Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Penyair itu melangkahi pengemis pincang yang lelap itu.
Kasurnya adalah trotoar dan mimpinya ntah apa.
Jangan bahas mimpi jadi jutawan dengan kemeja dasi rambut klimis.
Mimpi basah saja harus sembunyi sembunyi.
Kan takut toh masturbasi di pinggir kali ?

Soalnya guys,
coli itu pun harus pake tangan kanan
selain soal tekanannya yang konstan ..

KALAU TANGAN KIRI KIRI KIRI,
Disangka PKI !
Ini perihal dosa Illahi saudara saudari!



Lalu pengemis itu Menatap angannya setinggi bintang di lantai 53 menara menara ibu kota.
Mengelus ngelus perut kurusnya.
Alhamdullilah, hari ini bisa santap sisa paha ayam dari restoran kebarat baratan itu.

Mungkin baginya, Tuhan menjelma dalam bentuk tempat sampah.
Menyediakan pangan sisa sisa umat kesayangan-Nya.
Dan dia, umat yang lupa ia punya.

Pagi datang.
Ia terus berjalan tanpa alas kaki.
Sekelibat melihat lamborgini, berkawal polisi.
Presiden mungkin ah?
Nomor satu, atau duah?

Dia tidak pernah berharap pada Tuhan.
Atau presiden.
Mungkin ia harus tetap berjalan saja.
Atau mungkin ia harus berharap pada ratu adil.
Entah kapan ia munculnya.

Apa ketika jari-jari kakinya lepas.
Hingga tidak bisa melangkah lagi.
Atau lelah menguasai tubuh.
Hingga enggan melangkah lagi.
Atau seluruh kakinya patah
Pun ia tidak peduli lagi?

Apa ratu adil sedang sibuk memasang konde besarnya
Takut takut tidak terlihat cantik saat hadir sebagai pahlawan kesiangan.
Atau ratu adil sedang sibuk
Memutuskan hukuman adil untuk penyair ini yang mempertanyakan kuasa Ilahi dia punya?
Atau mungkin ratu adil berhati dingin.
Seharusnya iya karena mana mungkin beliau yang welas asih membiarkan hambanya pontang panting,
malah sibuk mengurus penyair mengkritik program kerja-Nya tahun ini.

Yah ..

Memperhatikan pengemis itu terpincang-pincang lebih asyik daripada mengurus Tuhan.
Presiden. Atau ratu adil.

Apakah Mas Aristoteles meramalkan distopia pada nusantara?
Pertama kali saya bacakan di Paviliun Puisi, edisi Dys/Utopia pada 6 April 2019.
Gektya Pasis Oct 2017
1:50 AM, 29 Oct 2017

dunia kadang suka melucu
entahlah
aku sedang diambang bahagia
bisakah aku sebut diriku sedang bahagia?

ingin rasanya mengecup semesta
merangkul ufuk timur
dan memeluk ufuk barat
selagi memandang eloknya fajar yang berputar
lalu berucap sukur yang sebesar-besarnya

entahlah
semenjak keberadaanmu disisiku
aku
jadi selalu ingin berucap syukur
dengan tulus
dan mendalam

kulihat lagi langit malam
sekarang kuingin meresap kedalamnya
dan ingin berkata
kumohon jangan biarkan dia pergi
ternyata aku memang bahagia
nabilah Dec 2019
Mana pernah kau paham tentang perasaanku walau berulang kali sudah kusampaikan. Sekedar mendengar saja tidak. Sudah tau begitu, masih pula aku menaruh pengharapan yang besarnya melebih-lebihi besar nafsu makanku. Kasihan ya melihat naifku ini. Memaksakan sesuatu yang sudah mati.
Aku ini kadang ingin terbahak karena lucunya kisah kamu dan aku, tapi anehnya masih selalu membuatku terpana, seperti terhipnots. Kepalaku yang sekeras batu dan hatiku yang serapuh kulit telur disanding dengan kepalamu yang pula berisikan batu, juga hatimu yang sedingin kutub utara sebelum global warming. Aku dan diriku, dan kamu dengan dirimu. Memang benar mungkin, kita hanya ditemukan untuk saling belajar, bukan untuk berakhir bersatu.
Sebenar-benarnya, kamu adalah yang aku mau. Tapi rasanya permintaanku ini terlalu bertele-tele jika yang ku minta adalah kamu dan tidak ada luka. Karena memilih bersamamu akan selalu satu paket dengan luka dan perih. Aku saja yang sombongnya setengah mati, menutup mata dari ratusan pertanda yang Tuhan berikan.

— The End —