Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
JHT Jun 2017
Pada hari yang baik di bulan yang baik ini;
Hujan turun lagi membasahi segenap pertanahan;
Di balik bulirnya seorang pujangga termenung;
Menuliskan kembali lirik-lirik tersedih dalam puisinya:

Wahai imaji hujan di masa lalu;
Pernah kulupa namun mengapa belum kurela?
Wahai melodi hujan di masa lalu;
Kembali kau ketuk palung paling dalam;
Kehalusan suara wanita yang pernah ada;
Mengapa tak lenyap bersama kejatuhanmu?

Apakah lagi-lagi aku berdiri pada persimpangan yang sama?
Penuh kabut, memudar namun seyogianya belum sirna;
Tahun demi tahun telah berlalu bersama kejatuhan hujan;
Namun mengapa kesepian tak pernah berlalu?
Walau kesedihan menolak segala kefanaan;
Yang belum berubah menjadi sebuah kejadian;
Yang menolak segala bentuk pengulangan;

Apakah kekosongan merupakan bentuk realita tertunggal
Yang selamanya akan terus berbahasa dalam kebisuannya?
Mengapa masih aku mengaku yang tertabah;
Jika musibah tak mampu melenyapkan;
Segala terpaan angin rindu yang pernah berhembus?
Jika segala ketakuan masih menjadi ada dalam tiada;
Mengapa pernah juga kau lepas ikatan kita?

Perlahan kata-kata itu meresap kepada perakaran;
Sebolehjadinya ujung pena tak mampu memahami;
Segala makna yang tersirat dalam rampaian puisinya;
Bila kepergianmu adalah kesenduan dari berkat kehidupan;
Ajarkanlah aku berdamai dengan segala bentuk prasangka;
Yang datang bersama bayanganmu di kala hujan.
Dan kembali pepohonan bersemi bersama dengan perakaran yang dibasahi titik hujan. Bagaikan prasangka menolak segala bentuk pengulangan. Seorang pujangga terjebak dalam ketidakpastian diskursif.
Diska Kurniawan Sep 2016
Seteguk apapun, semua tak akan berakhir*

Aku adalah seorang pemabuk yang selalu menguarkan harum arak kemanapun aku pergi. Anggur, dan berbotol-botol ***** telah kutenggak pagi ini. Dan hanya hari ini pula aku ingin bicara, tentang segenggam racun yang kalian semua suntik ke dalam nadi dan pembuluhku.

Topeng
yang dengan bangga kalian pakai
tak ubahnya ketelanjangan
hanya mengumbar malu dan aib

Tawa
yang sesenggukan kalian jeritkan
hanyalah tangis jiwa kalian yang memudar
memutihkan kejujuran dan kebajikan


Oh, beginikah cara kerja dunia
berduri dan berbatu, sama saja
disetiap lajurnya
kemanapun aku pergi, dijejali
mulutku dengan dusta dan hanya dusta
belaka

Menghitamnya jiwaku, seandainya
bagai langit malam
tak ada chandra di ufuknya

Sudah selayaknya aku berkabung atas jiwaku, dimana dia merintih penuh sesal dan tanya. Apakah lalu lalang motor dan diesel itu memusingkan kepala atau hanya sebuah kesibukan belaka. Dan dengan itu pula jiwaku berakhir, terdiam, dalam kematian.

Kukubur dia dengan layak, diantara nisan-nisan lain disekitarku, yang diberi nomor, sesuai urutannya. Jiwaku tersungkur di nomor tujuh. Beruntung sekali!
Kukubur dia, pelan sekali dengan tertidur. Tak berharap bangun lagi di keesokan pagi. Kutaburi bunga-bunga dan prosa yang harum, dan kusiram dengan sebotol Martini dan bir.

Harum. Seharum embun yang kau injak ditepian jalan.
Wangi. Sewangi sukmamu yang kuingat telah pergi.

Aku adalah pemabuk. Yang selalu menenteng sebotol arak, bermabuk di tepian jalan kehidupan. Mengambil jeda diantara kalimat-kalimat mencela dan busuk, yang tergelincir masuk ke dalam telingaku.

Botol-botol inilah sang penawar, berminum pula para nabi terdahulu menyesali umatnya, sedangkan aku?

Menyesali kalian.
Atta Apr 2018
namamu akan terus mengalir dalam nadiku
bayang tentang dirimu berjalan mengiringiku
aku terus berharap kamu disini

pancaran matahari mengalahkan denyut nadiku
yang semakin lama kian memudar
mungkin aku melemah
tapi sosokmu yang berjuang di teluk sana
membangkitkan semangatku

kamulah permulaan dari pagi
aku yang di barat selalu menantikan mentarimu
ketika senja merona di langit
aku terhanyut dalam suasana bersamamu
terikat hangat di pelukanmu
:)
Loveeyta Jul 2017
Lepaskan,
Ia sudah tidak ingin kau genggam.
Lepaskan,
Perasaan sayang itu sudah memudar.
Lepaskan,
Ia sudah bisa berjalan sendiri.
Lepaskan,
Ia sudah bisa tersenyum tanpa melihat kau tersenyum.

Tidakkah kau lelah?
Bertahan untuk seseorang yang tidak ingin dipertahankan?
Seseorang yang mungkin tidak memikirkan bagaimana kabarmu hari ini.

Lepaskan,
Kau juga butuh bahagia.
Lepaskan,
Walau itu sulit.
Lepaskan,
Karena apa yang kau genggam kini sudah tiada.
API
Panas terpapar auramu
Menggeliat menyapu menyeluruh
Hingga gugur kalbu
Terbakar oleh angan para penyelatu
Hilang perlahan menggugur
Berasap menghilang semu
Layaknya debu-debu tertiup sang bayu
Memudar seperti bayang nafsu
Dari pemilik warna warna itu
Menjajakan aksara palsu
Mendulang manis ucap rindu
Membiaskan maki dalam untaian lagu
Menerkam mangsa yang diam terpaku
Sampai penuh hasrat itu

*”Oh, Jadi seperti ini rupa asli kawan kawanku? sugguh lucu”
a bit of disappointment, ha ha :)
Surabaya, 28 September 2016
22.30
ga Dec 2018
Penghujung hari tiba
Kau menutup tirai panggung
Mengganti naskah dan cerita
Siap untuk kau mainkan kembali

Penghujung hari tiba
Hangat sentuhanmu menguap
Kecupanmu memudar
Kau rebut kembali rasa yang kau titipkan

Namun kitalah kepura-puraan yang sempurna
Dua tokoh utama dalam naskah drama
Aku cermin pecah yang berkali-kali direkatkan
Kaulah sang pandai kaca

Malam akan segera berlalu
Kau tutup tirai, siapkan panggung baru
Rias kembali wajah serta tubuhmu
Aku siap melupakan hari semalam
1/09/2018
coldmochi Dec 2017
hari ini—
kuputuskan untuk menghapus namamu
dari lembar-lembar buku harian itu

berhenti membuat puisi tanpa arti
tidak ada lagi intuisi di sini

dulu—
aku pernah memberimu ruang paling indah
dalam hatiku
sebuah tempat yang tak pernah kuberi
pada lelaki manapun
sampai kau datang membawa badai
membuatnya luluh lantak
hingga tak ada lagi tersisa tempat untukmu

aku bisa saja membuat ruang lain untukmu
tapi aku tau kau tak akan lagi singgah di dalamnya
lagi pula, aku sudah terlanjur berdarah
dan aku tak mungkin menyembuhkannya
hanya dengan berhenti memikirkanmu
jadi,
kuputuskan untuk berhenti mencintaimu
bukan karena kenangan yang perlahan memudar
aku hanya berusaha terlepas dari rasa sakit

aku bukannya manyerah
aku hanya mencoba bangkit
dari ketidakmampuan memilikimu

fri, 08/12/17; 04.39am//wib
Rizka hafizoh Apr 2018
Teruntuk jiwa yang begitu hampa,
Cinta dicari untuk mengisi
Mengapa luka yang malah ditorehkan?
Ku menghela dan bertanya lagi
Bagaimana mengisi,
Bila yang indah berujung perih?

Malam berlarut gelap memudar,
Mendalam pikiran yang tak terlelap,
Kembali bertanya tentang rasa,
Apakah sepi itu nyata?

Lembayung langit dikala petang,
Menyendiri bukan cara ku,
Namun sakit yang pernah singgah,
Rasa takut telah tertanam.
Mai May 2018
Namamu memudar dari otakku
Seakan-akan hanya sesekali terlintas
Namamu menjadi tak seperti dulu
Selalu hadir seperti tanpa batas

Apa aku terjangkit amnesia?
Melupakan nama yang pernah kucinta
Sedikit demi sedikit wajahmu mulai sirna
Perlahan bayangmu mulai tiada

Baguslah jika benar itu adanya
Aku tidak perlu susah susah lagi berupaya
Membuatku lelah dalam mencinta
Lalu aku pergi seenaknya
Yulia Surya Dewi Mar 2018
Daun kuning berjatuhan
Angin dingin menghantarkan salam dari Tuhan
Aku melihat pepohonan yang menari
Semua tampak indah menyejukkan hati

Aku hanya diam..
Diam tak tahu harus kemana
Kabut putih menutup mataku
Mendorongku yang berdiri terpaku
Imajinasiku kabur
Aku akan jatuh

Dan...

Dimanakah aku?
Diruangan serba putih aku terbangun
Menatap dengan pandangan memudar
Siapakah kamu?
Gadis kecil berlari dan tertawa
Berlari menjatuhkan bunga-bunga
Membuka pintu diujung ruangan

Aku berjalan...
Berjalan membuka pintu yang sama

Wanita cantik berambut pirang
Cantik rupawan mengalahkan Godiva
Seorang gadis kecil memeluknya erat

Dia...
Dia yang selama ini kucari
Dia yang selama ini kunanti

Aku mencoba...
Mencoba untuk menyentuhnya
Jari-jarinya yang ramping menepisku
Aku berpikir dia membenciku
Namun tidak
tidak...
Dia berkata padaku,
"Kembalilah, ini belum saatnya"

Kematian bernegosiasi dengan kemungkinan
Kemungkinan untuk meraih kehidupan
Di alam bawah sadar
Aku akan kembali menemukannya

-Kediri, 18 Maret 2018
Yulia Surya Dewi Mar 2018
✫  ·    + . ✵
   .
·    .•°•Trepidation•°•.
.      ˚  *     
     .  . ⋆ *   ˚
    .  ⊹

Bunga-bunga menjauh dari jalanku
Membiarkanku seakan kehilangan ragaku
Duri menghiasi setiap jalan
Sinar matahari memudar di sela-sela dedaunan
Burung-burung merintih dalam pedih

Biarlah ketakutan mengambil kesempatanku
Kesempatan untuk kembali ke jalanku
Jalan yang tak mungkin kutemui lagi
Di kegelapan aku mencoba menyisir cahaya
Menyisir cahaya dan kudapati rontokan bintang

Aku takut..
Aku takut pada malam
Malam yang semakin pekat
Kemana aku akan berlari?
Lututku berdarah menapaki jalan tanpa arah

Semua ini tampak seperti ilusi bagiku
Menemukan jalan yang benar adalah delusi
Tak ada rasa sakit, tak ada kesenangan
Namun kesenangan itu hanyalah angan-angan

Aku tak ingin menyerah
Walau kurasa hatiku berdarah
Bila dunia ini berhenti
Siapapun takkan bisa mengunciku lagi

Selamatkan aku...
Keluarkan aku dari sini
Seperti apa akhir dari jalan ini?
Aku takut...

Keluarkan aku dari sini
Ku mohon peganglah tanganku
Di dalam hatimu, di dalam mimpimu
Bangunkanlah kembali bintang-bintang

-Kediri, 17 Maret 2018
Galih Prakasiwi Mar 2020
Dibawah hujan
kamu berdiri
memandangi cahaya langit
yang mulai berjatuhan memudar
harapan dan kenangan mulai hilang
ditelan waktu yg tidak pernah berakhir
tangisanmu terefleksi diatas genangan
dengan kilauan dan tertiup angin
mereka semua yang memiliki keterbatasan
mempunyai hati
seperti bintang-bintang
sangat luas dan dalam
setiap cahayanya memiliki cerita
ketika hatimu memiliki keraguan
kamu memandangi langit
mengharapkan sebuah keajaiban
dan melemparkan pertanyaan :
"jika setiap hal akan memudar, apakah kita harus menyimpan semua itu sebagai kenangan?"
"jika satu keajaiban terjadi, apakah kita bisa memilikinya selamanya?"
"waktu memang harus berjalan,
tapi apakah kita sedang berada
di jalan yg memiliki arti?"
#poetry #puisi #indonesia
VM Sep 26
Aku melangkah di jalanmu, terukir dalam batu. Di mana sungai-sungai retak dan keheningan berdengung. Lagu pengantar tidur terus menghantui, membungkusku seperti kain kafan. Bisikan-bisikan membusuk dalam kesunyian, tersisa di udara seperti rahasia yang terlupakan, sementara keputusan menggantung di kehampaan—mayat-mayat cahaya.

Panas menggigil menyiksa melalui tulang punggung gurun ini, tebal dan menindas, saat bayangan terus menggeliat, tertawa dengan kebencian yang membekukan. Kau telah lama menghilang—bertahun-tahun, mungkin selamanya—ketidakhadiranmu adalah luka yang tak kunjung sembuh. Tak ada tangan yang mengulurkan jari untuk menenangkan langkahku yang goyah, tak ada kehangatan untuk mengikat pikiranku yang berputar-putar, dan beban ketidakpedulianmu menekan, mencekik seperti aku sedang berada di kuburan.

Jika aku menutup mataku dan membiarkan diriku larut dalam kegelapan, apakah itu akan membangkitkan sesuatu di dalam dirimu, atau kau akan tetap tak tersentuh, seperti selama ini? Langit ini terasa seperti kaca, rapuh mudah pecah, dan siap hancur akibat kekosongannya sendiri. Sementara bumi di bawahku setipis bisikan, siap menyerah. Pernahkah kau benar-benar ada di sini, atau kau selalu gagal untuk ada, sosok yang menghantui sebagian mimpiku yang hancur?

Pemenggal kepala menjulang di depan, janji yang tak terpenuhi,  
takdir yang terasa hampir manis, ujungnya yang tajam seperti panggilan sirene. Aku berdiri di bawah nya, pucat dan kaku. Besi dingin itu memanggilku, dan aku bertanya-tanya— jika aku menerima kejatuhan ini, apakah kau akan menyaksikan akhir, atau kau hanya akan berpaling, acuh tak acuh terhadap kegelapan yang menelanku bulat-bulat?

Kau tidak hadir di tanah yang tandus ini, tak mengucapkan sepatah kata pun untuk menghancurkan kesunyian yang membentang tanpa henti. Hanya gema tanpa suara dari ketidakhadiranmu yang ada melalui kehampaan, pengingat tanpa henti tentang cinta yang tak pernah ada. Jika aku semakin terperosok ke jurang ini, mencari pelipur lara di kedalaman keputusasaan, akankah aku mendapati dirimu menunggu, atau akankah ketidakhadiranmu bergema lebih keras, mencekik napas terakhirku?

Aku telah menelusuri debu tempat jejak kakimu terkikis,  
tapi bumi di bawahku berputar ke dalam ketiadaan, rusak oleh beban yang kau tinggalkan. Jadi di sinilah aku berbaring, di reruntuhan yang kau buat, di bawah tatapan dingin langit, terjerat dalam kesunyian yang kau jalin, di mana waktu berhenti, dan sisa-sisa harapanku memudar ke dalam jurang.

— The End —