Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2016
Laut Anyelir*
Sebuah cerita pendek*

Apa kau masih ingat kisah tentang laut di belakang tempat kita tinggal? Laut—Ah, entah apa nama sebenarnya—Yang jelas, itu laut yang oleh paman dan para tetangga disebut sebagai Laut Anyelir. Kau mungkin lupa, sibuknya pekerjaan dan kewajibanmu jauh di seberang sana sepertinya tidak menyisakan tempat-tempat kecil dalam otak dan hatimu untuk mengingat dongeng muram macam itu. Tapi aku ingat, dan tak akan pernah lupa. Hamparan pantainya yang kita injak tiap sore setelah bersepeda selama 10 menit menuju Laut Anyelir, angin sepoinya yang samar-samar membisikkan gurauan dan terkadang kepedulianmu yang terlalu sering kau sembunyikan, dan bau asinnya yang busuk seperti air mata.

Kau mungkin  lupa mengapa Laut Anyelir disebut demikian.

Kau juga mungkin sudah lupa ombak kecil dan ketenangan Laut Anyelir kala malam yang terkadang berubah menjadi merah darah saat memantulkan bulan serta arak-arakan awan dan bintangnya.

Iya, pantulan bulan dan bintang yang lembut pada air Laut Anyelir pada saat tertentu berwarna merah,

Semburat merah dan bergelombang,

Seperti rangkaian puluhan bunga Anyelir merah yang dibuang ke laut lambangkan duka.

Biasanya, setelah terlihat berpuluh bercak-bercak merah melebur di Laut Anyelir, akan ada sebuah duka nestapa yang menyelimuti kita semua. Mereka bilang, laut bersedih dan melukai dirinya untuk hal-hal buruk yang tak lama akan datang. Menurutku itu kebetulan saja, mungkin hanya puluhan alga merah yang mekar atau ada pencemaran.

Tapi aku masih tak tahu mengapa semua hal itu selalu terjadi bertepatan,

Dan, sudahlah, laut itu memang cocok disebut sebagai Laut Anyelir. Aku tidak berlebihan seperti katamu biasanya.

Kau sangat suka cerita sedih, mungkin sedikit-sedikit masih dapat mengingat kisah sedih dari paman yang juga tak percaya soal pertanda Laut Anyelir, cerita soal kekasihnya yang hilang saat mereka berenang di pantai sore hari ketika kemarin malamnya, air laut berwarna merah.

Benar, hari ulang tahun mereka bertepatan, dan pernikahan untuk bulan depan di tanggal yang sama juga sudah direncanakan dengan baik. Kekasih paman sangat jago dalam berenang, ia mengajari paman yang penakut dengan gigih, sampai pada sore hari ulang tahun mereka, paman mengajaknya untuk berenang di Laut Anyelir sekali lagi,

Sebagai hadiah,

Untuk menunjukkan bagaimana paman mengamalkan segala ilmu yang diajarkannya, sebagai pertanda bahwa mereka dapat berenang bebas bersama, kapanpun. Mereka memakai pakaian renang sebelum mengenakan baju santai dan berbalap sepeda ke pantai seperti yang biasanya kita lakukan. mereka langsung berhamburan ke Laut Anyelir tanpa memperdulikan desas-desus tadi pagi bahwa kemarin malam airnya berubah warna. Kekasih paman sangat terkejut dan bangga melihat jerih payahnya selama ini terbayar. Berbagai macam gaya yang ia ajarkan telah dilakukan oleh paman, dan sekarang ia akan mencoba menyelam dengan melompat dari sebuah karang tepat di tengah laut. Paman mendakinya—Ia handal mendaki, dan sekarang handal berenang—Lalu menatap kekasihnya dengan rambut kepang dua yang melihatnya begitu bahagia. Ia melompat dengan indah, dan meskipun sedikit kesusahan untuk kembali menyeimbangkan dirinya dalam air, paman akhirnya muncul dengan wajah sumringah, memanggil serta mencari-cari kekasihnya.

Tapi ia tak ada di sana,
Ia tak ada dimanapun.

Itu kali terakhir paman melihat kekasihnya, melihatnya tersenyum, sebelum akhirnya ia menemukan pita merah rambutnya terselip diantara jemari kakinya.

Malam menjelang, semua warga dikerahkan untuk mencari kekasihnya, namun sampai bulan penuh terbangun di langit dan dilayani beribu bintang yang menyihir air laut menjadi kebun anyelir, kekasihnya masih tak dapat ditemukan.

Itulah sebabnya apabila mendengar laut berubah warna lagi kala malam, paman tak akan memperbolehkan kita untuk mendekati laut sampai dua hari ke depan.

Kau bukan saudaraku—Bukan saudara kandungku. Tapi aku menganggapmu lebih dari sekedar teman, bahkan lebih dari saudara kandung atau saudara angkat. Kau bukan saudaraku, tapi paman begitu peduli padamu seperti anaknya sendiri. Sama seperti bagaimana ia menyayangiku.

Dahulu kami hanya rajin mendengarmu, tetangga pindahan, memainkan gitar di kamarmu sendirian, melihatmu dari balkon lantai 2 rumah kayu kami sampai kau akhirnya sadar dan tidak pernah membuka tirai jendelamu lagi. Mungkin kau malu, tapi kami masih dapat mendengar sayup-sayup suara gitarmu. Namun setelahnya, paman justru hobi melemparkan pesawat-pesawat kertas yang berisi surat-surat kecil. Mereka kadang berisi gambar-gambar pemandangan alam—Salah satunya Laut Anyelir—Dan surat-surat itu sering tersangkut di tralis kamarmu. Akhirnya paman memberanikan diri dan menggandeng tanganku untuk segera mengetuk pintu rumahmu, usiaku belum beranjak belasan, dan aku hobi mengenakan celana pendek serta sandal karet yang mungkin tidak cukup sopan dipakai untuk memperkenalkan diri. Tapi kalian tidak peduli, dan menyambut kami dengan ramah—Paman menceritakan bagaimana ia menyukai musik-musik kecilmu, dan mengajak kalian untuk melihat-melihat keadaan sekitar sekaligus berkenalan dengan para warga,

Paman mengajak kalian ke Laut Anyelir,

Kalian menyukainya;

Dan paman mulai bercerita soal kisah Laut Anyelir yang menghantui, serta ketakutan-ketakutan warga. Tapi ia belum menceritakan kisahnya.

Namun kalian, sama seperti kami yang menghibur diri,
Tidak peduli, dan tidak takut akan semburat merah pertanda dari Laut Anyelir.
“Benar, itu mungkin hanya kebetulan!”
Sahut kalian.

Hampir dua tahun kita saling mengenal, dan pada hari ulang tahunmu, paman mengajak kita semua untuk berpiknik di pantai Laut Anyelir pada sebuah sore yang cerah. Aku memakan lebih dari 3 kue mangkuk, bahkan hampir menghabiskan jatahmu. Tapi tidak masalah, orangtuamu juga tidak menegurku. Kau sudah menghabiskan jatah klappertaartku, dan menyisakan hanya satu sendok teh.

Apa kau masih ingat betapa cantiknya Laut Anyelir saat matahari tenggelam? Seperti sebuah panggung sandiwara yang set nya sedang dipersiapkan saat-saat menuju lampu menggelap. Matahari sirna dan berganti dengan senyum bulan di atas sana, bintang-bintang kecil perlahan mulai di gantung dengan rapih,

Dan air laut yang biru gelap berubah menjadi lembayung,

Sebelum akhirnya mereka menderukan ombak, dan terlihat bercak-bercak merah pada tiap pantulan cahaya bintang. Sekilas terlihat seperti lukisan yang indah namun sakit. Kalian tidak takut, justru takjub melihat replika darah menggenang pada hamparan lautan luas dengan karang ditengahnya. Paman langsung menyuruh kita semua untuk bergegas membereskan keranjang piknik, dan berjalan pulang diiringi deru angin malam. Ia tak memperbolehkan kita mendekati pantai esok harinya.

Esok lusanya, kedua orangtuamu pergi ke kota untuk melapor pada atasannya, kau dititipkan pada paman. Mereka berjanji untuk pulang esok harinya,

Tapi mereka tidak pulang.
Mereka tidak kembali,
Dan kita masih menganggapnya sebagai sebuah kebetulan saja.
Kau bersedih, namun tidak menangis.

Aku yang sedikit lebih gemuk darimu memboncengmu dengan sepeda merahku dan mencoba untuk menghiburmu yang terus-terusan memeluk gitar di Laut Anyelir. Aku yakin saat itu aku pasti sangat menyebalkan; terus-terusan berbicara tanpa henti dan menarik lengan bajumu dengan erat sampai kau memarahiku karena takut akan sobek.

Tapi akhirnya aku berhasil membujukmu untuk memainkan gitarmu lagi, kau tersenyum sedikit,
Dan entah kenapa aku cukup yakin kau mulai tidak menyukaiku karena terlalu memaksa;
Namun menurutku itu sama sekali bukan masalah.

Kau mulai tinggal bersama paman dan aku sejak saat itu, dan menjadi kesayangannya. Ketika kita sudah cukup dewasa ia selalu membawamu saat bekerja di toko jam—Kau sangat handal dalam merakit jam serta membuat lagu-lagu untuk jam kantung automaton dengan kotak musik—dan aku ditinggalkan sendiri untuk mengurus pekerjaan rumah. Tapi tetap saja aku tak dapat menghilangkan kebiasaanku untuk menyeretmu bersepeda ke Laut Anyelir saat senggang dan tidak bekerja; kau akan memainkan gitarmu dan aku akan entah menulis surat untuk teman-temanku atau menggambar, dan terkadang menghujanimu dengan berbagai pertanyaan yang tak pernah kau jawab.

Begitu kita kembali, paman yang biasanya akan menggantikanmu untuk bercerita dan bercuap-cuap sampai makan malam dan kita pergi tidur.

Kau orang yang pendiam,
Dan aku yakin paman kesepian.
Orang yang kesepian terkadang banyak berbicara.

Seiring usiaku bertambah, cerita menyenangkan paman terkadang berubah menjadi cerita-cerita yang pedih dan menyayat hati. Kau tak mengatakannya, tapi aku dapat melihat dari matamu bahwa kau sangat menikmati mendengar cerita seperti itu. Aku tak menyukainya, tapi aku tak akan menyuruh paman untuk berhenti bercerita demikian. Kalian berdua membutuhkannya.

Saat itulah paman menceritakan kisah tentang dirinya dan kekasihnya saat kita akan menyelesaikan makan malam. Aku kembali tidur dihantui cerita mengenai laut yang melahap kekasihnya itu. Dalam mimpi, aku seolah dapat melihat ombak darah menerjang dan melahapku. Aku tidak ingin hal itu terjadi padaku, padamu, atau pada paman. Aku mulai menghindari Laut Anyelir pada saat itu.

Bunga Anyelir,
Dalam bahasa bunga, secara keseluruhan ia menunjukkan keindahan dan kasih yang lembut, seperti kasih ibu, kebanggaan, dan ketakjuban; namun kadangkala kita tidak memperhatikan arti masing-masing warnanya—
Anyelir merah muda berarti aku tak akan pernah melupakanmu,
Anyelir merah menunjukkan bahwa hatiku meradang untukmu,
Anyelir merah gelap merupakan pemberian untuk hati yang malang dan berduka.
Kurasa semua itu menggambarkan Laut Anyelir dengan tepat.

Setelah itu paman mulai makin sering bercerita soal kekasihnya yang hilang di Laut Anyelir. Aku tidak tahu mengapa, namun sore itu kau begitu ingin untuk pergi ke Laut Anyelir dengan gitarmu. Kali ini kau yang menggeretku menuju tempat yang selama beberapa hari kuhindari itu, kau tahu bagaimana aku menolak untuk pergi, kau yang biasanya tak ingin repot bahkan sampai menyiapkan sepedaku dan mengendarainya lebih dahulu.

Aku tak ingin kau pergi sendirian, aku mengikutimu. Kurasa tidak apa, tidak akan ada apapun hal buruk yang terjadi. Lagipula kita tidak akan berenang atau berencana untuk pergi jauh setelahnya.

Aku mengikutimu menuju Laut Anyelir. Kau duduk tanpa sepatah katapun, hanya menatapku. Dan mulai memainkan Sonata Terang Bulan oleh Beethoven dengan gitarmu saat matahari menjelma menjadi bulan. Saat itu barulah aku tersadar bahwa itu hari ulang tahunku, dan kau sengaja memainkannya untukku. Malam itu kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir berbincang-bincang, meskipun aku lebih banyak berbicara daripadamu. Aku tidak membawa surat-suratku, jadi aku hanya bisa memainkan dan memelintir rambutmu sambil berkata-kata.

Kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir, dan tidak menyadari bahwa air lautnya berubah menjadi merah. Aku terkejut dan berlari seperti anak anjing ketakutan ketika menyadarinya; kau berganti menarik lengan bajuku dan berkata bahwa tidak apa, bukan masalah. Aku, kau, dan paman akan terus bersama. Mungkin Laut Anyelir berubah merah bukan untuk kita namun warga pemukiman yang lain, pikirmu.

“Jangan berlebihan, kau manja, selalu bertanya, dan terlalu membesar-besarkan sesuatu.” Katamu, sekali lagi. Itu hal yang selalu keluar dari mulutmu.

Pintu rumah kuketuk, paman membukakan. Aku terkejut ketika tahu bahwa paman sudah menyiapkan banyak makanan kesukaanku termasuk klappertaart; kali ini aku tidak memperbolehkanmu untuk memakan klappertaartku. Ternyata ini rencana kalian berdua untuk membuat pesta kecil-kecilan di hari ulang tahunku, merangkap ulang tahun paman keesokan harinya.

Paman, tidak kusangka, ingin mengajak kita untuk berenang di Laut Anyelir esok. Ia ingin mengingat masa mudanya ketika menghabiskan banyak waktu berenang bersama kekasihnya di Laut Anyelir, dan kata paman, kita adalah pengganti terbaik kekasihnya yang belum kembali sampai sekarang.

Aku tidak ingin mengiyakannya, mengingat barusan kita melihat sendiri air laut berubah warna menjadi merah darah. Tapi aku tak ingin kau lagi-lagi mengucapkan bahwa aku manja dan berlebihan. Aku menyanggupi ajakan paman. Namun aku takkan berenang, aku tidak pernah belajar bagaimana caranya berenang, dan tidak mau ambil resiko meskipun aku percaya kalau kau dan paman akan mengajariku.

Esok pagi kita berangkat dengan sepeda. Kali ini paman memboncengku, dan kau membawa keranjang piknik yang sudah kusiapkan sejak subuh serta memanggul gitarmu seperti biasa.
Begitu tiba, kau dan paman langsung menyeburkan diri pada ombak biru Laut Anyelir dan berenang serta mengejar-ngejar satu sama lain. Aku duduk di tepian air, menggambar kalian yang begitu bahagia sampai akhirnya kalian keluar dari air untuk mengambil roti lapis dan botol minum. Setelah menghabiskan rotinya, paman berdiri dan kembali ke air sambil berkata lantang,

“Aku akan mencoba menyelam dari karang itu lagi.”
Tanpa menoleh ke arah kita.
“Jangan, paman. Kau sudah tua.”
“Sebaiknya tidak usah, paman. Hari makin siang.” Kau juga mencoba menghentikannya, tetapi paman tidak bergeming. Ia bahkan tak menatap kita dan terus berenang sampai ke tengah. Kau mencoba menyusulnya dengan segera, tapi sebelum kau sampai mendekati karang,

Paman sudah terjun menyelam.

Setelah tiga menit yang terasa lama sekali, kau menunggu ditengah lautan dan aku terus memanggil paman serta namamu untuk kembali ke tepian, paman tetap tidak muncul.

Kau menyelam, menyisir sampai ke tepi-tepi untuk mencari paman, namun hasilnya nihil, dan kau kembali padaku menggigil. Aku membalutkan handuk padamu, dan meninggalkanmu untuk kembali bersepeda dan memanggil warga yang tak sampai setengah jam sudah berbondong-bondong mengamankan Laut Anyelir dan mencari paman.

Malam hari datang,
Hari perlahan berganti,
Bulan demi bulan,
Tahun selanjutnya—
Paman masih belum kembali, dan kita tak memiliki kuburan untuknya.

Kita tinggal berdua di rumah itu, kau bekerja tiap pagi dan aku memasak serta mengurus rumah. Disela-sela cucianku yang menumpuk dan hari libur, kau rupanya tak dapat melepaskan kebiasaan kita untuk bersantai di Laut Anyelir yang sudah lama ingin kutinggalkan. Aku tak dapat menolak bila itu membuatmu senang dan merasa tenang.

Dan aku bersyukur,
Selama hampir setahun penuh, sama sekali aku tak melihat air Laut Anyelir berubah warna lagi menjelang malam. Memang beberapa hal buruk sesekali terjadi, namun aku sangat bersyukur karena aku tak melihat pertanda kebetulan itu dengan mata kepalaku sendiri.

Pada suatu hari kau memberiku kabar yang menggemparkan, ini pertamakalinya aku melihat senyuman lebar di wajahmu; kau terlihat semangat, bahagia, penuh kehidupan. Kulihat para pria-pria muda di sekitar sini juga sama bahagianya denganmu. Mereka bersemangat, dan mereka bangga akan adanya hal ini karena ini adalah waktu yang tepat untuk berkontribusi kepada negara. Katamu, tidak adil bila yang lain pergi dan berusaha jauh disana sedangkan kau hanya berada di sini, memandangi laut.

Kau memohon untuk kulepaskan menjadi sukarelawan perang, dan aku menolak.
Kau memohon, aku menolak,
Kau memohon, aku menolak,
Aku menolak, kau memohon.

Dan karena aku sepertinya selalu memberatkanmu, atas pertimbangan itu, aku ingin membuatmu lega dan bahagia sekali lagi—Aku akhirnya melepaskanmu untuk sementara, asal kau berjanji untuk kembali kapanpun kau diizinkan untuk kembali.

Kau tak tahu kapan, dan aku akan selalu menunggu.

Aku akan selalu berada di sini, dengan Laut Anyelir yang berubah warna, dan hantumu serta hantu paman
Gitarmu yang selalu kau rawat,
Untuk sementara waktu aku takkan bisa menarik ujung lengan bajumu,
Dan tak akan mendengarmu memanggilku manja dan berlebihan.

Kita tidak pergi ke Laut Anyelir sore itu, begitu pula esok harinya. Kita sibuk mempersiapkan segala hal yang kau butuhkan untuk pergi, aku memuaskan menarik ujung lengan bajumu, dan menyelipkan harmonika pemberian paman yang tidak pernah bisa kugunakan untukmu.

Ia akan lebih baik bila berada di tanganmu, dan ia akan menjadi pengingat agar kau pulang ke rumah, kembali padaku.

Kita tidak melihat ke Laut Anyelir sampai hari keberangkatanmu, di mana dengan sepeda kau akhirnya memboncengku untuk pergi ke pelabuhan. Kita tidak melihat Laut Anyelir, aku tak tahu apa airnya berubah warna atau tidak.

Setelah kau naik ke kapal d
Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Hinanya Kematian Mustafa Kemal Attatürk yang Dikenal sebagai ‘Bapak Modernisasi Turki’ dari perspektif Barat, dia sebenarnya adalah tokoh yang meng’sekuler’kan dan ‘membunuh’ syiar Islam di Turki. Siapa lagi jika bukan Mustafa Kemal Attatürk yang diberi gelar Al-Ghazi (orang yang memerangi). "Attatürk" berarti "Bapak Orang Turki". Attatürk adalah orang yang bertanggung jawab meruntuhkan Khilafah Islam Turki pada tahun 1924. H.S. Armstrong, salah seorang pembantu Attatürk dalam bukunya yang berjudul Al-Zi’bu Al-Aghbar atau Al-Hayah Al-Khasah Li Taghiyyah telah menulis: "Sesungguhnya Attatürk adalah keturunan Yahudi, nenek moyangnya adalah Yahudi yang pindah dari Spanyol ke pelabuhan Salonika". Golongan Yahudi ini dinamakan dengan Yahudi "Daunamah" yang terdiri dari 600 keluarga. Mereka mengaku beragama Islam hanya sebagai identitas, tetapi masih menganut agama Yahudi secara diam-diam. Ini diakui sendiri oleh bekas Presiden Israel, Yitzak Zifi, dalam bukunya Daunamah terbitan tahun 1957. Attatürk mengubah ucapan Assalamualaikum menjadi Marhaban Bikum (Selamat Datang), melarang menggunakan busana Islam dan sebaliknya mewajibkan memakai pakaian ala Barat. Dalam tempo beberapa tahun saja, dia berhasil menghapuskan perayaan Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha serta melarang kaum muslim menunaikan ibadah Haji, melarang poligami dan melegalkan perkawinan wanita muslim dengan non muslim. Dia membatalkan libur pada hari Jum'at, melarang adzan dalam bahasa Arab dan menggantinya dengan bahasa Turki. Tindakan yang dilakukan oleh Attatürk ini nyata sekali telah memisahkan budaya Turki dari akar agama Islam dan menghapuskan Islam sebagai agama resmi negara Turki. Attatürk berusaha keras untuk menghancurkan para penentangnya. Dia membakar majelis-majelis, menangkap para pimpinan majelis dan juga mengawasi para ulama. Attatürk pernah menegaskan bahwa “negara tidak akan maju kalau rakyatnya tidak cenderung kepada pakaian modern”. Dia menggalakkan minum arak secara terbuka, mengubah Al-Quran yang kemudian dicetak dalam bahasa Turki. Bahasa Turki sendiri diubah dengan membuang unsur-unsur Arab dan Parsi. Attatürk mengubah Masjid Besar Aya Sofia menjadi gereja dan setengahnya untuk musium, menutup masjid serta melarang shalat berjamaah, menghapuskan Kementerian Wakaf dan membiarkan anak-anak yatim dan fakir miskin. Dia membatalkan undang-undang waris, faraid secara Islam, menghapus penggunaan kalendar Islam dan mengganti huruf Arab ke dalam huruf Latin. Attatürk mengganggap dirinya tuhan sama seperti firaun. Ketika itu ada seorang prajurit ditanya “siapa tuhan dan di mana tuhan tinggal?” karena takut, prajurit tersebut menjawab "Kemal Attatürk adalah tuhan”, dia tersenyum dan bangga dengan jawaban yang diberikan. Saat-saat menjelang kematiannya, Allah mendatangkan kepadanya beberapa penyakit yang membuatnya tersiksa dan tak dapat menanggung azab yang Allah berikan di dunia, diantaranya penyakit kulit dimana dia merasakan gatal di sekujur tubuh. Dia juga menderita penyakit jantung dan darah tinggi. Kemudian rasa panas sepanjang hari, tidak pernah merasa sejuk sehingga pompa air dikerahkan untuk menyirami rumahnya selama 24 jam. Attatürk juga menyuruh para pembantunya untuk meletakkan kantong-kantong es di dalam selimut untuk membuatnya sejuk. Maha Suci Allah, walau telah berusaha keras, tidak ada yang dapat mereka lakukan untuk mengusir rasa panas itu. Oleh karena tidak tahan dengan panas yang dirasakan, dia menjerit sangat keras hingga seluruh istana mendengarnya. Karena tidak tahan mendengar jeritan, para pembantunya membawa Attatürk ke tengah lautan dan diletakkan dalam kapal dengan harapan beliau akan merasa sejuk. Maha Besar Allah, panasnya tak juga hilang!! Pada 26 September 1938, dia pingsan selama 48 jam disebabkan panas yang dirasakannya dan kemudian sadar tetapi dia hilang ingatan. Pada 9 November 1938, dia pingsan sekali lagi selama 36 jam dan akhirnya meninggal dunia. Ketika itu tidak ada yang mau mengurus jenazahnya sesuai syariat. Mayatnya diawetkan selama 9 hari 9 malam, sehingga adik perempuannya datang meminta ulama-ulama Turki untuk memandikan, mengkafankan dan menshalatkannya. Tidak cukup sampai disitu, Allah tunjukkan lagi azab ketika mayatnya akan dimakamkan. Sewaktu mayatnya hendak ditanam, tanah tidak menerimanya (tak dapat dibayangkan bagaimana jika tanah tidak menerimanya). Karena tidak diterima tanah, mayatnya diawetkan sekali lagi dan dimasukkan ke dalam musium yang diberi nama EtnaGrafi selama 15 tahun hingga tahun 1953. Setelah 15 tahun mayatnya hendak dikuburkan kembali, tapi Allah Maha Agung, bumi sekali lagi tak menerimanya. Sampai akhirnya mayat Attaturk dibawa ke satu bukit dan disimpan dalam celah-celah marmer seberat 44 ton. Lebih menyedihkan lagi, ulama-ulama yang sezaman dengan Attatürk mengatakan bahwa jangankan bumi Turki, seluruh bumi Allah ini tidak akan menerimanya. Naudzubillah.
Noandy Jan 2016
Cerita Pendek Tentang Hantu*
Sebuah cerita pendek*

Anak-anak muda itu bilang bahwa Sundari cumalah hantu. Bagi mereka, Sundari sekedar cerita orang-orang tua zaman dahulu yang tak ingin anak lakinya pergi sampai larut malam. Parahnya lagi, mereka terkadang menganggap Sundari isapan jempol dan menggunakan namanya sebagai ejekan. Berbagai lelucon mereka buat untuk merendahkan Sundari,

Mereka pada saat tertentu menganggapnya seperti hewan kelaparan yang bersembunyi dan siap menerkam mereka,

Ketakutan sesaat.

Sayangnya, pada hari-hari berikutnya, Sundari malah terkadang lebih rendah daripada hewan.

Jika binatang buas dapat sewaktu-waktu muncul dan menyantap mereka dengan mudah, para pemuda justru berpikir bahwa mereka lebih tinggi dan mulia dibanding Sundari sehingga ia hanya akan menjadi segelibat penampakan.

Sundari cuma monster dan angan-angan, katanya, di zaman seperti ini mana ada hantu penculik jejaka. Pikiran anak muda memang berbeda dengan kebanyakan orangtuanya.

Padahal, Sundari sama seperti kita.

Sundari bukanlah siluman, hantu, atau makhluk mengerikan yang layak dijadikan lelucon semata.

Apalagi bahan cerita setan dan sarana menakut-nakuti bocah.

Dengar baik-baik, ia tidak terbang, ia tidak menghilang. Ah, Sundari bahkan tak punya kemampuan macam itu.

Sundari berjalan dengan dua kaki, melihat dengan dua mata, dan dapat memelukmu dengan dua tangan hangatnya. Yang mungkin berbeda adalah hati Sundari yang entah di mana sekarang. Inilah yang membuat ibu-ibu dengan anak lelaki begitu menakuti Sundari. Mereka yakin bahwa Sundari-lah yang akhir-akhir ini menculik buah hati mereka yang pergi malam, lalu menghilang selama satu minggu dan ditemukan gundul tanpa nyawa,

Tanpa hati,

Pada suatu sore yang hangat di padang ilalang dekat dusun.

Beberapa mengira bahwa Sundari adalah perwujudan pesugihan atau tumbal yang mengincar jawara-jawara muda, seperti andong-andong pocong yang dahulu sempat marak. Dahulu, pergantian kepala dusun di sini dilakukan dengan adu kekuatan. Para sesepuh percaya bahwa teh dari seduhan rambut pemuda dapat memperkuat diri dan meningkatkan kekebalan, ini menjadi salah satu spekulasi motif Sundari selain tumbal-tumbalan itu. Beberapa berpikir kalau Sundari menjual rambut lelaki muda di desa demi mendapatkan keuntungan baginya.

Kalau di antara gadis-gadis belia nan jelita yang bergelimang asmara, Sundari kerap digunakan sebagai sebutan untuk penyerebot kekasih orang. Terkadang huruf i di hilangkan, sehingga menjadi Sundar saja.

“Dasar, dia memang Sundari!”

“Padahal telah lama kita menjalin kasih, kenapa ia harus jatuh ke tangan Sundar macam dirinya!”

Apa Sundari begitu buruk hingga namanya lekat dengan orang serta kasih yang hilang?

Padahal dahulu Sundari hidup tenang,

Memang dahulu ia juga sumber perhatian,

Tapi ia hidup tenang dan dihujani kasih—

Yah, itu sebelum dusun ini akhirnya mengadili sendiri suaminya yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Menurut mereka, sangat tidak masuk akal seorang wanita pintar, seperti Sundari yang bekerja sebagai pendidik, memiliki suami yang lebih muda darinya. Pemuda berambut panjang itu hidupnya mungkin berkesan asal-asalan. Dandanannya serampangan, rambutnya berantakan dan panjang; padahal di dusun ini, sangat wajar bagi lelaki untuk memiliki rambut panjang. Banyak yang bilang tubuhnya bau tengik, dan ia jarang terlihat bekerja. Pada kedua tangannya, sering terdapat guratan-guratan warna. Berbeda dengan para petani pekerja keras yang terkadang tangannya diwarnai oleh tanah, warna-warna yang ada pada tangannya merupakan warna cerah yang tak mungkin didapatkan secara alami. Namun Sundari dan suaminya tetap dapat hidup dengan layak dan nyaman menggunakan upah mereka. Pasangan itu tak pernah meminjam uang, tak pernah mencuri.

Tak di sangka, orang-orang di dusun yang memandang bahwa agar dapat hidup berkecukupan harus digandrungi serta ditempa dengan kerja keras yang dapat dilihat oleh semua orang memandang bahwa dalam rumah tangga itu, hanya Sundari yang bekerja keras melayani suaminya. Sedangkan sang lelaki, menurut mereka, ambil enaknya saja dan kesehariannya sekedar leha-leha di teras rumah kayu mereka sambil merokok sebatang dua batang.

Mereka, terutama para bujangan, mencari-cari kesalahan pasutri bahagia itu.

Mereka kembali memanggil-manggil dan menggoda Sundari yang makin merapatkan kerudung hijau yang biasanya ia selampirkan apabila berjalan ke sekolah tiap pagi dengan kebaya sederhananya. Para bujang itu dipimpin oleh  Cak Topel yang istrinya lumpuh dan selalu ia tinggal sendiri dirumah. Mereka menungguinya tiap pulang, dan menghalangi jalannya kembali kerumah. Pernah sekali suaminya mengantarnya ke gedung sekolah reot itu, dan menungguinya sampai pulang. Sedihnya, ditengah perjalanan pulang ia babak belur dihajar  pemuda-pemuda berbadan besar itu—Setelahnya, Sundari melarangnya untuk sering menampakkan dirinya di depan warga dusun.

Yang harus dikagumi di sini adalah sifat pantang menyerah mereka. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjungkalkan Sundari dan suaminya dalam fitnah, sampai akhirnya mereka mencium sesuatu yang janggal dari rumah senyap mereka.

Bau tengik,

Ada yang bilang, jenis pesugihan macam tuyul sebagus apapun tetap akan mengeluarkan bau tengik atau busuk.

Mereka mulai menyambungkan hal ini dengan warna pada tangan suami Sundari,

“Itu tidak mungkin didapat dari bekerja di ladang.”

“Warna-warna itu pasti ramuan dukun.”

Dari situ, dapat dipastikan bagaimana Sundari dan suaminya dapat selalu hidup berkecukupan bahkan dengan uang mereka yang pas-pasan. Bujang-bujang berbadan besar itu segera menyebarkan cerita dan tuduhan-tuduhan yang membuat telinga panas. Sundari dan suaminya makin menarik diri dari warga dusun. Sundari bahkan berhenti mengajar setelah menemui kelas-kelas yang seharusnya ia ajar seringkali kosong, dan menemukan tatapan-tatapan sinis para ibu rumah tangga mengintipnya dari depan pagar kayu sekolah yang alakadarnya itu.

Entah kita harus bersyukur atau tidak, persembunyian itu tidak berlangsung lama. Pada sebuah malam bulan purnama yang lembab dan becek, Sundari melihat bola-bola cahaya dari jendela rumahnya yang ditutupi oleh anyaman jerami. Nyala api itu berasal dari berpuluh obor warga dusun yang berteriak-teriak dan menuntut Sundari dan suaminya agar mengaku bahwa mereka menggunakan pesugihan.

Sundari keluar sembari menyelampirkan kerudung hijaunya, diikuti suaminya yang rambutnya digelung tak rapih. Belum sempat mereka mengucapkan sepatah kata, para bujang menarik suami Sundari dengan menjambaknya dan melamparkannya ke tanah becek, menendangi pertunya, lalu menghajarnya seolah ia binatang peliharaan yang tak pernah patuh pada majikannya. Sundari hanya dapat menjerit dan menariki baju sejumlah laki-laki yang menghunuskan kepalannya pada tubuh kecil dan rapuh orang yang dicintainya. Setinggi apapun ia berteriak, suaranya seolah tenggelam dalam arus deras kebencian yang tak berdasar.

Jeritan untuk orang yang dikasihi itu lambat laun berubah menjadi jeritan untuk dirinya sendiri. Istri Cak Topel yang lumpuh rupanya merayap di tanah dengan sigap seolah laba-laba berkaki seribu, dan menarik bagian belakang kebaya Sundari sampai ia terjerembab ke tanah di mana ujung matanya menangkap sang suami yang rambutnya digunduli tanpa ampun dengan alat yang tak pantas. Saat menyaksikan adegan romansa sedih tersebut, wanita-wanita dusun menjambaki rambutnya, menampari pipinya dan menghajarnya tanpa ampun sambil menghujaninya dengan ludah-ludah mereka yang menasbihkan berpuluh hujatan menyayat hati. Setelah pasutri itu terkulai lemas di tanah musim hujan, barulah warga membumihanguskan mereka berdua yang tangannya tetap bergandengan.

Nasib naas, entah harus disyukuri atau tidak, menimpa suaminya yang terbakar hangus sepenuhnya. Sedangkan Sundari, dengan tubuhnya yang telah setengah terbakar, berhasil kabur dan hilang dari peredaran untuk beberapa saat.

Untuk beberapa saat,

Sampai lelaki yang menggoda, menghajar, membawa mereka pada keterpurukkan semuanya hilang satu persatu, termasuk Cak Topel.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau ronda, dan ditemukan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Orang-orang bilang bahwa ini Sundari yang menuntut balas. Meskipun entah di mana dirinya berada, ia masih tetap menghantui. Membayang-bayangi dengan perasaan bersalah yang menyakitkan bagi seluruh warga dusun,

Karena

Sundari dan suaminya tidak pernah melakukan pesugihan.

Dan, ah, itu cuma tipu muslihat para bujangan yang cemburu dan bersedih karena tak bisa mendapatkan Sundari dalam dekapan mereka sekeras apapun mereka berusaha. Entah sudah berapa lelaki dan lamarannya ditolaknya, ia justru jatuh hati pada pelukis bertubuh kecil yang sepuluh tahun lebih muda darinya.

Bagaimana amarah mereka tidak tersulut?

Seandainya warga dusun lebih mengenal bau cat dan minyak untuk melukis, mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk menuduh Sundari dan suaminya terkait pesugihan.

Ah, coba mereka masuk ke rumah kayu kecil itu sebelum main hakim sendiri. Mereka tak akan sekaget itu saat menemukan gubuknya penuh dengan cat dengan bau tengiknya, tumpukan kertas dan bahan bacaan, serta lukisan-lukisan yang masih dikerjakan.

Hilangnya para bujangan lalu diikuti dengan hilangnya murid-murid sekolah menengahnya, dan lelaki muda lainnya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan ini.

Sundari tidak berhenti.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau berjalan di pematang sawah, saat menantang diri mengaku “tidak takut dengan Sundari itu!” lalu ditemukan dengan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Sundari menyukai kerudung hijaunya yang hilang kala malam,

Kerudung tipis indah yang digunakan untuk menutupi kondenya—Yang direnggut paksa darinya lalu hangus rata dengan tanah.

Tapi Sundari lebih menyukai kehadiran,

Kehadiran suaminya dan tangannya yang bekerja melukis diam, kehadiran kerudung hijau yang melindunginya dari tatapan tajam, kehadiran murid-murid lelakinya yang dengan polos melontarkan lelucon serta godaan-godaan untuk Ibu Guru Sundari mereka, kehadiran anak-anakmu yang sombong.

Sundari menyukai kehadiran, dan itu merupakan alasan lain mengapa ia menggundul habis lelaki yang diculiknya, lalu mengupulkan rambut mereka yang ia sambung, anyam, serta kenakan dengan nyaman bak kerudung dan mantel bulu.

Maka dari itu, orang-orang yang melihatnya terkadang bilang kalau Sundari cumalah hantu; bayang-bayangnya selalu muncul dalam bentuk segumpal rambut menjelang malam.

Sundari lebih suka kehadiran,

Keadilan.

Tapi apa membalas dendam seperti ini juga salah satu bentuk keadilan?

Entahlah, ini pilihan hidup Sundari. Sudah kubilang kalau hatinya entah di mana.

Sekali lagi, Sundari bukanlah hantu. Ia manusia yang teraniaya sama seperti kita. Manusia yang disalahi.

Kalau dipikir lagi, bukannya setan terkejam adalah manusia sendiri?

Yah, itu sih sudah berpuluh tahun lalu. Entah apa jadinya Sundari sekarang. Sekarang lelaki cenderung berambut pendek, tak seperti dulu. Bayang-bayang Sundari kemungkinan tidak se beringas waktu itu, dan telah berkurang frekuensinya. Namun wanti-wanti mengenai dirinya terus ada dan berubah seiring berjalannya waktu, bervariasi.

Itu sudah
Berpuluh tahun lalu.
Mungkin sekarang ia telah jadi hantu sungguhan, atau ada perwujudan Sundari-Sundari lainnya?

Tidak masuk akal, ya?

Aneh, omong kosong, isapan jempol.

Kalau dipikir lagi, bukannya dunia ini selalu penuh omong kosong dan tangis dalam gelak tawa?
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
Aridea P Mar 2017
Palembang, 27 Maret 2017

Hari ini aku tak ingin berhenti menulis
Bagiku menulis itu sangat berarti
Aku bisa mencurahkan isi pikiranku tanpa aku harus berucap
Ucapanku terkadang tak didengar orang, kau tahu?
AH, bukan!
Ucapanku bahkan tak pernah didengar orang
Aku hanya batu, yang hanya dilangkahi orang setiap kali berjalan

Hari ini mentari bersembunyi di balik awan mendung
Namun panas teriknya masih bisa ku rasakan dikulitku
Aku hanya bisa berteduh di bawah atap kamarku
Padahal jiwa ini ingin sekali menari di bawah mentari
Padahal kaki ini ingin sekali tenggelam di pasir pantai yang kasar
Ingin sekali rasanya membawa diri ini ke air laut biru nan luas
Aku ingin sekali mengapung di air garam yang bening
Namun yang kulakukan hanya mengetik tulisan tak berarti

Hujan mulai turun
Apa daya aku hanya bisa menunggu
Aku terkurung di dalam dunia sendiri
AKu belum berani tuk berkelana sendiri
Aridea P Oct 2012
Palembang, 21 Oktober 2012

Maaf kalo aku masih cengeng
Maaf kalo aku belum bisa mengontrol emosi
Tapi aku bener-bener ga kuat
Di kala hati ingin berhadapan dengan dia
Jemariku tak kuasa tuk menari di atas keyboard
Mengetik namanya, melihat fotonya
Menahan rasa malu yang ku bangun sendiri
Menahan rasa kembali ingin mencintai
Melawan pikiran yang berusaha tuk melupakan dia

Tetapi aku mengikuti rasa yang sangat ingin
Keinginan yang mustahil
Keinginan yang seharusnya tak ada di hati
Keinginan yang seharusnya aku sudahi
Keinginan yang sudah sepantasnya tuk mati
Tetapi, malah semakin kuat setiap hari

Aku menangis lagi,
dan itu sering
Maaf sekali lagi
Noandy Jan 2017
Sebuah cerita pendek*

Saat itu mereka sering menonton Mak Lampir di televisi, dan mulai memanggil wanita yang merupakan nenek kandungnya dengan nama yang sama.

Nenek itu punya nama, dan jelas namanya bukan Lampir. Tapi apa pedulinya anak-anak itu dengan nama aslinya? Mereka tak pernah mendengar nama nenek disebut. Mereka sendiri yatim-piatu, dan dahulu, orangtuanya tak pernah mengajarkan nama nenek mereka. Tapi begitu melihat Mak Lampir di teve, mereka langsung mendapat ide untuk memanggil nenek sebagai Mak Lampir. Rambutnya nenek putih panjang dan tiap malam dibiarkan terurai, ia sedikit bungkuk dengan kedua tangan yang terlihat begitu kuat dan cekatan. Matanya senantiasa melotot—bukan karena suka marah, tapi memang bentuknya seperti itu. Yang terbaik dari nenek, meski giginya menghitam sudah, nenek selalu berbau harum karena suka meramu minyak wanginya sendiri. Mereka tidak takut melihat Mak Lampir—mereka justru kagum karena sosok itu mengingatkan pada nenek yang selalu menjaga mereka.

Si nenek sama sekali tidak keberatan dengan julukan itu, ia malah merasa nyaman. Disebut sebagai Mak Lampir membuatnya merasa seperti orang tua yang sakti, hebat, dan serba bisa. Nenek adalah Mak Lampir baik hati yang selalu mengabulkan permohonan cucu-cucunya, serta memberi mereka wejangan. Jenar dan Narsih sayang dan berbakti pada nenek. Nenek—yang sekarang berubah panggilan menjadi Mak—adalah dunia mereka. Dua gadis itu dapat menghapal tiap lekuk pada keriput Mak, menebak-nebak warna baju apa yang akan dipakai Mak pada hari mendung, bahkan mereka ingat betul kapan saja uban-uban Mak mulai bermunculan.

Mak awalnya tidak menyukai, bahkan hampir membenci, dua anak gadis yang harus diurusinya. Ia terlalu tua untuk melakukan hal ini lagi. Wanita  yang sudah tak ingat dan tak ingin menghitung usianya lebih memilih kembang-kembang di taman ketimbang Jenar dan Narsih.  Mak lebih memilih segala tanaman yang ada di rumah kaca sederhananya ketimbang dua cucunya.

Tapi saat sedang menyirami bunga matahari dan membiarkan Jenar serta Narsih bergulingan tertutup tanah basah, Mak merasa seolah ada yang membisikinya, “Sama-sama dari tanah, sama-sama tumbuh besar. Dari tanah, untuk tanah, kembali ke tanah.” Wangsit itu langsung membawa matanya yang sudah sedikit rabun namun tetap nyalang pada sosok dua cucunya yang sudah tak karu-karuan, menghitam karena tanah.

Sejak saat itulah Mak menganggap Jenar dan Narsih sebagai kembang. Sebagai kembang. Sebagai kembang dan seperti kembang yang ia tanam dan kelak akan tumbuh cantik nan indah. Harum, subur, anggun, lebur. Perlahan Mak mulai meninggalkan kebun dan rumah kacanya, perhatiannya ia curahkan untuk Jenar dan Narsih, yang namanya Mak singkat sebagai Jenarsih saat ingin memanggil keduanya sekaligus. Jenarsih dijahitkannya baju-baju berwarna, diberi makanan sayur-mayur yang sehat, diajarkannya meramu minyak wangi, bahkan diberi minum jamu secara terjadwal sebagaimana Mak menyirami bunga.

Kebun Mak perlahan-lahan melayu dan makin sayu. Saat matahari mengintip, tidak ada bebunga yang tergoda untuk mekar. Semuanya redup dan meredup, mentari pun meredup pula di kebun Mak. Karena sirnanya kembang dan embun, Mak tak lagi bisa memetik dari kebunnya untuk membuat wewangian khasnya. Mak jadi sering menyuruh Jenarsih untuk memborong bunga.

Tapi sebagaimana ada gelap ada terang, selepas kebun yang muram, kau akan memasuki beranda rumah di mana matahari tak henti-hentinya bersinar. Bagian dalam rumah yang ditinggali seorang nenek ranum dan cucu-cucunya itu melukiskan hari cerah di musim penghujan.

Di musim penghujan
Di musim penghujan
Musim penghujan
Membawa mendung dan kabut yang menyelubungi mentari.

Narsih jatuh sakit, ia terbatuk-batuk dan memuntahkan darah
Darah merah
Darah
Merah
Jenar selalu di sisinya dan melarang Mak untuk mendekat karena takut tertular.

Mak, meski tak lagi dapat menghitung umurnya, mati-matian menawarkan Jenar agar mau digantikan oleh Mak saja. Umur Mak tak bakal sebanyak Jenar, mending Mak saja yang di sisi Narsih, katanya. Tapi Jenar tak mau tahu, ia lebih memilih berada di sisi kembarannya ketimbang menuruti perkataan Mak yang biasanya tak pernah ia bantah. Semenjak itu mentari tak lagi menyembul. Kebun telah mati, rumah kaca tak lagi rumah kaca, beranda dingin, dan setiap hari adalah penghujan yang tak pernah mau pergi.

Hijau dan jingga hangat berubah menjadi rona kehitaman dalam hijau pucat. Ranting-ranting serta daun memenuhi jalan. Sesekali Mak mengantarkan makanan ke depan pintu kamar Jenarsih, tapi sebagian besar usia senjanya kini dihabiskan mengurung diri di kamarnya setelah Jenar ikut membatukkan darah.

Di suatu sore Mak tidak memperdulikan apapun lagi. Ia menghambur masuk ke kamar Jenarsih dan bersimpuh di bawah kasur kedua cucunya. Jenarsih tak punya tenaga lebih untuk menghalangi Mak, mereka hanya punya satu permintaan. Satu keinginan yang kira-kira dapat membuat mereka merasa lebih baik.

Dengan tersengal-sengal,
“Mak Lam, Jenar dan Narsih ingin bunga matahari.”
“Akan Mak belikan segera di pasar kembang.”
“Ndak mau, Mak. Ingin yang Mak tanam seperti dulu.”
“Nanti menunggu lama,”
“Kami ingin itu, Mak.”

Mak tak membalas berkata. Hanya mengangguk lemas dan bergegeas meninggalkan kamar kedua cucunya, bunga yang telah layu. Di tengah hujan, dengan punggung sedikit bungkuk, tangan yang kuat, wanginya yang digantikan oleh bau tanah, dan gigi yang menghitam meringis menahan tangis, Mak Lampir berusaha menghidupkan kembali kebunnya yang mati. Mak Lampir seolah mau, dan dapat membangkitkan yang mati.

Tapi Mak Lampir tak dapat menyembuhkan.

Segera dibelinya bibit bunga matahari, dan di tanam dalam rumahnya yang kini sunyi.

Mak Lampir sudah tak dapat mengolah minyak bunga yang membuatnya selalu harum,
Sudah tak dapat meminta Jenarsih untuk membeli bunga yang mewarnai rumah mereka,
Sudah tak dapat melihat warna selain hijau, hitam, dan coklat.

Mak Lampir, menangisi kebun yang dahulu ditinggalkannya.

Apa untuk mendapatkan sesuatu selalu harus ada yang dikorbankan? Dan kini kebun, kembang, ranting, dan rumah kaca menuntut balas?
Diam-diam Mak menyelinap ke kamar Jenarsih, diambilnya darah cucu kesayangannya dan ia gunakan untuk menggantikan wewangian yang kini tak dapat ia buat lagi—salah satu cara yang ia gunakan untuk mengingatkannya bahwa Jenarsih masih ada bersamanya.

Mak Lampir sudah tak tahu berapa lama waktu berlalu selama ia hanya memperhatikan bunga matahari milik Jenar dan Narsih. Bunga itu, entah karena apa, tak dapat tumbuh. Mungkin Mak telah kehilangan tangan hijau dan kemampuannya untuk berkebun. Mak kembali ke rumah dan melihat Jenar serta Narsih masih terlelap tak bergerak, lalu ia ambil lagi sebotol kecil darah untuk menjaga wangi tubuhnya.

Ia tahu itu akan membuatnya sakit, dan hal ini akan dapat membuatnya merasakan penderitaan Jenarsih. Wanita tua yang rambut putihnya memerah karena darah kedua cucunya itu terheran-heran mengapa ia tak merasakan sakit di manapun kecuali di hatinya. Pedih di hati saat melihat Jenarsih.

Dibelinya lagi lebih banyak tanah dan bibit bunga matahari. Mak Lampir harus menemukan ramuan yang tepat untuk menumbuhkan bunga matahari yang sempurna. Bunga matahari hasil tanamnya sendiri yang akan membuat Jenarsih baikan. Mak tidak membawa jam, apalagi kalender. Mak hanya mengandalkan matahari untuk menyirami bunga mataharinya sendirian di rumah kaca kecil kumal sambil memakan dedaunan kering.

Di tengah malam, Mak yang kuat menitikkan air mata pada ***-*** bunga matahari di hadapannya. Berbotol-botol kecil minyak wangi dari darah Jenar dan Narsih perlahan ia teteskan pada *** yang tak kunjung berbunga juga. Perlahan, perlahan, perlahan. Lalu lambat laun menyesuaikan dengan jadwal menyiram bunga matahari yang seharusnya.

Dari tanah kembali ke tanah,
Dari tanah untuk tanah,
Dari tanah kembali ke tanah.

Desir angin menggesekkan dedaunan, membuat Mak mendengar bisikan itu lagi dan terbangun.
Mak mengusap matanya yang seolah mencuat keluar dan melihat bunga-bunga matahari berkelopak merah menyembul, mekar dengan indah pada tiap potnya. Hati mak berbunga-bunga. Bunga matahari merah berbunga-bunga. Matahari Jenarsih berbunga-bunga.

Tangan kuat Mak segera menggapai dan mencengkram dua *** tanah liat dan ia berlari memasuki beranda rumah yang pintunya telah reot. Dari jauh sudah berteriak, “Jenar, Narsih, Jenarsih!!”
Mak seolah mendengar derap langkah dari arah berlawanan yang akan menyambutnya, tapi derap itu tak terdengar mendekat. Maka berteriaklah Mak sekali lagi,

“Mak bawa bungamu Jenarsih! Bunga matahari merah yang cantik!”

Lalu Mak dorong dengan pundaknya pintu kamar Jenarsih yang meringkik ringkih,
Mak terdiam memeluk *** bunga,
Jenarsih terlelap seperti terakhir kali Mak meninggalkannya,

Sebagai tulang belulang semata.

                                                            ///

Aku menutup laptop setelah menonton ulang episode Mak Lampir Penghuni Rumah Angker yang aku dapat dari internet—episode yang membawaku kembali ke masa kecil saat Misteri Gunung Merapi masih ditayangkan di teve, dan aku menonton dengan takut. Di tengah kengerianku, ibu malah menceritakan kisah tentang Mak Lampir dan bunga matahari yang diyakininya sebagai kisah nyata.

Sekarang episode sinetron itu tak lagi membuatku bergidik, malah tutur ibu yang masih membekas. Kisah itu seringkali terulang dalam alam pikirku, terutama saat melirik rumah reot tetangga di ujung jalan yang dipenuhi dengan bunga matahari merah.


Januari, 2017
So Dreamy May 2017
Hari itu hari Sabtu. Dan, aku sedang ulangtahun.

Sepi. Hanya terdengar suara tetesan air dari keran yang lupa ditutup rapat di wastafel dapur. Desiran angin yang menggesek dedaunan di halaman belakang. Bambu angin yang bersiul di teras rumah tetangga sebelah. Jalanan beraspal yang kosong. Terpaan sinar matahari. Mangkuk beling yang diketuk penjual makanan keliling. Suara jarum detik jam dinding.
Dalam diam aku menunggu. Mahesa belum juga datang. Duduk di atas sofa, perlahan kulahap sekantung keripik kentang, suara iklan di televisi kini menjadi musik latar yang mengisi siang terikku yang sepi ini. Lupakan fakta bahwa kakakku, Mas Kekar, adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulangtahunku. Ucapan ulangtahunnya tiba tadi pagi pukul tujuh lewat pesan suara. Kalau ada Nenek, ia pasti akan membuat kue tar dan nanti malam kami akan duduk melingkar di atas meja makan, menyantapnya bersama-sama sambil minum teh lemon. Sayangnya, sekarang rumahnya jauh; di surga.
Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Satu notifikasi baru, ada satu pesan masuk. Dari Mahesa, katanya ia akan sampai lima menit lagi. Baiklah, akan kutunggu dengan sabar. Walaupun ia bilang akan menjemput pukul setengah dua belas ― aku sudah menunggunya sejak pukul sebelas lewat, sekarang pukul satu, dan lima menit lagi ia akan datang. Menghabiskan waktu seharian bersama Mahesa selalu menjadi momen istimewa bagiku, membuat jantung jumpalitan tak karuan, dan berakhir tersenyum-senyum sendiri setiap kali sebelum memejamkan mata di atas tempat tidur pada malam hari. Singkatnya adalah orang ini selalu membuatku bahagia, sadar atau tidak sadar dirinya, ialah sumber kebahagiaanku. Bulan dan bintang bagi malamku.
OK. Kubalas pesannya, lalu kubuka pesan-pesan lain yang mungkin belum kubuka. Tidak ada pesan lain atau telepon. Belum ada telepon dari Ayah ataupun pesan singkat. Entah kapan ia akan pulang. Entah kapan ia akan menyempatkan diri membuka kalender, teringat akan sesuatu, dan mengucapkan, “Selamat ulangtahun.”.
Aku berjanji tidak pernah ingin jadi orang yang hidup tanpa memiliki waktu.
Bel berbunyi dan pintu diketuk. Spontan, aku merapikan rambut, memakai tas selempang, dan bangkit. Kusiapkan senyum terbaik untuk menyambut Mahesa. Setelah pintu kubuka, senyumku langsung sirna. Mang Ijang, tukang pos daerah kami yang malah muncul.
“Siang Mbak Maura, ada tiga surat buat Bapak,” dia menyerahkan tiga surat berbentuk persegi panjang yang sangat familiar bagiku. Sudah berpuluh, bahkan mungkin ratusan kali aku menerima surat macam ini sejak lima tahun terakhir. Kubaca nama perusahaan yang tertera di kop surat itu. Masih sama seperti biasanya; bank, perusahaan listrik, perusahaan telepon.
“Tandatangan di sini dulu, Mbak,” Mang Ijang menyerahkan pulpen dan sebuah kertas tanda terima surat. Setelah kutandatangani, ia pergi.
Kubuka surat itu satu per satu sambil duduk di kursi teras. Surat-surat tagihan, seperti biasa. Hampir dua bulan rupanya Ayah tidak membayar tagihan telepon. Aku bahkan tidak berselera lagi membaca nominalnya. Aku menghela napas dan memandangi jalanan kosong di depan rumah. Kuputuskan untuk memakai earphone, memilih playlist di aplikasi musik, menunggu Mahesa di kursi teras sambil ditemani angin semilir.
5 menit.
Everything is Embarrassing – Sky Ferreira.
10 menit.
Please, Please, Please, Let Me Get What I Want – The Smiths.
15 menit.
Love Song – The Cure.
Dua puluh menit kemudian, Mahesa datang. Senyumku seketika merekah, walaupun ia terlihat begitu lelah. Kaos polo abu-abunya basah oleh keringat, dahinya dibanjiri keringat, napasnya terengah-engah dengan ritme yang tak beraturan. Aku duduk di sampingnya yang memegang kemudi dan masih bisa mencium wangi parfumnya samar-samar, meskipun tujuh puluh persennya sudah bercampur dengan semerbak peluh. Tapi, siapa peduli? Menurutku, ia tetap mengagumkan.
“Maaf lama, Ra. Tadi ada urusan penting yang mendadak,” katanya sambil memilih-milih saluran radio. 19.2, saluran radio yang khusus memutarkan musik-musik indie dan jadul. Mungkin ini salah satunya mengapa sejak awal aku tertarik dengan manusia yang satu ini dan berujung benar-benar mengaguminya, kami menyukai jenis musik yang sama. “Jadi, ke mana kita hari ini? Dan, akan mengobservasi apa?”
Kubuka catatan jadwal terakhir kami, “Hmm. Hari ini jadwal kita ke galeri seni kontemporer yang ada di sebelah balai kota dan pameran seni di hotel Metropolite. Kita bakal mengobservasi lukisan kontemporer supaya bisa membandingkan dengan jenis lukisan yang lain.”
Kamu benar, sesungguhnya ini hanyalah sekadar tugas kelompok bahasa Indonesia. Mungkin bagi Mahesa begitu, tapi bagiku bukan sama sekali. Kuanggap ini sebuah kebetulan yang ajaib. Kebetulan kami sekelompok. Kebetulan kami berdua sama-sama tidak masuk di hari ketika guru Bahasa Indonesia kami membagikan kelompok dan kami masuk ke dalam kelompok terakhir, kelompok sisa. Kebetulan kami memilih tema seni lukis dan belum ada kelompok lain yang mengambil topik itu. Kebetulan dua anggota kelompok kami yang lainnya tidak bisa diandalkan, yang satunya sakit berat dan yang satunya lagi sudah dikeluarkan dari sekolah sejak bulan lalu. Kebetulan hanya aku dan Mahesa yang tidak bermasalah. Maka, hanya kami berdua yang selalu jalan ke tempat-tempat untuk mengobservasi. Sejak saat itu, aku percaya akan keajaiban.
---
Semuanya berawal dari pertemuan singkat kami di minggu keempat kelas sebelas. Oke, ralat, bukan sebuah pertemuan lebih tepatnya, melainkan hanya aku yang memandanginya dari jauh. Namun, itu satu-satunya kejadian yang mungkin dapat memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana perasaan ini bisa muncul. Bukan secara tidak sengaja dan spontan seperti yang biasa kau dapatkan di adegan jatuh cinta pada film-film romansa norak, tetapi adeganku sederhana, penuh kehati-hatian, dan perlahan.
Kelas sebelas adalah tahun yang cukup sulit bagiku. My dad was busy more than ever—well, until now dan itu tahun pertama Mas Kekar menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Dia diterima di salah satu universitas negeri ternama di Bandung, jadi hanya pulang ke rumah setiap akhir bulan. Aku punya waktu sendirian di rumah dengan jumlah yang berlebih.
In that year, my friends left me. Ghia pindah ke luar kota dan Kalista bergabung dengan anak-anak populer sejak mendaftar sebagai anggota baru di tim pemandu sorak. Kami hanya makan siang bersama pada beberapa hari di minggu pertama sekolah, setelah itu dia selalu dikelilingi dan menjadi bagian dari kelompok cewek-cewek pemakai lip tint merah dan seragam yang dikecilkan. Aku mengerti, barangkali dia memang menginginkan posisi itu sejak lama dan citra dirinya memang melejit pesat, membuat semua leher anak cowok melirik barang beberapa detik setiap ia berjalan di tengah koridor. Lagipula, jika ia sudah mendapatkan status sosial yang sangat hebat itu, mana mungkin dia masih mau berteman dengan orang sepertiku? Maura, the average one, yang selalu mendengarkan musik lewat earphone, yang lebih banyak menyantap bekal di dalam kelas pada jam istirahat. Aku hanya masih tidak paham bagaimana seseorang yang semula kau kenal bisa berubah menjadi orang lain secepat itu.
Tapi, hal lainnya yang cukup melegakan di tahun itu adalah aku bertemu dengan Indira. Kami berkenalan pada hari Senin di minggu kedua kelas sebelas, hari pertama dia masuk sekolah setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit karena DBD. Begitu melihatku duduk sendirian di baris paling belakang, dia buru-buru menghampiri sambil bertanya, “Sebelahmu kosong?”. Sejak itulah kami berteman.
Indira dan teman-temannya biasa menghabiskan makan siang di bangku koridor lantai satu yang menghadap ke lapangan, bukan di kantin. Walaupun secara harfiah aku bukan salah satu bagian dari kelompok pertemanan mereka, Indira selalu mengajakku bergabung dan orang-orang baik itu rupanya menerimaku.
Di bangku koridor itu kali pertama aku memerhatikan anak laki-laki yang bermain bola setiap jam istirahat kedua. Hanya ada dua-tiga orang kukenal, itu juga karena mereka teman sekelasku sekarang atau di kelas sepuluh, sementara selebihnya orang asing bagiku. Di antaranya ada yang berperawakan tinggi, rambut tebal, rahang yang tegas. Aku hanya belum tahu siapa namanya waktu itu.
Selanjutnya, aku bertemu dengan laki-laki itu di kantin, sedang duduk bersama beberapa cowok yang tidak kukenal, tertawa lepas. Mungkin karena aku jarang ke kantin, aku baru melihatnya di sana waktu itu. Pada acara demo ekskul, aku melihat dia lagi. Bermain bass di atas panggung. Anggota klub musik rupanya. Pemain bass. Pada hari-hari berikutnya, aku lebih sering melihatnya berjalan di koridor depan kelasku, kadang sendirian dengan earphone, kadang ada beberapa temannya. Anak kelas sebelas juga rupanya, jurusan IPS juga. Hari-hari berikutnya, selalu kutengokkan kepala ke jendela setiap kali ia lewat di depan kelasku. Aku penasaran, kenapa mataku tidak pernah melihat orang semenarik dia sebelumnya? Dan, kenapa dia hanya muncul di tempat dan saat-saat tertentu, seperti saat istirahat, masuk sekolah, dan jam pulang? Hari-hari berikutnya, berpapasan dengannya membuatku senang sekaligus semakin penasaran. Dia anggota klub fotografi juga, aktif, sering memimpin rapat anggota di kantin sepulang sekolah, dan ternyata karyanya banyak dipublikasikan di majalah sekolah. Dari situ aku tahu namanya, Mahesa.
---
“Geser ke kanan sedikit. Bukan, bukan, sedikiiit lagi. Sedikiiit, oke, pas!”
Sebagai dokumentasi, Mahesa memotret beberapa lukisan dari berbagai angle dan beberapa kali memintaku untuk berpose ala-ala tak sadar kamera. Tentu saja aku pasti bersedia, selalu bersedia. Dia juga merekam keadaan sekitar dalam bentuk video, yang katanya, bakal dia edit menjadi super artsy.
“Percaya sama gue, kita bakal jadi tim paling keren yang menghasilkan dokumentasi paling berseni, Ra,” kata Mahesa sambil tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya.
Destinasi terakhir kami—pameran lukisan yang sedang digelar selama seminggu di hotel Metropolite—akan tutup sepuluh menit lagi, tepat pukul tujuh malam. Setelah terakhir kalinya Mahesa merekam keadaan pameran dan beberapa pengunjung yang masih melihat-lihat, baterai kameranya habis. Sebelum pulang, Mahesa bilang dia tahu tempat makan enak di sekitaran sini. Jadi, kami mampir untuk mengisi perut dengan soto ayam dan berbincang-bincang sebentar, setelah itu baru benar-benar pulang.
Di perjalanan pulang, derai hujan turun perlahan. Karena rumah kami terletak di pinggiran kota, jadi kami harus melalui jalan tol atau kalau tidak, akan lebih jauh. Mahesa memencet-mencet tombol radio, mencari saluran nomor 19.2, tapi setelah mendengar acara yang dibawakan penyiar radio, dia langsung mengganti asal saluran radio yang lain. Saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu pop kekinian yang sedang hits.
“Sekali-kali dengerin genre lain, ya, Ra,” katanya sambil menginjak rem. Jalanan seketika padat merayap di depan kami. Mungkin karena hujan mulai deras, jalanan mulai tergenang, orang-orang mengemudi dengan lebih hati-hati.

(bersambung.)
to be continued.
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
“ Hari ini ku mati,
Perlahan...
Tubuhku ditutup tanah.
Perlahan...
Semua pergi meninggalkanku...

Masih terdengar jelas langkah² terakhir mereka,
Aku sendirian,
Di tempat gelap yang tak pernah terbayang,
Sendiri,
Menunggu pertanyaan malaikat...

Belahan hati,
Belahan jiwa pun pergi.
Apa lagi sekedar kawan dekat atau orang lain.
Aku bukan siapa-siapa lagi bagi mereka...

Sanak keluarga menangis,
Sangat pedih,
Aku pun demikian,
Tak kalah sedih...

Tetapi aku tetap sendiri,
Di sini, menunggu perhitungan.
Menyesal sudah tak mungkin.
Tobat tak lagi dianggap,
Dan maaf pun tak bakal didengar,
Aku benar-benar harus sendiri...

Ya Allah...
Jika Engkau beri aku 1 lagi kesempatan,
Jika Engkau pinjamkan lagi beberapa hari milik-MU,
Untuk aku perbaiki diriku,
Aku ingin memohon maaf pada mereka...

Yang selama ini telah merasakan dzalimku,
Yang selama ini sengsara karena aku,
Tersakiti karena aku...

Aku akan kembalikan jika ada harta kotor ini yang telah kukumpulkan,
Yang bahkan kumakan,
Ya Allah beri lagi aku beberapa hari milik-Mu,
Untuk berbakti kepada Ayah & Ibu tercinta...

Teringat kata-kata kasar & keras yang menyakitkan hati mereka,
Maafkan aku Ayah & Ibu, mengapa tak kusadari betapa besar kasih sayangmu,

Beri juga ya Allah aku waktu untuk berkumpul dengan keluargaku,
Menyenangkan saudara-saudaraku..
Untuk sungguh-sungguh beramal soleh.

Aku sungguh ingin bersujud dihadapan-Mu lebih lama lagi..
Begitu menyesal diri ini.
Kesenangan yang pernah kuraih dulu,
Tak ada artinya sama sekali...

Mengapa kusia-siakan waktu hidup yang hanya sekali itu...?
Andai aku bisa putar ulang waktu itu...

Aku dimakamkan hari ini,
Dan ketika semua menjadi tak termaafkan,
Dan ketika semua menjadi terlambat,
Dan ketika aku harus sendiri...
Untuk waktu yang tak terbayangkan sampai yaumul hisab & dikumpulkan di Padang Mashar...

Puisi Almarhum "Bang Remy Soetansyah,"
"ANDAI HARI INI AKU DIMAKAMKAN"

DariNya kita datang, kepadaNya kita kembali…

Assalamu’laikum sahabat..

Innalillahi wa innaa ilaihi raaji'uun telah kembali ke rahmatullah Olga Syahputra kemarin jum'at sore di Rumah sakit Singapura, Oki turut berduka sedalam2nya, dan do’akan bersama semoga Olga Syahputra di terima iman islamnya dilapangkan kuburnya, di tempatkan di tempat terindah di syurga, keluarga yg di tinggalkan di beri kesabaran..aamiin..al-fatihah..

Bagi kita yg di tinggalnya tentunya bisa jadi pelajaran bahwa maut datang kapan saja tidak bisa kita prediksi , bisa satu tahun lagi, sebulan lagi, satu hari lagi atau sedetik lagi..hidup di dunia ini hanyalah sementara..

Aku dan dunia ibarat orang dalam perjalanan menunggang kendaraan, lalu berteduh di bawah pohon untuk beristirahat dan setelah itu meninggalkannya. (HR. Ibnu Majah)

Rasulullah menyadarkan kepada kita selaku umatnya akan pendeknya waktu hidup di dunia itu, namun waktu yang sangat pendek itu sangat-sangat bermanfaat, sehingga harus diisi dengan hal-hal yang sangat bermanfaat…

Sahabat pesan Olga kepada adiknya, untuk selalu melaksakan ibadah sholat 5 waktu jangan pernah di tinggalkan...selalu berbuat baik....
Noandy Jan 2016
Pondok Pancawarna*
Sebuah cerita pendek*

Apa aku harus menyesal pindah rumah? Tak ada anak seumuranku di sini. Tak ada penjual susu yang lewat tiap pagi, atau gelak tawa dari permainan sore hari. Aku sedih, tapi itu bukan masalah besar, mungkin. Toh tahun depan usiaku beranjak 15 tahun, aku tak punya waktu untuk banyak bermain. Rambut keritingku yang dipelihara ibu ini juga nantinya akan kupotong, aku tak mau berulangkali dikira sebagai perempuan di tempat tinggalku yang baru.

Tahun depan usiaku 15 tahun, dan aku takkan punya waktu untuk banyak bermain lagi. Aku ingin menghabiskan sisa usiaku dengan bermain di jalanan sampai sore hari. Sayangnya lingkungan ini terlalu asing untukku. semua jalannya terlihat sama dan terlalu besar, terlalu banyak rumput liar dari rumah-rumah kosong yang jaraknya terlalu jauh, dan dedaunan pohon menjuntai bak rambut kasar nenek tua.

Sayangnya lingkungan ini terlalu asing,

Dan aku tak punya pilihan lain selain menjelajahinya
Dengan senang hati.
Jangan bilang ibuku.

Ibu dan mbah selalu melarangku berjalan sendirian di luar saat pagi-siang-sore-malam semenjak pindah ke rumah yang terlalu besar ini, terlalu sepi ini. Mungkin untuk alasan keamanan. Aku tidak sebodoh itu untuk harus bertanya kenapa. Dan karena aku tidak sebodoh itu, aku tidak menyukai cara mereka—Wanti-wanti dari mereka agar aku tak berkeliaran sendiri.

Mereka bilang dahulu jalan besar di depan sana adalah tempat tengkorak para jawara-jawara pembela negara dikuburkan, dan tiap sore akan terlihat pria-pria muda dengan baju berlumur darah merokok serta makan-makan daun sambil bermain catur di pinggiran jalan.

Mbah tambah berkata kalau di perempatan sebelah rumah ini, apabila aku bermain sendirian, aku akan dikejar-kejar oleh serdadu kompeni tak berkepala yang akan menebas kepalaku, atau membawaku untuk disembunyikan.

Aku tak takut pada hantu-hantu bekas perang itu, aku juga tak tertarik pada mereka.
Kesalahan ibu dan mbah, dalam menakut-nakutiku, adalah menceritakan sebuah kisah yang, entah benar atau tidak, justru membuatku tertarik untuk mendekati sumbernya.

Di ujung gang, yang jalannya sedikit menurun, terdapat sebuah rumah kayu yang dijuluki oleh warga sekitar sebagai Pondok. Padahal, menurutku bentuknya tidak seperti Pondok. Rumah itu tidak buruk, justru didepannya terdapat taman besa. Sebuah gerbang mawar besar memagarinya; di taman indah itu, hanya terdapat lima jenis bunga bermekaran. Aku tak tahu jenisnya apa saja, yang kuingat dari cerita itu, pokoknya terdapat warna merah, ungu, biru, kuning, dan yang paling aneh, sebuah mawar hitam. Aku tak tahu bagaimana mawar hitam dapat tumbuh di tempat seperti ini. aku bahkan tak tahu kalau ada mawar yang berwana hitam.

Mereka menyebut rumah itu Pondok,
Pondok Pancawarna.
Pondok milik seorang pelukis yang kata orang-orang kakinya buntung.

Karena tak memiliki objek untuk dilukis, dan tak bisa keluar mencarinya, mereka bilang pelukis itu menarik gadis-gadis kecil dengan bunga yang indah di tamannya, lalu menyekap mereka dalam Pondok itu sampai ia puas melukisnya. Hal ini diceritakan setelah aku mendengar pembicaraan ibu saat membeli sayur pagi hari 2 minggu lalu, setibanya dirumah aku langsung menanyakannya soal cerita itu.
Seram?

Aneh, bukan seram. Memangnya seorang pelukis baru bisa melukis bila ada objeknya?

Kalau ingin membuatku berhenti berkeliaran dan bermain sampai larut malam di daerah baru, seharusnya mereka memberi alasan yang bagus dan masuk akal. Bukan malah menakut-nakutiku dengan sesuatu yang ditakuti anak perempuan.

Nah, malam ini aku akan menyelinap. Aku ingin mencari tahu mengenai pelukis itu; lumayan, aku dapat mencari kesenangan disela malam-malam yang selama ini selalu jenuh.

Setelah aku yakin ibu dan mbah terlelap dengan memperhatikan apa semua lampu sudah mati, aku melepas baju tidurku dan mengambil kemeja lengan pendek putih yang kupakai tadi pagi, celana pendek hitam, dan suspender yang biasanya kupakai setiap hari. Aku keluar lewat—Ini sebenarnya jendela atau pintu, sih? Bentuknya seperti jendela, terlalu besar, dan memiliki gagaing pintu—Aku keluar lewat jendela-pintu di kamarku yang langsung mengantarku ke serambi kanan rumah yang terlalu besar ini. Tanpa sepatu, aku berlari-lari kecil ditemani lampu jalan yang remang-remang dan rambut pohon yang menjuntai menuruni jalanan lebar nan sepi, menuju Pondok Pancawarna di ujung jalan.

Aku sampai didepan pagaarnya. Pagar besi hitam yang ditengahnya terdapat gerbang dari semak-semak mawar. Aku mendorog pagar yang ternyata tidak terkunci itu, berderit pelan, dan perlahan masuk. Kenapa tidak dikunci? Apa memang ia bertujuan untuk menarik anak-anak yang penasaran kemari? Dan sekarang, sejauh mata memandang dibawah bulan sabit yang temaram, aku hanya melihat hamparan taman bunga yang indah didepan sebuah rumah kayu tua yang mulai berlumut. Seperti kata mereka, dalam remang aku dapat melihat bahwa bunga didalam sini hanya memiliki 5 warna—mawar, yang jelas, bunga sepatu, lavender, violet—Entah apa lagi, aku hanya mengenali itu. taman ini terlihat makin gelap karena tak ada bunga yang berwarna putih. Aku mengambil sebuah ranting panjang yang patah, dan mengibas-ngibaskannya seolah itu adalah pisau untuk memotong dahan-dahan yang menghalangi jalan, aku seorang penjelajah.

Aku melihat taman dari ujung-ke-ujung, sampai akhirnya berhenti ketika aku mencoba untuk mencari jalan menuju belakang Pondok—
Di sana lah aku melihatnya,
Dengan sebuah lampu ublik yang ia letakkan di sebelah cagak kanvasnya,
Ia duduk pada sebuah kursi roda kayu,
Sambil terus melukis dan menoleh ke arahku.
“Nak?”
Ia memutar kursinya,
Dan kakinya tak ada—Tak ada dalam artian, benar-benar tak ada. Seolah tak ada apa-apa lagi setelah bagian bawah perutnya.
“Sedang apa kau kemari? Tak ada yang berani kesini, lho.”
Ia tidak tua seperti yang kubayangkan, tidak setua mbah, dan mungkin hanya beberapa tahun di atas ibu. Kemeja biru bergarisnya terlihat kusam di bawah mata sabit rembulan.
Aku terus mengayun-ayunkan ranting yang kupegang.
“Tak apa, aku hanya penasaran. Kukira bapak cuma sekedar cerita. Ibu dan mbah biasanya menakut-nakutiku.”
“Apa menurutmu aku terlihat seperti orang jahat?”
“Tidak. Bapak terlihat seperti—”
“Ya?”
“Orang sedih, pak.”
“Lho, mengapa?”
“Karena bapak melukis  sendirian jauh dari orang. Aku punya teman yang selalu menggambar sendirian saat sedih.”
Bapak itu hanya tertawa. Dan memanggilku untuk melihat lukisannya lebih dekat.
“Ada apa dengan kakimu, pak?”
“Ini Memento Mori. Kau tahu apa itu?”
“Apa itu?”
“Pengingat kematian.”
Aku melihat lukisannya—Seperti tamannya, aku hanya mengenali lima warna pada lukisannya.
“Datanglah lagi bila kau mau. ”

Ketika aku datang esok pagi, setelah beli sayur bersama ibu dan mbah, (aku menyelinap setelah mereka masuk ke rumah) ia tak ada disana. Aku mencoba kembali malam hari, dan saat itulah aku sadar bahwa ia selalu melukis tiap malam, dan entah berada di mana saat pagi. Aku mulai mengunjunginya tiap hari, tiap minggu, sewaktu kesepian dan suntuk melandaku.

Aku mulai hafal pola-pola lukisannya, gurat-guratan garisnya yang abstrak. Ia tidak pernah menggunakan warna yang tidak ada pada tamannya, seolah cat yang ia dapat berasal dari bunga-bunga yang ia tanam. Yang ia hancurkan, dan renggut warnanya.
Pada suatu malam yang anehnya tidak dingin, justru sedikit hangat, ia bertanya,
“Apa yang kau lihat di lukisan-lukisanku, nak?”
“Hmm.. Apa ya.. Warna yang dicampur-campur.. Lima warna.. Garis putus-putus..”
“Ini warna-warna dan suara masa lampau.”
Aku menatapnya penasaran,
“Kau masih ingat Memento Mori?”
“Pengingat kematian?”
“Kakiku yang hilang ini bukan hanya pertanda agar aku selalu mengingat kematian. Tapi agar aku tak bisa melupakan, dan meninggalkan masa lampau.”
“Maksud bapak, agar tak bisa meninggalkan tempat ini juga?”
“Ya, ini tempat dimana aku kehilangan banyak hal, kehilangan orang-orang yang kukasihi. Aku ingin tetap bersama jiwa mereka di Pondok ini. Rumah tua reot kami yang sudah lumutan.”
“Apa ini ada hubungannya dengan bunga yang hanya memiliki lima warna?”
Ia meletakkan kuasnya dan memutar kursi rodanya menghadapku, lalu melonggarkan kerah kemeja putih lusuhnya; aku lebih suka kemejanya yang biru bergaris.
“Aku dahulu tinggal dengan empat orang anakku, dan istriku. Ia sangat suka berkebun, dan menanam enam bunga sesuai warna kesukaanku kami. Ia sangat cantik, tak banyak memikirkan soal dirinya. Pada suatu hari, nak, ketika ia pergi ke pasar pagi buta, mendung semilir, dan aku masih menemani anak-anak yang belum terbangun—Badai terjadi. Kami lindung didalam rumah sedangkan—Entah apa jadinya pada istriku dan ibu-ibu yang ke pasar pada pagi hari. Yang kutahu, ketika hujan mulai reda dan semuanya kembali seperti sedia kala, taman kami sudah tak berbentuk, kacau. Pepohonan semua tumbang, jalan-jalan dipenuhi lumpur, dan entah berapa lamapun aku menunggu,
Ia tak kembali dari pasar pagi itu.
Cuaca sangat buruk, dan untuk keluarga di daerah terpencil seperti ini, flu bukanlah penyakit yang mudah, nak.”
“Kau kehilangan keempat anakmu karena flu, pak?”
“Tepat sekali, dan setelahnya, aku mencoba menghidupkan mereka dalam warna-warna yang mereka sukai. Lima warna yang mereka gemari di pekarangan kasih ini. Tapi entah bagaimanapun, mawar putih yang kutanam untuk istriku, di tanah hitam yang sedih dan lembab ini, mendadak menunjukkan bercak-bercak hitam yang makin menyebar ke seluruh kelopaknya. Seolah alam bahkan tak mengizinkanku untuk mengenang dan bertemu lagi dengannya,
Seolah kami takkan pernah bersatu lagi.”
“Aku tak tahan, nak. Aku ingin pergi dari sini. Tapi jika aku pergi, siapa yang akan merawat bunga-bunga ini dan mengenang, mengasihi mereka di gelap sana? Aku berusaha keras mengurungkan niatku, dan untuk memaksa diriku agar tak pergi,
Aku memotong kedua kakiku.”
“Apa tetangga-tetanggamu tak berpikir kau gila, pak?”
“Tentunya. Hal terakhir yang kuingat dari mereka hanyalah kursi roda kayu ini.”
“Mereka menuduhmu menculik anak-anak.”
“Aku tak pernah menculik mereka, mereka datang sendiri, dan aku memperlakukan anak-anak itu sepantasnya.”
“Dasar, gosip ibu-ibu.”
Cerita mengerikan itu terus menghantuiku. Tapi aku tak dapat berhenti mengunjunginya. Aku kasihan padanya, bapak itu pasti kesepian;

Sama sepertiku.

Setahun hampir berlalu, dan minggu depan usiaku akan menginjak 15 tahun. Aku akan dikirim untuk tinggal bersama ayah di ibu kota, dan harus meninggalkan tempat ini.
Aku mengkhianati keinginanku untuk tidak banyak bermain dan mulai menjadi anak yang serius,
Aku tidak ingin kehidupan dewasa yang terlihat sepi dan penuh sesak serta hambar,
Aku masih ingin bermain.

Semalam sebelum ulang tahunku, aku melesat ke Pondok Pancawarna. Aku bersembunyi diantara semak bunga biru sampai pak pelukis menemukanku.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
“Sembunyikan aku, pak! Sampai dua hari ke depan?”
“Apa? Mengapa? Mbah dan ibumu akan mencarimu!”
“Aku tak ingin jadi orang dewasa yang sedih dan membosankan, aku masih ingin bahagia dan bermain! Besok lusa ayah akan menjemputku, dan aku harus ikut dengannya untuk belajar di ibu kota—Dengan seragam yang pucat dan kehidupan yang ketat.”
“Bukannya kau pernah bercerita akan memotong rambut keritingmu itu dan berhenti bermain-main.”
“Itu hanya untuk menghibur sepiku—”
“Jangan membohongi dirimu, nak.”

Aku menoleh melihat lukisannya—Lukisan yang biasanya abstrak. Meskipun tidak jelas, aku dapat melihat bahwa itu adalah lukisan Pondok ini, dengan hamparan taman harum dan 4 anak yang bermain riang bersama orangtua mereka, berlarian di pekarangan.

“Kuharap aku dapat bersenang-senang seperti yang lukisanmu itu.”
“Hei, ayolah, jangan murung. Kau harus senang dapat bersama orangtuamu.”
Aku hanya membenamkan wajahku dalam lututku.
“Baiklah, kau boleh menginap untuk dua hari ke depan.”

Pak pelukis menggiringku masuk sambil memutar roda kursinya; ia mempersilahkanku untuk tidur di kamar anaknya, dan minum teh malam sebelum terlelap. Aku biasa melakukannya dengan ibu, mbah, dan ayah; tapi semenjak pindah kemari dan ayah harus berada di ibu kota, ibu dan mbah tidak lagi mengajakku minum teh sebelum tidur

Keesokan harinya aku terbangun, cahaya matahari menyinari jendela kamar yang sedikit berdebu ini, namun terlihat lebih indah dan menarik daripada tadi malam. Mainan dan buku berserakan dibawahnya. Kakiku sedikt nyeri saat tak sengaja menginjak empat batang krayon yang tergeletak di karpet. Aku mencari pak pelukis, tapi sebelum menemukannya aku mendengar tawa riang anak-anak.

Aku berlari ke pintu depan yang letaknya kuraba-raba; aku tak tahu. Tadi malam kami masuk lewat pintu belakang. Pintu depan berhasil kucapai, dan dengan melindungi mataku dari sinar matahari pagi, aku beranjak keluar untuk melihat sebuah keluarga bahagia; empat orang anak dan sepasang suami istri bermain, berlari riang pada sebuah pelataran mengenakan mahkota bunga.
Sang ayah, dengan kemeja biru bergarisnya dengan mudah kukenali,
Itu pak pelukis, tapi ada yang berbeda dengannya.
Ia berdiri pada kedua kaki, dan berdansa dengan riang bersama istri serta anak-anaknya,
Tangannya terulur, ia mengajakku untuk bergabung dengannya,
Dan aku menyambutnya.

Kami berdansa, berdendang, dan makan enak sepanjang hari. Saat malam, aku mencoba untuk melewati gerbang mawar dan mengintip keadaan rumahku; tapi tak bisa. Yang kulihat selepas gerbang mawar adalah hamparan taman yang sama, lebih besar dan luas dari ini.

Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, tapi tak bisa.
Seolah ada kain kasar tebal yang membatasi antara aku dan taman selanjutnya.

Keesokan harinya kami masih bermain, bersenang-senang. Aku semakin akrab dengan empat orang anak yang pakaiannya berwarna sesuai dengan kesukaan mereka, dan dapat dengan mudah mengambil hati istri pak pelukis.
Tapi, malam ini,
Saat aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, di depan tirai kain tebal itu;
Yang kulihat adalah wajah ibu.
Wajah ibu, mbah, dan ayah yang panik serta berteriak seolah memukul-mukul tirai kain.
Aku menoleh ke belakang,
Istri pak pelukis memanggilku untuk makan malam.
Pagi hari setelahnya kami masih terus berdendang, dan berbahagia bersama. Tapi ini sudah esok lusa, dan aku harus pulang karena pasti ayah sudah kembali ke ibu kota dan tak akan ada yang mengambilku lagi.
Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, didepan tirai kain tebal itu;
Aku masih tak dapat melewatinya,
Tapi sekarang aku tak melihat taman bunga, ataupun wajah ibu dan mbah yang terlalu dekat—
Aku melihat ruang tamu rumahku,
Dengan ibu, mbah, dan ayah duduk termenung menundukkan kepalanya.
Aku menoleh ke belakang,
Pak pelukis mengajakku bermain lagi; empat anaknya, serta beberapa anak lain, berlari mengejar, menarik tanganku untuk tinggal bersama mereka.

Tinggal dan berbahagia di Pondok Pancawarna untuk selamanya.
Sorry for writing in my native language lately ^^
Diadema L Amadea Jun 2021
aku susun susun batu
kujadikan sebuah benteng
cukup kuat untuk beberapa waktu

malam malam ada yang mengunjungiku
datang datang memakai lonceng
cukup gaduh jadinya tidurku

coba kututup telingaku
sial! tambah keras itu suara lonceng!
sulit tidur, akhirnya kubangkit untuk cari tau

dari benteng, kuambil sepotong batu
terlihat sesosok manis tersenyum lebar
bukan main, tidak karuan hatiku


kutanya,
"kenapa kamu kesini?"
"aku ingin mengajakmu main, sepertinya akan seru"
"aku tidak mau, aku lelah"
"ayolah, nanti kita memetik buah beri liar di hutan"
"aku lelah, lagipula siapa kamu?"
"nanti kamu aku gendong. aku gabungan dari semangka dan tembakau, salam kenal"
"aku tidak tanya kamu itu apa tapi siapa kamu!"

lalu sosok itu mengambil beberapa batu yang ada di benteng
"aku gabungan semangka dan tembakau, ayo ikut!"
tanpa lama, sosok itu mengambil tanganku dan dibawanya lari menuju dalamnya hutan
lalu aku? akupun juga heran kenapa tidak ada penolakan
rambutnya yang tertiup angin hutan dan terkena cahaya matahari yang samar samar masuk dari banyaknya daun membuatku tersenyum sembari ikut berlari bersamanya

"sudah sampai!"

sosok itu tersenyum lebar dan puas

"katanya kamu akan menggendong aku, mana?"
"hehe maaf, lupa. habis saking semangatnya sih.. tunggu sini ya aku akan memetik beri"
"aku tidak ikut?"
"tidak usah, kamu istirahat di bawah pohon itu saja nanti aku menyusul"

akupun duduk dan bersender dibawah pohon besar itu
terlihat antusias sekali, padahal hanya memetik beri

"lucu"

kalimat itu keluar dengan mudah dari mulutku
tunggu, kenapa aku pikir dia lucu?
dia hanya gabungan semangka dan tembakau
itu aneh, dasar gila

"ini sudah selesai, ayo makan"

nyaman sekali berada dekatnya
senang sekali melihat matanya
iya mata itu yang sesekali ikut tersenyum saat sosok itu menatapku
aneh lagi, rasanya hatiku mau runtuh saat itu

"sudah kenyang, ayo main lagi"
"tidak mau, aku kan bilang aku capek"
"oh baiklah, sini"

sosok itu membawa kepalaku ke pangkuannya dengan lembut dan tiba tiba

"eh?!"
"sudah tidak apa apa, kamu tidur saja nanti aku yang berjaga"
"tidak mau aku takut, aku belum kenal kamu"

kecupan manis dan sedikit pahit meluncur di bibirku
tuhan! aku seperti mau meledak

"tidak usah takut, aku pemegang rekor"
"hahahaha rekor apa? ngaco!"

suaraku mulai terbata bata namun tidak ingin terlihat gugup

"sudah ya kamu tidur saja, istirahat"

kembali ia mengusap ngusap rambutku
nyaman
hangat
tenang


"brukkk!"

suara keranjang jatuh tepat beberapa meter dibawah kakiku
aku bangun melihat sekitar

"kemana?"

semangka tembakau sudah lenyap dari pandanganku
ingin kuberanjak pulang namun tertahan

"aku masih ingin menunggu"
"tunggu, untuk apa?"
"untuk temu bodoh"
"apa gunanya temu?"
"tapi aku masih ingin menunggu"
"aku rindu"

suara suara sialan itu menyeruak didalam kepala

kududuk didekat pohon besar sambil menunggu
memakan beri yang masih tersisa sedikit di keranjang


tidak terasa sudah larut
suara suara binatang, hmm ataukah monster itu sudah bersahut sahutan

"aku takut"
"tapi aku masih ingin temu"
"aku harus menunggu"

begitulah kebodohan aku
malam malam
di hutan
sendirian
menunggu orang siapa?

akhirnya aku membangun benteng lagi
di hutan itu
walau bukan di dekat danau yang banyak suara katak dan bunga lili tapi aku coba berusaha membangun benteng lagi untuk sekedar menunggu sosok itu datang

kususun lagi
benteng barupun terbentuk
cuma bedanya
sedikit tidak nyaman karena banyak sekali batang batang pohon tajam masuk ke sela sela batu
tapi aku tetap menunggu
kususun lagi
sampai tertutup
aku masih menunggu untuk temu
belilah majalah bobo untuk melihat cerpen oki dan nirmala di swalayan terdekat!
Aridea P Aug 2014
Inderalaya, 27 Agustus 2014

Seorang gadis kebingungan di antara kerumunan orang dewasa yang asyik menikmati pesta dansa yang diadakan penguasanya
Matanya biru terang, namun jauh di lubuk hatinya, ia begitu kelam
Seorang yatim yang ditinggalkan ibundanya tuk melayani pria yang bukan pasangannya
Gadis itu terpaku, hanya sendiri di tengah-tengah manusia lain berdansa berpasangan
Namun dia hanya sendirian

Musik telah terlalu lama menyeberangi gendang telinganya
Otot-otot di kepalanya mulai berontak tuk membuat gadis itu pergi meninggalkan tempat ia berada
Namun ia hanya  diam, matanya memancar sorot sangat kebingungan
Pikirannya terbang jauh menelusuri kenangan saat ia masih balita dibawa Ayahnya pergi ke taman paling indah di negaranya
Dentuman keras kaki-kaki manusia yang masih berdansa tanpa lelah dan tanpa jeda
Menyadarkan sekali lagi bahwa gadis itu masih sendirian

Kaki gadis itu serasa tak mampu lagi tuk melangkah
Maka ia mulai membuat gerakan tak berarti pada kedua tangannya. ke kanan dan ke kiri, mengitari tubuhnya
Semakin lama gerakan tangannya semakin cepat dan kini gadis itu menari pada akhirnya
Sekali lagi, ia menari sendiri, berputar-putar bagai roda yang diputar pedal sepeda
Kini semakin cepat gadis itu berputar-putar
Semakin cepat
Semakin cepat
Semakin makin cepat
Gadis itu menutup matanya, ia bahkan dapat merasakan detakan jantungnya
Ia memutar makin cepat dan sangat cepat
Sampai akhirnya di antara putaran yang cepat itu, ia berteriak
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA­AAAAAAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRGGGGGGGGGGGGGHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH­HHHHHHHHHHHH

Ia kemudian terjatuh di pelukan Ayahnya
Sang Ayah yang telah lama pergi meninggalkannya
Sang Ayah kini kembali, namun tiada satupun manusia di sana menyadari kehadirannya
Pesta dansa terhenti dan semua pasang mata tertuju pada pemandangan tak biasa di tengah-tengah mereka
Sang Gadis sedang berdansa dengan Ayahnya

Suasana menjadi hening, hentak kaki manusia yang sedang berdansa kini benar-benar sunyi
Oh kelamnya hidup ini
Aridea P Oct 2011
Palembang, Rabu 26 Juli 2011

Aku sayang dia
Aku jaga dia sejak pertama ku milikinya
Ku genggam erat dia seakan tak ingin berpisah
Ku selalu awasi dia tak ingin kehilangannya

Dia selalu ada di setiap ku butuh
Kawan terbaik mencurahkan inspirasiku
Tak terbayang jika dia pergi tinggalkan ku
Atau hanya hilang tanpa jejak atau pesan sekalipun

Yang pertama, tak bisa terganti
Sekali sayang, dan akan terus selamanya
Perasaanku tak tercurah tanpanya
Berhari-hari aku bersamanya dengan setia

Namun di hari itu aku kecewa
Yang aku sayang yang terus aku jaga
Dia mati di kala waktunya belum tiba
Aku kecewa ketika mereka membunuhnya

Aku marah, aku kesal
Aku minta mereka mengembalikannya
Tapi yang ku dapat hanya heningan
Tanda mereka tak mau berbuat apa-apa

Aku sudah tahu jawaban mereka
Meskipun belum terucap, hanya bahasa gerak
Mereka tidak mengerti rasanya kehilangan
Mereka tidak peduli dengan perasan orang

Ku hanya ingin pertanggungjawaban
Dan kembalikan dia kembali ke genggamanku
Tolong sekali saja Kalian mngerti perasaan seseorang
Dia adalah pena ungu yang paling ku sayang

"Pena Ungu ku tinggal kenangan"
Aridea P Mar 2013
Palembang, 16 Maret 2013


Serasa aku kembali ke masa lalu
Membaca pesanmu, dan menerka bentuk wajahmu
Kamu kembali lagi
Menyirami kebun senyumku yang mekar kini
Membuatku ingin terus terjaga
Tuk menunggu pesan darimu lagi

Kini aku di sini lagi
Mengagumimu, untuk alasan yang tak pasti
Membanggakanmu, betapa kau peduli padaku
Aku hanya bayangan bagimu
Kamu hanya bayangan bagiku
Interaksi yang membuat kita jadi nyata

Aku mencintaimu,
untuk alasan yang tak masuk akal
Aku sungguh mencintaimu,
melebihi rasa yang kau berikan padaku
Aku sangat mencintaimu,
namun ku tak berharap memilikimu
Aku mencintaimu,
seperti dia mencintaimu


Dulu aku masih lugu
Menyatakan cinta padamu
Dan kau menertawakanku
hahahaha
Aku pun juga begitu

Lantas aku merasa malu,
Aku memutuskan komunikasi denganmu
Mencoba tuk berhenti mencintaimu
Berhenti mengagumimu
Ya, meski hanya beberapa bulan
Aku tak sanggup lama-lama mengacuhkanmu

"Thanks, we're friends again."
Itu kata pertama yang kamu ucapkan padaku
Setelah aku memutuskan untuk kembali mengagumimu
Mencintaimu adalah hal yang selalu membuatku rindu

Aku selalu malu jika mendapatkan pesan darimu
Aku takut selalu salah jika membalas pesanmu
Tapi ku coba apa adanya dihadapanmu
Terima kasih kamu mau menjadi temanku

Andai aku bisa mengerti perasaan ini
Aku ingin sekali saja mencintaimu, yaitu kali ini
Aku tak ingin berlama-lama mengagumimu
Itu hanya akan membawa dukaku di kemudian hari
Aku beruntung bisa mencintai orang sepertimu
Kamu tahu? Tak sedetikpun aku tidak memikirkan kamu

Andai aku bisa mengerti perasaan ini
Aridea P Nov 2011
Kau datang di saat ku menginginkanmu
Kau bagaikan menerangi hidupku
Ku tersenyum di setiap waktu
Ku selalu memikirkanmu

Kau menjauh entah mengapa
Ku tersadar bahwa ku yang memulainya
Kau tak sedetikpun berbicara
Ku hanya bisa menyesal

Ku mulai belajar tuk melupakanmu
Ku buka hati ini tuk yang lain
Namun tiba-tiba kau datang dengan sejuta kata
Entah apakah kau berpura-pura peduli pada ku

Kau menyentuh hidup ku, lagi
Kau buat aku menginginkanmu, lagi
Kau buat aku salah tingkah, lagi
Serasa tak ingin aku kehlangan mu, lagi

Kau membuat aku bersyukur pernah mengenal mu
Kau adalah hal terindah yang tak nyata yang pernah aku tahu
Kau adalah semua topik pembicaraan yang ku ceritakan
Kau adalah yang mengiringi perjalanan singkat hidup ku

Kau yang amat susah lepas dari ingatan ku
Kau yang menerangi hidup ku
Kau lah alasan aku tersenyum di setiap waktu
Kau lah yang ku harap hadir di mimpi ku

Kau...
Yang selalu aku harapkan hadir di sisi ku
Yang selalu membuatku ingin merasakan peluk mu
Yang ingin sekali mengecup bibir mu

Kau...
Yang selalu membuat aku gelisah
Yang membuat aku berusaha lebih baik
Yang membuat ku berusaha lebih pantas tuk dimiliki

Kau...
Tak pernah habis kata-kata untuk mu
Selalu ku puji dirimu
Ku ingin bisa mengatakan bahwa
Aku sangat mencintaimu

I LOVE YOU
Aridea P Jan 2012
Palembang, 31 Desember 2011

Ku tak berharap malam ini akan spesial
Mengingat kembang api tak mau memperlihatkan sinarnya
Terompet pun enggan mengumandangkan suara nyaringnya
Apalagi, arang bersumpah takkan membara malam ini

Jahat sekali mereka padaku 

Aku sudah mengira malam ini akan menjadi bosan
Ditinggal sendirian di rumah
Dilarang pergi ke rumah teman
Ditambah modem tak mau konek

Jahat sekali kalian padaku 

Baiklah
Aku hanya bisa bermimpi saja
Mendengar gemuruh kembang api
Melihat cahaya indahnya
Menghirup wangi jagung bakar
Menyantap ayam panggang
Dan ketika aku kenyang, aku tertidur

Esok pagi
Yang ku temui hanya sepi
"dasar kamu anak biadab"
sekali,dua kali aku tersakiti
sekali,dua kali aku ingin mati
sekali,dua kali aku hanya ingin disayangi

siang ini aku mati
malam ini aku mati
bulan sebagai saksi
tetes,tetes aku pun senyap
kelam hidup ini

hampa,sunyi aku tidak ingin sepi
sekali dua kali,aku tidak hidup lagi
tuhan,maaf aku tidak kuat lagi
senyap senyap jiwaku ini
ditelan oleh bumi
Fahali Machi Mar 2012
sekali kau berbicara jujur mereka akan mematahkan hati mu.

jangan pernah melihat mata mereka,

karena akan membuat perasaanmu tercabikcabik

ku rekomendasikan kau tuk jaga jarak,

karena sekali kau dapat, kau hilang kontrol. jangan pernah jatuh cinta,

simpan di lubang kesepianmu

yang dalam

ambillah pengalaman bahwa bertindak depresi adalah konyol.

jangan pernah berbicara jujur.

jangan pernah.

karena seseorang yang kau cintai akan berbuat yang sama kepadamu.

kalau mereka melepas tanganmu,

dan menjatuhkan mu,

dan kau jatuh…

kau hanya berakhir untuk berpura-pura kepada semua orang

bahwa semua tidak pernah terjadi apa-apa..

kau tahu….kadang..

tawa tersedih adalah yang terkeras.
Bintun Nahl 1453 Jan 2015
Senja djakarta enam belas januari dua ribu lima belas . di hadapan leptop , aku merangkai kata demi kata untuk menghasilkan sebuah karya yang indah . ku tatapi sekelilingku ... benda mati , sepi, lengang ... andai printer yang disampingku itu berbicara... gunting itu berkata, dan pulpen ini berteriak , akan aku ceritakan sebuah kisah klasik ini di hadapan benda-benda itu . entah apa yang aku rasakan saat ini . abstark sepertinya . aku pernah berangan-angan menikmati teh rosela bersama bapakku didalam dekapan senja hangat mengantarkan mentari itu pulang  , dalam dekapan . bapak yang aku rindukan kasih sayangnya melebihi apapun di dunia ini . Maafkan aku mama, aku tidak pernah serindu ini kepada bapakku . tapi percayalah , kedudukanmu dihatiku selalu ku prioritaskan bak malaikat yang selalu menjagaku setiap hari . Mama... bisakah engkau wakilkan rasa ini kepada bapakku , bahwa aku ingin mencium tangannya . kemudian ia tersenyum merasakan hangat cinta anakknya .

rasa apa yg lebih berarti daripada menahan rindu ini , menahan rindu akan sosok bapakku yang genap 8 tahun sudah tidak pernah menyapaku lagi . aku tidak ingin mengingatnya dengan kenangan buruk , tetapi aku akan mencoba menguburnya ,dan ini lah saatnya aku menjadi pribadi yang berubah .

bapak, tahukah engkau pak , aku sudah beranjak dewasa, dr dewasa itu aku menemukan siapa diriku sebenarnya . sadar bahwa aku bukanllah apa-apa tanpamu pak . sadara bahwa aku di dunia ini karena mu dan ibu . maafkan aku yang tidak pernah mendegarkanmu .

Senja ... saksikanlah bahwa aku ingin sekali bapak duduk di pelaminan bersama ibu , dan aku berada tepat di bawah kakiknya . sembah sungkem merestui pernikahanku bersama pria yang dikirimkan ALLAH untukku .
Diska Kurniawan Sep 2016
Seteguk apapun, semua tak akan berakhir*

Aku adalah seorang pemabuk yang selalu menguarkan harum arak kemanapun aku pergi. Anggur, dan berbotol-botol ***** telah kutenggak pagi ini. Dan hanya hari ini pula aku ingin bicara, tentang segenggam racun yang kalian semua suntik ke dalam nadi dan pembuluhku.

Topeng
yang dengan bangga kalian pakai
tak ubahnya ketelanjangan
hanya mengumbar malu dan aib

Tawa
yang sesenggukan kalian jeritkan
hanyalah tangis jiwa kalian yang memudar
memutihkan kejujuran dan kebajikan


Oh, beginikah cara kerja dunia
berduri dan berbatu, sama saja
disetiap lajurnya
kemanapun aku pergi, dijejali
mulutku dengan dusta dan hanya dusta
belaka

Menghitamnya jiwaku, seandainya
bagai langit malam
tak ada chandra di ufuknya

Sudah selayaknya aku berkabung atas jiwaku, dimana dia merintih penuh sesal dan tanya. Apakah lalu lalang motor dan diesel itu memusingkan kepala atau hanya sebuah kesibukan belaka. Dan dengan itu pula jiwaku berakhir, terdiam, dalam kematian.

Kukubur dia dengan layak, diantara nisan-nisan lain disekitarku, yang diberi nomor, sesuai urutannya. Jiwaku tersungkur di nomor tujuh. Beruntung sekali!
Kukubur dia, pelan sekali dengan tertidur. Tak berharap bangun lagi di keesokan pagi. Kutaburi bunga-bunga dan prosa yang harum, dan kusiram dengan sebotol Martini dan bir.

Harum. Seharum embun yang kau injak ditepian jalan.
Wangi. Sewangi sukmamu yang kuingat telah pergi.

Aku adalah pemabuk. Yang selalu menenteng sebotol arak, bermabuk di tepian jalan kehidupan. Mengambil jeda diantara kalimat-kalimat mencela dan busuk, yang tergelincir masuk ke dalam telingaku.

Botol-botol inilah sang penawar, berminum pula para nabi terdahulu menyesali umatnya, sedangkan aku?

Menyesali kalian.
Raihah Mior Dec 2017
Dalam retrospeksi
minda naif kecilku pernah berimaginasi
memikirkan dunia luar sana yang bagaikan fantasi
hati merontakan suatu kebebasan yang diimpi
namun kini ku sedari, itu semua hanyalah persepsi
seorang gadis kecil yang dahulunya bercita-cita tinggi
masa sudah tiba untuk kembali ke realiti.

Selamat datang ke Kota Korupsi
di mana manusia-manusia bertopengkan syaitan
kehausan kuasa, kerakusan harta duniawi
dipuja, dipuji dan disanjung tinggi
pil penawar pula makanan ruji untuk depresi
tiada lagi tempat mengadu, tempat meluahkan hati
hanya tinggal kata-kata yang kehilangan erti
terpapar di kotak skrin empat segi.

Bangsaku semakin alpa, agamaku jauh sekali
soal halal haram tidak dipertikaikan lagi
hanya topik sembang santai di kedai kopi
bicara hari nanti ditolak dahulu ke tepi.

Dunia yang dahulu semakin pudar
hanya serpihan di hujung sudut memori
masa berlalu terlalu pantas, terlepas dari jari-jemari
sekarang sudahpun tiba generasi baru menapakkan kaki
namun, lihatlah sejarah mengulangi dirinya sekali lagi
selagi nafas belum terhenti
selagi kita belum pergi.
My first actual sajak written for my Penulisan Kreatif class. Not my best work, but I'm genuinely quite proud of it. We had to recite it in class and I actually did it, with hand movements, ****** expressions, intonation, all that jazz (it was even accompanied by a Tron soundtrack hahahah). Basically the poem's just a little commentary on what globalization has brought to the people of my side of town. But I guess it applies to everyone too. The world keeps changing and evolving anyway. What are we to do. *shrugs*
gadisunja May 2022
Pernah, satu hari dari banyak hari lebaran, aku pergi ke Indomaret sendirian. Jarak rumah dengan tempat itu tidak jauh, tapi perjalanan ke sana terasa lamban. Tahu kenapa? Sebab aku pergi dengan sembunyi-sembunyi hihii. Tujuannya hanya satu, untuk berburu es krim corong Wall's Moo.

Kalau dingat-ingat, rasa es krimnya memang tidak sepremium Magnum. Wall's Moo hanya menyuguhkan rasa susu dan itu sudah lebih dari cukup bagi kami kaum anak lugu tahun 2009-2010.

Sesampainya di rumah, aku sama sekali tidak disambut marah oleh orang-orang rumah. Mbak Chandrani menghampiri.
"Habis jajan yaa? Beli apa?"
"Iya, beli Wall's Moo satu."
"Cuma satu ya? Yasudah nda apa-apa, lain kali harus ingat kalau ada angka 3 setelah angka 2 dan angka 1 sebelumnya, ya?"
"Hah? Maksudnya apa, Mbak?"
"Lain kali, kalau kamu merasa ada cukup uang untuk jajan apa aja, cobalah ambil tiga atau nda sama sekali.
Supaya apa? Supaya selalu ada cukup ruang di hati untuk biasa berbagi."
Belakangan aku mengerti, kalau es krim yang kubeli hanya satu, kebahagiaannya hanya aku sendiri yang  bisa rasa. Kalau es krim yang kubeli ada tiga, kebahagiannya bisa dirasakan semua.
ayu rinanda Apr 2012
Gua sama sekali gak maksudbuat ngejelekin, ngejatuhin cowo gua yang sekarang 

gua punya cerita yang mungkin lu semua pernah ngadapin dengan kejadia yang sama

gua punya cowo, asli gua sayang banget sama dia, gua pengen ngebahagia in dia kayak gua pengen ngebahagian keluarga gua. Tapi, ada banyak hal yang selalu buat gua ragu sama dia.
1. dia gak pernah sms ato nelponin gua duluan alesan tidur.
2. gak pernah bilang sayang sama gua, kecuali waktu nembak
3. kalo di ajakin alesan nya segudang, mungkin penuh kali tu gudang 
pasti lu semua punya pikiran kalo dia Cuma mainin gua, ato pun gak sayang sama gua?

tapi biarpun dia kayak gitu, gak tau kenapa gua tetep aja sayang. Gua ikut aturan dia, gua ikut apa maunuya dia. Pokoknya semua maunya dia gua jabanin deh 
karena ada satu hal di diri dia yang sulit banget gua lupain selama ini adalah KENYAMANAN kalo dideket dia.
Padahal yah, gua punya seseorang yang jelas.jelas sayang sa,ma gua, bias ngasih apa aja yang gua mau, yang bias ngebahagia in gua dengan semua hal yang dia punya, dia adalah mantan gua yang pacaran sama gua 2 tahun lebih.
gua udah banyak ngelewatin hari sama dia, susah maupun senang, dia mungkin satu.satu cowo yang paling ngerti siapa gua.
cowo yang paling care sama gua, pokok nya cowo yang paling sempurna deh dia 
meskipun kayak gitu tetep aja gua gak bisa boongin ati mgua sendiri, pacaran sama dia tapi inget orang lain buat apa coba?
lagian gua harus nurut apa kata orang tua gua gak boleh pacaran sama dia, toh gua gak bias ngelawan.

buat kamu cowo yang jadi pacar aku : please donk sayang, jangan cuek sama aku.
jangan suka banyak alesan, aku tuh sayang banget sama kamu.
coba deh kamu yang ngertiin aku sekali.kali jangan akunya terus donk 

buat kamu cowo yang aku sakitin : maapin aku udah nyakitin kaamu, semoga diluar sana kamu bakal ketemu cewe yang syang banget sama kamu.
maapin aku 

#sekarang gua Cuma pengen satu hal yaitu lepas dari kedua.duanya.
gua mau orang baaru, tapi gua takut tuk memulai itu semua 
sangat.sangat btakut
Jovanka Marsha S Dec 2017
JOGJA

“Jogja sedang berusaha menutupi kesedihan karena penyesalannya, buktinya akhir-akhir ini Jogja ramai sekali”
“Untuk apa Jogja bersedih?
Bukankah banyak yang mencintainya selama ini?
Buktinya Jogja bisa dengan mudahnya tebar keramahan kesana-kemari kemudian mendapatkan banyak hati.”


JAKARTA

“Jakarta sudah tidak kuat lagi menahan sakit perasaannya hingga ia menangis, buktinya kemarin hujannya turun deras sekali”
“Untuk apa Jakarta menangis?
Bukankah Jakarta begitu kuat?
Buktinya ia tahan mendengar suara bising dari banyak pasangan kekasih yang melempar janji-janji palsu selama ini.”


BANDUNG

“Bandung bingung menanggapi apa yang terjadi terhadap Jogja dan Jakarta, buktinya ia hanya bisa diam.”
“Tidakkah kau tahu bahwa bandung selalu bersuara?
Tetapi selama ini suaranya tersamarkan oleh suara hujan.
Buktinya suaranya tidak bisa dibuktikan.”
poeticmetaphors on Tumblr
Jakarta | 16 Jul | 2.06 AM
Aridea P Jun 2012
Kau ini siapa?
Aku berbicara seakan sangat mengenalmu
Menyebut namamu penuh kerinduan,
seakan dua sahabat yang sudah lama tak bertemu

Aku serius bertanya, Kau ini siapa?
Menceritakanmu ke teman-teman ku di sekolah,
seakan kau ini seseorang yang ku kenal di dekat rumah

Aku sekali lagi bertanya, Kau ini siapa?
Tahukah kamu aku mencintaimu tidak sengaja,
mengenalmu memandangmu hanya dari kata-kata

Kau ini terbuat dari apa?
Mencintaimu sungguh menyakitkan
Ingin rasanya aku mati saja
Terkubur bersama rasa ini
Rasa sakit yang entah mengapa,
sakit karena mencintaimu terlalu dalam
Aridea P Oct 2011
Jakarta, 10 Mei 2008

Lirik lagu tentang cinta itu
Buatku seakan dia ciptakan untukku
Padahal dia ciptakan untuk yang lain

Tapi kenapa harus dia
Yang indah buatku luluh
Angin bawakan sejuk untukku
Karenanya suara lirik itu terdengar

Aku pun menangis
Begitu indahnya sampai ku bermimpi
Tak henti mimpi sampai saat ini
Yang tak ingin ku akhiri

Percuma, dia takkan tahu aku di sini
Meski ku kuras s’luruh air mata
Ku ucapkan seluruh kata cinta
Hingga tak tersisa lagi

Berulang kali angin bawakan lagu itu
Sekali lagi untukku, dari dia yang indah
Selamanya sungguh ku cinta
Karna sampai kini tak pernah ku lupa
sweetrevoirs Dec 2016
Relei ingat. Baju hangat kuning kecoklatan, 4 kerutan di tangan kanan dekat siku dan 5 lainnya di dekat bahu kiri. Rok kotak-kotak selutut yang untung dan sayangnya tak pernah terisngkap sedikit pun angin berkata tiup. Adalah pakaian yang melekat di badan Malia kali mereka bertemu tatap.
Udara dingin malam Sabtu sama sekali tidak membuat para pujangga mengurungkan niatnya untuk berteriak kata cinta. Atau cerita patah hati. Mungkin iya di tempat lain, tapi tidak di sini, di 8th Avenue, sebuah ruangan tak terpakai beberapa tahun lalu yang di percantik jadi sebuah tempat pertemuan para penyair dari berbagai penghujung kota. Dengan satu podium kecil –sekitar setinggi 1 meter dan selebar tiga dada- di sebelah barat, membelakangi dinding yang berwarna merah marun sedangkan tiga dinding lainnya adalah batu bata yang tidak dipoles.
Malam itu Relei seperti malam Sabtu lainnya, berjalan dari kamar loft ke tempat favoritnya, menyusuri 6 blok dalam suhu 21 derajat dengan tentu pakaian hangat.
Semua wajah yang berpapasan, tak ada satupun yang Relei lupa. Ada 13 wanita, 8 diantaranya bermata coklat, dan 6 pria, satu diantaranya memegang setangkai bunga mawar, yang sudah bertatap sapa selama perjalanannya menuju 8th Ave. 8 bunyi klakson mobil dan 4 suara orang bersin yang selalu di balasnya dengan “semoga tuhan memberkati”. Tidak, Relei tidak selalu menghitung seperti ini dalam sehari-harinya. Hanya saja Relei selalu ingat.
“ Lalu bulan masih saja datang, pun tak sepertimu, yang malam ke malam, masih saja semakin semu.” Seorang wanita paruh baya sedang membacakan barisan terakhirnya di atas podium dengan parau sangat menghayati. Penyair lain yang ada di ruangan itu menjentikkan jari mereka terkagum, ada juga yang bersorak kata-kata manis. Kode etis dalam pembacaan puisi di 8th ave adalah : tidak perlu bertepuk tangan terlalu kencang untuk berkata bahwa kau kagum akan satu puisi, cukup dua jari saja.
“ Biarkan aku datang ke mimpi buruk mu, lalu mimpi indah mu, lalu mimpi mu yang kau bahkan tak tahu tentang apa, atau pun mengapa,” Selanjutnya adalah giliran seorang perempuan muda yang naik ke panggung. Ia bercerita tentang buah mimpi, bahwa Ia ingin menjadi fantasi yang dibawa kemanapun sang pemimpi berjalan.
Baju hangat kuning kecoklatan, 4 kerutan di tangan kanan dekat siku dan 5 lainnya di dekat bahu kiri. Malia –atau seperti itulah tadi perempuan itu memperkenalkan dirinya sebelum memulai puisi- menyisir rambutnya kebelakang kuping sebanyak 3 kali sepanjang ia membacakan puisinya. Ia bergeliat di boots hitamnya, entah karena grogi atau tidak nyaman. Malia berambut coklat ikal sepinggang, dan memiliki bulu mata yang lentik bahkan dilihat dari ujung ruangan.
“ Untukmu, yang bersandar ke bata merah dengan tangan memegang kerah.” Malia mengakhiri puisinya sambal menatap ke arah Relei. Tangan Relei yang sedang membenarkan kerah baju otomatis langsung membeku. Ia sadar penyair lain sedang mengalihkan semua perhatian mereka kepadanya. Tapi hey, ayolah, pasti bukan, gadis di atas podium itu pasti bukan sedang membicarakan tentang Relei. Gadis yang sekarang sedang menuruni tangga podium dan berjalan ke arahnya itu pasti bukan sedang- Oh tuhan, atau mungkin memang iya.
Ara Oct 2013
Kau... membenciku kah?
tidak menyukaiku? atau mungkin kau iri padaku?

Kau begitu munafik!
dulu aku selalu bercerita tentangnya padamu, meskipun aku dan dia sudah tak lagi bersama kau pun tahu aku masih sangat sangat menyukainya. Kau tahu aku mengaguminya berbulan bulan, kau juga tahu untuk mendapatkan hatinya seperti berlari mendapatkan satu bintang kecil. Walau pada akhir nya aku hanya jadi pelampiasan perasaannya, tapi aku masih sangat menyukainya pada waktu itu meski kenyataannya harus seperti itu.

Aku teman mu, dan aku juga tahu kau juga temannya lebih dekat dari sekedar pertemananku denganmu.
tapi apa kau tak bisa mengahargai perasaanku sebagai temanmu?
kau tahu semua isi hatiku tentangnya, tapi mengapa kau sekarang?
memadu kasih dengan dirinya yang sampai detik ini kau tahu aku masih sangat mengaguminya!

kau jahat! kau benar-benar penghianat bertopeng pertemanan!
kau bukan lagi temanku sekarang. Itu terlalu sakit, sangat sakit untuk ku percaya.
kau bahkan hanya mengatakan maaf hanya untuk sekali seumur hidupmu?! itukah dirimu yang sebenarnya? menikamku tanpa ampun.

kalian berdua sama saja, tak ada gunanya aku mempertahankan seorang teman penghianat, dan sorang pengagum yang gila perempuan.

'seorang pencuri kekasih sesungguhnya mencuri seorang penghianat!'
So Dreamy Jan 2014
"Dunia ini terlalu indah untuk dilukis, Sayang,"
Begitu katanya
"Dunia ini juga terlalu luas untuk dipahami, Sayang,"
Begitu pula katanya

Aku tetap tak mengerti
Mengapa masih ada orang yang merasa dunia ini
Terlalu sempit untuk diketahui
Terlalu sulit untuk dijelajahi

Apakah jendela cakrawala mereka saja yang sempit?
Atau nyali mereka saja yang tak bisa berdiri sendiri?
Hanya berani menguntit ditemani mata menyipit?
Barangkali pikiran mereka juga hanya bisa mengintip?

"Dunia ini dipenuhi orang aneh, Sayangku,"
Ujarnya kemudian
Secangkir teh diteguknya perlahan
"Dunia ini juga dipenuhi orang berotak kosong, kamu tahu itu,"*

Kukatakan dalam hati bahwa aku tahu
Tentu saja kami berdua tahu
Bumi ini dihuni benak-benak yang melayang liar di balik masing-masing bahu
Yang tak bisa diam walau hanya menunggu waktu

Menunggu pikiran gila lainnya merayap masuk ke dalam kepalanya
Membuat secarik kertas dan sebuah pulpen meleleh di tangannya
Melantunkan kalimat-kalimat indah menjadi sebuah sajak
Menyulapnya menjadi sebuah mahakarya yang terus menanjak

Kukatakan sekali lagi dalam hati bahwa aku tahu
Tentu saja kami berdua tahu
Bumi ini juga dihuni benak-benak licik yang tak punya dinding malu
Yang meraup beribu untung tak kenal waktu

Diam-diam aku bertanya juga

Di manakah jiwa-jiwa kotor itu bisa membeli dinding malu?
Mengapa mentalnya tak beda jauh dengan mental para benalu?
Orang-orang aneh itu masih terus menunggu waktu
Orang-orang berotak kosong itu malah berlari meninggalkan waktu

Orang-orang aneh itu terus menciptakan karya
Orang-orang berotak kosong itu malah dibicarakan di berita pagi dan dunia maya
Orang-orang aneh itu terus menumbuhkan bunga di atas nama bangsa
Orang-orang berotak kosong itu malah menumbuhkan duri di bawah nama bangsa

Seperti yang saat ini banyak terjadi,
Seniman dan Koruptor.
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Islam adalah ajaran yang sangat sempurna, sampai-sampai cara berpakaian pun dibimbing oleh Alloh Dzat yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi diri kita. Bisa jadi sesuatu yang kita sukai, baik itu berupa model pakaian atau perhiasan pada hakikatnya justru jelek menurut Alloh. Alloh berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu adalah baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal sebenarnya itu buruk bagimu, Alloh lah yang Maha mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al Baqoroh: 216). Oleh karenanya marilah kita ikuti bimbingan-Nya dalam segala perkara termasuk mengenai cara berpakaian.

Perintah dari Atas Langit

Alloh Ta’ala memerintahkan kepada kaum muslimah untuk berjilbab sesuai syari’at. Alloh berfirman, “Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu serta para wanita kaum beriman agar mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka mudah dikenal dan tidak diganggu orang. Alloh Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (Al Ahzab: 59)

Ketentuan Jilbab Menurut Syari’at

Berikut ini beberapa ketentuan jilbab syar’i ketika seorang muslimah berada di luar rumah atau berhadapan dengan laki-laki yang bukan mahrom (bukan ‘muhrim’, karena muhrim berarti orang yang berihrom) yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shohihah dengan contoh penyimpangannya, semoga Alloh memudahkan kita untuk memahami kebenaran dan mengamalkannya serta memudahkan kita untuk meninggalkan busana yang melanggar ketentuan Robbul ‘alamiin.

Pertama

Pakaian muslimah itu harus menutup seluruh badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangan (lihat Al Ahzab: 59 dan An Nuur: 31). Selain keduanya seperti leher dan lain-lain, maka tidak boleh ditampakkan walaupun cuma sebesar uang logam, apalagi malah buka-bukaan. Bahkan sebagian ulama mewajibkan untuk ditutupi seluruhnya tanpa kecuali-red.

Kedua

Bukan busana perhiasan yang justru menarik perhatian seperti yang banyak dihiasi dengan gambar bunga apalagi yang warna-warni, atau disertai gambar makhluk bernyawa, apalagi gambarnya lambang partai politik!!!; ini bahkan bisa menimbulkan perpecahan diantara sesama muslimin. Sadarlah wahai kaum muslimin…

Ketiga

Harus longgar, tidak ketat, tidak tipis dan tidak sempit yang mengakibatkan lekuk-lekuk tubuhnya tampak atau transparan. Cermatilah, dari sini kita bisa menilai apakah jilbab gaul yang tipis dan ketat yang banyak dikenakan para mahasiswi maupun ibu-ibu di sekitar kita dan bahkan para artis itu sesuai syari’at atau tidak.

Keempat

Tidak diberi wangi-wangian atau parfum karena dapat memancing syahwat lelaki yang mencium keharumannya. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang wanita diantara kalian hendak ke masjid, maka janganlah sekali-kali dia memakai wewangian.” (HR. Muslim). Kalau pergi ke masjid saja dilarang memakai wewangian lalu bagaimana lagi para wanita yang pergi ke kampus-kampus, ke pasar-pasar bahkan berdesak-desakkan dalam bis kota dengan parfum yang menusuk hidung?! Wallohul musta’an.

Kelima

Tidak menyerupai pakaian laki-laki seperti memakai celana panjang, kaos oblong dan semacamnya. Rosululloh melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki (HR. Bukhori)

Keenam

Tidak menyerupai pakaian orang-orang *****. Nabi senantiasa memerintahkan kita untuk menyelisihi mereka diantaranya dalam masalah pakaian yang menjadi ciri mereka.

Ketujuh

Bukan untuk mencari popularitas. Untuk apa kalian mencari popularitas wahai saudariku? Apakah kalian ingin terjerumus ke dalam neraka hanya demi popularitas semu. Lihatlah isteri Nabi yang cantik Ibunda ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha yang dengan patuh menutup dirinya dengan jilbab syar’i, bukankah kecerdasannya amat masyhur di kalangan ummat ini? Wallohul muwaffiq.

(Disarikan oleh Abu Mushlih dari Jilbab Wanita Muslimah karya Syaikh Al Albani)
Aridea P Jan 2014
Palembang, 11 Januari 2014

Ini kisahku
Kisah mengharu biru
Tentang aku yang tak berkawan
Di pulau perantauan

Ini ceritaku
Cerita yang terekam waktu
Tentang seorang anak Hawa
Yang mati tapi bernyawa

Alarm berbunyi, memecah sunyi
Aku diam di sini, sendiri
Mencoba tuk menutup mata, tapi selalu terjaga
Menerawang masa depan, melukiskan kehidupan

Terdengar Ayam bernyanyi, berirama seni
Aku masih merenungi, siapa jati diri?
Mencoba tuk menutup mata lagi, meski ku pun tak yakin
Ku coba sekali lagi, berharap mulai bermimpi

Esok hari penting, tak ingin ku langkahi
Kemarin hari sendu, birkan berlalu
Sekarang hari biasa, cobalah terbiasa
Kenangan akan tercipta, berawal dari mimpi di kala senja
Noandy Feb 2016
Yang mengutarakan salam pagi ini
Hanya sesayat keheningan
Dari reruntuhan nafas yang tiap isapnya
Riuh dirundung rindu

Perhatikan,
Ini salah satu pertanda
Soal dekadensi kidung
Yang biasanya, tanpa kita sadari
Teralun lemas tiap pagi
Lembut tanpa gemericik

Kidung itu bisa jadi sudah keterlaluan
Bisa jadi ia terlalu sadis pada sepi tiap subuh.
Senandung itu, memang benar,
Sebatas bisikan-bisikan lantang
Yang gemar memuja sepi dengan memporak-porandakannya,
Yang gemar menghantui sunyi agar  terlelap sebelum terbit.

Mungkin,
kidung itu terlalu masokis
Bernyanyi sendiri tanpa ada yang
Peduli pada dendangnya yang kelewat mengusik
Dan kelewat menggoda, sehingga semua lebih memilih
Terlelap saja. Bukan berdansa.

Ini salah satu pertanda
Soal dekadensi kidung perih
Yang biasanya teralun malas tiap pagi
Menggerakkan setan-setan kecil
Untuk membutakan mata dan membuat tuli dalam sekejap.
Jangan berdansa.

Tak ada yang peduli, semua masih tertidur.
Dan itu bisa jadi salahmu sendiri.
Tapi tak apa, iblis masih menyayangimu
Dengan sangat manusiawi.

Lagipula, seperti pagi ini,
Kesunyian kembali bersila pada permadaninya
Ditemani kicauan mencibir burung rohani.

Selamat pagi,
Senyap.

Anda yakin tidak ingin bangun
Dan menanggapi kidung yang terus memanggil
Untuk berdansa setengah jiwa?
Subuh hanya datang seterbit sekali.
Tuhan hanya merindu lima kali sehari.
So Dreamy Nov 2014
Diawali dengan udara pukul setengah empat sore yang hangat dan suasana hati yang sedang bagus, aku melihat perempuan itu berada di tamannya yang berantakan. Ya, berantakan kataku. Tamannya, bukan dirinya. Ia duduk di sana, dengan anggun dan cantiknya membibiti bunga bakung dan menyirami bunga krisan. Di sekelilingnya terdapat semak bunga mawar liar dan pohon pinus tua. Pohon itu berbatang tebal dan tampak kukuh, kini ia duduk menyila di bawahnya, berbincang dengan semak lavender di sebelahnya. Ia tidak gila, tapi tampak penyayang dan sangat lembut. Rambutnya yang berwarna gelap itu diterpa angin senja, di atasnya secerah sinar matahari menyeruak dari balik dedaunan membuat wajahnya tampak berkilau. Lihat bagaimana cara matanya mengerling dan lihat bagaimana caranya tersenyum; manis sekali.

Itu dia, Qinaani.

(Mahesa)
Noandy Aug 2015
Aku berdosa,
Telingaku bunuh diri.

Sudah baru-baru ini
Aku sepenuhnya tuli
Aku tak tahu lagi  

Apa kata dedaunan
Pada tanah yang terantuk lemas dibawah
Atau ceracau yang diteriakkan
Bunga keparat
Untuk mayat dingin si kumbang.

Bahkan di restoran tua
Yang setiap sela kayunya berdarah dingin,
Tempat rintihan musik bisumu selalu dialunayunkan
Semuanya hanya tertawa hening
lalu mati begitu saja.

Dan meskipun duduk menghadapmu
Aku masih tak dapat mendengar
Suara mengaji jam setengah mati
Yang kerap menceritakan
Dongeng gelap kita
Dari lampau sampai me—
La lala la la
      lala la lala
La la la la la lala
           La la la lalala la la
La
—Lampaui
Pemakaman hati yang mati dipancung
Di pekarangan rumah tiap senja gulana

Yah, baru-baru ini aku tuli
Bisu lagi,
Mampunya cuma mengumpat dalam tulis.

Dan dihadapkan denganmu,
Sesekali dalam terkadang
Aku anehnya dapat mendengar
Serintikan isak tangis yang
Sama sekali tidak kita cucurkan

Lalu ini semua salah siapa,
Kalau aku baru tuli
Lalu kamu sudah bisu?
Apa memang ini dosaku?
Di palangnya tertulis;
Nama: Siapapun yang menangis

Di sela-sela pengakuan dosa
Kematian telinga gila
Dan kelumpuhan bibir hambar
Kita tiba-tiba melongo,

Tuhan tertawa
Sabar lagi bahagia,
Mengisyaratkan untuk
Sudah, ya,
Simpul mati saja senyum satu sama lain.
Writing in my mother tongue once in a while
Aridea P Oct 2011
Selasa, 15 Juni 2010

Ku ingin s'lamanya
Mendengar indahnya suaramu
Melihat rupawan wajahmu
Ku ingin sekali saja
Menyentuh hangat tubuhmu
Menggenggam erat tanganmu
Memeluk erat tubuhmu
Mencium pipimu

Kakak... Ku ingin s'lamanya
Mengagumi dirimu
Mencintai ragamu
Memiliki jiwamu

Created by. Aridea .P

— The End —