Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Diska Kurniawan Aug 2016
Setoples garam, sejumput di jarinya
Dikulum masa mudanya, berani.
Bukan hanya menembak, menusuk
Melayangkan doa istri yang merindu
Menghapus sosok bapak, dari sang anak
Dikenangnya pandangan serdadu itu

Jarinya adalah maut, matanya adalah bidik
Senapannya adalah kubur, pelebur semua cinta
Juang adalah bahan bakar seruannya, Merdeka!
Bambu itu simbol perjuangan, ibu
Namaku akan seharum sukma bapak!

Saat kawannya berkawin, bunting, mati
Dia tetap bersolek layaknya gadis
Gincunya dari belanda, mengucur langsung
dari lubang pelornya tepat di jantung
Bedaknya dari tanah desa bapaknya dulu bergundu
Parfumnya alami dari pori-pori semangatnya berlari
Belum lagi perhiasannya,
Antingnya dari granat, meledak tepat di sisinya
Kalungnya adalah medali sebagai
pengingat maut, bergurau dengan nyawanya

Tiba saatnya dia berbaring,
lelah, terluka dan pusing
Menjadi guling yang dicengkramnya
Berselimut lumpur dan mayat
sebagai kasurnya, lelap.

Senja itu angin semilir bergema
Kenangan atau mimpi, dia berandai
Namun pecah ketika aku berteriak
Ibu! Sudahkah? Aku lapar!
Agustus, pahlawan, sedikit feminis mungkin?
ANYTHING KAREGAA FOR AN EENDAA

From early childhood, we Parsis survive hardly can, without an "eenda"

We can hardly, without our eenda in some form or the other, remain "Jinda"

Love we an egg over almost anything, papeta, kheema, vengna-nu-bhartu or bhinda.

Arre! we Parsis often prefer our eenda over delicious sweets, like daar ni pori or a "penda"

Poro, akoori are staple diet in a Parsi household, without which our life is like a "mindaa"

Our passion for these "eendas" actually creates either jealousy, "teeka" or "neendaa"

Whatever be the reason, a Parsi Bawaji almost cannot live without his favourite "EENDAA"

Armin Dutia Motashaw

— The End —