Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Kurtlopez Mar 2019
'Kay raming pagpipilian
Subalit ikaw ang napuna.
Maari ka bang maging paksa?
Paksa sa lilikhaing tula.

May sukat man o malaya
Ayos lang basta may tugma
Tugmang di lang sa salita
Kundi maging sa gawa...

Puro na kasi ako simula
Baka lang naman ikaw na
Ang pupuno sa aking tula
Upang nilalaman nito tuluyang magawa.
Taltoy Aug 2017
Alas dos na ng umaga,
Ako'y gising na gising pa,
Nag-iisip ng mga bagay,
Mga bagay na bumuo sa'king buhay.

Nasagi sa isipan ko yung mga alaala,
lahat, malungkot man o masaya,
Nag mistulang halo-halo na.
Kay rami ng sahog, yung iba di mo na kakainin pa.

Sa dami ba naman ng akyat baba at atras abante ng buhay ko,
Malamang nagkandaleche-leche 'to,
Alangan naman lahat naka super glue?
Ano yan? para di na matanggal kahit na bumagyo?

Anu-ano nga bang nangyari nitong mga nakaraang bwan?
Bakit parang nawala ako sa aking isipan,
Ano nga ba talaga ang tunay na dahilan?
Nitong isang aksidenteng aking kinasangkutan.

Isang sahog ang di ko kinaya,
Sa halo-halong aking kaharap sa mesa,
Salitang sa ibang dayalekto nagmula,
Nagsimula sa 'g' at nagtapos sa 'a'.

Limang letra, isang salita,
"gugma", ang isa sa sahog na aking nakita,
"gugma", ang may pinakakomplikadong lasa,
"gugma", minsay kay tamis, minsay kay pakla, minsay mapait pa.

Halo halo ko'y puno nito,
Mistulang lahat ng alaala koy tungkol dito,
"gugma", paksa ng aking bakasyon,
"gugma", isyu ng buhay ko hanggang ngayon.

Hay nalang, iisa palang perwisyo na,
Ano nalang kaya pag marami pa?
Ano yan? "gugma na sobra sa isa"?
Ayayay, naging salawahan pa...

Ang halo halong iisa ang sahog ngunit halo halo parin,
Sa dami ba naman ng iisang sahog di mo aakalain,
Mistulang iba't iba, ngunit sa katunayan, iisa,
"Gugma", sahog na dadaya sa iyong mga mata.
triggered...
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
Noandy Jan 2016
Cerita Pendek Tentang Hantu*
Sebuah cerita pendek*

Anak-anak muda itu bilang bahwa Sundari cumalah hantu. Bagi mereka, Sundari sekedar cerita orang-orang tua zaman dahulu yang tak ingin anak lakinya pergi sampai larut malam. Parahnya lagi, mereka terkadang menganggap Sundari isapan jempol dan menggunakan namanya sebagai ejekan. Berbagai lelucon mereka buat untuk merendahkan Sundari,

Mereka pada saat tertentu menganggapnya seperti hewan kelaparan yang bersembunyi dan siap menerkam mereka,

Ketakutan sesaat.

Sayangnya, pada hari-hari berikutnya, Sundari malah terkadang lebih rendah daripada hewan.

Jika binatang buas dapat sewaktu-waktu muncul dan menyantap mereka dengan mudah, para pemuda justru berpikir bahwa mereka lebih tinggi dan mulia dibanding Sundari sehingga ia hanya akan menjadi segelibat penampakan.

Sundari cuma monster dan angan-angan, katanya, di zaman seperti ini mana ada hantu penculik jejaka. Pikiran anak muda memang berbeda dengan kebanyakan orangtuanya.

Padahal, Sundari sama seperti kita.

Sundari bukanlah siluman, hantu, atau makhluk mengerikan yang layak dijadikan lelucon semata.

Apalagi bahan cerita setan dan sarana menakut-nakuti bocah.

Dengar baik-baik, ia tidak terbang, ia tidak menghilang. Ah, Sundari bahkan tak punya kemampuan macam itu.

Sundari berjalan dengan dua kaki, melihat dengan dua mata, dan dapat memelukmu dengan dua tangan hangatnya. Yang mungkin berbeda adalah hati Sundari yang entah di mana sekarang. Inilah yang membuat ibu-ibu dengan anak lelaki begitu menakuti Sundari. Mereka yakin bahwa Sundari-lah yang akhir-akhir ini menculik buah hati mereka yang pergi malam, lalu menghilang selama satu minggu dan ditemukan gundul tanpa nyawa,

Tanpa hati,

Pada suatu sore yang hangat di padang ilalang dekat dusun.

Beberapa mengira bahwa Sundari adalah perwujudan pesugihan atau tumbal yang mengincar jawara-jawara muda, seperti andong-andong pocong yang dahulu sempat marak. Dahulu, pergantian kepala dusun di sini dilakukan dengan adu kekuatan. Para sesepuh percaya bahwa teh dari seduhan rambut pemuda dapat memperkuat diri dan meningkatkan kekebalan, ini menjadi salah satu spekulasi motif Sundari selain tumbal-tumbalan itu. Beberapa berpikir kalau Sundari menjual rambut lelaki muda di desa demi mendapatkan keuntungan baginya.

Kalau di antara gadis-gadis belia nan jelita yang bergelimang asmara, Sundari kerap digunakan sebagai sebutan untuk penyerebot kekasih orang. Terkadang huruf i di hilangkan, sehingga menjadi Sundar saja.

“Dasar, dia memang Sundari!”

“Padahal telah lama kita menjalin kasih, kenapa ia harus jatuh ke tangan Sundar macam dirinya!”

Apa Sundari begitu buruk hingga namanya lekat dengan orang serta kasih yang hilang?

Padahal dahulu Sundari hidup tenang,

Memang dahulu ia juga sumber perhatian,

Tapi ia hidup tenang dan dihujani kasih—

Yah, itu sebelum dusun ini akhirnya mengadili sendiri suaminya yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Menurut mereka, sangat tidak masuk akal seorang wanita pintar, seperti Sundari yang bekerja sebagai pendidik, memiliki suami yang lebih muda darinya. Pemuda berambut panjang itu hidupnya mungkin berkesan asal-asalan. Dandanannya serampangan, rambutnya berantakan dan panjang; padahal di dusun ini, sangat wajar bagi lelaki untuk memiliki rambut panjang. Banyak yang bilang tubuhnya bau tengik, dan ia jarang terlihat bekerja. Pada kedua tangannya, sering terdapat guratan-guratan warna. Berbeda dengan para petani pekerja keras yang terkadang tangannya diwarnai oleh tanah, warna-warna yang ada pada tangannya merupakan warna cerah yang tak mungkin didapatkan secara alami. Namun Sundari dan suaminya tetap dapat hidup dengan layak dan nyaman menggunakan upah mereka. Pasangan itu tak pernah meminjam uang, tak pernah mencuri.

Tak di sangka, orang-orang di dusun yang memandang bahwa agar dapat hidup berkecukupan harus digandrungi serta ditempa dengan kerja keras yang dapat dilihat oleh semua orang memandang bahwa dalam rumah tangga itu, hanya Sundari yang bekerja keras melayani suaminya. Sedangkan sang lelaki, menurut mereka, ambil enaknya saja dan kesehariannya sekedar leha-leha di teras rumah kayu mereka sambil merokok sebatang dua batang.

Mereka, terutama para bujangan, mencari-cari kesalahan pasutri bahagia itu.

Mereka kembali memanggil-manggil dan menggoda Sundari yang makin merapatkan kerudung hijau yang biasanya ia selampirkan apabila berjalan ke sekolah tiap pagi dengan kebaya sederhananya. Para bujang itu dipimpin oleh  Cak Topel yang istrinya lumpuh dan selalu ia tinggal sendiri dirumah. Mereka menungguinya tiap pulang, dan menghalangi jalannya kembali kerumah. Pernah sekali suaminya mengantarnya ke gedung sekolah reot itu, dan menungguinya sampai pulang. Sedihnya, ditengah perjalanan pulang ia babak belur dihajar  pemuda-pemuda berbadan besar itu—Setelahnya, Sundari melarangnya untuk sering menampakkan dirinya di depan warga dusun.

Yang harus dikagumi di sini adalah sifat pantang menyerah mereka. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjungkalkan Sundari dan suaminya dalam fitnah, sampai akhirnya mereka mencium sesuatu yang janggal dari rumah senyap mereka.

Bau tengik,

Ada yang bilang, jenis pesugihan macam tuyul sebagus apapun tetap akan mengeluarkan bau tengik atau busuk.

Mereka mulai menyambungkan hal ini dengan warna pada tangan suami Sundari,

“Itu tidak mungkin didapat dari bekerja di ladang.”

“Warna-warna itu pasti ramuan dukun.”

Dari situ, dapat dipastikan bagaimana Sundari dan suaminya dapat selalu hidup berkecukupan bahkan dengan uang mereka yang pas-pasan. Bujang-bujang berbadan besar itu segera menyebarkan cerita dan tuduhan-tuduhan yang membuat telinga panas. Sundari dan suaminya makin menarik diri dari warga dusun. Sundari bahkan berhenti mengajar setelah menemui kelas-kelas yang seharusnya ia ajar seringkali kosong, dan menemukan tatapan-tatapan sinis para ibu rumah tangga mengintipnya dari depan pagar kayu sekolah yang alakadarnya itu.

Entah kita harus bersyukur atau tidak, persembunyian itu tidak berlangsung lama. Pada sebuah malam bulan purnama yang lembab dan becek, Sundari melihat bola-bola cahaya dari jendela rumahnya yang ditutupi oleh anyaman jerami. Nyala api itu berasal dari berpuluh obor warga dusun yang berteriak-teriak dan menuntut Sundari dan suaminya agar mengaku bahwa mereka menggunakan pesugihan.

Sundari keluar sembari menyelampirkan kerudung hijaunya, diikuti suaminya yang rambutnya digelung tak rapih. Belum sempat mereka mengucapkan sepatah kata, para bujang menarik suami Sundari dengan menjambaknya dan melamparkannya ke tanah becek, menendangi pertunya, lalu menghajarnya seolah ia binatang peliharaan yang tak pernah patuh pada majikannya. Sundari hanya dapat menjerit dan menariki baju sejumlah laki-laki yang menghunuskan kepalannya pada tubuh kecil dan rapuh orang yang dicintainya. Setinggi apapun ia berteriak, suaranya seolah tenggelam dalam arus deras kebencian yang tak berdasar.

Jeritan untuk orang yang dikasihi itu lambat laun berubah menjadi jeritan untuk dirinya sendiri. Istri Cak Topel yang lumpuh rupanya merayap di tanah dengan sigap seolah laba-laba berkaki seribu, dan menarik bagian belakang kebaya Sundari sampai ia terjerembab ke tanah di mana ujung matanya menangkap sang suami yang rambutnya digunduli tanpa ampun dengan alat yang tak pantas. Saat menyaksikan adegan romansa sedih tersebut, wanita-wanita dusun menjambaki rambutnya, menampari pipinya dan menghajarnya tanpa ampun sambil menghujaninya dengan ludah-ludah mereka yang menasbihkan berpuluh hujatan menyayat hati. Setelah pasutri itu terkulai lemas di tanah musim hujan, barulah warga membumihanguskan mereka berdua yang tangannya tetap bergandengan.

Nasib naas, entah harus disyukuri atau tidak, menimpa suaminya yang terbakar hangus sepenuhnya. Sedangkan Sundari, dengan tubuhnya yang telah setengah terbakar, berhasil kabur dan hilang dari peredaran untuk beberapa saat.

Untuk beberapa saat,

Sampai lelaki yang menggoda, menghajar, membawa mereka pada keterpurukkan semuanya hilang satu persatu, termasuk Cak Topel.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau ronda, dan ditemukan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Orang-orang bilang bahwa ini Sundari yang menuntut balas. Meskipun entah di mana dirinya berada, ia masih tetap menghantui. Membayang-bayangi dengan perasaan bersalah yang menyakitkan bagi seluruh warga dusun,

Karena

Sundari dan suaminya tidak pernah melakukan pesugihan.

Dan, ah, itu cuma tipu muslihat para bujangan yang cemburu dan bersedih karena tak bisa mendapatkan Sundari dalam dekapan mereka sekeras apapun mereka berusaha. Entah sudah berapa lelaki dan lamarannya ditolaknya, ia justru jatuh hati pada pelukis bertubuh kecil yang sepuluh tahun lebih muda darinya.

Bagaimana amarah mereka tidak tersulut?

Seandainya warga dusun lebih mengenal bau cat dan minyak untuk melukis, mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk menuduh Sundari dan suaminya terkait pesugihan.

Ah, coba mereka masuk ke rumah kayu kecil itu sebelum main hakim sendiri. Mereka tak akan sekaget itu saat menemukan gubuknya penuh dengan cat dengan bau tengiknya, tumpukan kertas dan bahan bacaan, serta lukisan-lukisan yang masih dikerjakan.

Hilangnya para bujangan lalu diikuti dengan hilangnya murid-murid sekolah menengahnya, dan lelaki muda lainnya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan ini.

Sundari tidak berhenti.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau berjalan di pematang sawah, saat menantang diri mengaku “tidak takut dengan Sundari itu!” lalu ditemukan dengan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Sundari menyukai kerudung hijaunya yang hilang kala malam,

Kerudung tipis indah yang digunakan untuk menutupi kondenya—Yang direnggut paksa darinya lalu hangus rata dengan tanah.

Tapi Sundari lebih menyukai kehadiran,

Kehadiran suaminya dan tangannya yang bekerja melukis diam, kehadiran kerudung hijau yang melindunginya dari tatapan tajam, kehadiran murid-murid lelakinya yang dengan polos melontarkan lelucon serta godaan-godaan untuk Ibu Guru Sundari mereka, kehadiran anak-anakmu yang sombong.

Sundari menyukai kehadiran, dan itu merupakan alasan lain mengapa ia menggundul habis lelaki yang diculiknya, lalu mengupulkan rambut mereka yang ia sambung, anyam, serta kenakan dengan nyaman bak kerudung dan mantel bulu.

Maka dari itu, orang-orang yang melihatnya terkadang bilang kalau Sundari cumalah hantu; bayang-bayangnya selalu muncul dalam bentuk segumpal rambut menjelang malam.

Sundari lebih suka kehadiran,

Keadilan.

Tapi apa membalas dendam seperti ini juga salah satu bentuk keadilan?

Entahlah, ini pilihan hidup Sundari. Sudah kubilang kalau hatinya entah di mana.

Sekali lagi, Sundari bukanlah hantu. Ia manusia yang teraniaya sama seperti kita. Manusia yang disalahi.

Kalau dipikir lagi, bukannya setan terkejam adalah manusia sendiri?

Yah, itu sih sudah berpuluh tahun lalu. Entah apa jadinya Sundari sekarang. Sekarang lelaki cenderung berambut pendek, tak seperti dulu. Bayang-bayang Sundari kemungkinan tidak se beringas waktu itu, dan telah berkurang frekuensinya. Namun wanti-wanti mengenai dirinya terus ada dan berubah seiring berjalannya waktu, bervariasi.

Itu sudah
Berpuluh tahun lalu.
Mungkin sekarang ia telah jadi hantu sungguhan, atau ada perwujudan Sundari-Sundari lainnya?

Tidak masuk akal, ya?

Aneh, omong kosong, isapan jempol.

Kalau dipikir lagi, bukannya dunia ini selalu penuh omong kosong dan tangis dalam gelak tawa?
Crissel Famorcan Jan 2018
Elementarya ako nang pinangarap kong maging manunulat,
Kaya't nagsikap ako at natutong magsulat
Ikatlong taon ko sa hayskul nang isulat ko ang kuwento nating dalawa
Kuwentong pinangarap ko pang maipa-imprenta
Kaya't pinaghusayan ko ang paglikha at pagdetalye
'Straight to the point' at walang mga pasakalye
Maraming natuwa sa bawat tulang alay ko sayo,
Pero sa lahat ng yun? Kritisismo at pangungutya ang isinusukli mo
Ngunit hindi ko inintindi iyon at patuloy akong sumulat,
Baka sakali.. isang araw,malay ko? mata mo'y mamulat
Mamulat sa pag-ibig na ibinibigay ko,
Baka isang araw,makita mo rin yung halaga ng mga regalo ko,
Baka isang araw, masuklian mo rin yung pagmamahal kong buo
Baka kasi wala ka lamang barya,
At nahahanap ng panukli kaya ka abala,
Kaya naghintay ako ng ilang taon,nagpakatanga..
Pero mukhang di na yata ako masusuklian pa
Kaya naisip kong makuntento sa kung anong meron tayong dalawa
Pagkakaibigan.
Pero di ko maiwasang masaktan
Sa tuwing magkukuwento ka o nagtatanong tungkol sa kanya,
Hinahayaan ko na lang at least nakakausap kita!
Kahit na yung paksa natin madalas,tungkol lang sa musika
Ayos lang! Basta nakakausap kita.
Kahit nagmumukha na akong tanga
Okay pa rin! Basta nakakausap kita.
Ngunit nakakapagod din maging tanga
Kaya mahal, ako'y magpapaalam na.

Sa paglapat nitong panulat sa aking kwaderno
Ay isusulat ko na ang huling bahagi ng ating kuwento,
Tutuldukan ko na ang mga huling pangungusap
At puputulin na ang mga ilusyon ko't pangarap
Dahil kung hindi'y lalo lang akong mahihirapan
Lalo lang akong masasaktan.
Makapal na ang libro,paubos na ang mga pahina
Nakakaumay ang kuwento na pinuno ng mga luha
Panahon na sinta ko upang mag umpisa akong muli,
Hindi ko na hihintayin ang hinihingi kong sukli
Pagkat panahon na rin upang sumaya akong muli.

Salamat sa lahat ng alaala
At pasensya na sa mga abala
Mahal ito na ang huli kong regalo
- Hindi ko na ibabalot pa
Pagkat alam kong wala ka rin namang pagpapahalaga
At sa huling pagkakataon,gusto kong malaman mo,
Na may isang AKO na minsang nagmahal sayo.
Ito na ang huling pahina ng ating libro
At sa pagsara ko dito,kasabay ang paglisan ko sa mundong ginagalawan mo.
solEmn oaSis Jan 2016
kung ang tula ay di akma
sa paksa ng may akda
ano pang talim meron ang talinghaga

kung wala nang talas sa bawat talastasan
nitong nagbabagang hidwaan ng tugmaan
sa palabigkasan ng huwarang balagtasan

meron pa nga bang halaga ang mga rima
sa tuwinang wala namang ka-eskrima
ang taludturang may tatlo-hang tugma

manapa'y pakinggan itong aking mga tagong himig
bagkos nga ako ri'y gawaran ng batikos sa aking hilig
sapagkat mayroong hiwa ang susunod kong pahiwatig

meron akong ikukuwento
mga saknong na naimbento
ito'y mula pa sa " KONTENTO "

sa una niyong bahagi
ano daw ang sinabi?
heto't muli kong ihahabi

ang hadlang at paslang
na kapwa pumailanlang
sa makatang may lalang

1) " may saboy ang liyab kapag naidadarang " (fire)
2) " sa simoy at alimuom na hindi pahaharang " (wind)
3) " anomang sisidlan, tining ay iindayog kapag umaapaw " (water)
4) " gaano man kalalim hukay, pagtapak sa lapag mababaw " (earth)

5) matapos ang pagyuko
,,,,tingalain ang Kaitaasan
....Ika-limang KONTENTO (love)
---walang hanggang mararanasan!

1) APOY
2) HANGIN
3) TUBIG
4) LUPA
5) PAG-IBIG
kung inuuna ng isa ang kapakanan muna ng kanyang mahal...
iyan ang dalisay na pagmamahal!
Habang lakbay-diwa
hetong magiliw na lakandiwa
sa wagas na Pag-ibig at pagsinta
ng mga katagang isina-TINTA!
060522

Marahil salungat ang lahat sa ating pagsagwan
At baka sinasabi nilang
Naging iba na rin ang ating pamamaraan
Sa pagtuklas ng sining na buhat pa sa nakaraan.

Tila ba nais nila tayong patahimikin
Gamit ang mga balang kinimkim ng ating damdamin.
Hanggang sa tayo’y mabihag sa mga himig na iiba ang ritmo
Sa ninanais nating komposisyon.

Bagamat ito ang landas na payak para sa nakararami —
Ang landas na ang lahat ay handa nang tumaya't sumugal
Ngunit hindi, hindi pala ito para sa ating lahat —
At masasabi nating iba ang sinisigaw ng pulso nati't kaluluwa.

Sa mga pahinang ginuguhitan ng iba't ibang tinta'y
Tanging tayo lamang ang higit na may kakayahang kilatisin
Ang bawat guhit sa ating mga palad
At ang mga mantiyang hindi natin mawari sa simula
Kung saan ba ang pinanggalingan ng mga ito.

At sa muling pagdungaw natin
Sa sisidlan ng ating mga kaluluwa’y
Mahahanap din natin ang mga kasagutan
Sa pakikipag tagu-taguan natin sa mga lunas
Habang makakapal pa ang mga ulap na ating pilit na hinahawi.

Marahil nasisilayan nila tayo sa lente
Kung saan sila'y nakamulat na
Habang tayo'y kumakapa pa sa dilim —
At ang sinasabi nilang gintong mga salita'y
Nagmistulang mga malalaking batong balakid
Patungo sa liwanag at kalayaan
Na nais nating tuklasin nang mag-isa.

Marahil hindi nila tayo maintindihan
Sa mga oras na ang lahat ay abala
Sa pagsuong ng kanya-kanyang mga bangkang papel
Patungo sa tubig na dulot ng di kanais-nais na panahon.

At walang sinuman ang may kagustuhang maguho
Ang binubuo nating larawan sa ating mga isipan
Habang tayo'y pinagmamasdan ng  mapanghusgang lipunan
Kaya tayo'y tumitiklop sa halip na bumabangon nang kusa.

Gayunpaman, kalakip ng ating pagtalikod
Sa samu’t saring mga palamuting
Makinang pa sa ating mga kasuota’y
Doon pala natin maihihimlay ang sarili
Sa rurok na dati’y atin lamang na sinisilip at tinitingala.

Hubad ang ating mga pagkatao
Kung saan ang ating tinig ay hayagang mamaniubrahin
Ang mga kalansay ng kahapong humila sa atin pailalim
Habang tayo'y pansamantalang naging libingan
Ng mga baon nating kadilimang araw-araw nating hinihimay.

Ang ating pagsambit ng mga katagang
Tayo lamang ang nakaiintindi
Ay isa na palang patandaan
Na tayo'y dahan-dahan nang nakakaahon.

Bagamat walang hiyaw na sumasabay sa nais nating tagumpay,
Walang aninong nagbibigay-tulong
Sa bawat kahong ating binubuksan
Ngunit patuloy pa rin tayong papadyak at magpepedal.

Patuloy tayong lilipad higit pa sa ating mga imahinasyon
Kahit tayo mismo’y walang kamalay-malay
Kung saan tayo kayang tangayin
Ng mga saranggola ng kahapon at ngayon
Na ating kusang-loob na inialay na sa himpapawid at kalangitan.

At kung ang pagsagwan man nati’y salungat sa nakararami,
Ay patuloy pa rin tayong magtataya para sa ating mga sarili.
Patuloy na hahakbang at magpapasala sa umaalab na apoy,
At baka sakaling sa paulit-ulit na pagsubok nati’y
Ito na ang maging simula ng muli nating paglipad.

Maubusan man ng balahibo ang ating mga pakpak
Ay walang sawa tayong magbabalik sa simula —
Sa simula kung saan ang pag-asa
Ay tila ba kurtina sa ating mga mata
At waring nag-iisang diyamanteng kumikinang
Na handa nang igawad sa atin ng panahon.

Kung ito ang hamon sa larong alay ng tadhana'y
Tayo mismo ang kusang mag-aalis sa puwing sa ating mga paningin.
Magbibihis tayo hindi gamit ang lumang mga kasuotan
At gagayak na tila ba hindi tayo nasugatan
Buhat sa giyerang ating pinanggalingan.

Bagamat ang mga sugat sa ating katauha'y hindi natin maikukubli,
Ngunit ang mga ito'y magsisilbing baluti't tanda
Ng ating hayagang pagsambit
Na tayo'y nanatiling matatag
Pagkat pinili natin ang pag-ahon kaysa sa pagkalunod.

At hindi tayo mahihiyang tumapak sa papag
Kung saan tayo nagsimulang mag-ipon ng pangarap,
Kung saan ang ating lakas at inspirasyon
Ay buhat sa mga Letrang mahiwaga't makapangyarihan.

Sa mga oras na tila ba mabigat na ng lahat
Ay wala tayong natirang ibang armas kundi ang pagluhod.
At marahil sa ganitong paraan di’y
Mananatili tayong mapagkumbaba.

Muli man tayong nabasag at walang ni isang pumulot
Sa mga pira-pirasong kaytagal nating pinagsikapang mabuo’t pahalagahan.
At ang dugo’t pawis na hindi natin masukat
Sa babasaging garapon ng ating mga palad
Ay nagmistulang gantimpala sa atin ng Kataas-taasan.

Ito na marahil ang Kanyang hayagang paghikayat
Na kaya pa rin pala tayong akayin ng Kanyang mga Pangako
Patungo sa milagrong kaya pang lumipad ng eroplanong papel
Na minsang ginula-gulanit na ng kahapon.

Ang bawat Pangakong iginuguhit Nya sa ating mga puso
Ay higit pa na umaalab sa tuwing dumaraan tayo sa pagsubok.
Dito natin nakikilatis kung sino ba talaga tayo
At kung ano ba ang dahilan ng ating paghinga
Pagkat hindi pa rin tayo humahantong
Sa hindi natin muling pagmulat.

At kailanma’y hindi mauubos
At hindi mapapa-walang bisa ang mga ito
Ng mga ideolohiyang isinaboy ng sansinukob
At sapilitang isiunusubo sa atin
Hanggang sa hindi na tayo mauhaw at magutom pa sa Katotohanan.

Ang ating mga luha’y hindi lang basta-bastang dumaloy
Ngunit tayo’y inanod ng ating kalungkutan,
Ng ating hinagpis at walang katapusang mga katanungan
Patungo sa karagatang muli sa ating nagbigay-buhay.

Tila ba tayo’y muling binasbasan
Na higit pa sa mga tilamsik ng magagaan na butil ng ulan.
Na wala na pala tayong ibang dapat na patunayan.
At bagamat, napagod man tayo ngunit hindi ito ang naging mitsa
Ng ating pagtalikod sa Una nating sinumpaan.

At patuloy pa rin nating nanaising bigkasin
Nang walang bahid ng pagdududa’t pagkukunwari
Gamit ang ating mga palad at ang pintig ng ating mga puso’t damdamin
Ang pinakamagandang leksyon at mensaheng
Nagmistulang medalya ng bawat pahina ng panahon.

At mawawalan na tayo ng dahilan para magduda pa
Kung ano nga ba ang magiging katapusan
Pagkat ang tanging paksa ng ating paghimbing sa mga letra’y
Ang pag-asang darating din ang ating Tagapagligtas.

Ang ating pagyukod
At pagbaling ng tingin sa blangkong pahina’y
Isa palang pagsulyap sa kinabukasang
Makinang pa sa kung ano ang natatamasa natin sa ngayon.

At sa ating pag-angat hindi lamang para sa sarili
Ay 'di natin nararapat na malimutan ang dahilan
Kung bakit nais nating lumipad
At marating ang dulo ng pahina ng sarili nating mga kwento.
Berderap tegap nyaring bersuara
Saat pertama ku pajang jakun menutup pundak dan dada
"Universitasku universitas Indonesia. "
"Terangkum dalam frasa 'buku pesta dan cinta'"

Sayang hanya dalam nyanyian belaka
Isi kisahku hanya buku, tanpa pesta dan cinta

Jangan kurang jangan lebih jua
Pesta dan cinta punya takar unik pas tuk dicoba
Seperti kopi kelebihan kekurangan gula
Ada takaran pas 'tuk tiap lidah yg meminta

Kisah uiku kisah pesta
Pesta merayakan kebahagiaan,  kejayaan,  atau mungkin lepasnya keperjakaan
Kisah uiku kisah cinta
Cinta teman sebaya,  cinta maba alat pelampiasan atau cinta kakak tingkat kece mempesona
Jika kisah uimu belum ada pesta dan cinta
Maka jangan paksa diri menyeret kaki lepas dari skripsi dan tugas yang ada

**Entah malang atau baik nasib akhir kisahnya
Jangan mau lulus jika belum mencoba
Dalam lagu mars universitas indonesia,  terdapat kalimat "buku,  pesta dan cinta" yang melambangkan kehidupan mahasiswa UI selama diperkuliahan.  Namun terkadang,  tidak semua bisa merasakan ketiganya.  Ada yang hanya membaca buku,  ada yang hanya berpesta, pula ada yang hanya pergi kuliah mengemis atau menebar cinta.  Adalah baiknya,  jika sebelum lulus nanti,  kita dapat merasakan ketiganya.  Entah baik atau buruk perjalanannya,  setidaknya kamu takkan penasaran karena tidak pernah mencoba.
G A Lopez May 2021
"Sino ang bayani ng buhay mo?"
Minsan itong naging paksa ng aming aralin sa filipino
Madalas din itong itanong sa akin ng madla
Ngunit wala akong ibang sambit kundi ang iyong ngalan ina.

Bagama't wala siyang hari na katuwang,
Para sa akin siya ay reyna magmula pa noong ako'y walang muwang.
Magkaiba man ang daang ating nilalakaran,
Alam kong pareho tayo ng langit na tinitingnan.

Dito ay umaga, diyan ay gabi
Sa pagtulog mo ina nais kitang katabi
Iniibig kita kahit sa personal man ay 'di ko ito masabi
At kung maayos na ang mundo, dadampian ko ng pagmamahal ang iyong pisngi't labi.

Hindi sapat na ika'y pasalamatan
Pangakong pagod mo'y aking papalitan
Ng pag-ibig na walang hanggan
At ibabahagi ko lahat ng kabutihan mo hanggang sa aking kaapo-apohan

Kung tuluyan ka nang manghina
At kunin ka na sa akin ng May Likha,
Ako ang makakasama mo hanggang sa iyong huling hininga
Kukumutan kita ng pag-ibig, mahal kong ina.
kate May 2020
bagong simula sa bagong kabanata. liliparin muli ang langit na dati'y pinuno mo ng mga unang beses at mga unang bagay na bumuo sa aking pagkatao. liliparing muli ang mga blankong espasyo't lalagyan ng bagong panimula.

hindi ko malaman kung paano muling magsisimula.  sapagkat ako'y nanghihinayang sa alaala nating sa isang saglit ay iyong iniwan. nahihirapan itugma ang bawat salitang lumilitaw sa aking isipan. ang bawat tunog sa saknong ng bawat taludtod ay nabibigatang ilapat sa  damdaming nag aalinlangan.

muling bubuksan ang librong naglalaman ng ating kwento. susubuking burahin ang mga kwentong alanganin na mas mabuti pa lamang kung ito'y gugusutin. muling babasahin ang sira-sirang pahina na may tagpi-tagping parirala at kulang kulang na mga salita.

hindi ko mawari kung ano ang dahilan sapagkat ang ating kwento'y nagtapos sa kawalan. tila bang maikukumpara mo ito sa mga pahinang nagupit gupit dahil sa kasuklaman ng pag ibig. ako'y humiling sa mga bituin na sana—  sana'y may panibagong kwentong kinabukasan muling bubuuin.

bagong simula sa bagong kabanata. muling magbubukas ng bagong libro na saya ang kailangan at hindi sakit ang nilalaman. iisa-isahin ang bawat paksang nilalaman upang ito'y lubos na maintindihan ang bawat pag-aalinlangan sa bagong yugtong paruruonan na tila hindi alam ang patutunguhan ng wakas na iyong sinimulan.

sa bagong yugto ng aking buhay,  ngayo'y handa nang magsimula sa sariling paraan. hindi man pinalad sa nakaraan, sisiguraduhin ko na sa paglipas ng panahon at pagtapos ng bawat kabanatang may kaukulang paksa, iiyak na ako. iiyak na ako sa taong alam kong mahal ako at sa pag iyak na iyon ay sabay kaming nangangako— ikaw, ikaw lamang ang aking mamahalin dumating man ang dulo ng pahina ng aking librong sinimulan.
panimula
010121

Magsusulat na naman ako
Gaya ng dati --
Nagsusulat na naman ako
Para sayo --
Nagbabakasakali.

Ilang beses kong nilimot
Na ikaw ang aking unang panalangin,
Na sa tuwing pinagmamasdan kita'y
Nalililimot ko ang 'yong pangalan
At wala akong ibang hangad
Kundi purihin Siya.

Na sa tuwing tayo'y ipinagtatagpo,
Ay naroon tayo sa presensya Nya.
Tila ba kahit naisin kong lumapit sayo'y
Tayo'y pinagigitnaan Nya
At wala tayong ibang dahilang pumarito
Kundi magpasakop sa Kanya.

Parang tayong mga ekstranghero
Sa mundo ng isa't isa.
Lilihis at lalayo,
Yan ang kusa kong pagsinta.

Siguro nga,
Hindi ako nakapaghintay
Pinangunahan kita..
At nakaraang taon di'y
Naging masaya ka na rin sa iba.

Nagsusulat ako --
Bilang aking pagtugon
Sa panalangin ko noong
Ikaw lang ang hihintayin,
Ang mamahalin.

At sabi ko pa nga sa'king sarili'y,
"Kung ikaw talaga,
Handa akong iwan lahat.."
Tila ba kaybigat ng aking panalangin
Ngunit kaygaan din kung para naman sa Kanya.

Sana malaman **** --
Minsan kang naging paksa sa'king mga tula,
Ako'y naghintay nang ilang taon
Ngunit siguro nga,
Nauna akong sumuko --
Pagkat hindi ka naman tumugon.

Hindi ako nakaramdam
Ng anumang galit o tampo
Nang minsan mo akong iwan sa ere,
Matapos **** magtapat ng pag-ibig.
Nautal din ako noong mga panahong iyon,
At tanging dasal ko'y,
"Kung hindi pa natin panaho'y,
Tanggalin na lang muna tayo sa isa't isa.."

Ni hindi ko alam kung saan nanggaling
Ang lalim ng ganoong panalangin,
Ang lakas ng loob kong humiling
At tinugon naman iyon agad ng Langit.

Ngayon lang kita ulit napagmasdan,
Nahagip ang puso ko gaya ng dati..
Alam ko, wala ka naman sa lugar
Para muling magtanong sa'kin
Pagkat iba na ang himig
Ng sarili kong damdamin.

At kung sakali mang ikaw pa rin sa huli,
Hayaan **** ako'y maging tapat na sayo --
Pagkat sa bawat oras
Na ika'y sumasagi sa'king isipa'y,
Ramdam ko pa rin ang pagsambit mo
Nang "Ikaw na,"
Hanggang sa muli nating pagsinta.
faranight Mar 2020
hindi ako magpapaalam sa limampung tula o higit pa na aking sinulat at inalay para sayo..
dahil minsan rin namang nagtugma ang ating damdamin na nagusbong ng mga matatamis na salita na naglalarawan ng ating pagibig.
subalit sa habang nadadagdagan ang saknong sa tula, ay unti unti na ring di nagtutugma ang damdamin nating dalawa.
mahiwaga, salamat at naging bahagi ka ng kabanata ng aklat ng aking mga tula.
Jed Roen Roncal Jan 2021
Ako'y nagsusulat ng librong lahat ay patungkol sa kasakitan
Mga pinagdaanang puro kapaitan
Mga alaalang pilit mang kalimutan
Hindi magawa gawa dahil nakatatak na sa aking kaisipan

Kaya naisipang isulat nalang at gawing topiko
Mga karanasang balak gawing libro
Bawat kabanata sa buhay kong hindi ko alam kung wasto
Ngunit lahat ng ito'y isusulat ko

Sinusubukang ibahin ang bawat kabanata
Ngunit tila lahat ng ito'y kusang naitugma
Mga pangyayari sa'king buhay na gustong iwasto
Sana balang araw ito ay maitama ko

Ngunit isang araw kapalaran ko ay tila nagbago
May nakilalang tao na dahil sakanya ay gusto kong magbago
Kadiliman sa aking isipan na kanyang binigyang ilaw
Buhay ko'y kanyang binigyan ulit ng saysay at linaw

Bagong kabanatang sana'y kasama ka
Librong sinusulat dahil sayo ay nag-iba
Mga kabanatang nagdaang kay pait
Kasiyahan kasama ka ay gustong ipalit

Bagong kabanatang gusto kang makasama hanggang sa pagtanda
Makalimutan man ang librong naisulat na
Hinding hindi ang rason kung bakit nagbago ang paksa
Ngayon, ikaw lang ang gustong makasama sa lahat ng bagong kabanata na aking isusulat pa.
Pasensya ka na
Pasensya na kung natagalan
Pasensya na kung natagalan ang aking pagtahan
Pasensya na kung matagal na panahon kitang hangad
Pasensya na kung medyo mabagal ang pag-usad
Dahil hindi ganun kadali
Matagal na panahon ang kailangan
At hindi lang isang sandali

Pinagpapaguran ko ang prosesong ito
Hindi ito madali dahil kasali dito ang  pagpilit sa sarili ko
Pero kahit mahirap, kakayanin ko
Para sa ikalalaya mo

Akala ko nga huli na yung naisulat kong tula dati para sa'yo
Ngunit ako mismo ang sumira sa paksa
Na akala ko'y yun na ang magiging huling tula
Hindi pa pala
Hindi ko kayang yun ang magiging huli
Hindi pala madali

Dahil napagtanto kong nakapagsusulat lamang ako kapag ito'y tungkol sa'yo

At dahil nagkamali na naman ako
Lulubusin ko na ito

Pakinggan mo ako
Hindi ko sasabihing ito na ang huli
Kasi baka masira ko na naman uli
Kaya eto na, pakinggan **** mabuti
Sa muling pagkakataon,
Sasabihin ko ito sa'yo
Mahal kita
Pero sawa na ako
Krad Le Strange Aug 2017
Darating ba ang panahon
kung kailan hindi mo na ako itutulak palayo
na yayakapin mo ako ng mahigpit
at hindi na pakakawalan
sa mga bisig **** naging kanlungan
sa tuwing hindi ko na kaya ang bigat
na pinapataw ng mundo

Darating ba ang panahon
kung kailan hindi na ako mangungulila sa iyo,
na ikaw na ang nasa kinalalagyan ko
at ako naman ang hahanapin mo,
na ikaw naman ang siyang tatawid
ng distansyang namamagitan sa atin

Darating ba ang panahon
kung kailan ako na ang paksa
ng mga berso **** likha
na ako naman ang pag-aalayan mo ng katha

Darating ba ang panahon
kung kailan makukulayan na
ang mga pangakong salitang iginuhit
at inukit subalit parang naiiwanan lang ako
na paulit-ulit na umasa at magbuntong-hininga

Narito ako't nagtatanong
Darating ba ang panahon nating dalawa?
Narito ako't hihiling
na sana bukas tayo ay pwede na
baka nga bukas pwede na.
#tagalog #maybetomorrow
Danica Mar 2020
Ako’y isang hamak na manunulat
Kung ako’y tatanungin sa yaman ako’y salat
Pagdurusa’t hirap nakaukit sa aking balat
Gutom at pighati aking dinadaan sa masinsinang pagsulat

Mensahe ng aking tula paghihirap ang paksa
Pluma at papel luha ang siyang tinta
Galak at tuwa iguhit mo at ipinta
Pangakong aliw at ligaya iaalay sa’yo sinta
Tula ng isang manulalat na sa hirap ay lusak
Pusang Tahimik Feb 2019
Buhay ang tula
Dulo ay may tugma
Mga salita'y umaakma
Sa damdamin ng may akda

Huwag ka'ng mabibigla
At manatili na mamangha
Sa mga liham na katha
Na isip ang lumikha

Ang pagsuyo ay makata
Na walang pag-aakala
Ang tiyakin ay abala
Tiyak **** makikita

Ang paksa ng tula
Ay tiyak sa simula
Suriin ang salita
Sa puso ay nagmula

Ikaw ay mapapaibig
At titikom ang bibig
Manlalambot ang bisig
Sa tula na may tinig
By: JGA
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Mendengarmu berceloteh,
Daun telingaku kian mengecil,
Menciut sesak dalam lubangnya,
Hingga tiada bunyi menggugah pikiran.

Memandangmu beserta materimu,
Kelopak mataku tak kuasa terbuka,
Ku paksa terbelalak, menatap tajam,
Sampai pandanganku kosong hampa.

Menghadiri kelas mata kuliahmu,
Detik jarum jam seakan tertidur tuk berdetak,
Ruangan seakan penuh dengan jeritan jiwa,
Tinggallah hasrat untuk kembali pulang.

Wahai bapak dosenku,
Adakah engkau menawarkan air di panasnya hati,
Akankah kau menabur harum bunga di otak yang usang,
Atau apakah rasa jemu takkan terganti?.
Kailan ba ako huling nagsulat?
Matagal na ata
Kinain na rin ba ako ng sistema?
O talagang walang salita
Para maihulma ang mga katagang
“Mahal Kita.”

Ilang beses bang Ikaw ang naging paksa?
O sadyang ako na lang hanggang sa huli
Ang gagawa ng panibago?

Pahiram —
Pahiram ako ng salita
Pahiram ako ng MGA salita
Pahiram —
Ayoko na lang manghiram

Pagkat ang pag-ibig
Ay di pwedeng pahiram.
Random Guy Oct 2019
kay dami nang salita
letra
pasadya
na ang paksa ay tadhana
kung paanong sinira
binuo ulit
at sinira
ngunit binuo ulit
nito ang aking buhay
parang isang laro
na walang nakakaintindi ng panuntunan
o meron nga ba
parang isang lugar na puro ulan
o puro init
walang katamtaman
dahil hindi nito alam ang salitang katamtaman
ang alam lang nito
ay pagtagpuin ang mga taong hindi naman pala para sa isa't isa
o pagtagpuin sa maling lugar
maling oras
maling pangyayari
maling edad
maling sitwasyon
dahil hindi nito alam ang salitang katamtaman
ang alam nito ay katindihan
tindi sa nagmamahalang magkaiba ng relihiyon
tindi sa nagmamahalang di mabigyan ng pagkakataon
tindi sa nagmamahalang nasayang ang ilang taon
tindi sa nagmamahalang bata pa noon
tindi sa nagmamahalang di pa alam ang ganitong sitwasyon
dahil ang tadhana ay hindi alam ang salitang katamtaman
dahil kung alam nya
edi sana walang nasayang na mga sana
rant lang
Vincent Liberato Feb 2019
Mangangata ako sa madaling
araw ng panggagalaiti, nang mga panahong mas malalim pa sa dagat, ang panghahaplos sa
kaluluwa na kinulang sa pagpapahinga at sa wakas: makakapagpahinga.

Ako, ang sisidlan ng kalatas na nagpaagos
sa rumaragasang ilog pagkatapos ipasok sa isang bote, sa pag-asang makararating sa iyo ito.

Ayaw ko nang bumalik ang kalatas na 'to, baka sa susunod na bumalik sa akin ito, ay naglalaman na ng bulgarang pagtugon ng pagkalas.

Ayaw ko na.

Manghihipo na lang ako sa gabi sa pamamagitan ng paggunita
sa mga alaala para sundan ang anino
na unti-unting nawawala sa kusina, sa kuwarto, sa kama, at sa hapag-kainan.

Sandali, may idadagdag pa pala ako, hindi ko kakayaning tanggapin ang pagtanggap na namamalikmata lamang ako,
habang naglalaho ang pangalan mo
sa kuwaderno ko.

Mawawala na lamang ang pagkamarahas
ng prosa o tula ko. Isasantabi muna kita sa mga susunod na tula o prosa, painda-indayog ang paksa, pero binabalik-balikan ka sa masusing pagsusuri ng konteksto.

Magiging humpak na lamang ang dating matunog na ikaw at ang dating laksa-laksang paglalarawan sa bawat pag-ikot at paggalaw mo, na maingat na sinusundan ng mga mata ko.

Sa kabila ng pagpipigil sa pagkatapos ng isang nakakainsultong nakakapagod na araw ay magsisilakbo muli ang damdamin, at 'di magpapaawat ang pintig na parang bumabalik ang mga mata sa unang pag-angat ng mga titig.

Mahal, mangangata na lamang ako hanggang umaga,
habang nginangata ako ng panggagalaiti
sa pagsapit ng umaga.
Nix Brook Sep 4
at hindi mo 'man ako alalahanin
sa paraan na aking gustuhin

hindi mo na rin siguro sasaliksikin
na kung bakit ikaw ang paksa sa "kung paano ako mahalin"

hindi na rin para iyong mabatid at dinggin
sapat na ang yapos ng hangin na may panalangin
hindi ka 'man naging akin
minsanan din naman kitang na-angkin
solEmn oaSis Jan 2022
sa paglikha ng tuwina kong katha
madama mo din sana ang kakatwa
ngunit nakasanayan ko nang pagtatwa
hinggil sa himpilan ng tagong lubha

naririnig kahit di man pakinggan
nahihilig saglit kundi man tanggihan
inaaliw pilit ang sarili sa kundiman
bumibitiw singkit kong ngiti panandalian

dahil sa dingding lang ang pagitan
hilahil ng singsing dagliang pasakitan
walang pasakalye kang papanigan
humarang pa sa kalye silang marasigan

sapagkat ang magtengang-kawali
sa pangkat ay sadyang balewala rin
kapit sa patalim talagang tatanggapin
kahit pa maitim pawang palipad-hangin

wala kasing malaking nakapupuwing
ika nga nitong napipintong
pagsalubong
niyong yaong paimbulog na daluyong
tila halinghing, pakiwaring
may naduduling

dagundong ng kulog kung maihahambing
ang gulat na sumilay sa mga mata mo
sa halip ang kalakip yaring halukipkip
namulaga't humimlay di nais matamo

yun bang sa kabila ng pagka tulog-mantika
nakuha pang magbuhat ng silya-elektrika
tagos sa buto ang hiwa ng pahiwatig
halos tanto ang tugatog na matigatig

may tainga ang lupa, may pakpak ang balita
ganyan ko maikukumpara Ang Mala - Palara
na sistema ng isang walang muwang na puwang
pag sa sandaling mag-pasaring ang ingay ng kulay

mala-abokado ang sapak' na mau-uLinigan
mansanas sa pagkapula sa kabalintunaan!
mga paksa na may pasak natutunghayan,
tuwing ang kapas ay sawing masasaksihan

" Ang dapat ay isang Wika sa Magandang ibubunga "
pambihira naman ang mga dalahira ,
wari bagang mapupunong inuugatan !
Martes pakatapos ng Lunes ! Linggo lang ba ang pahinga ?
I was suppose to say that
precious or not
misuse or important
I always neglect the fact
of those direct track
coming from the back
of my splitting spit of my pen
symbolically every now and then
Pada suatu hari yang kejam.
Budi mau ke sekolah.
Ganti baju, minum susu, tidak lupa gosok gigi.
“Buk, Budi berangkat dulu ya.”

Ibu pertiwi tidak menjawab.
Budi melongok ke dapur lalu melihat ibu pertiwi.
Tampangnya kusut, pakaiannya berantakan dan matanya sembab.
Budi marah.
Sosok bangsat macam mana yang telah membuat ibu pertiwi sedih !
Di mana bapak pertiwi? Ibu pertiwi sudah jadi janda dan masih dicabuli. Memang anjing !

Jadi siapa yang telah membuat ibu pertiwi sedih?
Apakah si bangsat itu adalah mereka?
Yang menanam beton raksasa dan mengambil semua dengan paksa?

Atau apakah si bangsat itu adalah kalian?
Yang menumpang dan mengotori air udara tanah, menggusur alam atas nama pembangunan?

Atau apakah si bangsat itu adalah dia ?
Yang berjalan angkuh dan tamak. Sesekali mencari peluang, sumber daya mana lagi yang bisa di sikat ?
Babat terus tambang, sekalian laut, hutan, juga hewan!

Atau apakah si bangsat itu adalah saya ?
Bersembunyi di balik hati nurani yang katanya peduli, katanya cinta bumi, saya adalah omong kosong!
Saya tidak benar-benar cinta. Jijik betul merasa ibu pertiwi sungguh berarti, ikut menjerit ketika ia ternodai, mana yang lebih munafik apakah diri saya atau aksi ?

Pada suatu hari yang kejam,
Budi tidak berangkat ke sekolah.
Akal sehat budi meronta ingin lari selamatkan diri bersama ibu pertiwi.
Anak cicit Adam dan Hawa terlalu goblok dan jahat.
Manusia terlalu serakah dan merasa berkuasa.
Lihat itu,
Asap hitam pekat bergerak mendekat.
Mampus kau! Ibu pertiwi sudah sekarat!

Pada suatu hari yang kejam,
malam datang dan manusia mulai buta.
Ibu pertiwi gelap gulita, budi merangkak tanpa arah.
Apa perlu listrik untuk buka mata?
Atau cukup hanya sepercik bara?
Budi bingung. Ibu pertiwi sedih. Bapak pertiwi bodo amat.
untuk pertama kali saya bacakan tanggal 22 Juni 2019 dalam acara “Diskusi Panel: Dimulai dari Kita kepada Lingkungan” oleh Light Up Indonesia, Weston Energy.
Sundari Mahendra Mar 2017
Hoam....sudah jam 4 pagi
Alarm sudah berbunyi
Memanggilku untuk segera berdiri
Keluar dari hangatnya selimut

Hoam....aku masih mengantuk sayang
Dan dengarlah suara rintik hujan
Dan riuhnya gemuruh diatas
Bertanda hujan belum akan usai

Hoam....berilah aku beberapa menit lagi
Untuk mengumpulkan kekuatan dan kemauan
Mengalahkan segala bisikan
Untuk tetap tinggal saja dirumah

Hoam....baiklah, baiklah
Alarm kembali berbunyi
Kenapa kau paksa aku pergi
Sedangkan tubuhku begitu pedih
Untuk mendapat sekucur air dingin
Membuka mata lebar-lebar
Menggerakkan tangan dan kaki
Untuk berkarya dan bekerja kembali
Claudee Feb 2017
Gawan kaya ulit kitang tula
Tulad noong ikaw lang ang nasa gitna?
Noong ako'y lumulutang pa
At di pa nalalaglag.

Gawan kaya kitang tula
Parang dating bawat sulat-kamay
Isang direksyon lang ang tinatahak
Mula sa 'yo at pabalik patungo sa'yo.

Noong di kita matingnan nang tapat
Di man lang makausap nang di nanghihina
Di matanong tungkol sa mga tula
Dahil, ano ba, ikaw kasing paksa nilang lahat.
01/31/17
wizmorrison Jul 2019
Alam mo bang minsan na kitang naging paksa?
Ikaw ang laman ng tula kong may pagmamahal,
Hinugot ko sa puso ko ang mga kataga
Dahil para sa akin ikaw ay lubhang mahalaga.
Maraming salamat sa iyong pag-ibig
Para sa akin ikaw ang tala sa kalangitan
Hindi man kita abot sa aking mga kamay
Sa puso ko at isipan ay naririto ka lang.
Jasmin May 2020
Ano bang nais **** mabasa
Ano bang nais kong maitala
Marahil ito’y tungkol sa mga bulaklak
Mahalimuyak, wari pa’y simbolo ng galak
Maaari ring tungkol sa mga ulap
Tinitingala at hangad ay mayakap
O kaya naman ay sa mga paruparo
Susundan ng tingin saan man dumapo
Ilan lang ‘yan sa mga tuwinang paksa
Mga usaping purong halaga ang tinatamasa
Kumusta kaya ang mga pangkaraniwan
Ang mga patay na dahon sa putikan
Bisikleta ng ordinaryong mamamayan
Lapis na panulat ng pangalan ng napupusuan
Iyong madaling nabubura, hindi nahahalata
Kabilang sa mga madalang bigyan ng pansin
Mga bagay na sapat na ang isang tingin

Kumusta kayo?

Kumusta tayo?

Siguro’y nangingiti lulan ng duyan
Kalmado, mahinahon, malaya
Tago sa ingay ng karangyaan
Simple, payak... nawa.
zee Oct 2019
Mga kantang nagpapaalala ng kasaysayan ng ating pagmamahalan;
Prosa at tulang ikaw at kwento nating dalawa ang nag-iisang paksa;
Ang pait at sakit sa bawat pagsambit na ‘di ka na muling manunumbalik;
Luhang nagmistulang mga talon hanggang sa natuyo na lang paglipas ng panahon;
Bawat araw na lumilipas ay naiipon na lang tulad ng mga pangako ng kahapon
At nang dumating ang araw nagpasiya kang bumalik; hindi na maramdaman ang sabik
Tuluyang napagod na at namanhid sa sitwasyon; hindi na ako muling aasa
Na masimulang muli ang istoyang ikaw mismo ang nagpasyang ito ay wakasan.
Pusang Tahimik Jun 2022
Nauubos na ang batang namamangha
Sa mga mahikang angkin ay pambihira
Tuldok ang sukli sa isip na puno ng katha
At pinako ang tingin sa mundong mapanira

Wala na ang ligalig sa puso at isip
At ang mga bituin ay di na sinisilip
Nangadilim ang paligid sa bawat kong pag-ihip
Sa apoy na waring ang ningas ay pinipilit

Ang pag pakli ng panahon ay isinusumpa
At ang bawat pahina'y lumalalim ang salita
Hanggang kailan kaya guguhit ang paksa
Nang panulat kong nauubusan na ng tinta
By: JGA
Magsusulat na naman ako
Gaya ng dati --
Nagsusulat na naman ako
Para sayo --
Nagbabakasakali.

Ilang beses kong nilimot
Na ikaw ang aking unang panalangin,
Na sa tuwing pinagmamasdan kita'y
Nalililimot ko ang 'yong pangalan
At wala akong ibang hangad
Kundi purihin Siya.

Na sa tuwing tayo'y ipinagtatagpo,
Ay naroon tayo sa presensya Nya.
Tila ba kahit naisin kong lumapit sayo'y
Tayo'y pinagigitnaan Nya
At wala tayong ibang dahilang pumarito
Kundi magpasakop sa Kanya.

Parang tayong mga ekstranghero
Sa mundo ng isa't isa.
Lilihis at lalayo,
Yan ang kusa kong pagsinta.

Siguro nga,
Hindi ako nakapaghintay
Pinangunahan kita..
At nakaraang taon di'y
Naging masaya ka na rin sa iba.

Nagsusulat ako --
Bilang aking pagtugon
Sa panalangin ko noong
Ikaw lang ang hihintayin,
Ang mamahalin.

At sabi ko pa nga sa'king sarili'y,
"Kung ikaw talaga,
Handa akong iwan lahat.."
Tila ba kaybigat ng aking panalangin
Ngunit kaygaan din kung para naman sa Kanya.

Sana malaman **** --
Minsan kang naging paksa sa'king mga tula,
Ako'y naghintay nang ilang taon
Ngunit siguro nga,
Nauna akong sumuko --
Pagkat hindi ka naman tumugon.

Hindi ako nakaramdam
Ng anumang galit o tampo
Nang minsan mo akong iwan sa ere,
Matapos **** magtapat ng pag-ibig.
Nautal din ako noong mga panahong iyon,
At tanging dasal ko'y,
"Kung hindi pa natin panaho'y,
Tanggalin na lang muna tayo sa isa't isa.."

Ni hindi ko alam kung saan nanggaling
Ang lalim ng ganoong panalangin,
Ang lakas ng loob kong humiling
At tinugon naman iyon agad ng Langit.

Ngayon lang kita ulit napagmasdan,
Nahagip ang puso ko gaya ng dati..
Alam ko, wala ka naman sa lugar
Para muling magtanong sa'kin
Pagkat iba na ang himig
Ng sarili kong damdamin.

At kung sakali mang ikaw pa rin sa huli,
Hayaan **** ako'y maging tapat na sayo --
Pagkat sa bawat oras
Na ika'y sumasagi sa'king isipa'y,
Ramdam ko pa rin ang pagsambit mo
Nang "Ikaw na,"
Hanggang sa muli nating pagsinta.
Elly Apr 2020
‪huwag ka masiyadong lumapit at baka ika'y aking maging permanente tulad ng tinta na dadaloy sa pagbaybay ko sa iyong pangalan‬ na para bang ito ang pinaka paborito kong talinghaga sa bawat tula na aking ililikha na ikaw lamang ang paksa
Lecius Dec 2020
Mas madaling intindihin ang pag-ibig
Kapag walang sinasambit at parating tahimik
Kapag ngumingiti at umaabot sa langit
Kapag nagagalit at napipikon ng kay dali

Mas madaling basahin ang pag-ibig
Kapag kumikislap ang mata at kinikilig
Kapag kamay nakakapit at sa braso nakasabit
Kapag tumatawa at masid tunay na ligaya

Mas madaling mahalin ang pag-ibig
Kapag puro at dalisay ang pag-sinta
Kapag walang lihim at parating totoo
Kapag hindi nangsasakal at pinipigalan ang galaw

Mas madaling alagaan ang pag-ibig
Kapag ikaw ito at hindi s'ya
Kapag ikaw ito at hindi iba
Kapag ikaw ito at ikaw lang ito

Hindi parin nag-babago
Hindi parin nakakalimutan
Hindi parin natatabunan
Hindi kailan man lilisan

Ikaw parin ang aking pag-ibig
Ikaw parin ang aking sinisinta
Ikaw parin ang aking ginugusto
Ikaw parin ang aking paksa sa tulang ito
Megitta Ignacia Sep 2019
bara tubuhku
satu nafas, tikaman di perut
tapi bukan dari luar
bukan dari luar

cairan menjelma jadi belati
satu tegukan ramuan rempah sakti
rimpang agung warisan bumi pertiwi
jemari kuning si mbok hadir membukti
hangat jamu kuning pekat nan wangi
meresap, dinding terkikis
rasanya jantung diri digenggam keji

kini terlepas dari ragaku
sebegini ampuhnya
hingga ia menyerah luruh
sewaktu-waktu berdalih biasa saja
itu hanya gumpalan darah biasa
tidak ada yamg mengambil jiwa secara paksa
maklumkanlah
tubuhnya saja belum terbentuk sempurna
itu hanya gumpalan darah biasa
240919 | 00:09AM, kecemasan yang itu-itu lagi, perkara kesiapan, lamunan imaginasi tentang ada atau tiadanya makhluk kecil di tubuh manusia. Para wanita umumnya tahu persis kecemasan bisa diselesaikan dengan pelancar datang bulan.
Megitta Ignacia Apr 2019
Kamu masih boleh masuk,
atau sekedar memanggilku dari ruang sebelah,
boleh juga kamu tatapi aku tanpa kata,
ku ijinkan kau mengintip hari-hariku,
kalaupun kau tak pedulikanku,
pintunya tetap tak akan ku tutup

Satu yang tak kuijinkan,
jangan kau tutup paksa pintuku.
Aku akan tutup ketika ku mau.
Ini pintuku.
060419 | 11:00 AM
masih sakit,
aku sedang belajar ikhlas
surrender
kahel Jul 2022
sa dinami-rami ng kantang inawit at pinakinggan,
sa mga kwentong inilahad at i-sinalaysay,
mga prinsipyong pinang-hawakan at natutuhan,
sa dinami-rami ng mga naging paborito ko,

gasgas man sabihin ngunit—

mahal,
ikaw lamang ang pinakatumatak na paksa sa dinami-rami.
Ekzentrique Nov 2021
Bakit kahit anong bigkas ko
Na ito na ang huling sulat ko para saiyo
Ay lagi't lagi rin namang susulat ng mga tula
Na ikaw ang paksa
Random Guy Oct 2020
mga salitang

ginawang tula
nilapatan ng kanta
isinulat sa mga pahina

at para bang umiikot lamang sila
sa iisang tema
at paksa

na ikaw pa rin pala

at ikaw pa rin pala

kahit na
hindi mo na sila mapakinggan
o mabasa
#Philippines #Filipino #Tagalog #hugot #sakit

— The End —