa bicara seenak hati
Harus menyadari
Banyak tanggung jawab masih menanti
Waktu..
maukah berputar bersamaku?
Biarkan angin bertiup
Kembali ke masa itu
Joshua Soesanto Jun 2014
aku ingin teriak
menghilangkan penat yang semakin memberat
sendiri tanpa wujud manusia bersama malam, mengelapkan bumi
titik terang seperti tidak berpihak di antara hati dan jiwa bergejolak
mimpi semakin jauh

satu cerita seperti gambaran perjalanan hidup
mengarah kepada kematian jiwa
keraslah
keringlah
seperti akar hasrat yang haus akan hujan nurani sebuah sosok

lalu makin penuhlah pikiran dengan kotoran suara "omong kosong"
puisi jingga yang kata banyak orang sebagai makna dari "hidup"
kapankah sebuah imajinasi berwujud nyata?
bertumbuh, bermutasi sebagai bagian dari mimpi yang pernah ada

sepertinya kopi dan rokok pun sudah bosan
mendengar celoteh sang pemberontak
tapi, mereka selalu ada
suntikan darurat adrenaline ke otak

disaat itulah..
aku membunuh tuan waktu
lupa reluk, remuk.
siraman spiritual kepada luka-luka nanah di masa muda

mungkinkah kopi berwujud manusia?
*apakah ia bidadari? *
dan
mengapa aku menanti dia mati?

ternyata benar
kematian adalah sebuah regulasi
ia menjadi bubuk mantra.. luruslah hidup katanya
seduh
delapan puluh derajat panasnya
sebuah bisikan kata-kata "pesona"
maka meronalah ia.. berbusa senyum
cairan itu.. damai

damai
selalu damai
lima huruf memukul ingatan akan senderan hangat dada yang empuk
detak jantungnya terdengar berdebar
kembalinya mantra halus jatuh dari bibir
kata-kata tertahan yang tak sempat kembali

akan kah kembali?
mungkin.
coffeesign Jun 2013
perempuan datang atas nama cinta,
bonda pergi kerana cinta.
digenangi air racun jingga adalah wajahmu,
seperti bulan lelap tidur di hatimu,
yang berdinding kelam dan kedinginan ada apa dengannya ?
meninggalkan hati untuk dicaci,
lalu sekali ini aku lihat karya surga,
dari mata seorang hawa ada apa dengan cinta ?
tapi aku pasti akan kembali dalam satu purnama,
untuk mempertanyakan kembali cintanya.
bukan untuknya bukan untuk siapa,
tapi untukku ,
karena aku ingin kamu,
itu saja*
        
                                                 rangga
langit b Jan 2016
kau masih melukiskan jingga di kepala

bertanya pada sudut jalan yang tak pernah sepi

           “seperti apa senja di kota?”

ya seperti ini

tak dingin oleh kabut

tak terasa oleh waktu

kau akan sibuk menyeberang jalan

sebelahmu akan mati kejang – kejang

dan mereka masih akan meliput gedung

metromini memainkan dendang dengan kencang

selagi pengamen berteriak minta makan

           “dan kamu?”

mataku ini akan merah berair

           “kenapa?”

apa beda aku dengan senja di kota?
ga Dec 2017
Dalam diam kau mencari sosokku
Dekat namun tak tergapai
Aku ingin menyentuhmu
Namun kau hanyalah sebatas suara bagiku

Aku menatap wajahmu
Sorot tajam diasah sepi
Dalam kesendirianmu kau mencari sosokku
Namun aku hanyalah sebatas kenangan bagimu

Hujan yang memancing air matamu
Daun gugur yang menemani ratapanmu
Aku ingin kau melihatku
Kau ingin aku menyentuhmu
Aku ingin kau tersenyum untukku
Kau ingin aku tertawa untukmu

Waktu akan menghampiri
Tanpa bisa diingkari
Aku menemani dirimu
Walau hanya suara
Kau memberikan hangatmu
Sedih dan duka
Lalui, tidur dan lewati

Suatu hari nanti katakan padaku
Dengan suara lembutmu
Aku yang larut dalam air mata
Gemerlap berkaca-kaca  

Semburat jingga langit sore
Gelap langit malam sewarna abu
Menjadi tinta dalam hatiku
Mengukir dengan indah hari-hari itu
Saat kau bersama denganku
Oka Jan 2019
Melihatmu melukis warna
Merah cerah dan jingga
Mengangkat kedua ujung bibir
Membawa bahagia dengan sihir
Namun kini bukanlah yang lalu
Melihatmu menyobek raga
Merah darah dan infeksi
Menggebuk harapan memfana
Mengenakan topeng yang berseri
NURUL AMALIA Aug 2017
putih warna duplikat hatimu
merah merepresentasikan perasaanmu
biru unsur yang menyertaimu setiap hari, cerah!
kuning, tebaran keceriaan yang kau percik selalu
jingga, warnamu yang selalu kurindu
kau membuatku sejuk, dengan hijaumu
merah muda adalah gambaran kasih yang kau beri
akutak sedang memuji pelangi
tak juga coba memikatnya
aku tak sedang menjual kata
tanpa sadar, orang ini sedang mendeskripsikan dirimu
kau tak perlu tersipu
apalagi coba untuk membalikannya
cukup saja dengarkan
jika tak senang, bolehlah tutup saja telingamu
ga Jul 2018
Jikalau bisa
Aku ingin menuliskan untukmu sebuah puisi cinta
Tiap baitnya kupetik dari bunga-bunga layu sebelum mekar
Tiap sajaknya sendu layaknya angsana musim gugur
Dan kaupun akan bertanya "cinta apakah ini begitu menyiksa?"

Tanyakan pada nyanyian malam
Yang dilantunkan angin membelai rambutmu
Yang melukis garis wajahmu selembut sinar rembulan
Yang mangecap dingin kening dan bibirmu

Tanyakan pada rintik hujan
Yang menemanimu melewati sore
Yang mengajarimu melupakan malam
Yang membawakanmu aroma hangat padang seberang, degup berdebar dari sela-sela ilalang.

Rayulah bulan dan bawalah pulang
Renggutlah cahaya terakhir milik sang malam
Sembunyikan untaian puisinya yang sepekat hatimu,
Rangkaian kisahnya yang sehitam langitmu

Namun malam tak perlu bulan
Ketika seribu lilin berpendar sendu
Samar melampiaskan jingga
Menyala atas bara apimu
28/06/2018
Kuberikan puisi dan malamku, kau berikan senyuman manis berhias ilusimu

— The End —