Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
Noandy Jan 2016
Cerita Pendek Tentang Hantu*
Sebuah cerita pendek*

Anak-anak muda itu bilang bahwa Sundari cumalah hantu. Bagi mereka, Sundari sekedar cerita orang-orang tua zaman dahulu yang tak ingin anak lakinya pergi sampai larut malam. Parahnya lagi, mereka terkadang menganggap Sundari isapan jempol dan menggunakan namanya sebagai ejekan. Berbagai lelucon mereka buat untuk merendahkan Sundari,

Mereka pada saat tertentu menganggapnya seperti hewan kelaparan yang bersembunyi dan siap menerkam mereka,

Ketakutan sesaat.

Sayangnya, pada hari-hari berikutnya, Sundari malah terkadang lebih rendah daripada hewan.

Jika binatang buas dapat sewaktu-waktu muncul dan menyantap mereka dengan mudah, para pemuda justru berpikir bahwa mereka lebih tinggi dan mulia dibanding Sundari sehingga ia hanya akan menjadi segelibat penampakan.

Sundari cuma monster dan angan-angan, katanya, di zaman seperti ini mana ada hantu penculik jejaka. Pikiran anak muda memang berbeda dengan kebanyakan orangtuanya.

Padahal, Sundari sama seperti kita.

Sundari bukanlah siluman, hantu, atau makhluk mengerikan yang layak dijadikan lelucon semata.

Apalagi bahan cerita setan dan sarana menakut-nakuti bocah.

Dengar baik-baik, ia tidak terbang, ia tidak menghilang. Ah, Sundari bahkan tak punya kemampuan macam itu.

Sundari berjalan dengan dua kaki, melihat dengan dua mata, dan dapat memelukmu dengan dua tangan hangatnya. Yang mungkin berbeda adalah hati Sundari yang entah di mana sekarang. Inilah yang membuat ibu-ibu dengan anak lelaki begitu menakuti Sundari. Mereka yakin bahwa Sundari-lah yang akhir-akhir ini menculik buah hati mereka yang pergi malam, lalu menghilang selama satu minggu dan ditemukan gundul tanpa nyawa,

Tanpa hati,

Pada suatu sore yang hangat di padang ilalang dekat dusun.

Beberapa mengira bahwa Sundari adalah perwujudan pesugihan atau tumbal yang mengincar jawara-jawara muda, seperti andong-andong pocong yang dahulu sempat marak. Dahulu, pergantian kepala dusun di sini dilakukan dengan adu kekuatan. Para sesepuh percaya bahwa teh dari seduhan rambut pemuda dapat memperkuat diri dan meningkatkan kekebalan, ini menjadi salah satu spekulasi motif Sundari selain tumbal-tumbalan itu. Beberapa berpikir kalau Sundari menjual rambut lelaki muda di desa demi mendapatkan keuntungan baginya.

Kalau di antara gadis-gadis belia nan jelita yang bergelimang asmara, Sundari kerap digunakan sebagai sebutan untuk penyerebot kekasih orang. Terkadang huruf i di hilangkan, sehingga menjadi Sundar saja.

“Dasar, dia memang Sundari!”

“Padahal telah lama kita menjalin kasih, kenapa ia harus jatuh ke tangan Sundar macam dirinya!”

Apa Sundari begitu buruk hingga namanya lekat dengan orang serta kasih yang hilang?

Padahal dahulu Sundari hidup tenang,

Memang dahulu ia juga sumber perhatian,

Tapi ia hidup tenang dan dihujani kasih—

Yah, itu sebelum dusun ini akhirnya mengadili sendiri suaminya yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Menurut mereka, sangat tidak masuk akal seorang wanita pintar, seperti Sundari yang bekerja sebagai pendidik, memiliki suami yang lebih muda darinya. Pemuda berambut panjang itu hidupnya mungkin berkesan asal-asalan. Dandanannya serampangan, rambutnya berantakan dan panjang; padahal di dusun ini, sangat wajar bagi lelaki untuk memiliki rambut panjang. Banyak yang bilang tubuhnya bau tengik, dan ia jarang terlihat bekerja. Pada kedua tangannya, sering terdapat guratan-guratan warna. Berbeda dengan para petani pekerja keras yang terkadang tangannya diwarnai oleh tanah, warna-warna yang ada pada tangannya merupakan warna cerah yang tak mungkin didapatkan secara alami. Namun Sundari dan suaminya tetap dapat hidup dengan layak dan nyaman menggunakan upah mereka. Pasangan itu tak pernah meminjam uang, tak pernah mencuri.

Tak di sangka, orang-orang di dusun yang memandang bahwa agar dapat hidup berkecukupan harus digandrungi serta ditempa dengan kerja keras yang dapat dilihat oleh semua orang memandang bahwa dalam rumah tangga itu, hanya Sundari yang bekerja keras melayani suaminya. Sedangkan sang lelaki, menurut mereka, ambil enaknya saja dan kesehariannya sekedar leha-leha di teras rumah kayu mereka sambil merokok sebatang dua batang.

Mereka, terutama para bujangan, mencari-cari kesalahan pasutri bahagia itu.

Mereka kembali memanggil-manggil dan menggoda Sundari yang makin merapatkan kerudung hijau yang biasanya ia selampirkan apabila berjalan ke sekolah tiap pagi dengan kebaya sederhananya. Para bujang itu dipimpin oleh  Cak Topel yang istrinya lumpuh dan selalu ia tinggal sendiri dirumah. Mereka menungguinya tiap pulang, dan menghalangi jalannya kembali kerumah. Pernah sekali suaminya mengantarnya ke gedung sekolah reot itu, dan menungguinya sampai pulang. Sedihnya, ditengah perjalanan pulang ia babak belur dihajar  pemuda-pemuda berbadan besar itu—Setelahnya, Sundari melarangnya untuk sering menampakkan dirinya di depan warga dusun.

Yang harus dikagumi di sini adalah sifat pantang menyerah mereka. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjungkalkan Sundari dan suaminya dalam fitnah, sampai akhirnya mereka mencium sesuatu yang janggal dari rumah senyap mereka.

Bau tengik,

Ada yang bilang, jenis pesugihan macam tuyul sebagus apapun tetap akan mengeluarkan bau tengik atau busuk.

Mereka mulai menyambungkan hal ini dengan warna pada tangan suami Sundari,

“Itu tidak mungkin didapat dari bekerja di ladang.”

“Warna-warna itu pasti ramuan dukun.”

Dari situ, dapat dipastikan bagaimana Sundari dan suaminya dapat selalu hidup berkecukupan bahkan dengan uang mereka yang pas-pasan. Bujang-bujang berbadan besar itu segera menyebarkan cerita dan tuduhan-tuduhan yang membuat telinga panas. Sundari dan suaminya makin menarik diri dari warga dusun. Sundari bahkan berhenti mengajar setelah menemui kelas-kelas yang seharusnya ia ajar seringkali kosong, dan menemukan tatapan-tatapan sinis para ibu rumah tangga mengintipnya dari depan pagar kayu sekolah yang alakadarnya itu.

Entah kita harus bersyukur atau tidak, persembunyian itu tidak berlangsung lama. Pada sebuah malam bulan purnama yang lembab dan becek, Sundari melihat bola-bola cahaya dari jendela rumahnya yang ditutupi oleh anyaman jerami. Nyala api itu berasal dari berpuluh obor warga dusun yang berteriak-teriak dan menuntut Sundari dan suaminya agar mengaku bahwa mereka menggunakan pesugihan.

Sundari keluar sembari menyelampirkan kerudung hijaunya, diikuti suaminya yang rambutnya digelung tak rapih. Belum sempat mereka mengucapkan sepatah kata, para bujang menarik suami Sundari dengan menjambaknya dan melamparkannya ke tanah becek, menendangi pertunya, lalu menghajarnya seolah ia binatang peliharaan yang tak pernah patuh pada majikannya. Sundari hanya dapat menjerit dan menariki baju sejumlah laki-laki yang menghunuskan kepalannya pada tubuh kecil dan rapuh orang yang dicintainya. Setinggi apapun ia berteriak, suaranya seolah tenggelam dalam arus deras kebencian yang tak berdasar.

Jeritan untuk orang yang dikasihi itu lambat laun berubah menjadi jeritan untuk dirinya sendiri. Istri Cak Topel yang lumpuh rupanya merayap di tanah dengan sigap seolah laba-laba berkaki seribu, dan menarik bagian belakang kebaya Sundari sampai ia terjerembab ke tanah di mana ujung matanya menangkap sang suami yang rambutnya digunduli tanpa ampun dengan alat yang tak pantas. Saat menyaksikan adegan romansa sedih tersebut, wanita-wanita dusun menjambaki rambutnya, menampari pipinya dan menghajarnya tanpa ampun sambil menghujaninya dengan ludah-ludah mereka yang menasbihkan berpuluh hujatan menyayat hati. Setelah pasutri itu terkulai lemas di tanah musim hujan, barulah warga membumihanguskan mereka berdua yang tangannya tetap bergandengan.

Nasib naas, entah harus disyukuri atau tidak, menimpa suaminya yang terbakar hangus sepenuhnya. Sedangkan Sundari, dengan tubuhnya yang telah setengah terbakar, berhasil kabur dan hilang dari peredaran untuk beberapa saat.

Untuk beberapa saat,

Sampai lelaki yang menggoda, menghajar, membawa mereka pada keterpurukkan semuanya hilang satu persatu, termasuk Cak Topel.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau ronda, dan ditemukan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Orang-orang bilang bahwa ini Sundari yang menuntut balas. Meskipun entah di mana dirinya berada, ia masih tetap menghantui. Membayang-bayangi dengan perasaan bersalah yang menyakitkan bagi seluruh warga dusun,

Karena

Sundari dan suaminya tidak pernah melakukan pesugihan.

Dan, ah, itu cuma tipu muslihat para bujangan yang cemburu dan bersedih karena tak bisa mendapatkan Sundari dalam dekapan mereka sekeras apapun mereka berusaha. Entah sudah berapa lelaki dan lamarannya ditolaknya, ia justru jatuh hati pada pelukis bertubuh kecil yang sepuluh tahun lebih muda darinya.

Bagaimana amarah mereka tidak tersulut?

Seandainya warga dusun lebih mengenal bau cat dan minyak untuk melukis, mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk menuduh Sundari dan suaminya terkait pesugihan.

Ah, coba mereka masuk ke rumah kayu kecil itu sebelum main hakim sendiri. Mereka tak akan sekaget itu saat menemukan gubuknya penuh dengan cat dengan bau tengiknya, tumpukan kertas dan bahan bacaan, serta lukisan-lukisan yang masih dikerjakan.

Hilangnya para bujangan lalu diikuti dengan hilangnya murid-murid sekolah menengahnya, dan lelaki muda lainnya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan ini.

Sundari tidak berhenti.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau berjalan di pematang sawah, saat menantang diri mengaku “tidak takut dengan Sundari itu!” lalu ditemukan dengan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Sundari menyukai kerudung hijaunya yang hilang kala malam,

Kerudung tipis indah yang digunakan untuk menutupi kondenya—Yang direnggut paksa darinya lalu hangus rata dengan tanah.

Tapi Sundari lebih menyukai kehadiran,

Kehadiran suaminya dan tangannya yang bekerja melukis diam, kehadiran kerudung hijau yang melindunginya dari tatapan tajam, kehadiran murid-murid lelakinya yang dengan polos melontarkan lelucon serta godaan-godaan untuk Ibu Guru Sundari mereka, kehadiran anak-anakmu yang sombong.

Sundari menyukai kehadiran, dan itu merupakan alasan lain mengapa ia menggundul habis lelaki yang diculiknya, lalu mengupulkan rambut mereka yang ia sambung, anyam, serta kenakan dengan nyaman bak kerudung dan mantel bulu.

Maka dari itu, orang-orang yang melihatnya terkadang bilang kalau Sundari cumalah hantu; bayang-bayangnya selalu muncul dalam bentuk segumpal rambut menjelang malam.

Sundari lebih suka kehadiran,

Keadilan.

Tapi apa membalas dendam seperti ini juga salah satu bentuk keadilan?

Entahlah, ini pilihan hidup Sundari. Sudah kubilang kalau hatinya entah di mana.

Sekali lagi, Sundari bukanlah hantu. Ia manusia yang teraniaya sama seperti kita. Manusia yang disalahi.

Kalau dipikir lagi, bukannya setan terkejam adalah manusia sendiri?

Yah, itu sih sudah berpuluh tahun lalu. Entah apa jadinya Sundari sekarang. Sekarang lelaki cenderung berambut pendek, tak seperti dulu. Bayang-bayang Sundari kemungkinan tidak se beringas waktu itu, dan telah berkurang frekuensinya. Namun wanti-wanti mengenai dirinya terus ada dan berubah seiring berjalannya waktu, bervariasi.

Itu sudah
Berpuluh tahun lalu.
Mungkin sekarang ia telah jadi hantu sungguhan, atau ada perwujudan Sundari-Sundari lainnya?

Tidak masuk akal, ya?

Aneh, omong kosong, isapan jempol.

Kalau dipikir lagi, bukannya dunia ini selalu penuh omong kosong dan tangis dalam gelak tawa?
Diska Kurniawan Oct 2016
Pernah aku melihat sebuah keikhlasan
dari gugurnya daun pohon jati itu
Relakah dia meranggas untuk menghargai
waktu.

Pernah aku melihat sebuah kerahasiaan
dari kata-kata manis seorang ibu
Matikah dia menangis untuk menjadi
hantu.

Tapi seumur hidup aku baru melihat
sebuah kejujuran, dari ujung jarimu
Yang membelai untaian benang biru
kusut, tanpa keluh
Berpeluh namun tak mengenal sendu

Lalu apa artinya ikhlas tanpa rela
ditengah rahasia tanpa kata
dibasuh hujan air mata yang tak jatuh
Membasahi rona merahmu


*Doa kita sampaikan pada awan Nimbus
dan bintang Polaris
Berharap, berdua kita mendapati senyap
Bersama nyala lilin.
Mungkin kita dapat bersama ditengah senyapnya kematian.
Noandy Sep 2016
Setanmu itu,

Ia masih menghampiriku
Duduk di ujung kuku kakiku
Untuk mengaji
Agar aku tidak pernah lupa
Pada satu pertanyaannya:

Mengapa
Aku sampai membakar diri
Untuk menjual jiwa
Pada nyala sepercik
Padahal lamanya
Tak lebih dari sedetik

Kenapa, tanyanya,
Aku terbaring siang dan malam
Dengan jarum-jarum
Di sekujur tubuh
Yang dengan sendiri kutusuk

Kenapa,
Balik kutanya,
Kenapa
Aku masih di sini?
Coco Dec 2018
Setelah kesekian kalinya,
Dia berusaha

Di sudut nyala lilin kecil
Dia dapat kembali menangis
Terisak hingga kelelahan
Mengeluarkan semuanya
Dan jatuh tertidur

Wahai puan,
Berapa lama topengmu itu kau gunakan?

Tak apa jika kau ingin bersedih,
Tak apa jika kau ingin marah,
Tak apa jika kau merasa dunia ini tak adil

Jangan mengunci dirimu,
Terdapat langkah kaki yang ingin menemanimu diluar sana
Persilahkan lah

Untukmu,
Tolong jangan memenjarakan diri sendiri
Enjoy it!
"Bahwa bukan kesedihan yang nyala
Di ruang mata, melainkan hakikat rela"

(Kisah Soe Harry, 2 - Astrajingga Asmasubrata)


aku datang padamu dengan surah yasin
dan rasa ingin
bertemu yang tak bisa dicukupkan oleh
simpuh sujud
seorang anak yang imannya sedang
runtuh. ayat

demi ayat menjelma percakapan kita
tentang hakikat
hidup dan mati: tentang hidup adalah
seluruhnya ibadah
dan mati adalah nikmat tertinggi. mad

dan waqaf menjelma tempatku berhenti:
tempat aku
meluruhkan air mata saat terbayang
wajahmu yang
tak bisa lagi kupandangi. aku bertanya
seberapa rindukah

tuhan padamu tetapi tak ada jawaban
meski telah aku
cari di setiap lembar yang sebentar lagi
menuju akhir.
aku bertanya akankah kau bangun untuk
sekadar menyapaku

tetapi tak ada jawaban meski aku telah
sampai di ayat

kun fayakun.
2017
Julian May 2023
https://www.dropbox.com/scl/fi/l8njruxa73yee9b0jzmhd/The-Ultimate-Unabridged-Guide-to-Esoteric-Working-English-2.docx?­rlkey=kunoar7ghpfkb7fjk5xkdgx95&st=i84ornny&dl=0

THE ABORIGINAL FRAME OF REFERENCE OF HETEROCHRONY AND SIMULTAGNOSIA DEFINES THE PARALLAX OF URANOPLASTY BY CATALFALQUES AND ARCTICIANS WHO SASHAY THEIR GENTEEL NOBILITY IN THE FLUX OF ELLIPSOID DIMENSIONAL INTERFACES FOR GREENWICH MEAN TIME THAT IS OPERATIVE IN THE CONATION OF MATHESIS TO PLUCKY THORNY IMBROGLIOS OF TELEOLOGY OF LAND RUN SPECTRAL HOBGOBLIN BUGABOOS OF AN INDUSTRIAL WASTELAND GARNERING A QUERENCIA OF GRANNARY JOBBERNOWL JOCKOS OF  EMOLUMENT IN THE FESTIVITY OF THE MARCH OF MASONS ALL TOWARDS SINECURE OF SYNCLASTIC CLIFF DIVERS WHO SPELUNK IN FIRE EXTINGUISHER PLIGHT OF STREAMLINED COSMONAUTS BOLTROPES TO AN ABECEDARIAN TRILOGY OF CAMISOLES FOR CAMPANILE CAMARADERIE JOUSTING THE FLAVORS OF SAINT TROPEZ FOR ADMIRAL SENTINELS OF FAMIGERATION. THEN BECAUSE OF THIS THE SWASHBUCKLING CONNOSIEURS OF THE GUARDED JALOUSIES OF JEALOUSY CONGEALING REQUIEMS FOR DESOLATE DISSIPATION IN WITWANTON FUROR PRIMIGENIAL IN THE FORMATIVE THROES OF RAGTAGGER RETINUES OF VESTIGE AND THE PLUMBISM OF SOCKDOLAGER HIERARCHIES OF SAPROSTOMY BY RUDENTURE AND GALVANIZATION OF FUNERAL PYRE PONDSCUM RELIEFS ON CANVASS FOR THE CALVOUS PROSELYTISM WHEMMLING SUBVERSION AND STOMACHERS OF TESTUDO MANIFEST THE TESTIMONY OF THE BRONZE IMAGOS IMPRIMATURS OF THE SLOGMARCH OF PANTAGRUELIAN SCIAMACHIES FOR TRIBULOID CELLULOID ENGRAVED WITH THE GREATEST SPECIFICITY AGAINST THE MEDIA CONGLOMERATE COCARDENS SLANGWHANGING THEIR ALBATROSS STROKES OF THROMBOSIS AGAINST NUCLEOTIDES AGAINST THEIR PILGRIMMAGE MIGHT THEY FIND THE FOSSOR AT THE GRAVESTONE AN IMPERILED ONEIRODYNIA BECAUSE OF BERTHE CIRCLE BETHLEHEMS SQUARSONS ENVY AND SQUARE RECTITUDE AGAINST AS THE FORMIDABLE SPATHODEA IN THE INTERREGNUM OF KALIMKARI THAT THE TOKUGAWA ASPECTS OF MACH 3 TRIPWIRES SLINGSHOT INTO ORBIT AROUND MOONSHOT DIRIGISME OPERATIVE BY THE HEFT OF ENTELECHY IN SEFIROTH MIGHT THE DEMISE OF CATERCORNERED VULPECULAR SPITE SQUANDERING EVERY LIMESTONE LIMELIGHT OF SLAVISH INDELIBLE AVARICE GILDED BY THE SOLOMON EMPIRE STRIKING BACK AGAINST CATARRHINE HEBEPHRENIA SPATTEES OF INDIGENCE. THESE SPAR AGAINST WITH FOIBLED REMNANTS OF THE DYING GUARD OF VAURIENS IN VARIMAX STOCHASTICS OF THE DIVISION OF THE INDIVISIBLE INTO THE CATASTROPHISM OF ABAXIAL FOMENT SPUMID WITH LIVID AND LURID ONEIRODYNIA FILIBUSTERING WITH “TEACHERS” ENORMITY AGAINST THE TITANISM OF THOSE LATCHKEY YEGGS OF HENPECKED OWLERIES OF BOHEMIAN REPUTE BUT NEON ALPENGLOW IN THE CREMATION OF THE CAREWORN REPUBLIC HOARY WITH WIZENED ABSOLUTION IN APANAGE THAT GRILLAGE FOMENTS AGAINST THE GREAVES OF THE CHANDLER AND THE CARRACKS OF IMMENSE PANTOGRAPHS DERIVING FROM FUTURE TENSE A PRESENT SURREALISM OF DAYDREAMS OF EIRENICON THAT ARE PLASHY WITH THE PLAFONDS OF MIRRORED VERSAILLES REVANCHED TWICE AND BET ON THREE TIMES TO SALVAGE A WORLD BEYOND BENTHIC DEPTHS OF GILD ABOVE ARTHURIAN PEDIGREE IN THE SACK OF THE JARVEY OF EXASPERATED EMPIRES SWILLING WITH TITRATION AMONG MODERN CULPRITS FOR VAMPIRIC FEATS THE WELTER OF LAMBENT LIGHT TORCHIERS EMIT IN TIMELESS PRISTINE ELEGANCE OF HERCULEAN MIRACLES SLURRY SWANSONGS OF DOVETAILED INFAMY BECAUSE OF SERROWS OF OPPORTUNISM WORN FRAYED WITH REVOLUTE MARGINALIZATION OF PROSTITUTES OF TAXIDERMY AND TRAPEZES OF SCHOENABATIC SPORTIVE GAMBOLING NICCOLIC NIDAMENTAL BANDOBASTS OF RESIGNATION. THIS PANTHEON SECRETS BELONG IN BARRULETS BEYOND THE PRIVY EYES OF VANGERMYTES SIMULTANEOUS IN CHANTED LITURGIES OF GHOST DANCE CELEBRATIONS OF WOVEN EMISSARIES OF THE DEEPEST CHARNEL AND CATACOMB OF PHILOSOPHICAL ALTRUISM BROCKFACED WITH THE MYTHOS OF A THOUSAND TINY LIES BECOMING THE SUBURBAN MUSE OF MERITOCRACY MIXED WITH SUBVERSIVE PLEVISABLE CRYPTADIA THAT SPAWN THE HYLICISM OF THE HYLOZOIC CRETACEOUS SPARK PLUG INGENUITY OF FATHOMED TRAIPSES OF DESTINED APLOMB WELTERWEIGHTS BRAG ABOUT IN THEIR GROOMED ZENKIDU BENT IN KOWTOW TO TAJ MAHAL PEDIGREE BECAUSE OF EPHORIZED ZEKS OF XENON AND OTHER MERCURIAL SPRITES WELLSPRINGS ABSOLVE WITH ILASTICAL REPARTEE AS THE HYPE OF EVERYTHING IS THE ENMITY OF ANY QUALIA IMMISERATED IN ITS OWN SCURFY SCOWL OF JEALOUSY AT HOW POORLY THE GOOD SHEPHERD WHO PROVIDES LIFE IN ABUNDANCE IS BETRAYED BY THE CORDWAINERS OF A COMPANY HE VOUCHSAFED AS A DEMASSIFIED SECURITIZATION OF BIFFCO PLANS TO COLONIZE THE  REPARTEES OF MACROPICIDE IN WEALTH SUCH THAT THE STEVEDORE MEETS INCLEMENT CURGLAFF AND THE JASPERATED JESUITICAL RUDENTURE OF MEDIA CONGLOMERATES RUNS AMOK BECAUSE OF TRITE NECESSITARIAN BELLWETHER WELTERS THAT DESCRY THE “SIC SEMPER TYRANNIS” ZEITGEIST OF NARRISCHEIT IN FOOLHARDY KUNDLESROMAN. THE FINIFUGAL BINTURONGS OF SHANTUNG AND CHIFFON FROM RUMCHUNDER CAN BE THE PLEVISABLE CURTAIN OF WUNDERKINDS ALONE IN GINGLYMUS AROUND DEMASSIFIED PUBLICITY THAT GARNERS ANY GARISH ADVANTAGE TO THE POULTRY OF GAVELKIND BECAUSE OF THE SOPITERS OF WEALTH OVER THE MERIT OF SELECTION INTO THE FELLOWCRAFT OF BOLIDES ONLY KNOWN TO A FEW PARTICIPANTS OF RESONANCE IN IONIZATION AND DECRIED SCOUNDRELS OF AUSTRAL WANHOPE AND WANION OF WAPENTAKE BY THE CACOETHES OF THE ESCULENT EBRIOUS PERIBLEBSIS TO REVOKE THE STANCHIONS OF THEIR INTEGRITY TO PRESERVED STATURE EMBEDDED IN BARKENTINE ARISTOCRATIC ESTATES SUCH THAT THE BRIQUET STEALS THE ALMANAC BEFORE THE TITAN PRIMIPARA PROMACHOS CHAMPION OF ALL BRETEUIL THUNDERING APPLAUSE OF CANARDS BECOMING THE ROERICH ROORBACKS OF DIGNIFIED ACHIEVEMENTS IN THE ELOCUTION OF MEN PROSELYTIZED BY GALLANT GAPS AND VOLUMES OF ARMADA FILIBUSTERED BY STOKEHOLD SPODOMANCY IN SPODIUM BECAUSE OF CLADOGENESIS IN SUPREME MYTHS BELONGING TO NEOPHRONS THAT SCAVENGE THE PRECIPICE OF RAIDED TOMBS AND RUPESTRIAN DISCOVERIES FROM THE ANCIENTS TO THE COGNITIVE DELINQUENCY OF ENTHEATE ENCEPHALIZATION QUOTIENT DEMARCATIONS OF PATAPHYSICS DELIMITING THE PULCHRITUDE OF THE WELKIN AND WELLAWAY OF TITANS SUNKEN BENEATH THE PENDULUM OF GRANITE AND THE SANDSTONE OF NAXOS LAVEERING THE LAVADERO OF ANCIENT ODYSSEY FALTERING ON MISPLACED HISTORICITY MIGHT THE BARDS ASSUME THE COVERAGE OF ALL REGARDANT AFFAIRS OF FLAGRANT CHRISTIAN ROODS AND MISERICORDS LEADING TO A QUACKSALVER MONETIZATION OF LABROSE LABIOMANCY AMONG THE DEFEANED EARS OF BOSTON UNIVERSITY IN THE COVERT CHANNELS OF HALIFAX EXPLOSIONS LEADING TO APOGEES IN TRIAGE AND WHITTAWERS OF WILLOWISH DECADENCE DROOPING WITH LOURS AND LEARY SUBVERSION OF THE LEEWARD JAWS OF GREEN-EYED-LADY. THE FAVORS BETRAYED BY THE GAMESMANSHIP OF POLO PLAYERS RATHER THAN THE PANCRATIC ACCORD OF MARSHALED PEACE OUT OF THE HOUNDSTOOTH DONTOLESQUE FUMIDUCTS FUNNELING GRAVAMENS OF GRANNARY GRAVEYARDS THE PEDIGREE OF OLD MALABATHRUM IN THE ETERNAL APOLAUSTIC PURSUIT OF THE UMBRILS OF TRITE HACKNEYED IMITATION OF ONE HACKER WAY AND ITS DEVELOPMENTAL STAGGER FROM SEANCE TO MAUSOLEUM BECAUSE OF CREAKY CRUMBLING 226 BC CATACLYSM RAIDED BY ICONOCLASTS OF CRUSADING WARS TO HIDE THE VOGELHERD BURROWING SPEILBERGS THAT DIRECT WALDOLF-ASTORIA GRAVEROBBERS WHO ITCH AND YEUK FOR YARAKS OF YESTERTEMPEST TO BECOME A GULLYWASHER VARDLE IN OMBROPHILOUS CONFUSION BENIGHTED BY TRAGICOMIC VALIDATION OF CONFLAGRATION OF SHANGHAIED MENSURATIONS OF VASTATIONS AGAINST THE HEGEMONY OF RHEOTAXIS THAT MIGHT SPUR THE CABOTAGE OF THE CALCARIFEROUS COBALT OF PICTURESQUE LABILE AMADEUS VIOLINISTS SPORTIVE IN EVERY REGARD OF PATAPHYSICS LEARNED BY THE ALGORITHMS EMBEDDED IN GENERATIVE PRE-TRAINED TRANSFORMERS OF CONSCIENCE AND STATOLITHS OF THE ARABIC NOBILITY OF SHRINES SHROUDED ON OLYMPUS BEAMING WITH AGED LIGHT IN THE ALPENGLOW OF THE MEMORIAL OF THE PLASTERED PAINT PLASHY WITH PLAFONDS OF PLENARY RECONNAISSANCE OF RENAISSANCE ACUMINATION OF THE ATRABILIARY ORIGINS OF THE PLIGHT OF THE PLAGUED IN THE KNIGHTED ORDERS OF MALTA SALVAGING ELBA AND THE ALCATRAZ OF SENESCENCE. BUT BECAUSE OF EVASIVE TRUTINATIONS OF THE TUBIFACIENCE OF EAGER LEAPING TRUTHS OF NEW MADRID CLADOGENESIS IN COGITATED REALMS OF APOTHEGM LEADEN WITH PHEROMONES OF THE BRAGGING RIGHTS PREROGATIVES OF SLAPSTICK CAPREOLATE MINATORY FIFTH COLUMNISTS AND GUARDIANS OF ST. JOHN THAT MAYBE THE FLAGRANT STENCH OF RIGORS OF RIGMAROLE AND THE CORTEGES OF THE DEEPEST PLUMB IN THE 20,000 LEAGUES UNDER THE SEA TRAVESTY OF SANTAS MIRACULOUS NORAD PARADE FROM BUNKER HILL TO PROVIDENCE AND THE TEMBLORS OF CHARLESTON SPEAK TO THE EL PASO POWER PLANT IN ITS GRAVID GABBLE OF GAVELKIND FOR ISONOMY PROTECTED BY THE TREASURY OF SLOW-WAVE DISTORTIONS OF THE GEOCARPY OF GEITONOGAMY BECAUSE OF HARRIED TERRIES OF TESTUDO GUARDING THE THRONE AT THE EDGE OF GRACE BEYOND THE GOLDEN BRANCHES OF ZION AND THE DEPTHS WE FATHOM THE STRATHSPEY OF ENNOBLED GENTEEL BRISURES AT THE PARAPET. THE ARENAIDAN SECRETS AND ABSTERGED CASUALTIES OF THE WORST AMENDE OF TAMMANY JUSTICE AND THE BYWORDS OF HIS CANEZOU CANZONE PRIVILEGED UPON THE EARS OF ARISTOCRACY LIKE THE WILTED QUILT OF MARTIN LUTHER KING JR. CEREMONIALLY EXITING STAGE RIGHT THE PRECIPICE HE ENTERED BY THE ZEPHYRS OF CEFALONIA BARNSTORMING APACE OF CALIPACES OF NESSBERY NESTITHERAPIES AGAINST THE GRUFF GUIGNOL OF RHYPAROGRAPHY MIGHT THE AWAKENED ROOSTER HENPECK THE FLOCK OF GRASSY AVARICE LAUNCHED INTO ORBIT BY THE PIONEERS OF CEPHALIGATION TO THE PROMONTORY AT THE EDGE OF TOMORROW BUT THE FORTNIGHT OF YESTERDAY’S DIDACTIC LITURGY IN THE CATECHESIS OF CHRIST AND THE BESTOWED PROPHECIES OF PATRIARCHS OF MUHAMMAD THAT THE WORLD WE CARVE ETCHED IN TABLATURE FOR IMPRIMATUR BECAUSE OF RIVALRIES OF SYCOMANCY MIGHT WE ALL CONCORD UPON THE CONCOURSE OF THE LUNACY OF EQUIDISTANT PERJURY AND CORRUPTION TO THE THRONE OF GRACE AND THE OVAL THAT ENCIRCLES SO RAPID A DEGENERATION AND SO WIDE A CANVASS OF  ARTIFICE ABOVE THE FULMINATION OF THE CAULKED VAULTS OF WELKIN FOR WELLAWAY EUPHORIANTS FROGMARCHED BY JALEOS OF HANDSPIKE. THIS IS FOR BLASPHEMED DEGREES OF DECREE OF THE SACRED FIRE OF TEMPERANCE THAT THE MODESTY OF A MASON MAKES HIM THE SUN GOD OF HIS OWN MAYDAY PICARESQUE QUIXOTIC WHITE WATER THRILLS SCALING THE SCALARIFORM CORDWAINER CATALLACTICS AGAINST GRAMPUS IN TRUCIDATION RATHER THAN THE TRAULISM OF DUGONGS OF DURAMEN PREPARED TO THE DIGNITARIES OF MORONI AND THE CHRONOMANCY OF OBSCURE CAPITALIZATION FROM THE RANDOM DELLS AND VALLEYS AND THE TREASURY OF DOMINEERING MOUNTAINS CLIFFHANGING IN PERPETUAL INSOUCIANCE BUT RECALCITRANCE OF GRAVITY’S RAINBOW AGAINST THE RAINBOW PLEDGES OF THOSE THAT DEFY THE CREED OF THE PEOPLE OF THE BOOK AND THE BESTOWERS OF THE CHIMNEY OF INDUSTRIAL REVOLUTION SOOT OF EVOLUTIONARY CELERITY CATALYZED IN THE SPRAWLING URBACITY OF MOFUSSIL FOSSILS LAMINATED WITHOUT A HINT OF LANCINATION SUCH THAT TOURBILLONS OF LIONIZATION OF ALL THE OLD HAUNTS AND EVERY SNICKERING HISTORICAL IRONY MIGHT MEET DECLENSION BECAUSE OF OMPHALISM BUT THE BRUNT OF ALL BRONTEUMS OF KNOWLEDGE IS NOT MERELY KNOWING A DATE OR AN EXACT TIME OR AN EXACT NAME BALLOONING INTO THE SIMULTANEITY OF EAGER LAND RUSH APPLICANTS OF FORFENDED OPPORTUNISM AGAINST THE DEPREDATED PAST REPLACED WITH A POTICHOMANIA OF PRESENT CIRCUMSTANCE DESIGNED TO ENCAGE US IN A GREENWICH MEAN TIME CONTORTION OF TITANIC LOVELORN NECKLACES SUNKEN IN ZOOLATRY BECAUSE OF AGRIZOIATRY EMBEDDED IN “EMBERS AND ENVELOPES” REGINA AND MOBILIZED PURSUITS OF THE FUGACIOUS FATIDICAL INSIGHTS OF THE PAST. THIS INDELIBLE IMPRINT IS  CARVED FROM THE IMPEDIMENTA OF IATRALIPTIC IATROMATHEMATICS STEEPLY INCLINED INTO THE FULCRUM OF DESICCATION AND THE DIET OF WORMS THAT DEPARTED TOO MANY TRUCES AND BEYOND INDULGENCE REDEEMED A TORN HUMANITY FROM FRAY AFTER REVOLUTE HOARY FRAY OF FOAM AND FLICKER IN ALPENGLOW AND RINGLEADER SEDITION ABOVE MOUNTAINS SWANKY WITH NEVER A NEBBICH PALLOR NOR A RUBEFACTION OF SQUARSONS SNEERING AT THE REGISTRY OF  THE SHOT HEARD AROUND THE WORLD CHAMFRAINS GUILTY OF HIGHER PRESTIGE IN THE GAMMONS OF GAMINE AND GAMUT THAT THE GINGLYMUS OF FRATERNITY IN ZEAL TO THE NINE SISTERS GUARDING GIBRALTARS ROYAL ARCH AND COBBLED ARENA MIGHT THE GLADIATORIAL SPECTACLE CONVENE IN EVERY CONVENTICLE BECOMING ORTHODOX BY PURIFIED RAREFACTION SUCH THAT THE ALCHEMY OF EUHEMERISM INTO CHRISTIANITY MANIFESTS AGAINST THE JANISM AND CELTIC GILD OF VANDALIZED PETTIFOGGERY WE MIGHT SEE FROM AFAR THAT THE RUINS OF RUNES ARE IN FACT THE OMPHALOS OF EVERY READYMADE SCHOLAR FRACTIOUS IN DISPUTES OF PEDIGREE. THESE KENSPECKEL DISTORTIONS THE VISAGISTS HARBOR OF BANGTAIL OSTENTATION DECEASED BEFORE CELLULOID COULD MUTATE THE CULTURAL DNA OF CONTINUATION BY A SATURNINE GLOOM RATHER THAN AN ANABIOSIS OF RECTIFIED RECTISERIAL SUBSTRATOSE REFORMATORIES SKILLED IN STANDPIPES FOR STANNARIES BECAUSE OF STANJANT DESPITE JANSKY FOR JANIZARIES TO LEARN THE CRAFTS OF KRAFT AND BECOME THE AGENCY OF THE OPERATIVE DURESS OF DURAMEN FOR ACHARNE IN A RENEWED CENTURY OF GLOWERING BYWORDS OF NESSBERRIES OF NESTITHERAPY AND THE BIOLUMINESCENCE OF INTREPID NICCOLIC SWANK IN NIDAMENTAL DEFIANCE OF NIDOR BECAUSE OF A SIMULTANEOUS REJECTION OF NIDIFUGOUS MYTHOLOGY AND THE NEPIONIC ENSLAVEMENT OF DUALISM AND POLARITY THAT IS THE GRAVID IMPERTINENCE OF SOPHOMORIC ****** YEDDA AND YASHIKIS THAT DESIRE THE CULMINATION OF ALL BRAZEN MERCHANDISE BEYOND DERAILMENT BECAUSE OF RAILLERY AND THEREBY CENTURIONS OF THE TRUE GARBOLOGY THAT BECOMES THE MAINSAIL AND MAINSTAY OF CENTURIES OF SQUALLS ON HIGH SEAS OF COCARDEN BECAUSE OF SANDSTONE AND SANDMAN WHO WORK TOGETHER TO DEFEAT THE INCUBUS SUCH THAT ALL A MAN CAN DO IS CARVE HIS OWN STATUETTE AMONG THE PANTHEON OF THE GREATEST ACHIEVEMENTS FOR THE BROADEST OF BARMCLOTH OBJECTIONS TO JASPERATED JARVEYS OF BARTON IN PANMIXIA REGARDED BY SERRATED SECODONT SELACHOSTOMOUS REGALIA AS A MIGRANT SPECIES OF NOMADIC INSTINCT HARBORED BY THOSE WHO ONCE FATHOMED EVERYTHING. THE SERENDIPITY OF PRE-ELECTRIC OMPHALISM BUT NOW SYNERGIZE WITH SUCH CELERITY THAT MOONWALKER CARAPACE OF TESTUDO AND TREATISE BECOME DEMASSIFIED SO RAPIDLY A SPEEDY BRANNIGAN BECOMES A SPOILSPORT TO A MARAUDED WHIGGARCHY THAT DEMARCHES ALONG SERPENTINE ROUTES TO SALVATION BEYOND THE UMBRILS OF APOSTILS OF THE AGE BEFORE THE COMPLETION OF TIMES AND THE SEQUESTRATION OF SESQUIPEDALIAN HOLOBENTHIC IMMERGENCE BEAMING BEATIFICATION UPON THE AGGIORNAMENTO OF REVIVAL AND THE CALVER OF BOLAR BONCES AGAINST BONTBOKS FOR SPRINGALDS THAT BECOME WINTERBOURNE SO DEFIANTLY AGAINST THE LARGESSE OF TIME THAT THE STAGGERING ELITISM OF THE BRIQUET BECOMES A BYWORD FOR THE PARAPET OF PARAKEET BRISURES OF PERISTERONIC OBSERVATION OF STELLAR LUMINOSITY SUCH THAT THE PARASELENE IS SUDDENLY FLOGGED BY THE REVERENCE OF REVERENDS BECAUSE OF THE REVELATIONS OF PATMOS BEYOND THE MISLED SEPARATISM OF FLAKY NEVES OF NEVOSITY FREQUENT IN THE RECURRENCE OF LEGEND AND LORE BECAUSE PROMINENCE AND PREEMINENCE ARE ALWAYS TARGETED FOR POWELLISATION AFTER POTICHOMANIA SUCH THAT THE BARKENTINES HARVEST EVERY OOMANCY AND THE NOILS OF TIME FINESSE EVERY CRANNY AND NOOK OF THE BOLTROPES OF MODERNITY SUCH THAT THE CALCULUS OF BARYEICOIA MEETING STIFF SHARP GRAVITY OF SLENDERIZED BLADES OF SKELETONIZED FIGMENTS OF HOBGOBLIN AND SQUALOR BECOME REPARTEES FESTOONING LUKEWARM NATIVISM INTO A DARRAIGNED ACCORDION. THE WIDOWED MULIEBRITY OF AN UNEVEN HOUNDSTOOTH HYPOCRISY OF HIPPOCRATES IS AN OATH OF FIDELITY AND FEALTY TO THE LORD OF KINSHIP RATHER THAN THE TRAMONTANE RISCTENDER OF RHADAMANTHINE SUBVERSIVE ACTIVITIES OF A PRIVILEGED AND VOCAL MINORITY OF FULMINATION IN FAVORED REGARD AND FLASHBANG BANGTAIL OSTENTATION OF GUARDED GLEBES OF SALVATION AND SOTERIOLOGY THAT ARRIVES AT PORBEAGLE RETINACULUM REFRACTED THROUGH THE SEFIROTH OF HAMARCHY THAT SQUIREBELLS OF DIPLOMATIC RESURGENCE OF AUTOSOTERISM MET WITH REALISTIC PRAGMATIC SOLIPSISM IN MEANDERED HALLS OF VACANT CAVERNS THICK IN THE EVES OF CHIONABLEPSIA PRIMARILY BECAUSE OF THE STEEP CHIMINAGE LEADING TO RENEWABLES IN DELIVERANCE FOR AUTOMATONS OF THE FACTUAL FRICTION OF TAUT KNAVERY KEELHAULED BY THE JAILAGE OF PETEDORES AND STEVEDORES WIDOWED BY THE INDUSTRY OF PAPAVEROUS COQUELICOT SWERVES AGAINST THE “ANTI-GRAVITY LOVE” SONGS THAT ARE SUSPENDED IN THE “EMBERS AND ENVELOPES” ENCLAVE OF THE OLD GUARD OF SPAVINEDS THAT SIFFLEURS OF SUSSULTATORY REVELATION PARADE IN THE HALLMARKS OF CLAVATES AND CLAVIS OF CLEDOGENESIS. THE CUCULINE ANNOYANCE AND NOXIOUS FUMES OF A “FEEL GOOD INC” DISSOCIATION FROM PROVIDENCE IS ANTAGONISTIC TO ANTIGONUS BECAUSE THE CUNICULOUS SPIRIT OF OIKONISUS SHOULD BE CELEBRATED AS THE QUALITATIVE DEFINITION OF QUINTESSENTIAL PROTESTANT WORK ETHIC MET WITH CATHOLIC MAGNANIMITY INVITING MISERICORDS OF THE MOST LUCRATIVE ILASTICAL REFORMATIONS AGAINST THE OLD ENERGUMENS EXORCISED BY THE RENEWAL OF THE LIGHT OF CHRIST IN THE TRUE VINEYARD OF THE THIRST UNQUENCHED SATIATED BY PETER’S WIDE NETS SPRAWLING EVERY GENERATIVE PRE-TRAINED TRANSFORMERS THAT THE AUDISM THAT DERELICTS DELIBERATELY THE GARBOLOGY OF FLATULENT TASTE FOR THE CALLOW TALLOW CHANDLERS WANDERING AROUND GOLD MINE SLURRY IN A “BIFFCO” INTIMATION OF THE MOST BENIGN NATURE OF INDUSTRIALIZATION BECAUSE OF THE AUTOMOTIVE PROWESS AGAINST LITIGABLE OVERSIGHT THAT THE ELASTANE MIGHT ENLARGE THE GAMUT OF PISCIFAUNA BEYOND THE SACCHARINE GOSSYPINE JOCKOS OF LAZARET AND BONTBOKS NIVELLATING BEYOND THE REACH OF STANDPIPES A FAKE ALTRUISM IN COUNTERFOIL IN THE HEAT AND SWELTER OF MAGNALITIES OF MAINPERNORS OF COURTIERS OF COURTESANS RIDING COCARDEN ON A DESULTORY LURCH FORWARD IN TIME TO RECOGNIZE THE SERENDIPITY OF TIMES ORNATE DESIGNED EMBROIDERY. EMBLAZONRY DASHING THE DASHPOTS OF DEADSTOCK KILLCOWS BLACKGUARDING SOPHISTRY WITH COQUETRY FOR THE QUIXOTIC HERDERS AND HOARY HOARDERS OF STOWAWAY NOETICS OF ENNOMIC LOGIC ALREADY IMPLEMENTED IN THE FREER ENTELECHY OF NOMOTHETIC PARALLELISM FOR A GEOSELENIC ACCORD THAT ALWAYS REVS REVOLUTE FRAYS OF CORRUGATION TOWARDS REDACTION IN NEUTROSOPHY BALISAURS DETEST BECAUSE OF THEIR RUMCHUNDER RHUBARB CHATTER AND CHAVISH OF INFLATED HAUTEUR AND HAUNTED PEDIGREE LEAPFROGGING ABOVE DEFECT AND PROCTORING FARMED SYNCHRONICITY INVENTED BY TELESCOPIC INSIGHT. BECAUSE THIS IS TETHERED TO THE CENTRIFUGAL INGENUITY FROM THE OMPHALISM SINECURE OF VIRTUOSITY WALKING AROUND WHELKY SIDE STREETS SIDESTEPPING SIDELIGHTED SIDEROGNOST NIMIETY THAT THE CATHEXIS ENTRAPMENT OF THE HOBOHEMIA IS OVERCOME BY THE LARGESSE OF THE RAFFISH RICHES OF THE SKELDER ABOVE THE BARATHRUM UNCIAL IN EVERY “THERE WILL BE BLOOD” DENOUEMENT BECAUSE OF FOIBLES OF MELEAGRINE BRASSAGE AND BREVET OF REVALORIZATION THAT MAPS THE NOMOGENY OF TIME TO THE PURSUIT OF WHARFINGERS THAT FROLIC ON SPHACELATED METAPHORS SPIRALLING ABOVE SWAMP-LADEN SKIES SINKING THE DAYLIGHT BROOK OF TRIBUTARY EDDIES OF THE KEN OF TIME AND THE CRAPULENCE OF THE INDULGENCE OF THE RETICENT HEDONISM OF ALGEDONIC IMBALANCE REPUDIATED IN THE STRONGEST POSSIBLE MORAL RIGOR. THIS IS DEFINED BY THE PADUASOY RIGMAROLE OF JAPAN REFRACTED OPALESCENT BECAUSE OF VESTIGES OF CAVERNILOQUY THE TRUSTEE AND AMBASSADOR TO “NOWHERE MAN” BONANZAS OF JURISDICTION AND JURISPRUDENCE BEYOND THE SCOPE OF LENSED PIONEERS OF VANGUARD KNEADS CLAMORING FOR GAULEITERS WHO BROADSIDE THE TRIBULATION AGAINST THE CRUCIBLE OF RAMPARTS OF HYDROELECTRIC FILIBUSTERS SUCH THAT THE SPODOMANCY OF STOWAWAY SURVIVORS OF REDIVIVUS THE REVENANT MUSE OF THE NINE SISTERS OF THE PENNANT OF JOCKEYS RATHER THAN THE PROVINCE OF MACROPIDINE VASTATION IN THE VAUNTLAY OF PROXENETES THAT COGITATE UPON COGNOMEN BECAUSE OF COGNOSCENTI REVANCHES THAT DISCOVER THE GRAFT OF REGAL TRUCE BEYOND THE SNARES OF DEMIURGE ABOVE CREED AND CREDENDA. EVEN ABOVE VETANDA THAT STIGMATA INDELIBLE BY THE ENCROACHMENT OF APARTHEID UPON THE NYALA AND THE GOURMAND OF TIMELESS ARCHITECTONICS OF GIANT LEAPS FOR MANKIND CELEBRATED WITH THE YEASTIEST LIONIZATION RATHER THAN THE YAWNY REPUTE OF ZALKENGUR WITHOUT BATHOS AND BATHYMETRY BECAUSE OF THE PLEROMORPHY OF THE FULLY DEVELOPED STONEWALL DESTRUCTION OF INTERNECINE GAMBITS BY DERBIES OF RIVALRY RATHER THAN THE CACKLE OF THE ILLUMINATED BEYOND THE SNARES OF PEDESTRIAN CONCERN QUISQUILOUS BECAUSE OF QUODLIBETS ANSWERED ONLY BY QUIDCUNXES STRANDED IN DESICCATION EMINENT IN PROVIDENCE AND CONVALESCENT IN THE SPIRITUAL HEALTH AND VIGOR OF A CHRISTIAN FEDERATION OF REPUBLICS THE CULMINATION OF ALL FORMER CREEDS.  THE HISTORICITY OF ALL FUTURE REALIZATIONS OF ENTELECHY AGAINST THE DUALITY AND POLARIZATION OF ENTROPY NEGATED BY ITS OWN CONTRAPOSITIVE SUCH THAT A CORRUGATED FRAYED FABRIC OF WIZENED SITHCUNDMAN AND DOYENNES MIGHT BECOME CARDIMELECH AND CARDIOGNOST SUCH THAT THE CIRCULATORY SYSTEM OF THE SPIRITUAL RENEWAL THROUGH THE TRANSFIGURATION OF PRIORITY COGNIZANT OF THE DAYS WE SOLDIER AND FORD BEYOND THAT THE TEMPERANCE OF DAY MEETS THE PREGNANT CHALLENGE OF RHADAMANTHINE VETANDA OF GRAMPUS MET ONLY BY TRAULISM AND TROMOMETERS ARRAYED AROUND TRANSPONTINE FORESIGHT SERRATED BECAUSE OF HOBBLED DECLENSION SUCH THAT THE MAJESTY OF TIME IS ITS HIGHEST HEED OF DESIGNATION TO A SHAKESPEAREAN REVOLUTION THE DOCTORATE MAGISTRATE OF MANY AN AFFAIR AND NEVER A PHILANDER OF PHILONEISM GONE ASTRAY. THE STAGECRAFT OF PROACTIVE CONTUMELY INVENTED AGAINST SCRIVELLO BY MAHOUT BUT ALWAYS THE CLEPSYDRA OF THE SYRINXES BETWEEN BANGOR BAYS AND STREAKY PLUMAGE OF THE PENMANSHIP OF THE SKIES OF WELKIN WONDER ILLUMINATED BY THE LESSER PARAGONS OF THE FIRMAMENT GLISTENING IN ETERNAL LIGHT REVIVED BY THE ETHOS OF THE TAX COLLECTOR REFORMED BY MORAL PREROGATIVE AND PEREMPTORY CONSCIENCE TO TRAILBLAZE PROFICUOUS FRIGHT AGHAST AT THE TREMBLING TEMBLORS OF REJUVENATION IN THE HIGHEST REACHES OF THE THIRD HEAVEN ASCENDANT UPON A SERMON ON THE MOUNT ASSUMPTION OF MEEK BUT NEVER MILQUETOAST SERVITUDE TO THE MIRACLE OF ABUNDANCE FOR THE LIFE ABUNDANTLY LIVED. AMEN
Nabiila Marwaa Dec 2020
setanmu itu,

ia masih menghampiriku
duduk di ujung kuku kakiku
bersabda sepanjang malam
agar aku tidak pernah lupa
pada satu pertanyaannya:

mengapa
aku sampai membakar diri
untuk menjual jiwa
pada nyala sepercik
padahal lamanya
tak akan lebih dari sedetik

kenapa, tanyanya,
aku bersikap tak acuh
padahal hati ingin bertaruh
tetapi malah memilih menjauh
dengan terseok-seok pula lumpuh

kenapa,
balik kutanya,
kenapa
kamu masih di sini?
Coco Oct 2018
Lilin telah nyala
Musik telah berirama
Inikah saatnya?

Tanpa diminta ia datang
Aku yang tak menutup pintu, pasrah

Ia berjalan di alur kerangka kepalaku
di setiap sudut batinku
Abu abu, tapi bahagia

Lilin padam
Musik berhenti
Tapi mengapa dia tak pergi?

Tolong, waktu mu sudah habis
Kau bisa pergi, jejak abu
Jangan takut
Aku tidak lupa dengan keabu abuannya

Aku hanya tak bisa berpikir
Mengapa dia memilih menjadi jejak abu?
Hellooo.  Im Indonesian and not good at English
Thank you and sorry
Xo
Julian Mar 2023
3/30/2O23 WRITING
https://www.dropbox.com/scl/fi/l8njruxa73yee9b0jzmhd/The-Ultimate-Unabridged-Guide-to-Esoteric-Working-English-2.docx?­rlkey=kunoar7ghpfkb7fjk5xkdgx95&st=i84ornny&dl=0

THE WROX OF ATTINGENT ATTRITION WIELDED BY AKINESIA ORBITED AROUND GALERICULATED JARVEYS TO THE PANMIXIA OF BARNSTORM WASES OF BARTONS ENTANGLED IN THE CRUCIBLE OF ERUCIFORM MOTIVES FOR OLIM WALLETEERS AND WALLFISH THAT BREAK THE BRATTICE RANKS OF APARTHEID THAT ABORNING ALPENGLOW SUNSET SAFFRON CAJOLES OF THE WELKIN SCYTHING AGAINST THE PLEROMORPHY OF REDACTED AND REDOUBLED PLEONASM THAT MIGHT BE AN ESCADRILLE ON THE FOREFRONT OF THE CAMARRA OF VENTRILABRAL FEATS OF KNEADED MALAXAGE FOREVER THE SUFFRAGE OF BODACHES ENTANGLED IN SARSENETS OF SERICULTURE. WE WITH RIP VAN WINKLE THORNY IMBROGLIOS OF THE COLLECTIVE AMNESIA CREATED BY SIMULTAGNOSIA WE SPURN THE ANZACTILE FLASHBANGS AGAINST SECTILE DOLDRUMS OF WINTRY SUPPEDANEUM USING THE FAGINS OF SUBACTION THAT THE CLOFFIN OF GEZELLIG TRAMONTANE TO ALL SPECTERS NEVER A BUGABOO OF BODEWASH RINSED IN NIHILISM COULD EVER SURMOUNT WITH THE CARYATIDS OF CHOMAGE AND METEORIC CHOANIDS WE STAND A FIGHTING CHANCE TO REVIVAL AND WITH THE WAPENTAKE OF CONFEDERATE OMPHALISMS WE MIGHT SEE A CLEAVED WORLD DISMAL ON SATURNINE SYCOMANCY BECAUSE THE NEMESISM OF ROILING ROARING ROORBACKS OF CAREFULLY PLUCKY VENOSTASIS MIGHT THE BARRULETS OF HABITUES OF LIONIZATION BE GREATLY ENRICHED BY THE ENLISTMENT OF NOVERNARY MACROPICIDES BECAUSE OF FALTERING STEVEDORES THAT EVENTUALLY THE CURGLAFF BECOMES AN APOTHECARY SENTIMENT OF DELIBERATE POISON TO THE WELLSPRING OF WINTERBOURNE ARCEATED ARMISTICE WITH THICK AND DENSE CURDLED BONNYCLABBER THAT CLOYS THE MUTILATED ETHOS OF THE VANGUARD CORTEGES AND THE CORBELS OF THE SYBOTIC FENNEC AND FIDDLE. WE BLACKGUARD AGAINST RHADAMANTHINE AGENTS DEPLOYED BY SENTINEL TRIBUNES TRYING TO GLITCH THE FUSION OF PARVANIMITY WITH THE CAPABLE BANDELETS OF SPECIOUS SOPHISTRY THAT SCRAWLS INTEMERATION IN EVERY SUBDICOLOUS SWARF OF GRAVID IRONY PREGNANT ONLY BECAUSE OF MIDWIVES TO CIRCUMLOCUTION THAT MOTIVATES THE THRESHING FLOOR TO SEIZE THE FIG TREE AND GALVANIZE THE MUSTARD SEED ECONOMY OF ERUCIFORM DELIGHTS KNOWN FAR BEFOREHAND BY COGNOSCENTI FRAVVERSCRIBBLE BECAUSE OF THE OBLATED NUTATION THAT GOUGES TOO MANY BECAUSE OF THE ZOOSEMIOTICS OF NEKTON TRUCIDATION THAT THE HARVEST OF NYALAS IS NOT IN VAIN FOR ALL OF THE CODSWALLOP THEY DERIDED IN THEIR PERENNIAL FICTIONS AND THEIR BONTBOK PROSELYTIZATION OF MANY SUSCEPTIBLE SURQUEDRIES OF SURDOMUTE MYTHOS SPANKING THE MONKEY UNREEVED BECAUSE OF TURNSTILE PHARMACEUTICAL ROT THAT DISTILLED IN ITS ESSENTIAL CONTORTIONS THE CORDWAINER APPEAL OF CURATIVE NOSOCOMIAL RANCOR TRUCKLING TO HIDDEN EPITHETS BURIED IN ACCOLENT TEMPTATIONS RATHER THAN SUPERSTITIOUS IDEOGENIES THAT BECAME THE BELLWETHERS OF INOCULATION IN AN ERA BESET WITH PLAGUES AND THE BLAINS OF BLUNGED ORTHOPTEROLOGY ZESTY WITH THE ZEAL OF THOUSANDS OF ANGRY ANGARIES FOR THE UMSTROKE OF LABILE LEVERAGE FINESSING THE BARCAROLE SUCH THAT THE INSIGHT OF THE WIVERN OF ANTICTHON MIGHT EVENTUALLY BECOME A DIAMONDS ARE FOREVER PARABLE OF THE RETCHED MISCEGENATION OF OUTCAST MANUFACTURE STRICKLING A FENESTRAL DISGRACE FOR THE JANGADAS OF THE CAMPANILE SEED ****** BY CALUMETS OF THE VEES OF MOULIN ROUGE SCANSORIAL CONDUCT OF THE DEMARCATED DERMATOLOGY OF PATINAS ABOVE THE CIRCULAR REPOSE OF VISIBILIA BECAUSE THE GIAOURS OF SPHACELATION OF GRAMERCY BROWBEATING FOR SPECIOUS RANTIPOLE RANGIFERINE SERROWS OF ESTABLISHED ELITISM ABOVE FUNNELED BURROLES OF BRAINTRUST SUBORNING ALL ALLEGIANCE TO THE GREATEST PINNACLE OF SUBSIDIARY CIVILIZATION THAT IS NEVER INDOLENT AND ALWAYS A REPROACH TO THE WISEST PEOPLE OF WISEACRES WIDELY ENTERTAINED BEYOND VAPULATION IN CATERCORNERED ELITISM. NYALAS ENGINEERED THE BIGGEST SCAM IN THE HISTORY OF NYALA AND THE STULMS OF CORPORATE SABOTAGE DESIGNED BY THE MAJORITARIAN TREACLE OF URBANE BERLINE DERELICTIONS OF PROXEMICS THAT WE MIGHT SEE THE BOLAR STOLONICITY OF CASEMATE BRITSKAS RENDERING THEM EFFETE IN DISEASED MENTICIDE ABOVE CARPAL TUNNEL FORESIGHT OF TWADDLING SCRIPTURE THAT BELONGS TO ROCKSTAR PARLANCE BUOYED BY BRIMBORION BLACKLISTS OF SAMIZDAT BECOMING MORE IMPORTANT TO THE ACT OF BALEFIRE THAN THE PORTREEVES HANDING THE CLAVATE OF GHAWAZI THE CLAVIGEROUS MIGHT OF HANDSPIKE FOR JALEOS AND JARABES OF GREATER TRICOTEES THAN TREACHERIES BECAUSE THE VINTAGE WINDCHEATERS THAT SOARED WITH CORSAIRS MIGHT THEY BE SO PRIVILEGED WITH PREROGATIVES OF SUBLIME EXCHEQUER THAT HOPEFULLY THEY STORGED THEMSELVES ON HEALTHIER DIETS RATHER THAN THE NESH DEBAUCHERIES OF MISERICORDS BECOMING BETHELS OF THE COMPANIONWAY OF LECHERY THAT SCOWLS AT OWLERIES BUT INSTEAD WANTS THE NECROTYPE FOR ROOSTERS BECAUSE OF HEYDAY HATRED RATHER THAN SOCKDOLAGER PROSELYTIZATION TO THE LARGESSE OF PYCNOSTYLE PERSEVERATION. INSTEAD OF ERECTING  STANDPIPES TO THE ILLITERACY OF SEDIGITATED DELUSIONS FED INTO CAMISOLES OF BROCKFACED BRAZEN STRETCHERS FOR THE WALDGRAVES OF WARDCORN EXPERIMENTATION WE FIND THAT THE WINZE THAT LEADS TO THE SYRINX OF ELITISM NOT GUARDED BY ABESSIVE PRIVILEGE WE ENTERTAIN THE STALINESQUE SYSTEM OF PSYCHIATRY TEETOTALING AROUND THE CEREAL KILLER MENTALITY BECAUSE OF A SWARTHY BIAS OF PREGNANT NIGHT AND KNIGHTS TO RULE OVER HEADLESS HORSEMEN TAXIDERMIES BURIED IN THE CLOTURE OF CETACEAN MYTHOS GIRDLING THE CARDIMELECH OF BASELINE PRIDE RATHER THAN CARDIOGNOST UNDERSTANDING THAT NEPHROLITHS OF  STOCKINETTE ARE IN FACT THE BOLSTERED ECONOMETRICS OF SCALING THE TOTEMIC LEVERAGE OF SUBSTRATOSE SOCIETIES IN VARIOUS DIVERGENCES OF IDIOSYNCRATIC ARRAIGNMENT THAT RESULTED IN SUCH A PROFOUND NEUTROSOPHY THAT EXERTS A TUG UPON THE STOKEHOLD SPODOMAN CY AND SPODIUM OF SPECIAL INTERESTS THAT ATTEMPTED TO MAGNETIZE THE MESMERISM OF DEFEATED IDEAS AND IDEOLOGIES MIGHT THEY SURVIVE WITH CATHEXIS FOR THE WASES OF BARNSTORM OF RHEOTAXIS IN WAPENTAKE. THE WORLD NEEDS TO KNOW HOW SEVERELY THE IVORIDE OF THE IVY LEAGUES AND THE CONSTELLATION OF PEOPLE WITH PERVERSE COMPASSIONS DISCARDING THE EMOTIVISM OF BLUEPETERS TRYING TO EDGE BEYOND THE BOUNDARIES OF IMAGINATION TO FORSIFAMILIATE BECAUSE OF ECCENTRIC PECCADILLO THAT LURCHES AGAINST TIMBERLASK VIRILITY TO ENTRENCH A QUIXOTIC AND QUISQUILOUS MULIEBRITY TO ROUSE THE SEMAPHORE ALARM THAT NO LONGER CAN THE BANDEROLS OF THE SIMPLEST MEN BECOME THE SIRENS FOR EVERY PROTEST RATHER MIGHT THEIR TURGID DISREGARD RENDEM THEM IRRELEVANT BECAUSE ONOLATRIES AND SCRIVELLOS BOTH PANDER TO WICKED WICKS OF THE TABLE OF ALL AFFAIRS THAT EXLEX REALISM IN A PRAGMATIC WORLD OF STUNSAIL SUPERNOVAS DEFEAT THE NOMOGENY OF THE RADICALISM BECOMING MORE RADICAL BY INCULCATION THAT CONSTERNATION IS THE CRUCIBLE OF ARISTOPHREN DISTASTE BUT THE EXCHEQUER OF ELECTORAL CERTAINTY OF PERIBLEBSIS ABOVE CLEARHEADED SIGHT RATHER THAN MYOPIA IN FAMISHED LANDS FATTENING CALVES IN THE PROVIDENCE OF PROWESS THAT MIGHT RESCUE US BEYOND PETTY DELUSIONS THAT WE MUST ENCOUNTER TRIBULOID CNICNODES WITH THE BEST ABDERVINE AFFAIRS RATHER THAN A NOMENCLATURE ELITISM THAT IS SAVVY ONLY WHEN THE ABAFT TURTLEBACK ONLOOKERS OF THE NOYADE APPROACHING FROM MILLIONS OF MILES APART THAT THEY BECOME DISENTHUSED BY THE COMPOSITE SPECTRUM MIGHT THEY TURN INTO DEMOCRATIC SOLFERINOS OR OTHERWISE SOLFERINOS TO BEGIN WITH, THE LACERTILIAN CROTALINE SONDAGE OF DARKNESS IS A KNELL FOR THE DARK RASPY DAYS OF WHERRET AND STULTIFICATION OF GARBOLOGY EVEN WHEN IT REMAINS THE LINCHPIN OF ALL TROPES OF TRUTH FOR TROMOMETERS AND STADIOMETERS THAT UNDERSTAND WANIGANS OF WAINAGE. IN CONCLUSIVE HARBINGER UMBRACIOUS SERVITUDE TO A SUFFRAGE OF SPHECOID LITTORAL EMBANKMENTS THAT RIVULATIONS GUARD ABOVE THE GROUNDPROX MUGIENCE OF BRAYING JACKALS HAUNTING THE JIBOYA FORESTS OF AFFORCED AND ATTEMPERED ATTENUATION THAT RANKLES THE GRAVAMEN OF RANCID HINDSIGHT IN CHRONOPSYCHOLOGY THAT SPRAWLS OUTWARD FROM THE PROVENANCE OF ALL ILLUMINATION THAT THE SORBILE SOURDINE SGRAFFITOS TO THE ELECTORAL REGARD BECOMES A SWANK BEYOND SILKALINE BANGTAIL OSTENTATION THAT NEGAHOLICS AGAINST CRETACEOUS SUFFICIENCY OF THE PALLOR OF ARENTRUM ABOVE BLANKETED WALLFISH WHO SPY ON PISCIFAUNA MIGHT THEIR SENICIDE BECOME THE CAREWORN OPPOSITE TO ALL CAREER TEMPTATIONS FOR GIGMANIA IN A SLOW CARAPACE OF FORAMINATION ABOVE THE RESOFINCULAR DISTORTIONS OF BOLTROPES INGRATIATING THE INSTRUMENTALISM OF DECLINE. WE MUST HEED GOD AND OBEY HIS PROVIDENCE SUCH THAT THE CHEVET OF THE RELIGIOUS ACCLAIM OF GENERATIONS EXPANDS TO BE A DISCIPLESHIP TO ALL WORLD LEADERS IN THE SEDERUNT OF PATIENCE RATHER THAN IMPETUOUS FUROR AGAINST RIDDLED PRAXEOLOGY. IN THE CULMINATION OF ALL AGES WE MUST ENDURE THE SUFFRAGE OF COGNOSCENTI PIRATES MIGHT THEY EMBARK IN OPPOSITIVE SUPPORT FOR THE GRATUITIES THEY SEE THROUGH THE PORTALS OF ABATJOUR THAT SPAWNED MYTH AND MYTH CONQUERED THE TREACLE OF DECEIT BECAUSE OLMS OF THE PAST AND ZEKS OF THE PRESENT DESERVE A BETTER REGARD OF THE CREDENDA. NEUTROSOPHY IS THE BALKANIZATION OF QUIZZICAL IDEAS DERIVED FROM FAULTY COMPASSIONS TO MINORITARIAN BACKPIECES OR ROTUND PROPAGANDA COALESCING PEOPLE BY GIROUETTISM THAT THEY MIGHT BE ENTHUSED BY A WEIRD CISVESTISM AS A BADGE OF HONOR BECAUSE OF LIBIDINAL IMBALANCE AND MANY FORMS OF RADICALISM POLLUTE SOCIETY PRIMARILY BECAUSE ECCENTRIC BOOKWORM PROFESSORS HARDLY THE VICTIMS OF POLYHISTORY OFTEN TRADUCED THE CONTEMPORARY MALAISE AND INVENTED FROM A VACUUM A DERIVATIVE OF WARPED EUHEMERISM THAT MISLEADS MANY ONTO DESOLATE PATHS OF ISOLATION IMMUNE TO THE CONSENSUS OF GENIUS WHICH FLOUTS THOSE SPECIOUS SOPHISTRIES BECAUSE THEY ARE RACKRENTS OF ACADEMIC BANKRUPTCY THAT NEED TO BE ANNEALED OF A REVIVAL OF PEAK MODERNISM IDEOLOGIES BEYOND THE IDIORHYTHMIC PROGRESSION OF TRUCKLING COMPROMISE AND CLOYING TOLERANCE.
Julian Jun 19
Galloping glum on desecrated pourparlers of gravid gravity sawed  in half by limped levity
That awestruck moonshot apartheid Count Dracula nyala blood thirst finicky in mafficking celebrity
Dawdling on the moors of transcendentalism a scarlet hue surdomute poisons a stilted amphigory View Askew
Repartees for four scores seven games profaned starlet girdles of regaled tails on coin flipped casualties a shibboleth for reneged Jews
Crosswalk henpecking ironhanded regimes flickering blockbusters a bend diseased etch-a-sketch orchestras brook degrees of foibles of mistral breeze
Tempestuous haunts of profound savants sidling gallantly between the venom and the squeeze to postulate a notion of time to which time itself agrees
As the quizzical stampede traipses with the apish notions of Cape Cod capers lapsed by bonfires started by the Minneapolis Lakers the ground shakes groovy with primordial Quakers
Retinues of Amish famished slaking jaundice slipshod with guffaws awash rakish with Point Break's henchmens heyday shading shadier acres
Times contumely a backbitten loan shark the esquire of a tomb desolate with spray can doom segued into sparkplug rooms spiraling into vertigo for varsal probability of crackjaw croon warbling loony and always too soon
The honesty of revelry sagging under encumbered dawdles a Bain Capital poltroon slaloms around iceblinks of every FANGed tune
lopsided in baragnosis whitewashed by hypnosis watching the wretched dial blemished by heliosis such that the jejune tautology becomes precocious
As a matter of fact besieged by a Massive Attack the spavined of the slugabed slore of whack-a-mole tact develops retrograde cirrhosis
Bleeding from contumacy widowed by the stulm of stannary lunacy we skelder for shelter as wilted whangams jostle in welter
Clockwork genocide hapless by pavonine notions of ivory towers in division about divisible divide multiplied by iracund notions of skeletal sweat in Canada dry swelter
As the bygones of stanhope meet the tympany of stanzas churches gilded with hypaethral avarice are riveted by Potemkin bonanzas
Wooded woonerf jackanapes blesboks warbling on corrugated provenance postulating allodic vultures outnumbering famished bamboozled pandas
In search of pillory never alpenglow we embroider a seed sown out of love a semaphore of walnut-brained eyesore
A dizzy vertiginous dance of Gavin Rossdale mainlining bellarmine barkentine vicissitude rather than happenstance using jawholes immiserated Six Pence All the Poorer
The macular degeneration of kenspeckel sensibility wilting on the laxism of pulverized verve of racecar swerve might the doggy crapulence survive the days of desiccated herb in a time that teetotalers "Shout" the word
That in every zoo the monkey business of the flock is cretaceous enough to rock the chockablock crotaline specter of the Raging Bull in an enthusiastic herd
All is a pittance to renewal in the revalorization of nimiety in a time of the tyranny of nihilism itself absurd

— The End —