Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
So Dreamy May 2017
Hari itu hari Sabtu. Dan, aku sedang ulangtahun.

Sepi. Hanya terdengar suara tetesan air dari keran yang lupa ditutup rapat di wastafel dapur. Desiran angin yang menggesek dedaunan di halaman belakang. Bambu angin yang bersiul di teras rumah tetangga sebelah. Jalanan beraspal yang kosong. Terpaan sinar matahari. Mangkuk beling yang diketuk penjual makanan keliling. Suara jarum detik jam dinding.
Dalam diam aku menunggu. Mahesa belum juga datang. Duduk di atas sofa, perlahan kulahap sekantung keripik kentang, suara iklan di televisi kini menjadi musik latar yang mengisi siang terikku yang sepi ini. Lupakan fakta bahwa kakakku, Mas Kekar, adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulangtahunku. Ucapan ulangtahunnya tiba tadi pagi pukul tujuh lewat pesan suara. Kalau ada Nenek, ia pasti akan membuat kue tar dan nanti malam kami akan duduk melingkar di atas meja makan, menyantapnya bersama-sama sambil minum teh lemon. Sayangnya, sekarang rumahnya jauh; di surga.
Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Satu notifikasi baru, ada satu pesan masuk. Dari Mahesa, katanya ia akan sampai lima menit lagi. Baiklah, akan kutunggu dengan sabar. Walaupun ia bilang akan menjemput pukul setengah dua belas ― aku sudah menunggunya sejak pukul sebelas lewat, sekarang pukul satu, dan lima menit lagi ia akan datang. Menghabiskan waktu seharian bersama Mahesa selalu menjadi momen istimewa bagiku, membuat jantung jumpalitan tak karuan, dan berakhir tersenyum-senyum sendiri setiap kali sebelum memejamkan mata di atas tempat tidur pada malam hari. Singkatnya adalah orang ini selalu membuatku bahagia, sadar atau tidak sadar dirinya, ialah sumber kebahagiaanku. Bulan dan bintang bagi malamku.
OK. Kubalas pesannya, lalu kubuka pesan-pesan lain yang mungkin belum kubuka. Tidak ada pesan lain atau telepon. Belum ada telepon dari Ayah ataupun pesan singkat. Entah kapan ia akan pulang. Entah kapan ia akan menyempatkan diri membuka kalender, teringat akan sesuatu, dan mengucapkan, “Selamat ulangtahun.”.
Aku berjanji tidak pernah ingin jadi orang yang hidup tanpa memiliki waktu.
Bel berbunyi dan pintu diketuk. Spontan, aku merapikan rambut, memakai tas selempang, dan bangkit. Kusiapkan senyum terbaik untuk menyambut Mahesa. Setelah pintu kubuka, senyumku langsung sirna. Mang Ijang, tukang pos daerah kami yang malah muncul.
“Siang Mbak Maura, ada tiga surat buat Bapak,” dia menyerahkan tiga surat berbentuk persegi panjang yang sangat familiar bagiku. Sudah berpuluh, bahkan mungkin ratusan kali aku menerima surat macam ini sejak lima tahun terakhir. Kubaca nama perusahaan yang tertera di kop surat itu. Masih sama seperti biasanya; bank, perusahaan listrik, perusahaan telepon.
“Tandatangan di sini dulu, Mbak,” Mang Ijang menyerahkan pulpen dan sebuah kertas tanda terima surat. Setelah kutandatangani, ia pergi.
Kubuka surat itu satu per satu sambil duduk di kursi teras. Surat-surat tagihan, seperti biasa. Hampir dua bulan rupanya Ayah tidak membayar tagihan telepon. Aku bahkan tidak berselera lagi membaca nominalnya. Aku menghela napas dan memandangi jalanan kosong di depan rumah. Kuputuskan untuk memakai earphone, memilih playlist di aplikasi musik, menunggu Mahesa di kursi teras sambil ditemani angin semilir.
5 menit.
Everything is Embarrassing – Sky Ferreira.
10 menit.
Please, Please, Please, Let Me Get What I Want – The Smiths.
15 menit.
Love Song – The Cure.
Dua puluh menit kemudian, Mahesa datang. Senyumku seketika merekah, walaupun ia terlihat begitu lelah. Kaos polo abu-abunya basah oleh keringat, dahinya dibanjiri keringat, napasnya terengah-engah dengan ritme yang tak beraturan. Aku duduk di sampingnya yang memegang kemudi dan masih bisa mencium wangi parfumnya samar-samar, meskipun tujuh puluh persennya sudah bercampur dengan semerbak peluh. Tapi, siapa peduli? Menurutku, ia tetap mengagumkan.
“Maaf lama, Ra. Tadi ada urusan penting yang mendadak,” katanya sambil memilih-milih saluran radio. 19.2, saluran radio yang khusus memutarkan musik-musik indie dan jadul. Mungkin ini salah satunya mengapa sejak awal aku tertarik dengan manusia yang satu ini dan berujung benar-benar mengaguminya, kami menyukai jenis musik yang sama. “Jadi, ke mana kita hari ini? Dan, akan mengobservasi apa?”
Kubuka catatan jadwal terakhir kami, “Hmm. Hari ini jadwal kita ke galeri seni kontemporer yang ada di sebelah balai kota dan pameran seni di hotel Metropolite. Kita bakal mengobservasi lukisan kontemporer supaya bisa membandingkan dengan jenis lukisan yang lain.”
Kamu benar, sesungguhnya ini hanyalah sekadar tugas kelompok bahasa Indonesia. Mungkin bagi Mahesa begitu, tapi bagiku bukan sama sekali. Kuanggap ini sebuah kebetulan yang ajaib. Kebetulan kami sekelompok. Kebetulan kami berdua sama-sama tidak masuk di hari ketika guru Bahasa Indonesia kami membagikan kelompok dan kami masuk ke dalam kelompok terakhir, kelompok sisa. Kebetulan kami memilih tema seni lukis dan belum ada kelompok lain yang mengambil topik itu. Kebetulan dua anggota kelompok kami yang lainnya tidak bisa diandalkan, yang satunya sakit berat dan yang satunya lagi sudah dikeluarkan dari sekolah sejak bulan lalu. Kebetulan hanya aku dan Mahesa yang tidak bermasalah. Maka, hanya kami berdua yang selalu jalan ke tempat-tempat untuk mengobservasi. Sejak saat itu, aku percaya akan keajaiban.
---
Semuanya berawal dari pertemuan singkat kami di minggu keempat kelas sebelas. Oke, ralat, bukan sebuah pertemuan lebih tepatnya, melainkan hanya aku yang memandanginya dari jauh. Namun, itu satu-satunya kejadian yang mungkin dapat memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana perasaan ini bisa muncul. Bukan secara tidak sengaja dan spontan seperti yang biasa kau dapatkan di adegan jatuh cinta pada film-film romansa norak, tetapi adeganku sederhana, penuh kehati-hatian, dan perlahan.
Kelas sebelas adalah tahun yang cukup sulit bagiku. My dad was busy more than ever—well, until now dan itu tahun pertama Mas Kekar menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Dia diterima di salah satu universitas negeri ternama di Bandung, jadi hanya pulang ke rumah setiap akhir bulan. Aku punya waktu sendirian di rumah dengan jumlah yang berlebih.
In that year, my friends left me. Ghia pindah ke luar kota dan Kalista bergabung dengan anak-anak populer sejak mendaftar sebagai anggota baru di tim pemandu sorak. Kami hanya makan siang bersama pada beberapa hari di minggu pertama sekolah, setelah itu dia selalu dikelilingi dan menjadi bagian dari kelompok cewek-cewek pemakai lip tint merah dan seragam yang dikecilkan. Aku mengerti, barangkali dia memang menginginkan posisi itu sejak lama dan citra dirinya memang melejit pesat, membuat semua leher anak cowok melirik barang beberapa detik setiap ia berjalan di tengah koridor. Lagipula, jika ia sudah mendapatkan status sosial yang sangat hebat itu, mana mungkin dia masih mau berteman dengan orang sepertiku? Maura, the average one, yang selalu mendengarkan musik lewat earphone, yang lebih banyak menyantap bekal di dalam kelas pada jam istirahat. Aku hanya masih tidak paham bagaimana seseorang yang semula kau kenal bisa berubah menjadi orang lain secepat itu.
Tapi, hal lainnya yang cukup melegakan di tahun itu adalah aku bertemu dengan Indira. Kami berkenalan pada hari Senin di minggu kedua kelas sebelas, hari pertama dia masuk sekolah setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit karena DBD. Begitu melihatku duduk sendirian di baris paling belakang, dia buru-buru menghampiri sambil bertanya, “Sebelahmu kosong?”. Sejak itulah kami berteman.
Indira dan teman-temannya biasa menghabiskan makan siang di bangku koridor lantai satu yang menghadap ke lapangan, bukan di kantin. Walaupun secara harfiah aku bukan salah satu bagian dari kelompok pertemanan mereka, Indira selalu mengajakku bergabung dan orang-orang baik itu rupanya menerimaku.
Di bangku koridor itu kali pertama aku memerhatikan anak laki-laki yang bermain bola setiap jam istirahat kedua. Hanya ada dua-tiga orang kukenal, itu juga karena mereka teman sekelasku sekarang atau di kelas sepuluh, sementara selebihnya orang asing bagiku. Di antaranya ada yang berperawakan tinggi, rambut tebal, rahang yang tegas. Aku hanya belum tahu siapa namanya waktu itu.
Selanjutnya, aku bertemu dengan laki-laki itu di kantin, sedang duduk bersama beberapa cowok yang tidak kukenal, tertawa lepas. Mungkin karena aku jarang ke kantin, aku baru melihatnya di sana waktu itu. Pada acara demo ekskul, aku melihat dia lagi. Bermain bass di atas panggung. Anggota klub musik rupanya. Pemain bass. Pada hari-hari berikutnya, aku lebih sering melihatnya berjalan di koridor depan kelasku, kadang sendirian dengan earphone, kadang ada beberapa temannya. Anak kelas sebelas juga rupanya, jurusan IPS juga. Hari-hari berikutnya, selalu kutengokkan kepala ke jendela setiap kali ia lewat di depan kelasku. Aku penasaran, kenapa mataku tidak pernah melihat orang semenarik dia sebelumnya? Dan, kenapa dia hanya muncul di tempat dan saat-saat tertentu, seperti saat istirahat, masuk sekolah, dan jam pulang? Hari-hari berikutnya, berpapasan dengannya membuatku senang sekaligus semakin penasaran. Dia anggota klub fotografi juga, aktif, sering memimpin rapat anggota di kantin sepulang sekolah, dan ternyata karyanya banyak dipublikasikan di majalah sekolah. Dari situ aku tahu namanya, Mahesa.
---
“Geser ke kanan sedikit. Bukan, bukan, sedikiiit lagi. Sedikiiit, oke, pas!”
Sebagai dokumentasi, Mahesa memotret beberapa lukisan dari berbagai angle dan beberapa kali memintaku untuk berpose ala-ala tak sadar kamera. Tentu saja aku pasti bersedia, selalu bersedia. Dia juga merekam keadaan sekitar dalam bentuk video, yang katanya, bakal dia edit menjadi super artsy.
“Percaya sama gue, kita bakal jadi tim paling keren yang menghasilkan dokumentasi paling berseni, Ra,” kata Mahesa sambil tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya.
Destinasi terakhir kami—pameran lukisan yang sedang digelar selama seminggu di hotel Metropolite—akan tutup sepuluh menit lagi, tepat pukul tujuh malam. Setelah terakhir kalinya Mahesa merekam keadaan pameran dan beberapa pengunjung yang masih melihat-lihat, baterai kameranya habis. Sebelum pulang, Mahesa bilang dia tahu tempat makan enak di sekitaran sini. Jadi, kami mampir untuk mengisi perut dengan soto ayam dan berbincang-bincang sebentar, setelah itu baru benar-benar pulang.
Di perjalanan pulang, derai hujan turun perlahan. Karena rumah kami terletak di pinggiran kota, jadi kami harus melalui jalan tol atau kalau tidak, akan lebih jauh. Mahesa memencet-mencet tombol radio, mencari saluran nomor 19.2, tapi setelah mendengar acara yang dibawakan penyiar radio, dia langsung mengganti asal saluran radio yang lain. Saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu pop kekinian yang sedang hits.
“Sekali-kali dengerin genre lain, ya, Ra,” katanya sambil menginjak rem. Jalanan seketika padat merayap di depan kami. Mungkin karena hujan mulai deras, jalanan mulai tergenang, orang-orang mengemudi dengan lebih hati-hati.

(bersambung.)
to be continued.
Noandy Jan 2016
Laut Anyelir*
Sebuah cerita pendek*

Apa kau masih ingat kisah tentang laut di belakang tempat kita tinggal? Laut—Ah, entah apa nama sebenarnya—Yang jelas, itu laut yang oleh paman dan para tetangga disebut sebagai Laut Anyelir. Kau mungkin lupa, sibuknya pekerjaan dan kewajibanmu jauh di seberang sana sepertinya tidak menyisakan tempat-tempat kecil dalam otak dan hatimu untuk mengingat dongeng muram macam itu. Tapi aku ingat, dan tak akan pernah lupa. Hamparan pantainya yang kita injak tiap sore setelah bersepeda selama 10 menit menuju Laut Anyelir, angin sepoinya yang samar-samar membisikkan gurauan dan terkadang kepedulianmu yang terlalu sering kau sembunyikan, dan bau asinnya yang busuk seperti air mata.

Kau mungkin  lupa mengapa Laut Anyelir disebut demikian.

Kau juga mungkin sudah lupa ombak kecil dan ketenangan Laut Anyelir kala malam yang terkadang berubah menjadi merah darah saat memantulkan bulan serta arak-arakan awan dan bintangnya.

Iya, pantulan bulan dan bintang yang lembut pada air Laut Anyelir pada saat tertentu berwarna merah,

Semburat merah dan bergelombang,

Seperti rangkaian puluhan bunga Anyelir merah yang dibuang ke laut lambangkan duka.

Biasanya, setelah terlihat berpuluh bercak-bercak merah melebur di Laut Anyelir, akan ada sebuah duka nestapa yang menyelimuti kita semua. Mereka bilang, laut bersedih dan melukai dirinya untuk hal-hal buruk yang tak lama akan datang. Menurutku itu kebetulan saja, mungkin hanya puluhan alga merah yang mekar atau ada pencemaran.

Tapi aku masih tak tahu mengapa semua hal itu selalu terjadi bertepatan,

Dan, sudahlah, laut itu memang cocok disebut sebagai Laut Anyelir. Aku tidak berlebihan seperti katamu biasanya.

Kau sangat suka cerita sedih, mungkin sedikit-sedikit masih dapat mengingat kisah sedih dari paman yang juga tak percaya soal pertanda Laut Anyelir, cerita soal kekasihnya yang hilang saat mereka berenang di pantai sore hari ketika kemarin malamnya, air laut berwarna merah.

Benar, hari ulang tahun mereka bertepatan, dan pernikahan untuk bulan depan di tanggal yang sama juga sudah direncanakan dengan baik. Kekasih paman sangat jago dalam berenang, ia mengajari paman yang penakut dengan gigih, sampai pada sore hari ulang tahun mereka, paman mengajaknya untuk berenang di Laut Anyelir sekali lagi,

Sebagai hadiah,

Untuk menunjukkan bagaimana paman mengamalkan segala ilmu yang diajarkannya, sebagai pertanda bahwa mereka dapat berenang bebas bersama, kapanpun. Mereka memakai pakaian renang sebelum mengenakan baju santai dan berbalap sepeda ke pantai seperti yang biasanya kita lakukan. mereka langsung berhamburan ke Laut Anyelir tanpa memperdulikan desas-desus tadi pagi bahwa kemarin malam airnya berubah warna. Kekasih paman sangat terkejut dan bangga melihat jerih payahnya selama ini terbayar. Berbagai macam gaya yang ia ajarkan telah dilakukan oleh paman, dan sekarang ia akan mencoba menyelam dengan melompat dari sebuah karang tepat di tengah laut. Paman mendakinya—Ia handal mendaki, dan sekarang handal berenang—Lalu menatap kekasihnya dengan rambut kepang dua yang melihatnya begitu bahagia. Ia melompat dengan indah, dan meskipun sedikit kesusahan untuk kembali menyeimbangkan dirinya dalam air, paman akhirnya muncul dengan wajah sumringah, memanggil serta mencari-cari kekasihnya.

Tapi ia tak ada di sana,
Ia tak ada dimanapun.

Itu kali terakhir paman melihat kekasihnya, melihatnya tersenyum, sebelum akhirnya ia menemukan pita merah rambutnya terselip diantara jemari kakinya.

Malam menjelang, semua warga dikerahkan untuk mencari kekasihnya, namun sampai bulan penuh terbangun di langit dan dilayani beribu bintang yang menyihir air laut menjadi kebun anyelir, kekasihnya masih tak dapat ditemukan.

Itulah sebabnya apabila mendengar laut berubah warna lagi kala malam, paman tak akan memperbolehkan kita untuk mendekati laut sampai dua hari ke depan.

Kau bukan saudaraku—Bukan saudara kandungku. Tapi aku menganggapmu lebih dari sekedar teman, bahkan lebih dari saudara kandung atau saudara angkat. Kau bukan saudaraku, tapi paman begitu peduli padamu seperti anaknya sendiri. Sama seperti bagaimana ia menyayangiku.

Dahulu kami hanya rajin mendengarmu, tetangga pindahan, memainkan gitar di kamarmu sendirian, melihatmu dari balkon lantai 2 rumah kayu kami sampai kau akhirnya sadar dan tidak pernah membuka tirai jendelamu lagi. Mungkin kau malu, tapi kami masih dapat mendengar sayup-sayup suara gitarmu. Namun setelahnya, paman justru hobi melemparkan pesawat-pesawat kertas yang berisi surat-surat kecil. Mereka kadang berisi gambar-gambar pemandangan alam—Salah satunya Laut Anyelir—Dan surat-surat itu sering tersangkut di tralis kamarmu. Akhirnya paman memberanikan diri dan menggandeng tanganku untuk segera mengetuk pintu rumahmu, usiaku belum beranjak belasan, dan aku hobi mengenakan celana pendek serta sandal karet yang mungkin tidak cukup sopan dipakai untuk memperkenalkan diri. Tapi kalian tidak peduli, dan menyambut kami dengan ramah—Paman menceritakan bagaimana ia menyukai musik-musik kecilmu, dan mengajak kalian untuk melihat-melihat keadaan sekitar sekaligus berkenalan dengan para warga,

Paman mengajak kalian ke Laut Anyelir,

Kalian menyukainya;

Dan paman mulai bercerita soal kisah Laut Anyelir yang menghantui, serta ketakutan-ketakutan warga. Tapi ia belum menceritakan kisahnya.

Namun kalian, sama seperti kami yang menghibur diri,
Tidak peduli, dan tidak takut akan semburat merah pertanda dari Laut Anyelir.
“Benar, itu mungkin hanya kebetulan!”
Sahut kalian.

Hampir dua tahun kita saling mengenal, dan pada hari ulang tahunmu, paman mengajak kita semua untuk berpiknik di pantai Laut Anyelir pada sebuah sore yang cerah. Aku memakan lebih dari 3 kue mangkuk, bahkan hampir menghabiskan jatahmu. Tapi tidak masalah, orangtuamu juga tidak menegurku. Kau sudah menghabiskan jatah klappertaartku, dan menyisakan hanya satu sendok teh.

Apa kau masih ingat betapa cantiknya Laut Anyelir saat matahari tenggelam? Seperti sebuah panggung sandiwara yang set nya sedang dipersiapkan saat-saat menuju lampu menggelap. Matahari sirna dan berganti dengan senyum bulan di atas sana, bintang-bintang kecil perlahan mulai di gantung dengan rapih,

Dan air laut yang biru gelap berubah menjadi lembayung,

Sebelum akhirnya mereka menderukan ombak, dan terlihat bercak-bercak merah pada tiap pantulan cahaya bintang. Sekilas terlihat seperti lukisan yang indah namun sakit. Kalian tidak takut, justru takjub melihat replika darah menggenang pada hamparan lautan luas dengan karang ditengahnya. Paman langsung menyuruh kita semua untuk bergegas membereskan keranjang piknik, dan berjalan pulang diiringi deru angin malam. Ia tak memperbolehkan kita mendekati pantai esok harinya.

Esok lusanya, kedua orangtuamu pergi ke kota untuk melapor pada atasannya, kau dititipkan pada paman. Mereka berjanji untuk pulang esok harinya,

Tapi mereka tidak pulang.
Mereka tidak kembali,
Dan kita masih menganggapnya sebagai sebuah kebetulan saja.
Kau bersedih, namun tidak menangis.

Aku yang sedikit lebih gemuk darimu memboncengmu dengan sepeda merahku dan mencoba untuk menghiburmu yang terus-terusan memeluk gitar di Laut Anyelir. Aku yakin saat itu aku pasti sangat menyebalkan; terus-terusan berbicara tanpa henti dan menarik lengan bajumu dengan erat sampai kau memarahiku karena takut akan sobek.

Tapi akhirnya aku berhasil membujukmu untuk memainkan gitarmu lagi, kau tersenyum sedikit,
Dan entah kenapa aku cukup yakin kau mulai tidak menyukaiku karena terlalu memaksa;
Namun menurutku itu sama sekali bukan masalah.

Kau mulai tinggal bersama paman dan aku sejak saat itu, dan menjadi kesayangannya. Ketika kita sudah cukup dewasa ia selalu membawamu saat bekerja di toko jam—Kau sangat handal dalam merakit jam serta membuat lagu-lagu untuk jam kantung automaton dengan kotak musik—dan aku ditinggalkan sendiri untuk mengurus pekerjaan rumah. Tapi tetap saja aku tak dapat menghilangkan kebiasaanku untuk menyeretmu bersepeda ke Laut Anyelir saat senggang dan tidak bekerja; kau akan memainkan gitarmu dan aku akan entah menulis surat untuk teman-temanku atau menggambar, dan terkadang menghujanimu dengan berbagai pertanyaan yang tak pernah kau jawab.

Begitu kita kembali, paman yang biasanya akan menggantikanmu untuk bercerita dan bercuap-cuap sampai makan malam dan kita pergi tidur.

Kau orang yang pendiam,
Dan aku yakin paman kesepian.
Orang yang kesepian terkadang banyak berbicara.

Seiring usiaku bertambah, cerita menyenangkan paman terkadang berubah menjadi cerita-cerita yang pedih dan menyayat hati. Kau tak mengatakannya, tapi aku dapat melihat dari matamu bahwa kau sangat menikmati mendengar cerita seperti itu. Aku tak menyukainya, tapi aku tak akan menyuruh paman untuk berhenti bercerita demikian. Kalian berdua membutuhkannya.

Saat itulah paman menceritakan kisah tentang dirinya dan kekasihnya saat kita akan menyelesaikan makan malam. Aku kembali tidur dihantui cerita mengenai laut yang melahap kekasihnya itu. Dalam mimpi, aku seolah dapat melihat ombak darah menerjang dan melahapku. Aku tidak ingin hal itu terjadi padaku, padamu, atau pada paman. Aku mulai menghindari Laut Anyelir pada saat itu.

Bunga Anyelir,
Dalam bahasa bunga, secara keseluruhan ia menunjukkan keindahan dan kasih yang lembut, seperti kasih ibu, kebanggaan, dan ketakjuban; namun kadangkala kita tidak memperhatikan arti masing-masing warnanya—
Anyelir merah muda berarti aku tak akan pernah melupakanmu,
Anyelir merah menunjukkan bahwa hatiku meradang untukmu,
Anyelir merah gelap merupakan pemberian untuk hati yang malang dan berduka.
Kurasa semua itu menggambarkan Laut Anyelir dengan tepat.

Setelah itu paman mulai makin sering bercerita soal kekasihnya yang hilang di Laut Anyelir. Aku tidak tahu mengapa, namun sore itu kau begitu ingin untuk pergi ke Laut Anyelir dengan gitarmu. Kali ini kau yang menggeretku menuju tempat yang selama beberapa hari kuhindari itu, kau tahu bagaimana aku menolak untuk pergi, kau yang biasanya tak ingin repot bahkan sampai menyiapkan sepedaku dan mengendarainya lebih dahulu.

Aku tak ingin kau pergi sendirian, aku mengikutimu. Kurasa tidak apa, tidak akan ada apapun hal buruk yang terjadi. Lagipula kita tidak akan berenang atau berencana untuk pergi jauh setelahnya.

Aku mengikutimu menuju Laut Anyelir. Kau duduk tanpa sepatah katapun, hanya menatapku. Dan mulai memainkan Sonata Terang Bulan oleh Beethoven dengan gitarmu saat matahari menjelma menjadi bulan. Saat itu barulah aku tersadar bahwa itu hari ulang tahunku, dan kau sengaja memainkannya untukku. Malam itu kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir berbincang-bincang, meskipun aku lebih banyak berbicara daripadamu. Aku tidak membawa surat-suratku, jadi aku hanya bisa memainkan dan memelintir rambutmu sambil berkata-kata.

Kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir, dan tidak menyadari bahwa air lautnya berubah menjadi merah. Aku terkejut dan berlari seperti anak anjing ketakutan ketika menyadarinya; kau berganti menarik lengan bajuku dan berkata bahwa tidak apa, bukan masalah. Aku, kau, dan paman akan terus bersama. Mungkin Laut Anyelir berubah merah bukan untuk kita namun warga pemukiman yang lain, pikirmu.

“Jangan berlebihan, kau manja, selalu bertanya, dan terlalu membesar-besarkan sesuatu.” Katamu, sekali lagi. Itu hal yang selalu keluar dari mulutmu.

Pintu rumah kuketuk, paman membukakan. Aku terkejut ketika tahu bahwa paman sudah menyiapkan banyak makanan kesukaanku termasuk klappertaart; kali ini aku tidak memperbolehkanmu untuk memakan klappertaartku. Ternyata ini rencana kalian berdua untuk membuat pesta kecil-kecilan di hari ulang tahunku, merangkap ulang tahun paman keesokan harinya.

Paman, tidak kusangka, ingin mengajak kita untuk berenang di Laut Anyelir esok. Ia ingin mengingat masa mudanya ketika menghabiskan banyak waktu berenang bersama kekasihnya di Laut Anyelir, dan kata paman, kita adalah pengganti terbaik kekasihnya yang belum kembali sampai sekarang.

Aku tidak ingin mengiyakannya, mengingat barusan kita melihat sendiri air laut berubah warna menjadi merah darah. Tapi aku tak ingin kau lagi-lagi mengucapkan bahwa aku manja dan berlebihan. Aku menyanggupi ajakan paman. Namun aku takkan berenang, aku tidak pernah belajar bagaimana caranya berenang, dan tidak mau ambil resiko meskipun aku percaya kalau kau dan paman akan mengajariku.

Esok pagi kita berangkat dengan sepeda. Kali ini paman memboncengku, dan kau membawa keranjang piknik yang sudah kusiapkan sejak subuh serta memanggul gitarmu seperti biasa.
Begitu tiba, kau dan paman langsung menyeburkan diri pada ombak biru Laut Anyelir dan berenang serta mengejar-ngejar satu sama lain. Aku duduk di tepian air, menggambar kalian yang begitu bahagia sampai akhirnya kalian keluar dari air untuk mengambil roti lapis dan botol minum. Setelah menghabiskan rotinya, paman berdiri dan kembali ke air sambil berkata lantang,

“Aku akan mencoba menyelam dari karang itu lagi.”
Tanpa menoleh ke arah kita.
“Jangan, paman. Kau sudah tua.”
“Sebaiknya tidak usah, paman. Hari makin siang.” Kau juga mencoba menghentikannya, tetapi paman tidak bergeming. Ia bahkan tak menatap kita dan terus berenang sampai ke tengah. Kau mencoba menyusulnya dengan segera, tapi sebelum kau sampai mendekati karang,

Paman sudah terjun menyelam.

Setelah tiga menit yang terasa lama sekali, kau menunggu ditengah lautan dan aku terus memanggil paman serta namamu untuk kembali ke tepian, paman tetap tidak muncul.

Kau menyelam, menyisir sampai ke tepi-tepi untuk mencari paman, namun hasilnya nihil, dan kau kembali padaku menggigil. Aku membalutkan handuk padamu, dan meninggalkanmu untuk kembali bersepeda dan memanggil warga yang tak sampai setengah jam sudah berbondong-bondong mengamankan Laut Anyelir dan mencari paman.

Malam hari datang,
Hari perlahan berganti,
Bulan demi bulan,
Tahun selanjutnya—
Paman masih belum kembali, dan kita tak memiliki kuburan untuknya.

Kita tinggal berdua di rumah itu, kau bekerja tiap pagi dan aku memasak serta mengurus rumah. Disela-sela cucianku yang menumpuk dan hari libur, kau rupanya tak dapat melepaskan kebiasaan kita untuk bersantai di Laut Anyelir yang sudah lama ingin kutinggalkan. Aku tak dapat menolak bila itu membuatmu senang dan merasa tenang.

Dan aku bersyukur,
Selama hampir setahun penuh, sama sekali aku tak melihat air Laut Anyelir berubah warna lagi menjelang malam. Memang beberapa hal buruk sesekali terjadi, namun aku sangat bersyukur karena aku tak melihat pertanda kebetulan itu dengan mata kepalaku sendiri.

Pada suatu hari kau memberiku kabar yang menggemparkan, ini pertamakalinya aku melihat senyuman lebar di wajahmu; kau terlihat semangat, bahagia, penuh kehidupan. Kulihat para pria-pria muda di sekitar sini juga sama bahagianya denganmu. Mereka bersemangat, dan mereka bangga akan adanya hal ini karena ini adalah waktu yang tepat untuk berkontribusi kepada negara. Katamu, tidak adil bila yang lain pergi dan berusaha jauh disana sedangkan kau hanya berada di sini, memandangi laut.

Kau memohon untuk kulepaskan menjadi sukarelawan perang, dan aku menolak.
Kau memohon, aku menolak,
Kau memohon, aku menolak,
Aku menolak, kau memohon.

Dan karena aku sepertinya selalu memberatkanmu, atas pertimbangan itu, aku ingin membuatmu lega dan bahagia sekali lagi—Aku akhirnya melepaskanmu untuk sementara, asal kau berjanji untuk kembali kapanpun kau diizinkan untuk kembali.

Kau tak tahu kapan, dan aku akan selalu menunggu.

Aku akan selalu berada di sini, dengan Laut Anyelir yang berubah warna, dan hantumu serta hantu paman
Gitarmu yang selalu kau rawat,
Untuk sementara waktu aku takkan bisa menarik ujung lengan bajumu,
Dan tak akan mendengarmu memanggilku manja dan berlebihan.

Kita tidak pergi ke Laut Anyelir sore itu, begitu pula esok harinya. Kita sibuk mempersiapkan segala hal yang kau butuhkan untuk pergi, aku memuaskan menarik ujung lengan bajumu, dan menyelipkan harmonika pemberian paman yang tidak pernah bisa kugunakan untukmu.

Ia akan lebih baik bila berada di tanganmu, dan ia akan menjadi pengingat agar kau pulang ke rumah, kembali padaku.

Kita tidak melihat ke Laut Anyelir sampai hari keberangkatanmu, di mana dengan sepeda kau akhirnya memboncengku untuk pergi ke pelabuhan. Kita tidak melihat Laut Anyelir, aku tak tahu apa airnya berubah warna atau tidak.

Setelah kau naik ke kapal d
Noandy Jan 2016
Cerita Pendek Tentang Hantu*
Sebuah cerita pendek*

Anak-anak muda itu bilang bahwa Sundari cumalah hantu. Bagi mereka, Sundari sekedar cerita orang-orang tua zaman dahulu yang tak ingin anak lakinya pergi sampai larut malam. Parahnya lagi, mereka terkadang menganggap Sundari isapan jempol dan menggunakan namanya sebagai ejekan. Berbagai lelucon mereka buat untuk merendahkan Sundari,

Mereka pada saat tertentu menganggapnya seperti hewan kelaparan yang bersembunyi dan siap menerkam mereka,

Ketakutan sesaat.

Sayangnya, pada hari-hari berikutnya, Sundari malah terkadang lebih rendah daripada hewan.

Jika binatang buas dapat sewaktu-waktu muncul dan menyantap mereka dengan mudah, para pemuda justru berpikir bahwa mereka lebih tinggi dan mulia dibanding Sundari sehingga ia hanya akan menjadi segelibat penampakan.

Sundari cuma monster dan angan-angan, katanya, di zaman seperti ini mana ada hantu penculik jejaka. Pikiran anak muda memang berbeda dengan kebanyakan orangtuanya.

Padahal, Sundari sama seperti kita.

Sundari bukanlah siluman, hantu, atau makhluk mengerikan yang layak dijadikan lelucon semata.

Apalagi bahan cerita setan dan sarana menakut-nakuti bocah.

Dengar baik-baik, ia tidak terbang, ia tidak menghilang. Ah, Sundari bahkan tak punya kemampuan macam itu.

Sundari berjalan dengan dua kaki, melihat dengan dua mata, dan dapat memelukmu dengan dua tangan hangatnya. Yang mungkin berbeda adalah hati Sundari yang entah di mana sekarang. Inilah yang membuat ibu-ibu dengan anak lelaki begitu menakuti Sundari. Mereka yakin bahwa Sundari-lah yang akhir-akhir ini menculik buah hati mereka yang pergi malam, lalu menghilang selama satu minggu dan ditemukan gundul tanpa nyawa,

Tanpa hati,

Pada suatu sore yang hangat di padang ilalang dekat dusun.

Beberapa mengira bahwa Sundari adalah perwujudan pesugihan atau tumbal yang mengincar jawara-jawara muda, seperti andong-andong pocong yang dahulu sempat marak. Dahulu, pergantian kepala dusun di sini dilakukan dengan adu kekuatan. Para sesepuh percaya bahwa teh dari seduhan rambut pemuda dapat memperkuat diri dan meningkatkan kekebalan, ini menjadi salah satu spekulasi motif Sundari selain tumbal-tumbalan itu. Beberapa berpikir kalau Sundari menjual rambut lelaki muda di desa demi mendapatkan keuntungan baginya.

Kalau di antara gadis-gadis belia nan jelita yang bergelimang asmara, Sundari kerap digunakan sebagai sebutan untuk penyerebot kekasih orang. Terkadang huruf i di hilangkan, sehingga menjadi Sundar saja.

“Dasar, dia memang Sundari!”

“Padahal telah lama kita menjalin kasih, kenapa ia harus jatuh ke tangan Sundar macam dirinya!”

Apa Sundari begitu buruk hingga namanya lekat dengan orang serta kasih yang hilang?

Padahal dahulu Sundari hidup tenang,

Memang dahulu ia juga sumber perhatian,

Tapi ia hidup tenang dan dihujani kasih—

Yah, itu sebelum dusun ini akhirnya mengadili sendiri suaminya yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Menurut mereka, sangat tidak masuk akal seorang wanita pintar, seperti Sundari yang bekerja sebagai pendidik, memiliki suami yang lebih muda darinya. Pemuda berambut panjang itu hidupnya mungkin berkesan asal-asalan. Dandanannya serampangan, rambutnya berantakan dan panjang; padahal di dusun ini, sangat wajar bagi lelaki untuk memiliki rambut panjang. Banyak yang bilang tubuhnya bau tengik, dan ia jarang terlihat bekerja. Pada kedua tangannya, sering terdapat guratan-guratan warna. Berbeda dengan para petani pekerja keras yang terkadang tangannya diwarnai oleh tanah, warna-warna yang ada pada tangannya merupakan warna cerah yang tak mungkin didapatkan secara alami. Namun Sundari dan suaminya tetap dapat hidup dengan layak dan nyaman menggunakan upah mereka. Pasangan itu tak pernah meminjam uang, tak pernah mencuri.

Tak di sangka, orang-orang di dusun yang memandang bahwa agar dapat hidup berkecukupan harus digandrungi serta ditempa dengan kerja keras yang dapat dilihat oleh semua orang memandang bahwa dalam rumah tangga itu, hanya Sundari yang bekerja keras melayani suaminya. Sedangkan sang lelaki, menurut mereka, ambil enaknya saja dan kesehariannya sekedar leha-leha di teras rumah kayu mereka sambil merokok sebatang dua batang.

Mereka, terutama para bujangan, mencari-cari kesalahan pasutri bahagia itu.

Mereka kembali memanggil-manggil dan menggoda Sundari yang makin merapatkan kerudung hijau yang biasanya ia selampirkan apabila berjalan ke sekolah tiap pagi dengan kebaya sederhananya. Para bujang itu dipimpin oleh  Cak Topel yang istrinya lumpuh dan selalu ia tinggal sendiri dirumah. Mereka menungguinya tiap pulang, dan menghalangi jalannya kembali kerumah. Pernah sekali suaminya mengantarnya ke gedung sekolah reot itu, dan menungguinya sampai pulang. Sedihnya, ditengah perjalanan pulang ia babak belur dihajar  pemuda-pemuda berbadan besar itu—Setelahnya, Sundari melarangnya untuk sering menampakkan dirinya di depan warga dusun.

Yang harus dikagumi di sini adalah sifat pantang menyerah mereka. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjungkalkan Sundari dan suaminya dalam fitnah, sampai akhirnya mereka mencium sesuatu yang janggal dari rumah senyap mereka.

Bau tengik,

Ada yang bilang, jenis pesugihan macam tuyul sebagus apapun tetap akan mengeluarkan bau tengik atau busuk.

Mereka mulai menyambungkan hal ini dengan warna pada tangan suami Sundari,

“Itu tidak mungkin didapat dari bekerja di ladang.”

“Warna-warna itu pasti ramuan dukun.”

Dari situ, dapat dipastikan bagaimana Sundari dan suaminya dapat selalu hidup berkecukupan bahkan dengan uang mereka yang pas-pasan. Bujang-bujang berbadan besar itu segera menyebarkan cerita dan tuduhan-tuduhan yang membuat telinga panas. Sundari dan suaminya makin menarik diri dari warga dusun. Sundari bahkan berhenti mengajar setelah menemui kelas-kelas yang seharusnya ia ajar seringkali kosong, dan menemukan tatapan-tatapan sinis para ibu rumah tangga mengintipnya dari depan pagar kayu sekolah yang alakadarnya itu.

Entah kita harus bersyukur atau tidak, persembunyian itu tidak berlangsung lama. Pada sebuah malam bulan purnama yang lembab dan becek, Sundari melihat bola-bola cahaya dari jendela rumahnya yang ditutupi oleh anyaman jerami. Nyala api itu berasal dari berpuluh obor warga dusun yang berteriak-teriak dan menuntut Sundari dan suaminya agar mengaku bahwa mereka menggunakan pesugihan.

Sundari keluar sembari menyelampirkan kerudung hijaunya, diikuti suaminya yang rambutnya digelung tak rapih. Belum sempat mereka mengucapkan sepatah kata, para bujang menarik suami Sundari dengan menjambaknya dan melamparkannya ke tanah becek, menendangi pertunya, lalu menghajarnya seolah ia binatang peliharaan yang tak pernah patuh pada majikannya. Sundari hanya dapat menjerit dan menariki baju sejumlah laki-laki yang menghunuskan kepalannya pada tubuh kecil dan rapuh orang yang dicintainya. Setinggi apapun ia berteriak, suaranya seolah tenggelam dalam arus deras kebencian yang tak berdasar.

Jeritan untuk orang yang dikasihi itu lambat laun berubah menjadi jeritan untuk dirinya sendiri. Istri Cak Topel yang lumpuh rupanya merayap di tanah dengan sigap seolah laba-laba berkaki seribu, dan menarik bagian belakang kebaya Sundari sampai ia terjerembab ke tanah di mana ujung matanya menangkap sang suami yang rambutnya digunduli tanpa ampun dengan alat yang tak pantas. Saat menyaksikan adegan romansa sedih tersebut, wanita-wanita dusun menjambaki rambutnya, menampari pipinya dan menghajarnya tanpa ampun sambil menghujaninya dengan ludah-ludah mereka yang menasbihkan berpuluh hujatan menyayat hati. Setelah pasutri itu terkulai lemas di tanah musim hujan, barulah warga membumihanguskan mereka berdua yang tangannya tetap bergandengan.

Nasib naas, entah harus disyukuri atau tidak, menimpa suaminya yang terbakar hangus sepenuhnya. Sedangkan Sundari, dengan tubuhnya yang telah setengah terbakar, berhasil kabur dan hilang dari peredaran untuk beberapa saat.

Untuk beberapa saat,

Sampai lelaki yang menggoda, menghajar, membawa mereka pada keterpurukkan semuanya hilang satu persatu, termasuk Cak Topel.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau ronda, dan ditemukan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Orang-orang bilang bahwa ini Sundari yang menuntut balas. Meskipun entah di mana dirinya berada, ia masih tetap menghantui. Membayang-bayangi dengan perasaan bersalah yang menyakitkan bagi seluruh warga dusun,

Karena

Sundari dan suaminya tidak pernah melakukan pesugihan.

Dan, ah, itu cuma tipu muslihat para bujangan yang cemburu dan bersedih karena tak bisa mendapatkan Sundari dalam dekapan mereka sekeras apapun mereka berusaha. Entah sudah berapa lelaki dan lamarannya ditolaknya, ia justru jatuh hati pada pelukis bertubuh kecil yang sepuluh tahun lebih muda darinya.

Bagaimana amarah mereka tidak tersulut?

Seandainya warga dusun lebih mengenal bau cat dan minyak untuk melukis, mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk menuduh Sundari dan suaminya terkait pesugihan.

Ah, coba mereka masuk ke rumah kayu kecil itu sebelum main hakim sendiri. Mereka tak akan sekaget itu saat menemukan gubuknya penuh dengan cat dengan bau tengiknya, tumpukan kertas dan bahan bacaan, serta lukisan-lukisan yang masih dikerjakan.

Hilangnya para bujangan lalu diikuti dengan hilangnya murid-murid sekolah menengahnya, dan lelaki muda lainnya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan ini.

Sundari tidak berhenti.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau berjalan di pematang sawah, saat menantang diri mengaku “tidak takut dengan Sundari itu!” lalu ditemukan dengan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Sundari menyukai kerudung hijaunya yang hilang kala malam,

Kerudung tipis indah yang digunakan untuk menutupi kondenya—Yang direnggut paksa darinya lalu hangus rata dengan tanah.

Tapi Sundari lebih menyukai kehadiran,

Kehadiran suaminya dan tangannya yang bekerja melukis diam, kehadiran kerudung hijau yang melindunginya dari tatapan tajam, kehadiran murid-murid lelakinya yang dengan polos melontarkan lelucon serta godaan-godaan untuk Ibu Guru Sundari mereka, kehadiran anak-anakmu yang sombong.

Sundari menyukai kehadiran, dan itu merupakan alasan lain mengapa ia menggundul habis lelaki yang diculiknya, lalu mengupulkan rambut mereka yang ia sambung, anyam, serta kenakan dengan nyaman bak kerudung dan mantel bulu.

Maka dari itu, orang-orang yang melihatnya terkadang bilang kalau Sundari cumalah hantu; bayang-bayangnya selalu muncul dalam bentuk segumpal rambut menjelang malam.

Sundari lebih suka kehadiran,

Keadilan.

Tapi apa membalas dendam seperti ini juga salah satu bentuk keadilan?

Entahlah, ini pilihan hidup Sundari. Sudah kubilang kalau hatinya entah di mana.

Sekali lagi, Sundari bukanlah hantu. Ia manusia yang teraniaya sama seperti kita. Manusia yang disalahi.

Kalau dipikir lagi, bukannya setan terkejam adalah manusia sendiri?

Yah, itu sih sudah berpuluh tahun lalu. Entah apa jadinya Sundari sekarang. Sekarang lelaki cenderung berambut pendek, tak seperti dulu. Bayang-bayang Sundari kemungkinan tidak se beringas waktu itu, dan telah berkurang frekuensinya. Namun wanti-wanti mengenai dirinya terus ada dan berubah seiring berjalannya waktu, bervariasi.

Itu sudah
Berpuluh tahun lalu.
Mungkin sekarang ia telah jadi hantu sungguhan, atau ada perwujudan Sundari-Sundari lainnya?

Tidak masuk akal, ya?

Aneh, omong kosong, isapan jempol.

Kalau dipikir lagi, bukannya dunia ini selalu penuh omong kosong dan tangis dalam gelak tawa?
KRRW Nov 2018
Unang gabi sa huling sandali
Nag-aagaw ang ilaw at dilim
Katahimika'y namamayani.


Nakatayo sa gilid ng bangin
Isang hakbang tungo sa libingan
Nakapikit ngunit nakatingin.


Sumilip ang buwan sa kalangitan
Hudyat ng katapusan ng duyog
Tuluyang bumukas ang pintuan.


Lumiyab ang bawat alikabok
Mga alitaptap na dumadapo
Sa bawat sugat nangingimasok.


Buhok ay nagsimulang lumago
Sabay sa pag-ikli ng hininga
Nagpupumiglas sa bawat pulso.


Isang bulaklak na bumubuka
Dugo at ginto ang tanging dilig
Usbong sa hungkag at tuyong lupa.


Buto at laman ay nanginginig
Balat ay nagsimulang uminit
Halik ng apoy sa pulang tubig.


Umuungol sa bawat pagpunit
Likuran na may bagong pasanin
Ngipin na sukdulang nagngangalit.


Nakalutang sa payak na hangin
Kamay ang nagsisilbing kandila
Maglalakbay sa tulay na itim.


Isang sulyap bago kumawala
Ibinuka ang pakpak na pilak
Huling yugto ng pakikidigma.
Written
11 November 2018


Copyright
© Khayri R.R. Woulfe. All rights reserved.
Leonoah Apr 2020
Alas sais y medya na ng umaga nang makauwi si Natividad mula sa bahay ng kanyang amo. Pagkababa n’ya ng maliit na bag na laman ang kanyang cellphone at wallet na merong labin-limang libo at iilang barya ay marahan siyang naglakad tungo sa kwartong tinutulugan ng kanyang tatlong anak. Hinawi niya ang berdeng kurtina at sumilip sa kanyang mga anghel.
Babae ang panganay ni Natividad, o di kaya’y Vida. Labindalawang taong gulang na ito at nasa Grade 7 na. Isa sa mga malas na naabutan ng pahirap na K-12 program. Ang gitna naman ay sampung taong gulang na lalaki at mayroong down syndrome. Special child ang tawag nila sa batang tulad nito, pero “abnormal” o “abno” naman ang ipinalayaw ng mga lasinggero sa kanila. Ang bunso naman niya, si bunsoy, ay kakatapak lamang ng Grade 1. Pitong taong gulang na ito at ito ang katangkaran sa mga babae sa klase nito. Sabi ng kapwa niya magulang ay late na raw ang edad nito para sa baiting, pero kapag mahirap ka, mas maigi na ang huli kaysa wala.
Nang makitang nahihimbing pa ang mga ito ay tahimik s’yang tumalikod at naglakad papuntang kusina. Ipagluluto niya ang mga anak ng sopas at adobong manok. May mga natira pa namang sangkap na iilang gulay, gatas, at macaroni na galing pa sa bahay ni Kapitan noong nangatulong siya sa paghahanda para sa piyesta. Bumili rin siya ng kalahating kilo na pakpak ng manok, kalahating kilo pa ulit ng atay ng manok, at limang kilo ng bigas.
Inuna niya ang pagsasaing. Umabot pa ng tatlong gatang ang natitirang bigas nila sa pulang timba ng biskwit kaya ‘yun na lang ang ginamit niya. Pagkatapos ay agad niya rin itong pinalitan ng bagong biling bigas.
De-uling pa ang kalan ni Vida kaya inabot siya ng limang minuto bago nakapagpaapoy. Siniguro niyang malakas ang apoy para madaling masaing. Kakaunti na lang kasi ang oras na natitira.
Habang hinihintay na maluto ang kanin ay dumiretso na sa paghahanda ng mga sangkap si Vida. Siniguro niyang tahimik ang bawat kilos para maiwasang magising ang mga anak. Mas mapapatagal lamang kasi kung sasabay pa ang mga ito sa kanyang pagluluto.
Habang hinahati at pinaparami ang manok ay patingin-tingin s’ya sa labas. Inaabangan ang inaasahan niyang mga bisita.
Mukang magtatagal pa sila ah. Ano na kayang balita? Dito lamang naikot ang isip ni Vida sa tuwing nakikitang medyo normal pa sa labas.
May mga potpot na nagbebenta na pan de sal at monay, mga nanay na labas-masok ng kani-kanilang mga bahay dahil tulad niya ay naghahanda rin ng pagkain, at mga lalaking kauuwi lamang sa trabaho o siguro kaya’y galing sa inuman.
Tulog pa ata ang karamihan ng mga bata. Mabuti naman, walang maingay. Hindi magigising ang tatlo.
Binalikan niya ang sinaing at tiningnan kung pupwede na bang hanguin.
Okay na ito. Dapat ako magmadali talaga.
Dali-dali niyang isinalang ang kaserolang may laman na pinira-pirasong manok.
Habang hinihintay na maluto ang manok ay paunti-unti rin siyang naglilinis. Tahimik pa rin ang bawat kilos. Lampas kalahating oras na siyang nakakauwi at ano mang oras ay baka magising ang mga anak niya o di kaya’y dumating ang mga hinihintay n’ya.
Winalis niya ang buong bahay. Maliit lang naman iyon kaya mabilis lamang siyang natapos. Pagkatapos ay marahan siyang naglakad papasok sa maliit nilang tulugan, kinuha ang lumang backpack ng kanyang panganay at sinilid doon ang ilang damit. Tatlong blouse, dalawang mahabang pambaba at isang short. Dinamihan niya ang panloob dahil alanganin na kakaunti lamang ang dala.
Pagkatapos niyang mag-empake ay itinago niya muna backpack sa ilalim ng lababo. Hinango niya na rin ang manok at agad na pinalitan ng palayok na pamana pa sa kanya. Dahil hinanda niya na kanina sa labas ang lahat ng kakailanganin ay dahan dahan niyang sinara ang pinto para hindi marinig mula sa loob ang ingay ng paggigisa.
Bawat kilos niya ay mabilis, halata **** naghahabol ng oras. Kailangang makatapos agad siya para may makain ang tatlo sa paggising nila.
Nang makatapos sa sopas ay agad niya itong ipinasok at ipinatong sa lamesa. Sinigurong nakalapat ang takip para mainit-init pa sakaling tanghaliin ng gising ang mga anak.
Dali-daling hinugasan ang ginamit na kaserola sa paglalaga at agad ulit itong isinalang sa apoy. Atay ng manok ang binili niya para siguradong mas mabilis maluluto. Magandang ipang-ulam ang adobo dahil ma-sarsa, pwede ring ulit-ulitin ang pag-iinit hanggang maubos.
Habang hinihintay na lumambot na ang mga patatas, nakarinig siya ng mga yabag mula sa likuran.
Nandito na sila. Hindi pa tapos ‘tong adobo.
“Vida.” Narinig niyang tawag sa kanya ng pamilyar na boses ng lalaki. Malapit niyang kaibigan si Tobias. Tata Tobi kung tawagin ng mga anak niya. Madalas niya ditong ihabilin ang tatlo kapag kailangan niyang mag-overnight sa bahay ng amo.
“Tobi. Andito na pala kayo,” nginitian niya pa ang dalawang kasama nitong nasa likuran. Tahimik lang ang mga itong nagmamasid sa kanya.
“Hindi pa tapos ang adobo ko eh. Ilalahok ko pa lang ang atay. Pwedeng upo muna kayo doon sa loob? Saglit na lang naman ‘to.”
Mukhang nag-aalangan pa ang dalawa pero tahimik itong kinausap ni Tobi. Maya-maya ay parang pumayag na rin ito at tahimik na naglakad papasok. Narinig niya pang sinabihan ni Tobi ang mga ito na dahan-dahan lamang dahil natutulog ang mga anak niya. Napangiti na lamang siya rito.
Pagkalahok ng atay at tinakpan niya ang kaserola. Tahimik siyang naglakad papasok habang nararamdaman ang pagmamasid sa kanya. Tumungo siya sa lababo at kinuha ang backpack.
Lumapit siya sa mga panauhin at tahimik na dinaluhan ang mga ito tapos ay sabay-sabay nilang pinanood ang usok galing sa adobong atay.
“M-ma’am.” Rinig niyang tawag sa kanya ng kasama ni Tobias. Corazon ang nakaburdang apelyido sa plantsadong uniporme. Mukhang bata pa ito at baguhan.
“Naku, ser. ‘Wag na po ganoon ang itawag niyo sa akin. Alam niyo naman na kung sino ako.” Maraan niyang sabi dito, nahihiya.
“Vida. Pwede ka namang tumanggi.” Si Tobias talaga.
“Tobi naman. Parang hindi ka pamilyar. Tabingi ang tatsulok, Tobias. Alam mo iyan.” Iniiwasan niyang salubungin ang mga mata ni Tobias. Nararamdaman niya kasi ang paninitig nito. Tumatagos. Damang-dama niya sa bawat himaymay ng katawan niya at baka saglit lamang na pagtingin dito ay umiyak na siya.
Kanina niya pa nilulunok ang umaalsang hagulhol dail ayaw niyang magising ang mga anak.
“Vida…” marahang tawag sa kanya ng isa pang kasama ni Tobi. Mukhang mas matanda ito sa Corazon pero halatang mas matanda pa rin ang kaibigan niya.
“Ano ba talaga ang nangyari?”
“Ser…Abit,” mabagal niyang basa sa apelyido nito.
“Ngayon lang po ako nanindigan para sa sarili ko.” garalgal ang boses niya. Nararamdaman niya na ang umaahon na luha.
“Isang beses ko lang po naramdaman na tao ako, ser. At ngayon po iyon. Nakakapangsisi na sa ganitong paraan ko lang nabawi ang pagkatao ko, pero ang mahalaga po ay ang mga anak ko. Mahalaga po sila sa’kin, ser.” mahina lamang ang pagkakasabi niya, sapat na para magkarinigan silang apat.
“Kung mahalaga sila, bakit mo ginawa ‘yon? Vida, bakit ka pumatay?”
Sasagot n asana siya ng marinig niyang kumaluskos ang banig mula sa kuwarto. Lumabas doon ang panganay niyang pupungas-pungas pa. dagli niya itong pinalapit at pinaupo sa kinauupuan niya. Lumuhod siya sa harap nito para magpantay sila.
“Anak. Good morning. Kamusta ang tulog mo?”
“Good morning din, nay. Sino po sila? ‘Ta Tobi?”
“Kaibigan sila ni ‘Ta Tobias, be. Hinihintay nila ako kasi may pupuntahan kami eh.” marahan niyang paliwanag, tinatantya ang bawat salita dahil bagong gising lamang ang anak.
“Saan, nay? May handaan po uli sina ser?” tukoy nito sa mga dati niyang amo.
“Basta ‘nak. Kunin mo muna yung bag ko doon sa lamesa, dali. Kunin ko yung ulam natin mamaya. Masarap yun, be.”
Agad naman itong sumunod habang kinukuha niya na rin ang bagong luto na adobo. Pagkapatong sa lamesa ng ulam ay nilapitan niya ulit ang anak na tinitingnan-tingnan ang tahimik na mga  kasama ni Tobias.
“Be…” tawag niya rito.
Pagkalingon nito sa kanya ay hinawakan niya ang mga kamay nito. Nagsisikip na ang lalamunan niya. Nag-iinit na rin ang mga mata niya at nahihirapan na sa pagbuga ng hangin.
“Be, wala na sina ser. Wala na sila, hindi na nila tayo magugulo.” ngiti niya rito. Namilog naman ang mga mata nito. Halata **** natuwa sa narinig.
“Tahimik na tayo, nay? Hindi na nila kakalampagin ang pinto natin sa gabi?”
“Hindi na siguro, anak. Makakatulog na kayo ng dire-diretso, pangako.” Sinapo niya ang mukha nito tapos ay matunog na hinalikan sa pisngi at noo. ‘Eto na ang matagal niyang pinapangarap na buhay para sa mga anak. Tahimik. Simple. Walang gulo.
“Kaso, ‘nak, kailangan kong sumama sa kanila.” Turo niya kayna Tobias. Nanonood lamang ito sa kanila. Hawak na rin ni Tobi ang backpack niya.
“May ginawa kasi si nanay, be. Para diretso na ang tulog natin at para di na tayo guluhin nina ser. Pramis ko naman sa’yo be, magsasama ulit tayo. Pangako. Bilangin mo ang tulog na hindi tayo magkakasama. Tapos pagbalik ko, hihigitan ko pa ‘yon ng maraming maraming tulog na magkakasama na tayo.”
“Nay…” nagtataka na ang itsura ng anak niya. Namumula na kasi ang mukha niya panigurado. Kakapigil na humagulhol dahil ayaw niyang magising ang dalawa pang anak.
“Anak parang ano lang ito…abroad. Diba may kaklase kang nasa abroad ang nanay? Doon din ako, be.”
Bigla ay nagtubig ang mga mata ng panganay niya. Malalaking butil ng tubig. Hindi niya alam kung naniniwala pa ba ito sa mga sinasabi niya, o kung naiintindihan na nito ang mga nangyayari.
“Itong bag ko, andiyan yung wallet at telepono ko. Diba matagal mo nang gusto magkaroon ng ganon, be? Iyo na ‘yan, basta dapat iingatan mo ha. Yung pera be, kay Tata Tobias mo ihahabilin. Habang nagtatrabaho ako, kay ‘Ta Tobi muna kayo.”
“Nay, hindi ka naman magtatrabaho eh.” Lumabi ang anak niya tapos ay tuluyan nang nalaglag ang luha.
Tinawanan niya naman ito. “Sira, magtatrabaho ako. Basta intayin mo ‘ko be ha? Kayo nina bunsoy ko, ha?” Hindi niya napigilang lambing-lambingin ito na parang batang munti. Kailangan ay sulitin niya ang pagkakataon.
Paulit-ulit niya itong dinampian ng maliliit na halik sa mukha, wala na siyang pakealam kung malasahan niya ang alat ng luha nito. Kailangan ay masulit niya ang natitirang oras.
“Nay, sama po ako. Sama kami ni bunsoy. Tahimik lang kami lagi, pramis, nay. Parang kapag andito si ser, hindi naman kami gugulo doon.” Tuluyan na ngang umalpas ang hikbi niya. Naalala niyang muli ang rason kung ba’t n’ya ito ginagawa. Para sa tahimik na buhay ng mga anak.
“Sus, maniwala sa’yo, be. Basta hintayin mo si nay. ‘Lika ***** tayo doon sa kwarto, magbabye ako kayna bunsoy.” Yakag niya rito. Sumama naman ito sa kanya habang nakayakap sa baywang niya. Humihikbi-hikbi pa rin ito habang naagos ang luha.
Tahimik niyang nilapitan ang dalawa. Kinumutan niyang muli ang mga ito at kinintalan ng masusuyong halik sa mga noo. Bata pa ang mga anak niya. Marami pa silang magagawa. Malayo pa ang mararating nila. Hindi tulad ng mga magulang nila, ‘yun ang sisiguraduhin niya. Hindi ito mapapatulad sa kanila ng mister niya.
“Be, dito ka na lang ha. Alis na si nanay. Alagaan mo sina bunsoy, be, ha. Pati sarili mo. Ang iskul mo anak, kahit hindi ka manguna, ayos lang kay nanay. Hindi naman ako magagalit. Basta gagalingan mo hangga’t kaya mo ha. Mahal kita, be. Kayong tatlo. Mahal na mahal namin kayo.” Mahigpit niya itong niyakap habang paiyak na binubulong ang mga habilin. Wala na ring tigil ang pag-iyak niya kaya agad na siyang tumayo. Baka magising pa ang dalawa.
Nakita niya namang nakaabang sa pinto si Tobi bitbit ang bag niya. Kinuha niya rito ang bag at sinabihang ito na ang bahala sa mga anak. Baog si Tobias at iniwan na ng asawa. Sumama raw sa ibang lalaking mas mayaman pa rito. Kagawad si Tobias sa lugar nila kaya sigurado siyang hindi magugutom ang mga anak niya rito. May tiwala siyang mamahalin ni Tobias na parang sarili nitong mga anak ang tatlo dahil matagal niya na itong nasaksihan.
Pagsakay sa sasakyan kasama ang dalawang pulis na kasama ni Tobias ay saka lamang siya pinosasan ng lalaking may burdang Corazon.
“Kilala namang sindikato yung napatay mo, ma’am. Kulang lamang kami sa ebidensya dahil malakas ang kapit sa taas. Kung sana…sana ay hindi ka nag-iwan ng sulat.”
“Nabuhay ang mga anak kong may duwag na ina, ser. Ayokong lumaki pa sila sa puder ng isang taong walang paninindigan. Pinatay niya na ang asawa ko. Dapat ay sapat na ‘yon na bayad sa utang namin, diba?” kung kanina ay halo humagulhol siya sa harap ng mga anak, ngayon ay walang emosyong mahahamig sa boses niya. Nakatingin lamang siya sa labas at tinititigan ang mga napapatingin sa dumadaang sasakyan ng pulis.
Kung sana ay hindi tinulungan ng mga nakatataas ang amo niya. Kung sana ay nakakalap ng sapat na mga ebidensya ang mga pulis na ngayon ay kasama niya. Kung sana ay may naipambayad sila sa inutang ng asawa niya para pambayad sa panganganak niya.
Kung hindi siguro siya mahirap, baka wala siya rito.
unedited
Diandra Lathifa Oct 2016
Sebetulnya tidak ada yang terlalu berbeda pada Jogja malam itu, namun memang spesial.
Ada kamu di hadapanku, diterangi remangnya lampu kedai kecil tempat kita berdua berteduh dari gerimis dan dinginnya kota Jogja malam itu.
Kamu tidak banyak bicara, sibuk dengan sepiring gudeg dan segelas wedang jahe favoritmu.
Aku tidak bisa berhenti memandangi parasmu. Meski hanya diterangi lampu remang-remang, dan peluh yang basah akan air hujan, bagiku kamu tetap nomor satu.
Sang pemilik kedai pun memutar piringan hitam miliknya, terlantunlah ‘Berdua Saja’.
Aku masih ingat betul tatapanmu malam itu seiring dengan alunan lagu. Sederhana, teduh, dan penuh dengan kehangatan.
Malam itu, aku sadar bahwa rumah tempatku pulang bukanlah bangunan bata beratap dengan satu pintu dan dua jendela.
Malam itu aku sadar, Sepasang mata bola yang teduh dan hangat itulah tempatku pulang.
Kamulah tempatku pulang.
An 11.00 PM thoughts that I  wrote a few weeks a go, Inspired by someone special, someone that captivated the **** out of me.
Kabataa’y minsan lamang kung dumalaw,
Kaligayaha’t halakhaka’y umaalingawngaw
Oras ay tumatakbo
singbilis ng tibok ng puso

Oras ang kumakain sa tanan
Pagbabago’y siyang tahanan
Paglayo’y di man dama
Agwat ay di kayang hilai’t isama

Noon at ngayong panahon
Kayo’y narito, ako’y naroon
Aking nasilaya’y di niyo maikukumpara
Sa inyong mundong bumubungad sa tuwina

Pangaral ay mano po at opo
Pagluhod sa butyl ng monggo
Pag uwi bago ang ala-sais
Mga tamis anghang na pulang dilis!

Pag-akyat ng matarik na bundok
Tuhod na kung lakas sumuntok
Kalarong di makatiis
Sa pagtakbo’y humahagibis

Langit, lupa, mahuli ang taya,
Sing saya tuwing gunita.
Paglalaro ng apir-apiran at teks,
Ice tubig, sili…. Ngeks!

Ganyan ang aming buhay noon
Nakasakay sa ulap nang mga hamon
Kayo ngayo’s nasaan,
Mga batang sa ami’y nakipaghalinhinan?


Kompyuter, telebisyon, at Nintendo Wii,
Cellphone at iPad para sa sarili
Sining ng pagtula’t musika,
Nakaliligtaan na!

Sa mga mata ng panahon,
Makikita ang salamin ng kahapon
Di man naabot ng inyong kamalayan
Sapat nang silipin ang nakaraan

Inyong panaho’y ‘wag sayangin
Darating din ang araw ng mabilis na hangin
Magdadala sa inyo sa malayong himpapawirin
At nakaraa’y inyong lubos na nanaisin.

Sng oras ay oras,
Sa kanya, tayo’y patas
Sa buhay, tayo’y maglalaro
Sa kanyang mga hintuturo.

Lahat ng nawala sa dagat ng panahon,
Kailanma’y din a ibabalik pa ng mga alon
Mga isda nga’y nagpapailalim
Kaya’t marahas na kinabukasa’y wag suungin

Magngyari’t lasapin ang halakhakan,
Takbuhan sa piling ng mga kaibigan
Wag sayangin sa pagkukulong
sa mundo ng pag-ibig, gadgets at pagsulong!
Ang bawat salitang bibitawa’y
Mistulang mga butil ng ulan.
Dahan-dahang tutuksuhin ang damdaming
Hindi mawari kung saan nga ba lulugar.

At unti-unting magtatago at maglalaho,
Gaya ng mga imahe sa panaginip
Na minsa’y nagigising na lamang --
Kupas na ang mga alaala.

Naglaho at nagbago,
Tulad ng gabing mapanlinlang.
Tulad ng pag-aalinlangan
Kung bubuhos na ba ang unang patak ng ulan
O mananatili’t makapaghihintay
Kung sino ang taya; kung sino ang handa na.

Hindi ko lubos maisip
Na ang tadhana pala ay may katapusan,
At ito’y matagal nang dumaong
Sa kawalan ng tiwala.

At gaya ng mapanuksong dahong
Sumasalo sa luha ng langit,
Siya rin pala'y bibigay at mapapagod --
Mapapagod at lilihis hanggang pangako'y mapako.

Naubusan ang bawat katauhan
Ng sandatang  mas masakit pa sa ligaw na bala.
Hindi na rin nila naggawang humanap ng paraan
Para likumin ang minsang mga butil
Na ngayo'y karagatan na.

Naubusan na rin ng mga salitang maibibigkas
Pero minsan din naman nilang sinambit,
Na “ako’y handa na."
Nagtuturuan at nagtutulakan,
Kung sino ba ang may sala.
Ang rosas na alaala, ngayo'y tinik na sinusuka.

Humahampas ang agos ng nakaraan
Sa mga pusong nanamlay habang naghihintay.
Marahil, napagod nga sila
O talagang naubos na ang alas
Sa kani-kanilang mga baraha.

Naulit nga lang ba ang nakaraan?
O ito ang katapusan ng kanilang sumpaan?
Pagkat minsan na ring nalumbay
Buhat sa distansyang pumagitan sa kanila
Ngunit sa pagitan ng “oo” at “hindi,”
Hindi na nila nagawang sumabay.

Ang bigat na kargo ng isa’y
Hindi na kinayang pasanin ng isa pa.
At sa sabay na pagtalikod
Ay namutawi ang poot at tampo.

Hanggang sa dulo ng sinasabi nilang “simula”
Ay naging hangganan na.
At naputol ang pulang lasong itinali nang sabay.
Sabay nga silang nangarap,
Ngunit sabay din silang naubos.
Alia Ruray Jun 2015
Aku mengingatmu
di sela waktuku bertualang
di setiap spasi dalam kalimat 'kita'
aku mengingatmu.

Kau buatku menetap tanpa alasan.
Lantas pergilah aku bertualang;
pergi terbang
ingin kau tau kau tidak mengekang
ingin kau tau aku bisa, kapan saja,
terbang.

Tapi di setiap kepakan sayap,
aku merindu.
Di labuhanku yang berganti-ganti,
aku menemukanmu.



Duduklah kau rapih,
sambut ku yang selalu pulang.
(24 June 2015)
Diska Kurniawan Nov 2016
Mata itu membiru duka lama yang menderu
Badai dan lindu mengantar jasad tubuhku
Terbilang sudah berapa kali kau dan aku berjanji
Diantara pagi haru dan sedikit isak tangis merdu

Aku suka kala kau menangisi canda tawa
terbawa pula hawa panas diantara kata berlalu
Rapat-rapat tak ada dalam bisik-bisik mayat
Sedepak dari liang lahat berpijak,
jemari kaki peti-peti mati digusur pergi

Lelah lelaki itu bertelingkah
Membuang gelas yang telah dituang
Meracau melampau dari batas kewarasan
Disana dia merumput maut, meraut ribut

**Pergi pulang membaur diantar lalu lalang kabut
Aku ingin membawa sosokmu pulang.
Noandy Jan 2016
Pondok Pancawarna*
Sebuah cerita pendek*

Apa aku harus menyesal pindah rumah? Tak ada anak seumuranku di sini. Tak ada penjual susu yang lewat tiap pagi, atau gelak tawa dari permainan sore hari. Aku sedih, tapi itu bukan masalah besar, mungkin. Toh tahun depan usiaku beranjak 15 tahun, aku tak punya waktu untuk banyak bermain. Rambut keritingku yang dipelihara ibu ini juga nantinya akan kupotong, aku tak mau berulangkali dikira sebagai perempuan di tempat tinggalku yang baru.

Tahun depan usiaku 15 tahun, dan aku takkan punya waktu untuk banyak bermain lagi. Aku ingin menghabiskan sisa usiaku dengan bermain di jalanan sampai sore hari. Sayangnya lingkungan ini terlalu asing untukku. semua jalannya terlihat sama dan terlalu besar, terlalu banyak rumput liar dari rumah-rumah kosong yang jaraknya terlalu jauh, dan dedaunan pohon menjuntai bak rambut kasar nenek tua.

Sayangnya lingkungan ini terlalu asing,

Dan aku tak punya pilihan lain selain menjelajahinya
Dengan senang hati.
Jangan bilang ibuku.

Ibu dan mbah selalu melarangku berjalan sendirian di luar saat pagi-siang-sore-malam semenjak pindah ke rumah yang terlalu besar ini, terlalu sepi ini. Mungkin untuk alasan keamanan. Aku tidak sebodoh itu untuk harus bertanya kenapa. Dan karena aku tidak sebodoh itu, aku tidak menyukai cara mereka—Wanti-wanti dari mereka agar aku tak berkeliaran sendiri.

Mereka bilang dahulu jalan besar di depan sana adalah tempat tengkorak para jawara-jawara pembela negara dikuburkan, dan tiap sore akan terlihat pria-pria muda dengan baju berlumur darah merokok serta makan-makan daun sambil bermain catur di pinggiran jalan.

Mbah tambah berkata kalau di perempatan sebelah rumah ini, apabila aku bermain sendirian, aku akan dikejar-kejar oleh serdadu kompeni tak berkepala yang akan menebas kepalaku, atau membawaku untuk disembunyikan.

Aku tak takut pada hantu-hantu bekas perang itu, aku juga tak tertarik pada mereka.
Kesalahan ibu dan mbah, dalam menakut-nakutiku, adalah menceritakan sebuah kisah yang, entah benar atau tidak, justru membuatku tertarik untuk mendekati sumbernya.

Di ujung gang, yang jalannya sedikit menurun, terdapat sebuah rumah kayu yang dijuluki oleh warga sekitar sebagai Pondok. Padahal, menurutku bentuknya tidak seperti Pondok. Rumah itu tidak buruk, justru didepannya terdapat taman besa. Sebuah gerbang mawar besar memagarinya; di taman indah itu, hanya terdapat lima jenis bunga bermekaran. Aku tak tahu jenisnya apa saja, yang kuingat dari cerita itu, pokoknya terdapat warna merah, ungu, biru, kuning, dan yang paling aneh, sebuah mawar hitam. Aku tak tahu bagaimana mawar hitam dapat tumbuh di tempat seperti ini. aku bahkan tak tahu kalau ada mawar yang berwana hitam.

Mereka menyebut rumah itu Pondok,
Pondok Pancawarna.
Pondok milik seorang pelukis yang kata orang-orang kakinya buntung.

Karena tak memiliki objek untuk dilukis, dan tak bisa keluar mencarinya, mereka bilang pelukis itu menarik gadis-gadis kecil dengan bunga yang indah di tamannya, lalu menyekap mereka dalam Pondok itu sampai ia puas melukisnya. Hal ini diceritakan setelah aku mendengar pembicaraan ibu saat membeli sayur pagi hari 2 minggu lalu, setibanya dirumah aku langsung menanyakannya soal cerita itu.
Seram?

Aneh, bukan seram. Memangnya seorang pelukis baru bisa melukis bila ada objeknya?

Kalau ingin membuatku berhenti berkeliaran dan bermain sampai larut malam di daerah baru, seharusnya mereka memberi alasan yang bagus dan masuk akal. Bukan malah menakut-nakutiku dengan sesuatu yang ditakuti anak perempuan.

Nah, malam ini aku akan menyelinap. Aku ingin mencari tahu mengenai pelukis itu; lumayan, aku dapat mencari kesenangan disela malam-malam yang selama ini selalu jenuh.

Setelah aku yakin ibu dan mbah terlelap dengan memperhatikan apa semua lampu sudah mati, aku melepas baju tidurku dan mengambil kemeja lengan pendek putih yang kupakai tadi pagi, celana pendek hitam, dan suspender yang biasanya kupakai setiap hari. Aku keluar lewat—Ini sebenarnya jendela atau pintu, sih? Bentuknya seperti jendela, terlalu besar, dan memiliki gagaing pintu—Aku keluar lewat jendela-pintu di kamarku yang langsung mengantarku ke serambi kanan rumah yang terlalu besar ini. Tanpa sepatu, aku berlari-lari kecil ditemani lampu jalan yang remang-remang dan rambut pohon yang menjuntai menuruni jalanan lebar nan sepi, menuju Pondok Pancawarna di ujung jalan.

Aku sampai didepan pagaarnya. Pagar besi hitam yang ditengahnya terdapat gerbang dari semak-semak mawar. Aku mendorog pagar yang ternyata tidak terkunci itu, berderit pelan, dan perlahan masuk. Kenapa tidak dikunci? Apa memang ia bertujuan untuk menarik anak-anak yang penasaran kemari? Dan sekarang, sejauh mata memandang dibawah bulan sabit yang temaram, aku hanya melihat hamparan taman bunga yang indah didepan sebuah rumah kayu tua yang mulai berlumut. Seperti kata mereka, dalam remang aku dapat melihat bahwa bunga didalam sini hanya memiliki 5 warna—mawar, yang jelas, bunga sepatu, lavender, violet—Entah apa lagi, aku hanya mengenali itu. taman ini terlihat makin gelap karena tak ada bunga yang berwarna putih. Aku mengambil sebuah ranting panjang yang patah, dan mengibas-ngibaskannya seolah itu adalah pisau untuk memotong dahan-dahan yang menghalangi jalan, aku seorang penjelajah.

Aku melihat taman dari ujung-ke-ujung, sampai akhirnya berhenti ketika aku mencoba untuk mencari jalan menuju belakang Pondok—
Di sana lah aku melihatnya,
Dengan sebuah lampu ublik yang ia letakkan di sebelah cagak kanvasnya,
Ia duduk pada sebuah kursi roda kayu,
Sambil terus melukis dan menoleh ke arahku.
“Nak?”
Ia memutar kursinya,
Dan kakinya tak ada—Tak ada dalam artian, benar-benar tak ada. Seolah tak ada apa-apa lagi setelah bagian bawah perutnya.
“Sedang apa kau kemari? Tak ada yang berani kesini, lho.”
Ia tidak tua seperti yang kubayangkan, tidak setua mbah, dan mungkin hanya beberapa tahun di atas ibu. Kemeja biru bergarisnya terlihat kusam di bawah mata sabit rembulan.
Aku terus mengayun-ayunkan ranting yang kupegang.
“Tak apa, aku hanya penasaran. Kukira bapak cuma sekedar cerita. Ibu dan mbah biasanya menakut-nakutiku.”
“Apa menurutmu aku terlihat seperti orang jahat?”
“Tidak. Bapak terlihat seperti—”
“Ya?”
“Orang sedih, pak.”
“Lho, mengapa?”
“Karena bapak melukis  sendirian jauh dari orang. Aku punya teman yang selalu menggambar sendirian saat sedih.”
Bapak itu hanya tertawa. Dan memanggilku untuk melihat lukisannya lebih dekat.
“Ada apa dengan kakimu, pak?”
“Ini Memento Mori. Kau tahu apa itu?”
“Apa itu?”
“Pengingat kematian.”
Aku melihat lukisannya—Seperti tamannya, aku hanya mengenali lima warna pada lukisannya.
“Datanglah lagi bila kau mau. ”

Ketika aku datang esok pagi, setelah beli sayur bersama ibu dan mbah, (aku menyelinap setelah mereka masuk ke rumah) ia tak ada disana. Aku mencoba kembali malam hari, dan saat itulah aku sadar bahwa ia selalu melukis tiap malam, dan entah berada di mana saat pagi. Aku mulai mengunjunginya tiap hari, tiap minggu, sewaktu kesepian dan suntuk melandaku.

Aku mulai hafal pola-pola lukisannya, gurat-guratan garisnya yang abstrak. Ia tidak pernah menggunakan warna yang tidak ada pada tamannya, seolah cat yang ia dapat berasal dari bunga-bunga yang ia tanam. Yang ia hancurkan, dan renggut warnanya.
Pada suatu malam yang anehnya tidak dingin, justru sedikit hangat, ia bertanya,
“Apa yang kau lihat di lukisan-lukisanku, nak?”
“Hmm.. Apa ya.. Warna yang dicampur-campur.. Lima warna.. Garis putus-putus..”
“Ini warna-warna dan suara masa lampau.”
Aku menatapnya penasaran,
“Kau masih ingat Memento Mori?”
“Pengingat kematian?”
“Kakiku yang hilang ini bukan hanya pertanda agar aku selalu mengingat kematian. Tapi agar aku tak bisa melupakan, dan meninggalkan masa lampau.”
“Maksud bapak, agar tak bisa meninggalkan tempat ini juga?”
“Ya, ini tempat dimana aku kehilangan banyak hal, kehilangan orang-orang yang kukasihi. Aku ingin tetap bersama jiwa mereka di Pondok ini. Rumah tua reot kami yang sudah lumutan.”
“Apa ini ada hubungannya dengan bunga yang hanya memiliki lima warna?”
Ia meletakkan kuasnya dan memutar kursi rodanya menghadapku, lalu melonggarkan kerah kemeja putih lusuhnya; aku lebih suka kemejanya yang biru bergaris.
“Aku dahulu tinggal dengan empat orang anakku, dan istriku. Ia sangat suka berkebun, dan menanam enam bunga sesuai warna kesukaanku kami. Ia sangat cantik, tak banyak memikirkan soal dirinya. Pada suatu hari, nak, ketika ia pergi ke pasar pagi buta, mendung semilir, dan aku masih menemani anak-anak yang belum terbangun—Badai terjadi. Kami lindung didalam rumah sedangkan—Entah apa jadinya pada istriku dan ibu-ibu yang ke pasar pada pagi hari. Yang kutahu, ketika hujan mulai reda dan semuanya kembali seperti sedia kala, taman kami sudah tak berbentuk, kacau. Pepohonan semua tumbang, jalan-jalan dipenuhi lumpur, dan entah berapa lamapun aku menunggu,
Ia tak kembali dari pasar pagi itu.
Cuaca sangat buruk, dan untuk keluarga di daerah terpencil seperti ini, flu bukanlah penyakit yang mudah, nak.”
“Kau kehilangan keempat anakmu karena flu, pak?”
“Tepat sekali, dan setelahnya, aku mencoba menghidupkan mereka dalam warna-warna yang mereka sukai. Lima warna yang mereka gemari di pekarangan kasih ini. Tapi entah bagaimanapun, mawar putih yang kutanam untuk istriku, di tanah hitam yang sedih dan lembab ini, mendadak menunjukkan bercak-bercak hitam yang makin menyebar ke seluruh kelopaknya. Seolah alam bahkan tak mengizinkanku untuk mengenang dan bertemu lagi dengannya,
Seolah kami takkan pernah bersatu lagi.”
“Aku tak tahan, nak. Aku ingin pergi dari sini. Tapi jika aku pergi, siapa yang akan merawat bunga-bunga ini dan mengenang, mengasihi mereka di gelap sana? Aku berusaha keras mengurungkan niatku, dan untuk memaksa diriku agar tak pergi,
Aku memotong kedua kakiku.”
“Apa tetangga-tetanggamu tak berpikir kau gila, pak?”
“Tentunya. Hal terakhir yang kuingat dari mereka hanyalah kursi roda kayu ini.”
“Mereka menuduhmu menculik anak-anak.”
“Aku tak pernah menculik mereka, mereka datang sendiri, dan aku memperlakukan anak-anak itu sepantasnya.”
“Dasar, gosip ibu-ibu.”
Cerita mengerikan itu terus menghantuiku. Tapi aku tak dapat berhenti mengunjunginya. Aku kasihan padanya, bapak itu pasti kesepian;

Sama sepertiku.

Setahun hampir berlalu, dan minggu depan usiaku akan menginjak 15 tahun. Aku akan dikirim untuk tinggal bersama ayah di ibu kota, dan harus meninggalkan tempat ini.
Aku mengkhianati keinginanku untuk tidak banyak bermain dan mulai menjadi anak yang serius,
Aku tidak ingin kehidupan dewasa yang terlihat sepi dan penuh sesak serta hambar,
Aku masih ingin bermain.

Semalam sebelum ulang tahunku, aku melesat ke Pondok Pancawarna. Aku bersembunyi diantara semak bunga biru sampai pak pelukis menemukanku.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
“Sembunyikan aku, pak! Sampai dua hari ke depan?”
“Apa? Mengapa? Mbah dan ibumu akan mencarimu!”
“Aku tak ingin jadi orang dewasa yang sedih dan membosankan, aku masih ingin bahagia dan bermain! Besok lusa ayah akan menjemputku, dan aku harus ikut dengannya untuk belajar di ibu kota—Dengan seragam yang pucat dan kehidupan yang ketat.”
“Bukannya kau pernah bercerita akan memotong rambut keritingmu itu dan berhenti bermain-main.”
“Itu hanya untuk menghibur sepiku—”
“Jangan membohongi dirimu, nak.”

Aku menoleh melihat lukisannya—Lukisan yang biasanya abstrak. Meskipun tidak jelas, aku dapat melihat bahwa itu adalah lukisan Pondok ini, dengan hamparan taman harum dan 4 anak yang bermain riang bersama orangtua mereka, berlarian di pekarangan.

“Kuharap aku dapat bersenang-senang seperti yang lukisanmu itu.”
“Hei, ayolah, jangan murung. Kau harus senang dapat bersama orangtuamu.”
Aku hanya membenamkan wajahku dalam lututku.
“Baiklah, kau boleh menginap untuk dua hari ke depan.”

Pak pelukis menggiringku masuk sambil memutar roda kursinya; ia mempersilahkanku untuk tidur di kamar anaknya, dan minum teh malam sebelum terlelap. Aku biasa melakukannya dengan ibu, mbah, dan ayah; tapi semenjak pindah kemari dan ayah harus berada di ibu kota, ibu dan mbah tidak lagi mengajakku minum teh sebelum tidur

Keesokan harinya aku terbangun, cahaya matahari menyinari jendela kamar yang sedikit berdebu ini, namun terlihat lebih indah dan menarik daripada tadi malam. Mainan dan buku berserakan dibawahnya. Kakiku sedikt nyeri saat tak sengaja menginjak empat batang krayon yang tergeletak di karpet. Aku mencari pak pelukis, tapi sebelum menemukannya aku mendengar tawa riang anak-anak.

Aku berlari ke pintu depan yang letaknya kuraba-raba; aku tak tahu. Tadi malam kami masuk lewat pintu belakang. Pintu depan berhasil kucapai, dan dengan melindungi mataku dari sinar matahari pagi, aku beranjak keluar untuk melihat sebuah keluarga bahagia; empat orang anak dan sepasang suami istri bermain, berlari riang pada sebuah pelataran mengenakan mahkota bunga.
Sang ayah, dengan kemeja biru bergarisnya dengan mudah kukenali,
Itu pak pelukis, tapi ada yang berbeda dengannya.
Ia berdiri pada kedua kaki, dan berdansa dengan riang bersama istri serta anak-anaknya,
Tangannya terulur, ia mengajakku untuk bergabung dengannya,
Dan aku menyambutnya.

Kami berdansa, berdendang, dan makan enak sepanjang hari. Saat malam, aku mencoba untuk melewati gerbang mawar dan mengintip keadaan rumahku; tapi tak bisa. Yang kulihat selepas gerbang mawar adalah hamparan taman yang sama, lebih besar dan luas dari ini.

Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, tapi tak bisa.
Seolah ada kain kasar tebal yang membatasi antara aku dan taman selanjutnya.

Keesokan harinya kami masih bermain, bersenang-senang. Aku semakin akrab dengan empat orang anak yang pakaiannya berwarna sesuai dengan kesukaan mereka, dan dapat dengan mudah mengambil hati istri pak pelukis.
Tapi, malam ini,
Saat aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, di depan tirai kain tebal itu;
Yang kulihat adalah wajah ibu.
Wajah ibu, mbah, dan ayah yang panik serta berteriak seolah memukul-mukul tirai kain.
Aku menoleh ke belakang,
Istri pak pelukis memanggilku untuk makan malam.
Pagi hari setelahnya kami masih terus berdendang, dan berbahagia bersama. Tapi ini sudah esok lusa, dan aku harus pulang karena pasti ayah sudah kembali ke ibu kota dan tak akan ada yang mengambilku lagi.
Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, didepan tirai kain tebal itu;
Aku masih tak dapat melewatinya,
Tapi sekarang aku tak melihat taman bunga, ataupun wajah ibu dan mbah yang terlalu dekat—
Aku melihat ruang tamu rumahku,
Dengan ibu, mbah, dan ayah duduk termenung menundukkan kepalanya.
Aku menoleh ke belakang,
Pak pelukis mengajakku bermain lagi; empat anaknya, serta beberapa anak lain, berlari mengejar, menarik tanganku untuk tinggal bersama mereka.

Tinggal dan berbahagia di Pondok Pancawarna untuk selamanya.
Sorry for writing in my native language lately ^^
el Aug 2014
ada kalanya dimana aku akan duduk tersungkur di pojok ruangan
memandangi selembar foto dirimu
tersenyum bahagia disebelahnya
kau sangat cocok bersamanya
bahkan, tangan yang dulu rasanya pas disela-sela tanganku itu
terlihat lebih cocok bersamanya dibandingkan denganku

sudah beberapa kali aku mencoba untuk merelakanmu tanpa pernah memilikimu
ikatan batinku terlalu kuat
tidak bisa begitu saja aku melepasnya
4 tahun bukanlah waktu yang sebentar, bukan?

aku sudah tidak menunggumu pulang lagi
karena aku tahu
kau tidak akan pernah pulang lagi kepadaku
dan aku harus belajar melepasmu
George Andres Jul 2016
Maria, ang Ibarra na 'yong inirog
At pag-ibig na nalimot
Ay muling umahon sa ilalim ng ilog
At ako'y ginising sa aking pagtulog

Ang iyong kwento'y tila nauulit
Ikaw Maria Clara, siyang naging kapalit
At ako si Ibarrang nasasaktan nang labis
Dahil kay Linares na di maalis

Ikaw ang Modernong Maria Clara
Masiyahin, mabuti at mganda
At ako si Crisostomong Ibarra
Walang pinagkaiba
Hanggang sa kasalukuya'y di ka makuha

Ikinasal sa bayan at mga pangarap
Patawad ngayo'y di kita maharap
Ika'y isang malayong pangarap
Na sa mga kurso'y di ko mahagilap

Anupa't ika'y nakangiti ngayon
Ngunit huwag gayahin ginawa ni Clarang noon
Maging masaya ka sa sa piling ni Linares na iyong ****
Habang ako'y magdurusa sa loob ng marami pang taon

Saglit at sa loob'y nagkakasiyahan
Tugon nila'y marahan sa aking nararamdaman
Musikang ngayo'y kakampi
Dusa sa di makuhang pulang mga labi

Kung darating man ang panahong "Ikaw"
Hiling ko'y maging masaya at di mapanglaw
Mukha mo sa puso ko'y di manakit at manghataw

Sa di pagtingin sa king mata
Wari ko'y alam mo na
Ang aking tunay na nadarama
Mahal kita Maria Clara,
Paalam na
2015 Noli Me Tangere
𝙰𝚗𝚗𝚎 Feb 2018
hindi ikaw ang dahilan kung bakit siya nakangiti
hindi ikaw ang unang una niyang maiisip
sa unang pagbukas ng kanyang mga matang nakapikit;
hindi ikaw ang kanyang unang kakausapin
sa tuwing siya'y masaya,
malungkot, nagdudusa, at nasasaktan
hindi rin ikaw ang unang taong kailangan niya
tuwing siya'y nakakaramdam ng pagiging mag-isa

hindi talaga 'ikaw.'

ang ikaw na palaging siya ang iniisip
unang pagmulat pa lang ng mata sa umaga
ang ikaw na bukambibig ang pangalan niya
kahit ang iba'y rinding rindi na
ang ikaw na palaging nag-aabang sa pinto
nagbabakasaling babalik siya
at ang ikaw na naghihintay
kahit nakakagago na

hindi rin ikaw, at hinding hindi magiging ikaw
ang 'siya' na gusto niya
ang siya na importante sa buhay niya
na kahit ano mang pagsubok, ay siya at siya pa rin
ang siya na palagi niyang binabati ng magandang umaga
ang siya na ang mundo niya
at ang siya na kahit kailan
ay hindi magiging ikaw

hindi ikaw,

hindi talaga ikaw ang huli niyang maiisip
bago niya ipikit muli ang kanyang mga mata
hindi ikaw ang masayang kaganapan na maaalala niya tuwing siya'y nalulungkot
at hindi ikaw ang isang pulang rosas na kanyang pinili sa hardin ng iba't ibang bulaklak

kahit kailan naman ay hindi naging ikaw
hindi naging ikaw ang "siya" at "tayo" na iniisip niya
hindi naging ikaw ang pinaplano niyang masayang panimula pagkatapos ng masakit na katapusan
hindi naging ikaw, at hindi magiging ikaw

dahil iba ang "ikaw" at "siya"
ang siya na pilit niyang kinukuha ang atensyon
at ikaw na pilit namang kinukuha ang atensyon na hindi para sayo.
JK Cabresos Sep 2016
Isusulat kita.
Sa huling araw na masilayan ko
ang tamis ng ‘yong mga ngiti
at sa mapang-akit
**** mga labi.

Isusulat kita.
Habang nakikita ko pa
ang aking sarili
sa kislap ng ‘yong mga mata,
bago ka lumisan,
dahil matagal pa
ang ‘yong pagpihit
mula sa ibang daigdig.

Isusulat kita.
Sa mga titik at letrang
namumutawi sa aking bibig,
hindi ko hahayaang
malusaw na lamang
sa pagtakbo ng oras,
mabaon sa limot,
patungo sa karimlan.

Isusulat kita.
Habang tanaw pa natin
ang mapula-pulang sunset
na kakulay ng puso nating dalawa
at kayakap kita.
Yayakapin kita.
Hanggang sa magbubukang-liwayway
ang tanaw nating takipsilim.
Yayakapin pa kita.
Sana.

Isusulat kita.
Sa kailaliman ng gabi,
sa dilim,
sa nagsisidhing damdamin,
kung saan sinag lang ng buwan
ang tanging namamasadan,
at ang kayakap ko na lang
ay ang mga basang unan.

Isusulat kita.
Kasabay ng pagpigil
sa pagpatak ng luha
habang nakikita
ang ‘yong mga hakbang
paakyat sa bus dahil uuwi ka na.
Habang ang sinasakyan
ko namang dyip
ay papalayo ng palayo sa ‘yo,
ihahataid na
kung saan ako ngayon
ay iniisip ka.

Isusulat kita.
Ikaw ang ipaloloob
nitong aking akda,
bawat berso, bawat tugma,
ikaw ang nasa isip,
ang iisipin ulit
hanggang sa tumunog bukas
ang naka-set kong alarm
at magising na lang
na nasa malayo ka na.
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Mungkin suamimu tak pandai berkata apalagi merayu dengan romantisme karya sastra...
Tapi mungkin dengan cara itulah Allah menjaga lisannya...
Menjauhkannya dari fitnah dunia yang tak halal baginya...

Mungkin suamimu tak pandai berkata..
Tapi heningnya menahan kita banyak bicara..
Memutus rantai kalimat sanggahan yang lahirkan perkara..
Sehingga keseimbangan suasana lebih terjaga..

Andai saja Allah ciptakan sebaliknya, mungkin rumahmu bagai arena tarung laga
Ah.... itulah mengapa Allah menikahkanmu dengannya

Mungkin istrimu tak berparas mempesona
Apalagi secantik selebritis di warta berita..
Tapi mungkin lisannya selalu berucap kata mutiara yang terpancar dari jiwa yang terjaga...

Andai saja Allah menciptakan sebaliknya
Mungkin hatimu tak tenang saat jauh darinya
Ah..... itulah mengapa Allah menikahkanmu dengannya

Mungkin suamimu bukanlah saudagar kaya yang membawa pulang limpahan laba hasil usaha...
Namun meskipun besarannya begitu sederhana...
Mungkin ia selalu menjaga kehalalan apa yang dibawa..

Mungkin suamimu bukanlah pejabat yang bertahta, yang dihormati dan dipuja bawahannya
Tapi mungkin dibalik kedudukannya yang biasa, ia mampu menjadi imam bagi keluarga

Andai saja Allah menciptakan sebaliknya,
Mungkin belum tentu ia miliki derajat takwa
Ah..... itulah mengapa Allah menikahkanmu dengannya

Mungkin istrimu bukanlah koki istimewa yang masakannya selezat pujasera...
Tapi mungkin ia pandai mendidik buah hatinya, memahat pribadi yang berkarater mulia.

Mungkin istrimu bukanlah koki istimewa,
Yang terkadang masakannya itu-itu saja
Tapi mungkin ia pandai mengatur alokasi harta, sehingga pemberianmu tak terhambur percuma

Andai saja Allah menciptakan sebaliknya
Mungkin kecintaanmu akan terlalu berlebih padanya...
Melebihi cintamu pada Allah sang pemberi karunia..
Ah.... itulah mengapa Allah menikahkanmu dengannya...

Mungkin suamimu tak pandai terlibat merawat anaknya...
Sehingga terlihat kau melakukan semuanya
Tapi mungkin ia sabar membantumu... meringankan pekerjaan rumah tangga..
Sehingga semua terlaksana dengan kerja sama..

Mungkin suamimu tak pandai terlibat merawat anaknya...
Sehingga terlihat minim perannya dalam keluarga...
Tapi mungkin ia sangat keras bekerja
Sehingga nafkah telah cukup terpenuhi lewat dirinya...

Andai saja Allah menciptakan sebaliknya
Mungkin banyak para gadis menanti dipinang menjadi yang kedua
Jika suamimu terlalu sempurna...
Aaa.... itulah mengapa Allah menikahkanmu dengannya...

Mungkin istrimu tak mahir dalam mengurus rumah tangga..
Tak mampu menyulap rumah menjadi rapi tertata...
Tapi mungkin ia begitu cerdas menguasai matematika...
Sehingga anak yang cerdas dalam eksakta terlahir dari rahimnya karena genetika...

Mungkin istrimu tak mahir dalam mengurus rumah tangga..
Menambah sedikit tugasmu dalam membantunya bekerja..
Tapi mungkin ia begitu taat dalam beragama..
Membimbing anak-anak dalam kerangka syariat agama...
Sehingga meringankan kewajibanmu dalam membimbing keluarga

Andai saja Allah menciptakan sebaliknya
Mungkin engkau merasa tugasmu telah tertunai sempurna..
Cukup sekedar menyempurnakan nafkah keluarga
Aaa..... itulah mengapa Allah menikahkanmu dengannya

Percayalah......
Selalu ada kebaikan dalam setiap ketetapan Allah Sang Sutradara
Maka temukanlah sebanyak-banyaknya rahasia dibaliknya..
Agar engkau mengerti mengapa Allah menikahkanmu dengannya...

Jikalau engkau masih sulit menemukan jawabannya...
Gantilah kaca matamu dengan kacamata syukur atas segala karunia...

Adalah hakmu jika engkau berharap Khadijahmu menjadi lebih sempurna...
Asalkan kau siap membimbingnya dengan menjadi Muhammad baginya.

‪#‎RZMuhasabah‬

Suka · Komentari · Bagikan
Amira I Jun 2015
Semoga sejauh apapun kau mencari, akulah tempatmu untuk pulang kembali.
claviculea Feb 2021
Aku pernah diajak pulang.
Senyumnya seperti figura kecil di ujung ruang,
Sentuhannya familiar seperti mainan usang.
Aku tidak mau diajak pulang.
Tangannya hangat seperti teh yang baru dituang,
Tatapannya halus seperti selimut yang sudah dibuang,
Tapi sekarang belum saatnya pulang.
Aku ditinggal pulang oleh mama.
Katanya dia tidak bisa berlama-lama,
Katanya dia masih orang yang sama,
Yang walaupun raganya sudah tidak bisa diajak bercengkrama,
Balut hangat cintanya akan selalu jadi rumah.
Homesick is never for a place, it’s for memories and the people inside it.
So Dreamy Jan 2017
Aku tahu mengapa dari jutaan perempuan yang ada di dunia ini, matamu memilih hanya untuk memandangi satu perempuan berambut gelombang sedada dengan kaos polos berbahan nyaman berwarna abu-abu muda yang kamu sebut ia sebagai perempuan indie.

Dia perempuan yang kau beri label indie karena ia mendengarkan musik-musik aneh yang tidak masuk di telinga pendengar musik-musik mainstream yang biasa mendapatkan lagu kesukaannya diputarkan di radio mobil. Bukan jenis selera musik yang biasa ada di playlist tim pemandu sorak. Selera musiknya ialah tak lain sejenis musik rock yang ringan, lagu-lagu dari tahun 90-an, lagu-lagu dengan sentuhan retro beat tahun 80-an, dan musik elektro santai yang biasanya kamu dengar di toko baju. Selain selera musiknya, kau beri perempuan itu label indie karena ia bersifat eksentrik, tak terduga dan penuh kejutan, sedikit tertutup, dan bersemangat. Ia jenis seseorang yang bisa kamu dapatkan dirinya menatapi permukaan jendela yang basah dihinggapi bulir-bulir rintik hujan, sibuk memikirkan sesuatu. Ia juga jenis perempuan yang bisa kamu dapatkan kadang menarik diri dari keramaian, lebih suka membaca atau menulis seorang diri. Juga, ia seorang perempuan yang bisa kamu temukan sedang tertawa lepas bersama teman-temannya, mengobrol dengan terbuka dan hangat, menebar senyum sambil menyapa ramah, berteman baik dengan semua orang. Ia jenis perempuan yang tak akan kau sangka-sangka, apalagi dapat kau tebak tindak-tanduk akan ia perbuat selanjutnya. Kau pikir ia jenis perempuan yang kuat, sesungguhnya ia katakan bahwa dirinya cengeng. Setelah itu, kau pikir selanjutnya ia bukan tipikal perempuan mandiri yang mampu membawa dirinya sendiri ke mana pun, tapi nyatanya kau lihat kadang ia berjalan sendiri – ke kantin, ke mushola, bahkan kadang kau mendapati dirinya berjalan pulang seorang diri dengan kedua telinga ditancapi earphone putih. Ia perempuan berperawakan kecil dan seorang pemimpi besar, yang mimpi-mimpinya membuatnya bekerja keras demi menghilangkan ketakutannya akan pikiran ketidakmampuan mewujudkannya. Ia dianggap secerah mentari bagi orang-orang di sekitarnya, selalu tertawa dan melisankan kata-kata positif, tapi sesungguhnya, ia hanyalah mentari bagi dirinya sendiri. Setiap kali ia jatuh, ia yang membuat dirinya kembali bangun − hingga akhirnya, ia tanamkan pada benaknya bahwa begitulah proses dari kehidupan. Kehidupan adalah siklus yang adil. Kehidupan berbuat tidak adil pada semua orang dan itulah saat yang paling tepat di mana ia harus bangkit dan mekar, hanya untuk dirinya sendiri.

Aku tahu kemudian mengapa perempuan yang kamu sebut sebagai perempuan indie itu menarik perhatianmu, bahkan sampai membuatmu rela melakukan apapun untuknya. Ia benar-benar membuatmu seolah bangun dari tidur lama di ruang kedap cahaya, pandangan matamu seolah mengatakan bahwa perempuan itulah matahari baru dalam kehidupanmu. Tentang bagaimana tindak-tanduknya yang tak mampu kau reka dan kau prediksi, perempuan itu membuatmu seperti melihat sebuah misteri dan keajaiban yang melebur jadi satu.

Sebut saja, sederhananya,
kamu benar-benar (akan) mencintainya.
Bella Ayu Apr 2019
Untuk yang merindukan Rumah, lebih dari apapun.
Rumah bukan lah tentang bangunan, ruang, pintu-pintu yang kokoh, atau jendela-jendela yang ditata.
Bukan tentang jenis kayu apa yang digunakan untuk pintu-pintu, jendela-jendela, entah itu jati, sigi atau mahoni.
Ini tentang apa yang hidup di dalam sana.


Aku pernah memiliki rumah, dan selalu ingin kembali pulang kesana, tapi seseorang yang memiliki peranan sangat penting di rumah, pergi meninggalkan, anggaplah ia sebagai jantungnya, dan ketika jantung tersebut sudah berhenti berdetak, mati lah yang akan kau temukan. Barangkali ia sudah menemukan rumah barunya, dan benar saja.
Baginya aku dan ibu hanyalah tamu, dan kau tidak pernah benar-benar menerima tamu, mereka lalu lalang disana, ia menemukan rumah barunya, bukan aku bukan juga ibu.

Saat aku berusaha sekuat tenaga untuk kembali pulang dan mengingat-ingat jalan menuju rumah, aku menemukannya, namun rumah itu sudah terkunci sangat rapat, aku megetuknya, tak juga si pemilik membukakan pintunya, beberapa waktu aku masi mencobanya, mungkin tidur di teras rumah ini dan berharap suatu waktu pintunya akan dibuka oleh sang pemilik, namun waktu yang ku tunggu itu tak pernah datang. Aku mencoba mengintip lewat jendela-jendela yang kokoh, aku melihat seorang anak kecil laki-laki berlarian di ruang tengah dekat perapian. Aku tersingkir.

Hujan turun dengan derasnya, bukan dari langit, melainkan dari pelupuk mataku, sepertinya awan hitam menyelimuti seluruh ruang hatiku, aku tersadar bahwa ia sudah benar-benar pergi meninggalkan rumah lamanya, dan sudah benar-benar juga menemukan rumah barunya.

Saat ini aku sedang mencoba untuk membangun rumah yang lebih kuat, kokoh, dan indah. Aku tidak akan kembali pulang atau kembali mengingat-ingat jalan menuju rumah lamaku.
Aku akan membuatnya sendiri, dan semoga rumah baruku tidak pergi lagi.
cleo Oct 2015
Akoy naglalakad sa pulang tela,
May naka palibot na bulakalak,
Sa gilid ay may kandila,
May mga upuan  na kulay pula,
May mga batanng naglalakad na sa akiy nangunguna,

Isang batang lalaki ang aking nakita,
May dalang singsing ang aking hinala,
Akoy maraming kasama at silay nakaayos na,
May lalaking nakabarong na tila may hinihintay pa.

Teka ako ata'y nahuli na sa byahe nila "bakit ako nalang magisa?",
Akoy namangha silay nakatitig na,
Mga mata'y   nanghihila ,
Kayat paa ko'y humakbang na.

Tila nakaramdam ako na di makahinga,
Ako'y nakaputi at may mahabang tela,
May hawak na bulaklak,
May nakatabon sa mukha.

Ayan na ako'y malapit na sa altar na aking pinipilit makuha,
Natigil ang mundo ko ng may magsalita "You may now kiss the bride" daw ang aking hinala.
Akoy nagulat pagkat ako'y may kaharap,
Papalapit ang mga labi na sa aki'y nangungusap,

Ngunit may biglang tumawag "Cleo, ika'y gumising na't mag almusal,
Buti nalang at ako'y nagising at natigil ang KASAL.
#kasal(wedding)#panaginip (dream)
Aridea P Oct 2011
Jakarta, 29 April 2008


Ku langkahkan kaki ku
Naik sesuatu yang akan membawa ku
Roda berputar mengelilingi kota
Yang panjang berkelok-kelok


Di tengah jalan ku lihat dia
Dengan lekuk senyum penuh sinar
Sesaat saja aku melihatnya
Aku pun berlalu lanjutkan perjalanan


Roda berhenti, aku keluar
Menghirup udara luar
Kerlipan cahaya hiasi malam
Langkahku mulai dekati pintu


Aku keluar dengan perut kenyang
Masuk kembali dan bawa ku pulang
Di tengah jalan ku antusias
Mencari dia lagi yang indah


Tapi, tak terlihat senyum cahayanya
Aku berlalu jauh dari dia
Hatiku sedih tak memandangnya
Aku pun pulang diantar roda
El Aug 2017
limampung pulgada ang pagitan ng ating upuan
limampung pulgada na tila parang isang kilometro ang distansyang kinakailangang tahakin
upang maipatong ang braso sa pahirabang nakaumbok sa gitna ng ating luklukan,
kung saan ang iyong braso'y nakapatong rin.

apatnapung pulgada nang sumara ang ilaw kasabay ng aking mga mata
kung saan sinakop tayo ng karimlang mas madilim pa sa kalagitnaan ng takipsilim
ngunit ako'y nakatayo, naglalakad na patungo sa'yo –
mga kamay na kinakapkap ang malalambot na pulang ulo
sakaling ako'y mahulog dahil ang ninanais kong sumalo sa akin
ay apatnapung pulgada pa ang layo.

(tatlumpu, dalawampu, sampu)
bawat tapak na nanatiling tahimik, maingat.
(siyam, walo, pito)
natatanaw kita sa halip ng dilim kung saan wala talagang makita, makilala.
(anim, lima, apat)
para bang lahat ng puso sa silid ay nagsabayan sa pagsigaw.
(tatlo, dalawa, isa)
nasa tabi na ki–

bumukas ang mga ilaw, kasabay ng aking mga mata;
pumalakpak ang lahat.

Limampung pulgada pa rin ang pagitan ng ating upuan.
Bintun Nahl 1453 Jan 2015
Senja djakarta enam belas januari dua ribu lima belas . di hadapan leptop , aku merangkai kata demi kata untuk menghasilkan sebuah karya yang indah . ku tatapi sekelilingku ... benda mati , sepi, lengang ... andai printer yang disampingku itu berbicara... gunting itu berkata, dan pulpen ini berteriak , akan aku ceritakan sebuah kisah klasik ini di hadapan benda-benda itu . entah apa yang aku rasakan saat ini . abstark sepertinya . aku pernah berangan-angan menikmati teh rosela bersama bapakku didalam dekapan senja hangat mengantarkan mentari itu pulang  , dalam dekapan . bapak yang aku rindukan kasih sayangnya melebihi apapun di dunia ini . Maafkan aku mama, aku tidak pernah serindu ini kepada bapakku . tapi percayalah , kedudukanmu dihatiku selalu ku prioritaskan bak malaikat yang selalu menjagaku setiap hari . Mama... bisakah engkau wakilkan rasa ini kepada bapakku , bahwa aku ingin mencium tangannya . kemudian ia tersenyum merasakan hangat cinta anakknya .

rasa apa yg lebih berarti daripada menahan rindu ini , menahan rindu akan sosok bapakku yang genap 8 tahun sudah tidak pernah menyapaku lagi . aku tidak ingin mengingatnya dengan kenangan buruk , tetapi aku akan mencoba menguburnya ,dan ini lah saatnya aku menjadi pribadi yang berubah .

bapak, tahukah engkau pak , aku sudah beranjak dewasa, dr dewasa itu aku menemukan siapa diriku sebenarnya . sadar bahwa aku bukanllah apa-apa tanpamu pak . sadara bahwa aku di dunia ini karena mu dan ibu . maafkan aku yang tidak pernah mendegarkanmu .

Senja ... saksikanlah bahwa aku ingin sekali bapak duduk di pelaminan bersama ibu , dan aku berada tepat di bawah kakiknya . sembah sungkem merestui pernikahanku bersama pria yang dikirimkan ALLAH untukku .
solEmn oaSis Dec 2015
mula sa bintana ng mga katotong tahanan
may pinaghuhugutan balitang pinagkainan
merong budbod di-umano ang bibingka sa bilao
madalas di-ginugusto,,minsan nama'y napapa-tipo.

bihira man ang daloy sa hiwa ng pagkakataon
nariyan pa rin ang kuro at haka sa loob ng kahon
sa tulong ng walang patumanggang bulong na hindi naririnig ang tunog
sa likod ng pulang bilang matatanaw may abiso sa kidlat na walang kulog.

ilako ang lakbay ng himay sa mga nagdidilang anghel
para mahumpay ang tamlay mula sa pader na papel
ibahagi ang natatanging kuwento sa oras ng hanay ng kasarinlan
mag-manman sa likuran bago dumating at gumawa sa tambayan

matabunan man sa araw-araw ang pag-apaw ng dalaw sa estado
wag mag atubili,hataw lang sa paggalaw muling ibangis ang talento
bagamat ano mang bulwak meron ang katha sa salamin,matapos na
maisulat
sa ere man hanggang sa paglapag ng tuyong dahon,may mangha na ipamu-mulagat

sapagkat hinde mababanaag sa mga nilakaran
ang iniwang bakas sa pinanggalingang upuan
dahil ang dati nang puting kulay sa loob na 'ala pang bahid
magkukulay dilaw sa pagkakaroon ng matimtimang masid

at kung ang inaasahan ay taliwas sa nakatakda,,alin lang yan sa dalawa :
bumilis ang pagbagal ng patak kaya manunumbalik ang dati nang sigla
o malamang na mangamba sa pakiwaring hindi daratnan dahil sa
pagkaantala?
kung magkagayo'y ituloy lang ang pagkasabik sa pagtatapos pagkat
*magkakabunga!
Ang bawat simbolo ay sagisag....
palatandaan ng makabuluhang kahulugan!
At ano mang uri ng bantas ay marka,,,
na tatak sa ating utak patungo sa isang palaisipan.
Marge Redelicia Feb 2014
Salo-salo ang lahat:
Nakaupo, nakadekuwatro
Sa isang mahabang bangko.
Ayos lang
Kahit medyo masikip
At nagkikiskisan ang mga siko.

Ang mesa'y nilatagan
Ng dahon ng saging.
Bawal ang maarte;
Walang mga pinggan
At iba pang kagamitan.

Nakakamay ang lahat sa pagkain
Ng maiging inihaw
Na sariwang malaman na tilapia.
Meron ding mga gulay
Na pinakuluan at nilaga:
May kangkong,
Okra, sitaw at talong.

Samahan mo pa
Ng hiniwa at tinadtad na
Pulang sibuyas at kamatis,
Na may halong bagoong
At piga ng kalamansi.
At sa wakas, ang panghimagas:
Mga gintong mangga
Na ubod ng tamis.

.   .   .   .   .

Napapasarap
Ang pinakasimpleng handa
Samahan lang ng kuwentuhang
Nagpapasaya at nagpapatawa
At siyempre kung salo-salo
Ang buong pamilya.
112915 #12:28PM

Naglisawan ang mga katauhang nakaputi
At siya’y mistulang diwata
Sa kanyang putong at pamato.

“May kuwit ang Langit *
Siyang puspos sa pangako –
Pangakong may habilin
Sa naudlot na pagtatapat.
At sa pagniningas ng simboryo’y
Ako ang ‘yong katipang sabik,
At may bantayog na pagsinta.”

Paimpit ang tibok ng puso
Habang sayad ang telang puti sa lupa,
Mistulang palamuti ang mga rosas
Sa pulang salawal ng papag.

“Naging maselan ang puso
Sa tagal ng paghihintay.
Bagkus ito’y maiksing ihip ng hangin,
Tanging hiram sa Tagapagbigay ng Buhay.
Hindi mahinuha
Ang bigkas ng bawat pintig,
Ako’y Kanya bagamat inilaan sayo.”

“Paumanhin, pagkat minsa’y naging duwag,
Duwag akong sa bangin ng pagsuyo
Pagkat baka ang huli’y maging pauna.
At hindi sapat ang pagsinta
Kung wala ang basbas ng Ama.”

“O tamang panahon, salamat sa Kanya!
Ito’y ipinagtirapa nang ilang ulit.
Kung ang pagtugon ay plantsado,
Ilang butil ang buhos ng Langit,
Sagot sa nakaluhod na pagnilay.
Siyang Barandila sa pusong tigang –
Sumuyo sa’ki’t bulong iyong ngalan.”

“Anumang dagok sa nakaraan,
Ang ngayo’y walang katumbas.
Minsan hinayaang magpatibuwal
Ang pangakong laan sayo.
Pagkat pag-ibig Sinta’y
Hindi pa hitik sa bunga.
Kaya kahit anong pagpalahaw ng damdamin,
Tinakpan ito’t di nais na magkayabag.”

“Dalpak man ang mga paa,
Damdamin ko nama’y tiyak.
Kanyang isinulat ang pag-iibigan natin,
Siyang patotoo sa tunay na nakapaghihintay.”*

Yayariin ang detalye’t estilo
Ang dunggot ng tuldok,
Doon lamang sa ikalawang pagbabalik.
Mula sa Langit na Siyang Tagapagkatha.
KRRW Aug 2017
Putik
na nabuo
mula sa luha
at alikabok.



Bulaklak
ng damo
na tumubo
sa puntod.



Isang  munting
uod.



Isang butil
ng
pulang buhangin.



Bato
sa kabundukan
na tinutunaw
ng hangin.



Pulubi
sa daan
na namamalimos
sa mga
matang piniringan.




Asin
sa basong
walang takip.



Panyo
sa upuan
na pinakupas
ng tubig-ulan.




Munting ilaw
na sumisilip
sa silid-piitan.




Isang sulat
ng pamamaalam
na nakaipit
sa pintuan.



Pahina
ng kalendaryo
na nakaligtaang
pihitin.



Kandila
sa dilim
na nakikipaglaro
sa mga
anino.


Kabibe
sa tabing-dagat
na walang
laman.




Mga tunog
na walang
huni
at nagsisilbing
musika
para sa
mga bingi.



Hibla
ng buhok
sa ibabaw
ng gitara.



Antipara
na nakapatong
sa lamesa.




Pakpak
ng tutubi
na tinupok
ng gasera.



Isang tuyong
dahon
na sumabit
sa bintana.


Langaw
na nabitag
sa sapot
ng gagamba.



Kutsara
sa tabi
ng basag
na pinggan.



Mga basang
uling
sa hulmahan.



Katahimikan.



Usok
na humahalik
sa kalawakan.
Written
27 December 2014


Copyright
© Khayri R.R. Woulfe. All rights reserved.
Joshua Soesanto Dec 2014
Kopi sore ini dengan langit senja mendung
Tidak melengkung
Tidak elok dengan warna merona
Seakan tidak berwarna

Kopi sore ini juga bercerita
Bahwa mungkin diatas awan kelabu
Masih ada sedikit warna rasa
Kenangan di balik embunnya hujan fantasi, terlihat abu-abu.

Rasanya ingin menghapus langit ini
Mencoba tahu, apakah masih ada warna dibaliknya?
Apakah matahari masih setia menemani?
Disaat semua kembali pada posisinya

Kamu pencuri mimpi
Mimpi yang sama-sama kita selami
Lalu dijualnya mimpi pada semesta yang kini tak menemani
Kamu..seperti awan sore ini
Entah kembali
Entah pergi
Lekaslah kembali, energi
Agar yang pergi..kembali pulang.
https://soundcloud.com/gardikagigih/di-beranda-banda-neira-cover
eyna Mar 2018
Pulang mga tinta ang gamit,
Pamamaalam ay nalalapit,
Handa ka na ba?
Isa,
Dalawa,
Pumikit ka!

Ang takot ay inalis!
Napalitan ito ng inis,
Inakap ang sarili,
Pilit nag-iisip ng mabuti.

Itutuloy ko ba?
O wag na?
Ano ba?!
Tama pa nga ba?

Bumilang muli ng isa hanggang tatlo,
Siguro nga ay tama na 'to,
Hawakan muli ang lubid,
Tama na ang pait!

Muling ginamit ang pulang tinta,
Tama na ang aking paghihirap, sinta,
Hanggang dito na lamang,
‘Wag nang hanapin pa ang mga letrang kulang,
Ito ang kwento ng aking paglisan,
Dito ko na ibaba ang aking mga pasan.
Paalam.
Ginawa ko itong tulang 'to noong mga panahon na nakararanas ako ng matinding kalungkutan at gustong-gusto ko ng wakasan ang aking paghihirap pero sa kabila nito, nakita ko ang kagandahan ng mundo, ng buhay. Masaya ang mabuhay, sobra. Kaya't bangon na!
solEmn oaSis Nov 2015
muli sa inyong harapan,walang kiyeme.Ako'y may luha ng galak  na sumasainyo
pigil hininga sa mga katotong bantayog na nakakasalamuha ko
halos hikahos kong kinu-kuyumos yaring mga mata ko na wala pang hilamos
pagkat sa tulad kong aba' ,kada rima ay sadya talagang mana nga o para sa tao etong aking paghangos!

isang nilalang na ang kara ay tila ba mapalad na albularyo
na di man lang kapara ng doktor na malawak ang bokabularyo
kaya't halina at ating paigtingin ang naturang tula at talumpati
sa tamang panahon at termino ng huwarang tupa at puting kalapati

ehem,,ayon daw sa isang bokasyon
dapat raw eh mag-bukas 'yon
Oo."ang hawla na seremonya sa KASAL
at tanging tali lamang ang may SAKAL

LAKAS sa paghila,manapa nama'y banayad
AKLAS man ang reaksiyon ng pagaspas sa paglipad
magsisitingala ay LAKSA hanggang ang pares ay magsidapo
mapapahangang gaya sa SAKLA.,tagos agad walang kahapo-hapo

edi wow aww aww...kahol ng bantay-bombang ASKAL
habang nababakas ang kasiyahan ng kapwa magpupulot-gata at ng mga saksing sabik sa sabaw
kapagdaka'y palakpakan naman ang siyang sa paligid ay pumaimbabaw
LASAK man na sa paningin ang pulang alpombra,hinde naman matatawaran mga alaalang duon ay naihalal!
to be continue......
na para bang KALyeSerye--
a Series of Love with KArats
Elle Sang Mar 2016
Jakarta, 1986

Wanita berambut cokelat muda sebahu itu terlihat sedang asyik mengamati asap rokok yang ia keluarkan sebelum membuang puntung rokok ke tanah dan menginjaknya. Jalanan di Jakarta memang selalu ramai tapi tak satupun mobil-mobil yang sedang berlalu-lalang itu akan berhenti dan menghentikan apa yang akan ia lakukan setelah jam menunjukkan pukul lima pagi. Masih terngiang di kepala apa yang orang-orang katakan tentangnya selama ini.. *sampah
, pelacur memang tidak pantas hidup enak, ingat ya, kau itu cuma pelacur ia memejamkan mata sambil perlahan menghitung berapa kali ia telah mendengarkan cacian setiap pulang.

Jam yang berada di tangan kirinya masih menunjukkan pukul lima kurang lima belas menit, ya lima belas menit yang ia gunakan untuk akhirnya mengingat perkataan Abimanyu. Laki-laki terakhir yang memberikan segalanya, harta, kasih sayang, dan waktu tapi ia tak dapat menikmati itu semua walau sudah mencoba beribu kali aku tidak akan pernah berubah menjadi laki-laki yang sudah menyia-nyiakanmu ,kau tahu bahwa seberapapun mahalnya berlian apabila yang memakainya tidak pantas maka akan terlihat murah?, kau terlihat cantik dengan apapun, aku melakukan semua ini karena aku tak sanggup melihatmu sedih, aku akan terus mencintaimu walau kau tak akan pernah bisa membalas perasaanku yang hanya akan selalu ia balas dengan aku sudah tak percaya cinta atau aku sudah tak punya hati hatinya telah membeku dicabik-cabik sejak dulu, sebelum bertemu Abimanyu. Air mata perlahan mengalir dari mata yang tertutup itu, lima menit lagi batinnya sebelum mengusap air mata yang sudah membasah pipi dan meluruskan gaun putih rancangan desainer terkenal yang diberikan sebagai hadiah untuknya tak dipungkiri gaun itu bernilai lebih dari penghasilannya selama satu bulan namun apalah arti uang disini?
Ia kembali melirik jam yang sekarang menunjukkan dua menit sebelum pukul lima, diatas jembatan layang itu masih ramai oleh hiruk-pikuk kendaraan.  Tenanglah tak akan ada yang mampu menyelamatkanmu.

Jam sudah menunjukkan pukul lima pagi, tanpa berpikir panjang ia melepas pegangannya dari pagar yang menopang tubuh dan terjun bebas tanpa ada perlawanan terhadap gravitasi.
**Tak semua bidadari hidup bahagia di surga
Bintun Nahl 1453 Feb 2015
Senja masih terasa sama , ia hadir menyapa seakan menghadirkan sejuta tanya ?
kemudian tak lama 'anganku mulai bermain , berhalusinasi akan sebuah daun yang jatuh kemudian terbang bersama angin .
hidup tanpa senja seakan berjalan tiada tulang , tak berdaya , rentan dan rapuh .

appapun yang ingin aku sampaikan melalui goresan ini , adalah bukti bahwa aku tidak pernah mengingkari janji Allah ,
bahwa senja akan terus menemuiku setiap ia akan pulang .
meskipun terkadang ia hadir bersama rintikan hujan yg terus menerus membasahi tanah jakarta

Dan aku tak tau lagi , kapan aku bisa menyaksikan senja tenggelam di pinggir pantai lengkap dengan deburan ombak .
Senja engkau berhasil membuat rekaman itu selalu berputar memplay memori ku bersama bapak . memori dan kenangan di masa kecil itu .
aku tidak pernah memikirkan apakah yg harus ku cari esok hari
B'Artanto May 2021
Hari ini tidak ada pukul tujuh lewat sepuluh

Semua langsung tergeser ke siang hari

Pikirmu menyayangi adalah hal yang sering ku lakukan?

Tidak,

Kemudian bagaimana dengan aku?

'Kau pantas mendapat lebih' katamu

Kita pulang saja ya, bersamaku.

16 Mei 2021
BA

— The End —