Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2016
Laut Anyelir*
Sebuah cerita pendek*

Apa kau masih ingat kisah tentang laut di belakang tempat kita tinggal? Laut—Ah, entah apa nama sebenarnya—Yang jelas, itu laut yang oleh paman dan para tetangga disebut sebagai Laut Anyelir. Kau mungkin lupa, sibuknya pekerjaan dan kewajibanmu jauh di seberang sana sepertinya tidak menyisakan tempat-tempat kecil dalam otak dan hatimu untuk mengingat dongeng muram macam itu. Tapi aku ingat, dan tak akan pernah lupa. Hamparan pantainya yang kita injak tiap sore setelah bersepeda selama 10 menit menuju Laut Anyelir, angin sepoinya yang samar-samar membisikkan gurauan dan terkadang kepedulianmu yang terlalu sering kau sembunyikan, dan bau asinnya yang busuk seperti air mata.

Kau mungkin  lupa mengapa Laut Anyelir disebut demikian.

Kau juga mungkin sudah lupa ombak kecil dan ketenangan Laut Anyelir kala malam yang terkadang berubah menjadi merah darah saat memantulkan bulan serta arak-arakan awan dan bintangnya.

Iya, pantulan bulan dan bintang yang lembut pada air Laut Anyelir pada saat tertentu berwarna merah,

Semburat merah dan bergelombang,

Seperti rangkaian puluhan bunga Anyelir merah yang dibuang ke laut lambangkan duka.

Biasanya, setelah terlihat berpuluh bercak-bercak merah melebur di Laut Anyelir, akan ada sebuah duka nestapa yang menyelimuti kita semua. Mereka bilang, laut bersedih dan melukai dirinya untuk hal-hal buruk yang tak lama akan datang. Menurutku itu kebetulan saja, mungkin hanya puluhan alga merah yang mekar atau ada pencemaran.

Tapi aku masih tak tahu mengapa semua hal itu selalu terjadi bertepatan,

Dan, sudahlah, laut itu memang cocok disebut sebagai Laut Anyelir. Aku tidak berlebihan seperti katamu biasanya.

Kau sangat suka cerita sedih, mungkin sedikit-sedikit masih dapat mengingat kisah sedih dari paman yang juga tak percaya soal pertanda Laut Anyelir, cerita soal kekasihnya yang hilang saat mereka berenang di pantai sore hari ketika kemarin malamnya, air laut berwarna merah.

Benar, hari ulang tahun mereka bertepatan, dan pernikahan untuk bulan depan di tanggal yang sama juga sudah direncanakan dengan baik. Kekasih paman sangat jago dalam berenang, ia mengajari paman yang penakut dengan gigih, sampai pada sore hari ulang tahun mereka, paman mengajaknya untuk berenang di Laut Anyelir sekali lagi,

Sebagai hadiah,

Untuk menunjukkan bagaimana paman mengamalkan segala ilmu yang diajarkannya, sebagai pertanda bahwa mereka dapat berenang bebas bersama, kapanpun. Mereka memakai pakaian renang sebelum mengenakan baju santai dan berbalap sepeda ke pantai seperti yang biasanya kita lakukan. mereka langsung berhamburan ke Laut Anyelir tanpa memperdulikan desas-desus tadi pagi bahwa kemarin malam airnya berubah warna. Kekasih paman sangat terkejut dan bangga melihat jerih payahnya selama ini terbayar. Berbagai macam gaya yang ia ajarkan telah dilakukan oleh paman, dan sekarang ia akan mencoba menyelam dengan melompat dari sebuah karang tepat di tengah laut. Paman mendakinya—Ia handal mendaki, dan sekarang handal berenang—Lalu menatap kekasihnya dengan rambut kepang dua yang melihatnya begitu bahagia. Ia melompat dengan indah, dan meskipun sedikit kesusahan untuk kembali menyeimbangkan dirinya dalam air, paman akhirnya muncul dengan wajah sumringah, memanggil serta mencari-cari kekasihnya.

Tapi ia tak ada di sana,
Ia tak ada dimanapun.

Itu kali terakhir paman melihat kekasihnya, melihatnya tersenyum, sebelum akhirnya ia menemukan pita merah rambutnya terselip diantara jemari kakinya.

Malam menjelang, semua warga dikerahkan untuk mencari kekasihnya, namun sampai bulan penuh terbangun di langit dan dilayani beribu bintang yang menyihir air laut menjadi kebun anyelir, kekasihnya masih tak dapat ditemukan.

Itulah sebabnya apabila mendengar laut berubah warna lagi kala malam, paman tak akan memperbolehkan kita untuk mendekati laut sampai dua hari ke depan.

Kau bukan saudaraku—Bukan saudara kandungku. Tapi aku menganggapmu lebih dari sekedar teman, bahkan lebih dari saudara kandung atau saudara angkat. Kau bukan saudaraku, tapi paman begitu peduli padamu seperti anaknya sendiri. Sama seperti bagaimana ia menyayangiku.

Dahulu kami hanya rajin mendengarmu, tetangga pindahan, memainkan gitar di kamarmu sendirian, melihatmu dari balkon lantai 2 rumah kayu kami sampai kau akhirnya sadar dan tidak pernah membuka tirai jendelamu lagi. Mungkin kau malu, tapi kami masih dapat mendengar sayup-sayup suara gitarmu. Namun setelahnya, paman justru hobi melemparkan pesawat-pesawat kertas yang berisi surat-surat kecil. Mereka kadang berisi gambar-gambar pemandangan alam—Salah satunya Laut Anyelir—Dan surat-surat itu sering tersangkut di tralis kamarmu. Akhirnya paman memberanikan diri dan menggandeng tanganku untuk segera mengetuk pintu rumahmu, usiaku belum beranjak belasan, dan aku hobi mengenakan celana pendek serta sandal karet yang mungkin tidak cukup sopan dipakai untuk memperkenalkan diri. Tapi kalian tidak peduli, dan menyambut kami dengan ramah—Paman menceritakan bagaimana ia menyukai musik-musik kecilmu, dan mengajak kalian untuk melihat-melihat keadaan sekitar sekaligus berkenalan dengan para warga,

Paman mengajak kalian ke Laut Anyelir,

Kalian menyukainya;

Dan paman mulai bercerita soal kisah Laut Anyelir yang menghantui, serta ketakutan-ketakutan warga. Tapi ia belum menceritakan kisahnya.

Namun kalian, sama seperti kami yang menghibur diri,
Tidak peduli, dan tidak takut akan semburat merah pertanda dari Laut Anyelir.
“Benar, itu mungkin hanya kebetulan!”
Sahut kalian.

Hampir dua tahun kita saling mengenal, dan pada hari ulang tahunmu, paman mengajak kita semua untuk berpiknik di pantai Laut Anyelir pada sebuah sore yang cerah. Aku memakan lebih dari 3 kue mangkuk, bahkan hampir menghabiskan jatahmu. Tapi tidak masalah, orangtuamu juga tidak menegurku. Kau sudah menghabiskan jatah klappertaartku, dan menyisakan hanya satu sendok teh.

Apa kau masih ingat betapa cantiknya Laut Anyelir saat matahari tenggelam? Seperti sebuah panggung sandiwara yang set nya sedang dipersiapkan saat-saat menuju lampu menggelap. Matahari sirna dan berganti dengan senyum bulan di atas sana, bintang-bintang kecil perlahan mulai di gantung dengan rapih,

Dan air laut yang biru gelap berubah menjadi lembayung,

Sebelum akhirnya mereka menderukan ombak, dan terlihat bercak-bercak merah pada tiap pantulan cahaya bintang. Sekilas terlihat seperti lukisan yang indah namun sakit. Kalian tidak takut, justru takjub melihat replika darah menggenang pada hamparan lautan luas dengan karang ditengahnya. Paman langsung menyuruh kita semua untuk bergegas membereskan keranjang piknik, dan berjalan pulang diiringi deru angin malam. Ia tak memperbolehkan kita mendekati pantai esok harinya.

Esok lusanya, kedua orangtuamu pergi ke kota untuk melapor pada atasannya, kau dititipkan pada paman. Mereka berjanji untuk pulang esok harinya,

Tapi mereka tidak pulang.
Mereka tidak kembali,
Dan kita masih menganggapnya sebagai sebuah kebetulan saja.
Kau bersedih, namun tidak menangis.

Aku yang sedikit lebih gemuk darimu memboncengmu dengan sepeda merahku dan mencoba untuk menghiburmu yang terus-terusan memeluk gitar di Laut Anyelir. Aku yakin saat itu aku pasti sangat menyebalkan; terus-terusan berbicara tanpa henti dan menarik lengan bajumu dengan erat sampai kau memarahiku karena takut akan sobek.

Tapi akhirnya aku berhasil membujukmu untuk memainkan gitarmu lagi, kau tersenyum sedikit,
Dan entah kenapa aku cukup yakin kau mulai tidak menyukaiku karena terlalu memaksa;
Namun menurutku itu sama sekali bukan masalah.

Kau mulai tinggal bersama paman dan aku sejak saat itu, dan menjadi kesayangannya. Ketika kita sudah cukup dewasa ia selalu membawamu saat bekerja di toko jam—Kau sangat handal dalam merakit jam serta membuat lagu-lagu untuk jam kantung automaton dengan kotak musik—dan aku ditinggalkan sendiri untuk mengurus pekerjaan rumah. Tapi tetap saja aku tak dapat menghilangkan kebiasaanku untuk menyeretmu bersepeda ke Laut Anyelir saat senggang dan tidak bekerja; kau akan memainkan gitarmu dan aku akan entah menulis surat untuk teman-temanku atau menggambar, dan terkadang menghujanimu dengan berbagai pertanyaan yang tak pernah kau jawab.

Begitu kita kembali, paman yang biasanya akan menggantikanmu untuk bercerita dan bercuap-cuap sampai makan malam dan kita pergi tidur.

Kau orang yang pendiam,
Dan aku yakin paman kesepian.
Orang yang kesepian terkadang banyak berbicara.

Seiring usiaku bertambah, cerita menyenangkan paman terkadang berubah menjadi cerita-cerita yang pedih dan menyayat hati. Kau tak mengatakannya, tapi aku dapat melihat dari matamu bahwa kau sangat menikmati mendengar cerita seperti itu. Aku tak menyukainya, tapi aku tak akan menyuruh paman untuk berhenti bercerita demikian. Kalian berdua membutuhkannya.

Saat itulah paman menceritakan kisah tentang dirinya dan kekasihnya saat kita akan menyelesaikan makan malam. Aku kembali tidur dihantui cerita mengenai laut yang melahap kekasihnya itu. Dalam mimpi, aku seolah dapat melihat ombak darah menerjang dan melahapku. Aku tidak ingin hal itu terjadi padaku, padamu, atau pada paman. Aku mulai menghindari Laut Anyelir pada saat itu.

Bunga Anyelir,
Dalam bahasa bunga, secara keseluruhan ia menunjukkan keindahan dan kasih yang lembut, seperti kasih ibu, kebanggaan, dan ketakjuban; namun kadangkala kita tidak memperhatikan arti masing-masing warnanya—
Anyelir merah muda berarti aku tak akan pernah melupakanmu,
Anyelir merah menunjukkan bahwa hatiku meradang untukmu,
Anyelir merah gelap merupakan pemberian untuk hati yang malang dan berduka.
Kurasa semua itu menggambarkan Laut Anyelir dengan tepat.

Setelah itu paman mulai makin sering bercerita soal kekasihnya yang hilang di Laut Anyelir. Aku tidak tahu mengapa, namun sore itu kau begitu ingin untuk pergi ke Laut Anyelir dengan gitarmu. Kali ini kau yang menggeretku menuju tempat yang selama beberapa hari kuhindari itu, kau tahu bagaimana aku menolak untuk pergi, kau yang biasanya tak ingin repot bahkan sampai menyiapkan sepedaku dan mengendarainya lebih dahulu.

Aku tak ingin kau pergi sendirian, aku mengikutimu. Kurasa tidak apa, tidak akan ada apapun hal buruk yang terjadi. Lagipula kita tidak akan berenang atau berencana untuk pergi jauh setelahnya.

Aku mengikutimu menuju Laut Anyelir. Kau duduk tanpa sepatah katapun, hanya menatapku. Dan mulai memainkan Sonata Terang Bulan oleh Beethoven dengan gitarmu saat matahari menjelma menjadi bulan. Saat itu barulah aku tersadar bahwa itu hari ulang tahunku, dan kau sengaja memainkannya untukku. Malam itu kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir berbincang-bincang, meskipun aku lebih banyak berbicara daripadamu. Aku tidak membawa surat-suratku, jadi aku hanya bisa memainkan dan memelintir rambutmu sambil berkata-kata.

Kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir, dan tidak menyadari bahwa air lautnya berubah menjadi merah. Aku terkejut dan berlari seperti anak anjing ketakutan ketika menyadarinya; kau berganti menarik lengan bajuku dan berkata bahwa tidak apa, bukan masalah. Aku, kau, dan paman akan terus bersama. Mungkin Laut Anyelir berubah merah bukan untuk kita namun warga pemukiman yang lain, pikirmu.

“Jangan berlebihan, kau manja, selalu bertanya, dan terlalu membesar-besarkan sesuatu.” Katamu, sekali lagi. Itu hal yang selalu keluar dari mulutmu.

Pintu rumah kuketuk, paman membukakan. Aku terkejut ketika tahu bahwa paman sudah menyiapkan banyak makanan kesukaanku termasuk klappertaart; kali ini aku tidak memperbolehkanmu untuk memakan klappertaartku. Ternyata ini rencana kalian berdua untuk membuat pesta kecil-kecilan di hari ulang tahunku, merangkap ulang tahun paman keesokan harinya.

Paman, tidak kusangka, ingin mengajak kita untuk berenang di Laut Anyelir esok. Ia ingin mengingat masa mudanya ketika menghabiskan banyak waktu berenang bersama kekasihnya di Laut Anyelir, dan kata paman, kita adalah pengganti terbaik kekasihnya yang belum kembali sampai sekarang.

Aku tidak ingin mengiyakannya, mengingat barusan kita melihat sendiri air laut berubah warna menjadi merah darah. Tapi aku tak ingin kau lagi-lagi mengucapkan bahwa aku manja dan berlebihan. Aku menyanggupi ajakan paman. Namun aku takkan berenang, aku tidak pernah belajar bagaimana caranya berenang, dan tidak mau ambil resiko meskipun aku percaya kalau kau dan paman akan mengajariku.

Esok pagi kita berangkat dengan sepeda. Kali ini paman memboncengku, dan kau membawa keranjang piknik yang sudah kusiapkan sejak subuh serta memanggul gitarmu seperti biasa.
Begitu tiba, kau dan paman langsung menyeburkan diri pada ombak biru Laut Anyelir dan berenang serta mengejar-ngejar satu sama lain. Aku duduk di tepian air, menggambar kalian yang begitu bahagia sampai akhirnya kalian keluar dari air untuk mengambil roti lapis dan botol minum. Setelah menghabiskan rotinya, paman berdiri dan kembali ke air sambil berkata lantang,

“Aku akan mencoba menyelam dari karang itu lagi.”
Tanpa menoleh ke arah kita.
“Jangan, paman. Kau sudah tua.”
“Sebaiknya tidak usah, paman. Hari makin siang.” Kau juga mencoba menghentikannya, tetapi paman tidak bergeming. Ia bahkan tak menatap kita dan terus berenang sampai ke tengah. Kau mencoba menyusulnya dengan segera, tapi sebelum kau sampai mendekati karang,

Paman sudah terjun menyelam.

Setelah tiga menit yang terasa lama sekali, kau menunggu ditengah lautan dan aku terus memanggil paman serta namamu untuk kembali ke tepian, paman tetap tidak muncul.

Kau menyelam, menyisir sampai ke tepi-tepi untuk mencari paman, namun hasilnya nihil, dan kau kembali padaku menggigil. Aku membalutkan handuk padamu, dan meninggalkanmu untuk kembali bersepeda dan memanggil warga yang tak sampai setengah jam sudah berbondong-bondong mengamankan Laut Anyelir dan mencari paman.

Malam hari datang,
Hari perlahan berganti,
Bulan demi bulan,
Tahun selanjutnya—
Paman masih belum kembali, dan kita tak memiliki kuburan untuknya.

Kita tinggal berdua di rumah itu, kau bekerja tiap pagi dan aku memasak serta mengurus rumah. Disela-sela cucianku yang menumpuk dan hari libur, kau rupanya tak dapat melepaskan kebiasaan kita untuk bersantai di Laut Anyelir yang sudah lama ingin kutinggalkan. Aku tak dapat menolak bila itu membuatmu senang dan merasa tenang.

Dan aku bersyukur,
Selama hampir setahun penuh, sama sekali aku tak melihat air Laut Anyelir berubah warna lagi menjelang malam. Memang beberapa hal buruk sesekali terjadi, namun aku sangat bersyukur karena aku tak melihat pertanda kebetulan itu dengan mata kepalaku sendiri.

Pada suatu hari kau memberiku kabar yang menggemparkan, ini pertamakalinya aku melihat senyuman lebar di wajahmu; kau terlihat semangat, bahagia, penuh kehidupan. Kulihat para pria-pria muda di sekitar sini juga sama bahagianya denganmu. Mereka bersemangat, dan mereka bangga akan adanya hal ini karena ini adalah waktu yang tepat untuk berkontribusi kepada negara. Katamu, tidak adil bila yang lain pergi dan berusaha jauh disana sedangkan kau hanya berada di sini, memandangi laut.

Kau memohon untuk kulepaskan menjadi sukarelawan perang, dan aku menolak.
Kau memohon, aku menolak,
Kau memohon, aku menolak,
Aku menolak, kau memohon.

Dan karena aku sepertinya selalu memberatkanmu, atas pertimbangan itu, aku ingin membuatmu lega dan bahagia sekali lagi—Aku akhirnya melepaskanmu untuk sementara, asal kau berjanji untuk kembali kapanpun kau diizinkan untuk kembali.

Kau tak tahu kapan, dan aku akan selalu menunggu.

Aku akan selalu berada di sini, dengan Laut Anyelir yang berubah warna, dan hantumu serta hantu paman
Gitarmu yang selalu kau rawat,
Untuk sementara waktu aku takkan bisa menarik ujung lengan bajumu,
Dan tak akan mendengarmu memanggilku manja dan berlebihan.

Kita tidak pergi ke Laut Anyelir sore itu, begitu pula esok harinya. Kita sibuk mempersiapkan segala hal yang kau butuhkan untuk pergi, aku memuaskan menarik ujung lengan bajumu, dan menyelipkan harmonika pemberian paman yang tidak pernah bisa kugunakan untukmu.

Ia akan lebih baik bila berada di tanganmu, dan ia akan menjadi pengingat agar kau pulang ke rumah, kembali padaku.

Kita tidak melihat ke Laut Anyelir sampai hari keberangkatanmu, di mana dengan sepeda kau akhirnya memboncengku untuk pergi ke pelabuhan. Kita tidak melihat Laut Anyelir, aku tak tahu apa airnya berubah warna atau tidak.

Setelah kau naik ke kapal d
Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
Noandy Jan 2016
Pondok Pancawarna*
Sebuah cerita pendek*

Apa aku harus menyesal pindah rumah? Tak ada anak seumuranku di sini. Tak ada penjual susu yang lewat tiap pagi, atau gelak tawa dari permainan sore hari. Aku sedih, tapi itu bukan masalah besar, mungkin. Toh tahun depan usiaku beranjak 15 tahun, aku tak punya waktu untuk banyak bermain. Rambut keritingku yang dipelihara ibu ini juga nantinya akan kupotong, aku tak mau berulangkali dikira sebagai perempuan di tempat tinggalku yang baru.

Tahun depan usiaku 15 tahun, dan aku takkan punya waktu untuk banyak bermain lagi. Aku ingin menghabiskan sisa usiaku dengan bermain di jalanan sampai sore hari. Sayangnya lingkungan ini terlalu asing untukku. semua jalannya terlihat sama dan terlalu besar, terlalu banyak rumput liar dari rumah-rumah kosong yang jaraknya terlalu jauh, dan dedaunan pohon menjuntai bak rambut kasar nenek tua.

Sayangnya lingkungan ini terlalu asing,

Dan aku tak punya pilihan lain selain menjelajahinya
Dengan senang hati.
Jangan bilang ibuku.

Ibu dan mbah selalu melarangku berjalan sendirian di luar saat pagi-siang-sore-malam semenjak pindah ke rumah yang terlalu besar ini, terlalu sepi ini. Mungkin untuk alasan keamanan. Aku tidak sebodoh itu untuk harus bertanya kenapa. Dan karena aku tidak sebodoh itu, aku tidak menyukai cara mereka—Wanti-wanti dari mereka agar aku tak berkeliaran sendiri.

Mereka bilang dahulu jalan besar di depan sana adalah tempat tengkorak para jawara-jawara pembela negara dikuburkan, dan tiap sore akan terlihat pria-pria muda dengan baju berlumur darah merokok serta makan-makan daun sambil bermain catur di pinggiran jalan.

Mbah tambah berkata kalau di perempatan sebelah rumah ini, apabila aku bermain sendirian, aku akan dikejar-kejar oleh serdadu kompeni tak berkepala yang akan menebas kepalaku, atau membawaku untuk disembunyikan.

Aku tak takut pada hantu-hantu bekas perang itu, aku juga tak tertarik pada mereka.
Kesalahan ibu dan mbah, dalam menakut-nakutiku, adalah menceritakan sebuah kisah yang, entah benar atau tidak, justru membuatku tertarik untuk mendekati sumbernya.

Di ujung gang, yang jalannya sedikit menurun, terdapat sebuah rumah kayu yang dijuluki oleh warga sekitar sebagai Pondok. Padahal, menurutku bentuknya tidak seperti Pondok. Rumah itu tidak buruk, justru didepannya terdapat taman besa. Sebuah gerbang mawar besar memagarinya; di taman indah itu, hanya terdapat lima jenis bunga bermekaran. Aku tak tahu jenisnya apa saja, yang kuingat dari cerita itu, pokoknya terdapat warna merah, ungu, biru, kuning, dan yang paling aneh, sebuah mawar hitam. Aku tak tahu bagaimana mawar hitam dapat tumbuh di tempat seperti ini. aku bahkan tak tahu kalau ada mawar yang berwana hitam.

Mereka menyebut rumah itu Pondok,
Pondok Pancawarna.
Pondok milik seorang pelukis yang kata orang-orang kakinya buntung.

Karena tak memiliki objek untuk dilukis, dan tak bisa keluar mencarinya, mereka bilang pelukis itu menarik gadis-gadis kecil dengan bunga yang indah di tamannya, lalu menyekap mereka dalam Pondok itu sampai ia puas melukisnya. Hal ini diceritakan setelah aku mendengar pembicaraan ibu saat membeli sayur pagi hari 2 minggu lalu, setibanya dirumah aku langsung menanyakannya soal cerita itu.
Seram?

Aneh, bukan seram. Memangnya seorang pelukis baru bisa melukis bila ada objeknya?

Kalau ingin membuatku berhenti berkeliaran dan bermain sampai larut malam di daerah baru, seharusnya mereka memberi alasan yang bagus dan masuk akal. Bukan malah menakut-nakutiku dengan sesuatu yang ditakuti anak perempuan.

Nah, malam ini aku akan menyelinap. Aku ingin mencari tahu mengenai pelukis itu; lumayan, aku dapat mencari kesenangan disela malam-malam yang selama ini selalu jenuh.

Setelah aku yakin ibu dan mbah terlelap dengan memperhatikan apa semua lampu sudah mati, aku melepas baju tidurku dan mengambil kemeja lengan pendek putih yang kupakai tadi pagi, celana pendek hitam, dan suspender yang biasanya kupakai setiap hari. Aku keluar lewat—Ini sebenarnya jendela atau pintu, sih? Bentuknya seperti jendela, terlalu besar, dan memiliki gagaing pintu—Aku keluar lewat jendela-pintu di kamarku yang langsung mengantarku ke serambi kanan rumah yang terlalu besar ini. Tanpa sepatu, aku berlari-lari kecil ditemani lampu jalan yang remang-remang dan rambut pohon yang menjuntai menuruni jalanan lebar nan sepi, menuju Pondok Pancawarna di ujung jalan.

Aku sampai didepan pagaarnya. Pagar besi hitam yang ditengahnya terdapat gerbang dari semak-semak mawar. Aku mendorog pagar yang ternyata tidak terkunci itu, berderit pelan, dan perlahan masuk. Kenapa tidak dikunci? Apa memang ia bertujuan untuk menarik anak-anak yang penasaran kemari? Dan sekarang, sejauh mata memandang dibawah bulan sabit yang temaram, aku hanya melihat hamparan taman bunga yang indah didepan sebuah rumah kayu tua yang mulai berlumut. Seperti kata mereka, dalam remang aku dapat melihat bahwa bunga didalam sini hanya memiliki 5 warna—mawar, yang jelas, bunga sepatu, lavender, violet—Entah apa lagi, aku hanya mengenali itu. taman ini terlihat makin gelap karena tak ada bunga yang berwarna putih. Aku mengambil sebuah ranting panjang yang patah, dan mengibas-ngibaskannya seolah itu adalah pisau untuk memotong dahan-dahan yang menghalangi jalan, aku seorang penjelajah.

Aku melihat taman dari ujung-ke-ujung, sampai akhirnya berhenti ketika aku mencoba untuk mencari jalan menuju belakang Pondok—
Di sana lah aku melihatnya,
Dengan sebuah lampu ublik yang ia letakkan di sebelah cagak kanvasnya,
Ia duduk pada sebuah kursi roda kayu,
Sambil terus melukis dan menoleh ke arahku.
“Nak?”
Ia memutar kursinya,
Dan kakinya tak ada—Tak ada dalam artian, benar-benar tak ada. Seolah tak ada apa-apa lagi setelah bagian bawah perutnya.
“Sedang apa kau kemari? Tak ada yang berani kesini, lho.”
Ia tidak tua seperti yang kubayangkan, tidak setua mbah, dan mungkin hanya beberapa tahun di atas ibu. Kemeja biru bergarisnya terlihat kusam di bawah mata sabit rembulan.
Aku terus mengayun-ayunkan ranting yang kupegang.
“Tak apa, aku hanya penasaran. Kukira bapak cuma sekedar cerita. Ibu dan mbah biasanya menakut-nakutiku.”
“Apa menurutmu aku terlihat seperti orang jahat?”
“Tidak. Bapak terlihat seperti—”
“Ya?”
“Orang sedih, pak.”
“Lho, mengapa?”
“Karena bapak melukis  sendirian jauh dari orang. Aku punya teman yang selalu menggambar sendirian saat sedih.”
Bapak itu hanya tertawa. Dan memanggilku untuk melihat lukisannya lebih dekat.
“Ada apa dengan kakimu, pak?”
“Ini Memento Mori. Kau tahu apa itu?”
“Apa itu?”
“Pengingat kematian.”
Aku melihat lukisannya—Seperti tamannya, aku hanya mengenali lima warna pada lukisannya.
“Datanglah lagi bila kau mau. ”

Ketika aku datang esok pagi, setelah beli sayur bersama ibu dan mbah, (aku menyelinap setelah mereka masuk ke rumah) ia tak ada disana. Aku mencoba kembali malam hari, dan saat itulah aku sadar bahwa ia selalu melukis tiap malam, dan entah berada di mana saat pagi. Aku mulai mengunjunginya tiap hari, tiap minggu, sewaktu kesepian dan suntuk melandaku.

Aku mulai hafal pola-pola lukisannya, gurat-guratan garisnya yang abstrak. Ia tidak pernah menggunakan warna yang tidak ada pada tamannya, seolah cat yang ia dapat berasal dari bunga-bunga yang ia tanam. Yang ia hancurkan, dan renggut warnanya.
Pada suatu malam yang anehnya tidak dingin, justru sedikit hangat, ia bertanya,
“Apa yang kau lihat di lukisan-lukisanku, nak?”
“Hmm.. Apa ya.. Warna yang dicampur-campur.. Lima warna.. Garis putus-putus..”
“Ini warna-warna dan suara masa lampau.”
Aku menatapnya penasaran,
“Kau masih ingat Memento Mori?”
“Pengingat kematian?”
“Kakiku yang hilang ini bukan hanya pertanda agar aku selalu mengingat kematian. Tapi agar aku tak bisa melupakan, dan meninggalkan masa lampau.”
“Maksud bapak, agar tak bisa meninggalkan tempat ini juga?”
“Ya, ini tempat dimana aku kehilangan banyak hal, kehilangan orang-orang yang kukasihi. Aku ingin tetap bersama jiwa mereka di Pondok ini. Rumah tua reot kami yang sudah lumutan.”
“Apa ini ada hubungannya dengan bunga yang hanya memiliki lima warna?”
Ia meletakkan kuasnya dan memutar kursi rodanya menghadapku, lalu melonggarkan kerah kemeja putih lusuhnya; aku lebih suka kemejanya yang biru bergaris.
“Aku dahulu tinggal dengan empat orang anakku, dan istriku. Ia sangat suka berkebun, dan menanam enam bunga sesuai warna kesukaanku kami. Ia sangat cantik, tak banyak memikirkan soal dirinya. Pada suatu hari, nak, ketika ia pergi ke pasar pagi buta, mendung semilir, dan aku masih menemani anak-anak yang belum terbangun—Badai terjadi. Kami lindung didalam rumah sedangkan—Entah apa jadinya pada istriku dan ibu-ibu yang ke pasar pada pagi hari. Yang kutahu, ketika hujan mulai reda dan semuanya kembali seperti sedia kala, taman kami sudah tak berbentuk, kacau. Pepohonan semua tumbang, jalan-jalan dipenuhi lumpur, dan entah berapa lamapun aku menunggu,
Ia tak kembali dari pasar pagi itu.
Cuaca sangat buruk, dan untuk keluarga di daerah terpencil seperti ini, flu bukanlah penyakit yang mudah, nak.”
“Kau kehilangan keempat anakmu karena flu, pak?”
“Tepat sekali, dan setelahnya, aku mencoba menghidupkan mereka dalam warna-warna yang mereka sukai. Lima warna yang mereka gemari di pekarangan kasih ini. Tapi entah bagaimanapun, mawar putih yang kutanam untuk istriku, di tanah hitam yang sedih dan lembab ini, mendadak menunjukkan bercak-bercak hitam yang makin menyebar ke seluruh kelopaknya. Seolah alam bahkan tak mengizinkanku untuk mengenang dan bertemu lagi dengannya,
Seolah kami takkan pernah bersatu lagi.”
“Aku tak tahan, nak. Aku ingin pergi dari sini. Tapi jika aku pergi, siapa yang akan merawat bunga-bunga ini dan mengenang, mengasihi mereka di gelap sana? Aku berusaha keras mengurungkan niatku, dan untuk memaksa diriku agar tak pergi,
Aku memotong kedua kakiku.”
“Apa tetangga-tetanggamu tak berpikir kau gila, pak?”
“Tentunya. Hal terakhir yang kuingat dari mereka hanyalah kursi roda kayu ini.”
“Mereka menuduhmu menculik anak-anak.”
“Aku tak pernah menculik mereka, mereka datang sendiri, dan aku memperlakukan anak-anak itu sepantasnya.”
“Dasar, gosip ibu-ibu.”
Cerita mengerikan itu terus menghantuiku. Tapi aku tak dapat berhenti mengunjunginya. Aku kasihan padanya, bapak itu pasti kesepian;

Sama sepertiku.

Setahun hampir berlalu, dan minggu depan usiaku akan menginjak 15 tahun. Aku akan dikirim untuk tinggal bersama ayah di ibu kota, dan harus meninggalkan tempat ini.
Aku mengkhianati keinginanku untuk tidak banyak bermain dan mulai menjadi anak yang serius,
Aku tidak ingin kehidupan dewasa yang terlihat sepi dan penuh sesak serta hambar,
Aku masih ingin bermain.

Semalam sebelum ulang tahunku, aku melesat ke Pondok Pancawarna. Aku bersembunyi diantara semak bunga biru sampai pak pelukis menemukanku.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
“Sembunyikan aku, pak! Sampai dua hari ke depan?”
“Apa? Mengapa? Mbah dan ibumu akan mencarimu!”
“Aku tak ingin jadi orang dewasa yang sedih dan membosankan, aku masih ingin bahagia dan bermain! Besok lusa ayah akan menjemputku, dan aku harus ikut dengannya untuk belajar di ibu kota—Dengan seragam yang pucat dan kehidupan yang ketat.”
“Bukannya kau pernah bercerita akan memotong rambut keritingmu itu dan berhenti bermain-main.”
“Itu hanya untuk menghibur sepiku—”
“Jangan membohongi dirimu, nak.”

Aku menoleh melihat lukisannya—Lukisan yang biasanya abstrak. Meskipun tidak jelas, aku dapat melihat bahwa itu adalah lukisan Pondok ini, dengan hamparan taman harum dan 4 anak yang bermain riang bersama orangtua mereka, berlarian di pekarangan.

“Kuharap aku dapat bersenang-senang seperti yang lukisanmu itu.”
“Hei, ayolah, jangan murung. Kau harus senang dapat bersama orangtuamu.”
Aku hanya membenamkan wajahku dalam lututku.
“Baiklah, kau boleh menginap untuk dua hari ke depan.”

Pak pelukis menggiringku masuk sambil memutar roda kursinya; ia mempersilahkanku untuk tidur di kamar anaknya, dan minum teh malam sebelum terlelap. Aku biasa melakukannya dengan ibu, mbah, dan ayah; tapi semenjak pindah kemari dan ayah harus berada di ibu kota, ibu dan mbah tidak lagi mengajakku minum teh sebelum tidur

Keesokan harinya aku terbangun, cahaya matahari menyinari jendela kamar yang sedikit berdebu ini, namun terlihat lebih indah dan menarik daripada tadi malam. Mainan dan buku berserakan dibawahnya. Kakiku sedikt nyeri saat tak sengaja menginjak empat batang krayon yang tergeletak di karpet. Aku mencari pak pelukis, tapi sebelum menemukannya aku mendengar tawa riang anak-anak.

Aku berlari ke pintu depan yang letaknya kuraba-raba; aku tak tahu. Tadi malam kami masuk lewat pintu belakang. Pintu depan berhasil kucapai, dan dengan melindungi mataku dari sinar matahari pagi, aku beranjak keluar untuk melihat sebuah keluarga bahagia; empat orang anak dan sepasang suami istri bermain, berlari riang pada sebuah pelataran mengenakan mahkota bunga.
Sang ayah, dengan kemeja biru bergarisnya dengan mudah kukenali,
Itu pak pelukis, tapi ada yang berbeda dengannya.
Ia berdiri pada kedua kaki, dan berdansa dengan riang bersama istri serta anak-anaknya,
Tangannya terulur, ia mengajakku untuk bergabung dengannya,
Dan aku menyambutnya.

Kami berdansa, berdendang, dan makan enak sepanjang hari. Saat malam, aku mencoba untuk melewati gerbang mawar dan mengintip keadaan rumahku; tapi tak bisa. Yang kulihat selepas gerbang mawar adalah hamparan taman yang sama, lebih besar dan luas dari ini.

Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, tapi tak bisa.
Seolah ada kain kasar tebal yang membatasi antara aku dan taman selanjutnya.

Keesokan harinya kami masih bermain, bersenang-senang. Aku semakin akrab dengan empat orang anak yang pakaiannya berwarna sesuai dengan kesukaan mereka, dan dapat dengan mudah mengambil hati istri pak pelukis.
Tapi, malam ini,
Saat aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, di depan tirai kain tebal itu;
Yang kulihat adalah wajah ibu.
Wajah ibu, mbah, dan ayah yang panik serta berteriak seolah memukul-mukul tirai kain.
Aku menoleh ke belakang,
Istri pak pelukis memanggilku untuk makan malam.
Pagi hari setelahnya kami masih terus berdendang, dan berbahagia bersama. Tapi ini sudah esok lusa, dan aku harus pulang karena pasti ayah sudah kembali ke ibu kota dan tak akan ada yang mengambilku lagi.
Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, didepan tirai kain tebal itu;
Aku masih tak dapat melewatinya,
Tapi sekarang aku tak melihat taman bunga, ataupun wajah ibu dan mbah yang terlalu dekat—
Aku melihat ruang tamu rumahku,
Dengan ibu, mbah, dan ayah duduk termenung menundukkan kepalanya.
Aku menoleh ke belakang,
Pak pelukis mengajakku bermain lagi; empat anaknya, serta beberapa anak lain, berlari mengejar, menarik tanganku untuk tinggal bersama mereka.

Tinggal dan berbahagia di Pondok Pancawarna untuk selamanya.
Sorry for writing in my native language lately ^^
waktu itu kita jalan keluar malam-malam
awalnya sedikit hangat didalam ruangan yang temaram
lalu kita melangkah keluar, dan dinginnya malam buat semuanya menjadi suram
sepertinya angin kencang menjalar dengan kejam
malam menjadi bisu, sambil berjalan pun kita berdua diam

lalu kamu menunjuk-nunjuk bangunan dengan lampu-lampu dan dinding kayu
sepertinya hangat disitu, kalau tidak salah kamu bilang begitu
saya setuju
dengan kamu saya selalu setuju
dijalanan kecil kita melangkah kesitu buru-buru

didalam sana udara dingin sudah tidak terasa lagi
dengan hati yang riang saya pilih coklat panas dari menu yang kamu beri
kata orang coklat bisa menghasilkan hormon endorfin
bisa membuat hari yang sedang bermuram durja menjadi tersenyum kembali

lalu saat itu coklat panas sudah ada didepan saya
saya sentuh pinggiran gelasnya
hangat
saya minum perlahan-lahan
sedikit demi sedikit, tanpa tergesa-gesa
sengaja
karena tidak terlalu besar ukurannya
kalau cepat habis bagaimana?

lama kelamaan habis, semuanya juga akan habis
saya ingin gelas kosong bekas coklat panas ini tidak digubris
tapi akhirnya pelayan itu datang dan mengambilnya sambil tersenyum manis
kehangatan kembali terkikis dan menipis

kita kembali berdiri dan keluar menelusuri malam yang dingin
kembali bergelut dengan angin
ingin saya bawa satu gelas coklat panas itu lagi
tapi dia akan membeku seiring berjalannya waktu, mungkin

tanpa suara, saya tahu kamu mendengar
tanpa cahaya, saya tahu kamu melihat
tanpa kata, saya tahu kamu mengerti

maka, terimakasih untuk ‘coklat panas’ nya.
mungkin bisa kita seduh kembali suatu saat nanti


Jakarta, 27 Desember 2012
*(puisi ini bukan tentang apa-apa. puisi ini tidak berarti apa-apa. puisi ini tidak ada yang mengerti selain saya dan satu orang lagi. puisi ini tentang sebuah Rahasia)
So Dreamy Jan 2017
Di ujung jalan Merbabu III, ada sebuah bangunan tua berwarna cokelat muda berlantai satu dengan sebuah taman yang dipenuhi semak bunga Gardenia dan sebuah pohon pinus. Itu adalah rumah kami. Sebuah gunung berdiri tegak di depan kami. Teh beraroma melati yang disajikan dalam cangkir putih membiarkan asapnya mengepul memenuhi udara dan menghangatkan atmosfer di sekitar kami hanya untuk sepersekian detik. Ditemani sepiring pisang goreng atau roti bakar berisi selai cokelat yang meleleh, bersama ibuku, kami berbincang tentang banyak hal di atas kursi kayu di teras rumah berlatar gunung.

Kami banyak membicarakan tentang masalah pendidikkan dalam negeri, masalah keluarga, hobi masing-masing, masa depan, pelajaran di sekolah, pekerjaan lainnya, dan mengeluh bagaimana hal-hal tidak berjalan sesuai dengan ekspektasi kami. Ibuku adalah sahabat terbaikku. Bisa dibilang dia merupakan orang terfavoritku walaupun aku lebih mengidolakan band-band asal Inggris yang jaya di pertengahan era 90-an. Tapi, ibuku adalah pendengar terbaik selain secarik kertas HVS putih yang biasa kutulisi dengan rangkaian kata menggunakan pulpen biru Faster. Dia mendengar, benar-benar mendengar. Dia mengerti apa maksud dari seluruh ucapanku, bukan hanya sekedar menyimak cerita-ceritaku.

Setiap kali aku mengeluh tentang suatu hal, Ibu menghujaniku dengan nasihat-nasihat dan pepatah-pepatah hebat. Ia selalu mengingatkanku untuk selalu bersyukur.

“Bu,” panggilku pada suatu siang di tengah bulan Juni yang sangat panas.

Kami sedang membersihkan sayur kangkung dan ikan Gurame di dapur dengan jendela yang terbuka lebar di hadapan kami sehingga kami bisa melihat jelas isi dari taman belakang rumah sebelah.

“Aku heran mengapa bunga-bunga liar ini bisa tumbuh. Maksudku dari mana mereka berasal dan bagaimana bisa mereka tumbuh begitu saja?" tanyaku.

Ibuku tersenyum. “Penyebaran bibit itu bermacam-macam. Lewat serangga, bisa jadi?” jawabnya sambil terus membersihkan sisik ikan. “Lagi pula, bunga rumput itu sangat cantik. Setuju dengan Ibu?”

Aku mengangkat sebelah alis, kemudian menggeleng. “Cantik apanya? Mereka berantakan, ya, kan? Bagaimana bisa Bu Jum betah melihatnya tanpa merasa gatal untuk segera mencabutnya?”

“Mereka adalah bunga yang kuat,” katanya, “mereka tumbuh di mana saja, kapan saja. Mereka tidak peduli seperti apa rupa lingkungan sekitarnya dan bagaimana lingkungan sekitarnya bersikap pada mereka, menampar atau menerima. Mereka tetap tumbuh, bertahan, dan hidup. Bunga rumput adalah bunga liar yang sering diacuhkan banyak orang, tapi mereka adalah bunga yang kuat dan mereka terlihat cantik dengan cara mereka sendiri.”

Aku tertegun.

“Itu hanya pandangan Ibu saja. Semacam filosofi, kamu paham, kan?”

Sejak saat itu, aku percaya pada kecantikan di setiap kesederhanaan. Hal-hal yang biasa tidak diperhatikan atau dilupakan banyak orang sesungguhnya memiliki keindahannya sendiri. Meneguk secangkir kopi panas di malam hari ketika tiada satu pun suara dan bintang berkedip di langit tinggi, cahaya matahari yang mengintip dari balik dedaunan dan ranting pohon atau jendela kamar, mendengar dan melihat bagaimana tetes-tetes hujan turun dari genting ke permukaan tanah. Jalanan kelabu yang basah dan sepi, suara dan kilatan petir, kabut yang memenuhi ruang udara setiap Subuh. Suara deburan ombak yang berujung mencium garis pantai atau suara aliran sungai yang mengalir dengan tenang. Hal-hal seperti itu, selain mereka cantik dengan caranya masing-masing, mereka juga indah tanpa pernah sekalipun menyadari bahwa mereka indah. Dan, itu adalah kecantikan yang paling murni dari segala hal yang nyata.
So Dreamy Jan 2014
"Dunia ini terlalu indah untuk dilukis, Sayang,"
Begitu katanya
"Dunia ini juga terlalu luas untuk dipahami, Sayang,"
Begitu pula katanya

Aku tetap tak mengerti
Mengapa masih ada orang yang merasa dunia ini
Terlalu sempit untuk diketahui
Terlalu sulit untuk dijelajahi

Apakah jendela cakrawala mereka saja yang sempit?
Atau nyali mereka saja yang tak bisa berdiri sendiri?
Hanya berani menguntit ditemani mata menyipit?
Barangkali pikiran mereka juga hanya bisa mengintip?

"Dunia ini dipenuhi orang aneh, Sayangku,"
Ujarnya kemudian
Secangkir teh diteguknya perlahan
"Dunia ini juga dipenuhi orang berotak kosong, kamu tahu itu,"*

Kukatakan dalam hati bahwa aku tahu
Tentu saja kami berdua tahu
Bumi ini dihuni benak-benak yang melayang liar di balik masing-masing bahu
Yang tak bisa diam walau hanya menunggu waktu

Menunggu pikiran gila lainnya merayap masuk ke dalam kepalanya
Membuat secarik kertas dan sebuah pulpen meleleh di tangannya
Melantunkan kalimat-kalimat indah menjadi sebuah sajak
Menyulapnya menjadi sebuah mahakarya yang terus menanjak

Kukatakan sekali lagi dalam hati bahwa aku tahu
Tentu saja kami berdua tahu
Bumi ini juga dihuni benak-benak licik yang tak punya dinding malu
Yang meraup beribu untung tak kenal waktu

Diam-diam aku bertanya juga

Di manakah jiwa-jiwa kotor itu bisa membeli dinding malu?
Mengapa mentalnya tak beda jauh dengan mental para benalu?
Orang-orang aneh itu masih terus menunggu waktu
Orang-orang berotak kosong itu malah berlari meninggalkan waktu

Orang-orang aneh itu terus menciptakan karya
Orang-orang berotak kosong itu malah dibicarakan di berita pagi dan dunia maya
Orang-orang aneh itu terus menumbuhkan bunga di atas nama bangsa
Orang-orang berotak kosong itu malah menumbuhkan duri di bawah nama bangsa

Seperti yang saat ini banyak terjadi,
Seniman dan Koruptor.
Aridea P Nov 2011
Palembang, Kamis 6 Januari 2011

Aku tak mengerti apa arti dari Cinta Sejati
Yang ku tahu hanya cinta itu membuat kita sakit hati
Tapi, mengapa rasa ini lain, tak seperti yang lalu
Ku cemas bagaimana bila aku jatuh cinta dengan nya?

Jatuh cinta...
Cukup umurkah aku tuk mengenalnya?
Aku takut itu akan berujung penyesalan
Tapi, selama ini aku hanya diam tak ada gairah
Diakah yang akan membuatku bangkit dan berdiri?

Cinta... Cinta... Cinta...
Hanya cintakah yang paling mudah di dunia ini?
Mudah untuk mencintai, mudah tuk menyayangi
Mudah tuk melukai, mudah tuk menyakiti
Dan mudah-mudah lainnya...

Aku heran, mengapa aku harus kenal cinta
Bila ujung-ujungnya ku harus menyesal
Semoga cepat ku dapatkan jodoh ku
Supaya penyesalan, penantian, semuanya!
Tidak berlaku lagi dan ku hidup bebas

Cepat katakanlah cintamu
Mungkin itulah yang ku tunggu
Mungkin? Ya, bisa iya
Bisa juga tidak
I'm waiting all alone here
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Inilah Proses Kematian dan Hancurnya Tubuh Kita!
Sesaat sebelum mati, Anda akan merasakan jantung berhenti berdetak, nafas tertahan dan badan bergetar. Anda merasa dingin ditelinga. Darah berubah menjadi asam dan tenggorokan berkontraksi.
0 Menit
Kematian secara medis terjadi ketika otak kehabisan supply oksigen.
1 Menit
Darah berubah warna dan otot kehilangan kontraksi, isi kantung kemih keluar tanpa izin.
3 Menit
Sel-sel otak tewas secara masal. Saat ini otak benar-benar berhenti berpikir.
4 – 5 Menit
Pupil mata membesar dan berselaput. Bola mata mengkerut karena kehilangan tekanan darah.
7 – 9 Menit
Penghubung ke otak mulai mati.
1 – 4 Jam
Rigor Mortis (fase dimana keseluruhan otot di tubuh menjadi kaku) membuat otot kaku dan rambut berdiri, kesannya rambut tetap tumbuh setelah mati.
4 – 6 Jam
Rigor Mortis Terus beraksi. Darah yang berkumpul lalu mati dan warna kulit menghitam.
6 Jam
Otot masih berkontraksi. Proses penghancuran, seperti efek alkohol masih berjalan.
8 Jam
Suhu tubuh langsung menurun drastis.
24 – 72 Jam
Isi perut membusuk oleh mikroba dan pankreas mulai mencerna dirinya sendiri.
36 – 48 Jam
Rigor Mortis berhenti, tubuh anda selentur penari balerina.
3 – 5 Hari
Pembusukan mengakibatkan luka skala besar, darah menetes keluar dari mulut dan hidung.
8 – 10 Hari
Warna tubuh berubah dari hijau ke merah sejalan dengan membusuknya darah.
Beberapa Minggu
Rambut, kuku dan gigi dengan mudahnya terlepas.
Satu Bulan
Kulit Anda mulai mencair.
Satu Tahun
Tidak ada lagi yang tersisa dari tubuh Anda. Anda yang sewaktu hidupnya cantik, gagah, ganteng, kaya dan berkuasa, sekarang hanyalah tumpukan tulang-belulang yang menyedihkan. Jadi, apa lagi yg mau disombongkan org sebenarnya????
BAGUS UNTUK DIRENUNGKAN.....
Kita tak membawa apapun juga saat kita meninggalkan dunia yg fana ini..
Aridea P Oct 2012
Palembang, 21 Oktober 2012

Aku berjalan,
menyusuri lorong gelap dan dingin
Menatap lurus pada satu tujuan
Pintu berukiran abstrak
Tanpa kunci aku bisa masuk dengan mudahnya
Tanpa kode aku lolos dari tes keamanan

Aku terus berjalan,
menapaki lantai yang lembap
Menuju suatu benda tinggi besar yang datar

Aku berhenti.

Berdiam diri cukup lama
Terpaku tanpa mampu berkata

Aku berdiri di depan cermin
Aku melihat diriku
Lihat Dia!
Dialah aku yang haus akan cinta
Dialah aku yang menadah kasih sayang
Aku berlutut dan meminta
Bawa dia ke sini Tuhan
Ke hatiku

Aku masih terdiam terpaku
Menyaksikan apa yang ada di hadapanku
Berpikir, betapa bodohnya aku
Aku berbalik tanpa berkata sepatah pun
Dan pergi meninggalkan aku yang masih terperangkap di cermin itu

Masih bisa kuubah, ucapku pada diriku
Takkan ku biarkan penderitaan menyentuh hidupku,
sedikitpun
Aku akan berbalik dan melupakan semua
Melanjutkan perjalanan hingga tugasku usai
Aridea P Oct 2011
Jumat, 27 Agustus 2010

Satu lagi momen tak terelakkan
Aku jatuh cinta lagi
Lebih dari seorang kali ini
Tak bisa aku memilih
Hanya bisa menjalani hingga henti

Menguap rasanya hatiku
Hingga kini ku tak mampu berdiri
Hanya terpaku dan terlarut dalam lamunan
Yang begitu tinggi dan tak pantas ku lamuni

Kini ragaku mulai mencair
Sedikit demi sedikit mulai bercerai
Mengarah sendiri tanpa tujuan
Meninggalkan jiwaku yang tersiksa

Jiwa ku sakit... sakit...
Ragaku lenyap, perih, perih
Datanglah... Sembuhkanlah...
Ku mohon, Ku tak mampu hidup sendiri


Created by. Aridea .P
JHT Jun 2017
Pada hari yang baik di bulan yang baik ini;
Hujan turun lagi membasahi segenap pertanahan;
Di balik bulirnya seorang pujangga termenung;
Menuliskan kembali lirik-lirik tersedih dalam puisinya:

Wahai imaji hujan di masa lalu;
Pernah kulupa namun mengapa belum kurela?
Wahai melodi hujan di masa lalu;
Kembali kau ketuk palung paling dalam;
Kehalusan suara wanita yang pernah ada;
Mengapa tak lenyap bersama kejatuhanmu?

Apakah lagi-lagi aku berdiri pada persimpangan yang sama?
Penuh kabut, memudar namun seyogianya belum sirna;
Tahun demi tahun telah berlalu bersama kejatuhan hujan;
Namun mengapa kesepian tak pernah berlalu?
Walau kesedihan menolak segala kefanaan;
Yang belum berubah menjadi sebuah kejadian;
Yang menolak segala bentuk pengulangan;

Apakah kekosongan merupakan bentuk realita tertunggal
Yang selamanya akan terus berbahasa dalam kebisuannya?
Mengapa masih aku mengaku yang tertabah;
Jika musibah tak mampu melenyapkan;
Segala terpaan angin rindu yang pernah berhembus?
Jika segala ketakuan masih menjadi ada dalam tiada;
Mengapa pernah juga kau lepas ikatan kita?

Perlahan kata-kata itu meresap kepada perakaran;
Sebolehjadinya ujung pena tak mampu memahami;
Segala makna yang tersirat dalam rampaian puisinya;
Bila kepergianmu adalah kesenduan dari berkat kehidupan;
Ajarkanlah aku berdamai dengan segala bentuk prasangka;
Yang datang bersama bayanganmu di kala hujan.
Dan kembali pepohonan bersemi bersama dengan perakaran yang dibasahi titik hujan. Bagaikan prasangka menolak segala bentuk pengulangan. Seorang pujangga terjebak dalam ketidakpastian diskursif.
Aridea P Dec 2013
Palembang, 30 Desember 2013

Ini terjadi lagi,
tuk yang kesekian kali
Jiwaku terbentur batu, keras sekali
Retak, hampir pecah berapi
Gesekan kemarahan dan penyelesaian hati
Menjadi mayat tak berhati
Tak mampu berfikir lagi
Menahan diri tuk bertahan dalam raga ini
Meski kaki ini tak mampu berdiri
Nafas ini tak mampu berhembus lagi
Hanya satu yang aku yakini
Keajaiban yang benar ada di dunia ini
Rencana indah Tuhan yang lain
Yang tak pernah bisa dihindari
Hidup tidak selalu buruk atau baik
Perubahan kecil sangatlah berarti
Tuk hidupku yang sunyi


Aku memang sendiri
Tapi ku tak ingin sembunyi
Apapun yang kan terjadi akan ku hadapi
aku yang memilih aku yang jalani
Ini bukanlah janji
Ini adalah curahan hati
Keinginan yang tak mampu ku raih
Namun ku jua tak lelah berlari
Meraih keingnan di hidup ini
Jika kalian membaca ini
Tolong, hargai dan temani
Aku di sini sendiri ...
Aridea P Oct 2011
Jakarta, Minggu 15 Mei 2008


Di sini hanya sesal
Ku tak melangkah kepada mu
Yang berdiri di padang rumput
Tersilau cahaya di pagi hari
Meski tak kulihat kamu
Mata hati ku menyusuri
Tak ingin ku kehilangan mu
Walau harus terpisah jauh
Tuhan mendengar doa ku
Saat petunjuknya hadir untukku
Ku hindari tak sengaja
Karena dua pilihan menerkam ku
Apakah jalan ini salah?
Ku menangis penuh sesal
Tak bisa melihat kamu yang indah
Padahal, hanya satu langkah aku kan sampai
Aridea P Oct 2011
Malam larut tak ku rasa kini

Hanya duduk merenungi sepi

Aku pun berdiri

Mendekati cermin di dekat ku

T'lah ku lihat kini

Bayang lain pengkejut hati

Namun, tak kuasa ku tahan tangis

Ingat-ingatmimpi yang lalu

Bintang-bintang kabur berkejaran

Bulan pun tak lagi berjanji pada ku

Untuk selalu menyinari aku

Malam larut hilang berganti pagi

Menusuk raga saat raga menyinari

Membunuh jiwa saat tak lagi kini

Ku rasakan malam yang hening

Di mana ku selalu teringat Belahan Jiwa

Yang dulu slalu mengiasi malam

Created by,

Aridea Purple
ga Aug 2017
Temukan aku, cari aku
Hancurkan aku, remukkan aku
Caci diriku hinakan jiwaku
Buat aku berlutut menangis di hadapanmu
Hempaskan tubuhku rebahkan kepalaku
Lakukanlah, hancurkan diriku.

Tapi ketika saatnya tiba
Ulurkan tanganmu, raihlah kepalaku
Berjongkoklah, sentuh pipiku
Elus rambutku hapus air mataku
Tundukkan kepalamu, dekatkan ke telingaku
Bisikkan padaku sebuah kata dari dalam hatimu
Hembuskan padaku sebuah harapan
Lantunkan lagu itu, lagu kehidupan

Tatap mataku, ajak aku berdiri
Pandang wajahku, yakinkan aku
Genggamlah tanganku sementara kau mulai melangkah
Peluk erat jariku dengan jemari lentikmu
Berikan hangat tubuhmu, genggam erat tanganku

Ayunkan kakimu, berlarilah
Bawa aku bersamamu, beri aku jalan
Menolehlah sesekali ke belakang
Aku akan tetap berada di sana
Memandangi jemarimu memeluk jemariku
02/04/16
Aridea P Feb 2012
Jakarta, 28 Mei 2009

Suatu malam aku gelisah
Menunggunya tuk hadir di sini
Dia yang sangat ku cinta
Pangeran dari Kerajaan Inggris

Ya Tuhan
Maafkanlah aku
Aku t’lah mencintai orang yang salah
Tolong bangunkan aku

Aku diam seribu bahasa
Aku menangis, “Aku hanya bermimpi!”

Lalu ku lihat seorang pria
Berdiri di depanku
“Ya Tuhan, aku bermimpi lagi”
Dia menyentuh tanganku

Sekali lagi...
“Ya Tuhan, ini nyata!”

Aku memeluknya
Dan kemudian aku benar-benar sadar
Inilah kenyataannya
Pangeran dari Kerajaan Inggris
Aku berdiri kaku di depan cermin menatap nanar dirimu.

Bertanya...

Berapa banyak malam yang kau habiskan untuk mencaci tubuh tak bersalah itu?
Mencabiknya agar kau tetap bisa merasa hidup.
Biru dan ungu selalu menjadi tanda bahwa kau menang melawanku.

Aku ingat beberapa orang
mengubahmu menjadi kelabu,
membunuhmu dengan kejam,
lalu membuangmu jauh ke jurang hitam.

Kita berjalan beriringan dengan kapak berlumur kata-kata tak dimaksudkan,
tapi kau bilang kau telah mati jauh sebelum kita berdamai.

Lalu bagaimana denganku?

Seperti ruang kosong yang hilang ditelan kesendiriannya,
aku berjalan menuju ujung lorong yang tak pernah sempat kau injak.
Menari-nari di bawah binar harapan seperti aku lupa bahwa kau tak lagi diam di sana.

Ingatkah kau saat kita duduk di meja makan bersama dua orang asing?
Kau sibuk bermain dengan gelisahmu,
sementara aku tersenyum lebar berperan sebagai hantu.
Kau melahap habis semua isi di sana, tetapi hanya berakhir pada kamar air yang sengaja kau sembunyikan.

Kau mati.
Lalu bagaimana denganku?
fatin Oct 2017
berdiri aku di tengah sibuk pasar
kelihatan ragam manusia
-bermacam

ada yang berpaut
berpegangan tangan
aku tahu rasanya
indah dan sentiasa selamat

di kedai kecil sana ada anak menangis
meminta untuk dibelikan
--umpama masalah dunia, paling besar
tersenyum aku
hai anak, andai kau tahu apa itu resah remaja
dan getir si tua

pandangan aku terkunci pada yang keliru
ditangan nya penuh dengan pilihan
dan aku kenal rasa itu
dimana cuma mahu yang sempurna
sekali lagi aku tersenyum
--mana mungkin ada yang cukup

keluh aku pada dunia
pentas paling besar
dan ramainya pemain pentas ini
ada yang yakin dengan watak nya
yang biasa sahaja juga ada

aku?
aku cuma memerhati
dan syukur
kerana masih punya nikmat untuk rasa riuh pasar

-f 611am 3rd oct
Noandy Apr 2016
Siang ini, jam tidak berputar terbalik
Angin juga memutuskan untuk
Berhembus ke satu arah saja

Burung jalak di hening mulai menyanyi
Berlagak galak
Dan merapal sebuah lagu

Hanya rerumputan yang lupa
Tajamnya kidung mentari

Pikirnya,
Sakit tak akan membakar borok
Yang dimiliki
Apabila tak dirasa

Lupakan saja,
Jangan buat lagu apapun lagi
Untuk mentari
Biarlah ia murka sepuasnya

Siapa tahu rumput
Barangkali sedang impikan hujan
Yang tak kunjung lebur
Dalam lubuk hatinya

Aku ingat kau pernah
Beralasan:
Aku tak mungkin berdiri
Di bawah mentari,
Dalam nadi dan degupku
Mengalir bulir hujan
Terlampau
Getir dan gelap
NURUL AMALIA Aug 2017
sudah kuceritakan pada senja
tentang hari yang kulewati
bersama mentari bahkan hujan
dan aku merangkai kisahku

tapi kadang aku bercerita pada malam
malah, bulan dan bintang juga ikut bercengkrama
iya, jika hari tak hujan
mereka berani menemuiku

aku mencoba mengerti bahasa mereka
sama hal nya yang mereka lakukan
tapi kuakui mereka pendengar yang baik

aku masih berdiri didekat jendela
memahami gestur dan menunggu jawaban mereka
atas pertanyaan yang kuajukan  tentang seseorang
dan menitip pesan rahasia untuknya
Zharfa Zhafirah Nov 2017
Dirimu menawan meski dalam gelap
Tubuhmu pilu
Bibirmu sendu
Matamu sembilu

Kau berdiri membeku
Diruang gelap bernama kenangan
Meninggalkan kekasih yang terlupakan
Hingga yang terlupakan merasa luka

Kini luka melawan waktu
Memakan rindu yang kelabu

Dan kekasih,
Kita tak akan seperti dulu
Kini aku telah menutup pintu
Tak bisa kau sentuh
Sipaa Adriani Jun 2019
Kemana kau tuan,hilang tanpa pesan
Meninggalkan hamba dengan sejuta kerinduan
Boleh hamba mengatakan? Bahwasanya kehilangan tuan,tidak pernah hamba inginkan
Bahkan,sejak kepergian tuan
Hamba masih berdiri disini,mempertahankan,berharap tuan akan merubah arah pijakan
Dan kembali ke sisi di pangkuan

Semenjak tuan pergi,
Desau angin mulai menyepi,
Kicau burung tak terdengar lagi
Berganti dengan sesak nafas hamba,dan suara tangis yang kian menusuk telinga
Hamba masih belum bisa menerima kenyataan,
Bahkan,merelakan tuan pergi saja masih terasa menyakitkan
So Dreamy Nov 2017
Seperti halnya dasar teori Quantum, aku percaya bahwa semua kemungkinan memiliki probabilitas masing-masingnya untuk terjadi, tak peduli sefantastis atau setidak masuk akal apapun itu.

Begitu juga dengan aku.

Aku percaya bahwa dunia ini terlalu luas sehingga tidak ada yang hal tidak mungkin untuk terjadi. Di samping terlalu banyak memikirkan presentase probabilitas dari suatu kejadian, menerka-nerka dengan menggunakan pertanyaan ‘What if?’ ― akulah satu orang yang mati jiwanya diikat sistem pendidikkan yang selama ini kuselami, akulah satu orang yang mati jiwanya karena pendidikkan yang kuselami selalu mengedepankan teori dan tak punya hati, semua orang seolah hanya pandai berpikir secara logis. Seolah hanya itu yang menjadi tolak ukur seseorang dipanggil cerdas, intelektual, calon pemimpin besar di masa yang akan datang. Kemudian, orang-orang itu seolah berkompetisi penuh ambisi demi mewujudkan hasil terbaik, nilai terbaik, peringkat terbaik. Hasil menjadi tolak ukur mereka untuk bermimpi. Kemudian, sekarang, akulah satu-satunya pemimpi yang kebanyakan orang sebut tidak realistis. Mereka manusia-manusia realistis, aku paham benar, dan aku satu manusia yang memegang idealisme dari sebuah prinsip yang selama ini kugenggam, kuikat aman-aman di sela-sela jemariku, kuingat lamat-lamat di dalam kepalaku yang berbelit-belit ― impianku adalah untuk melakukan hal yang paling kusuka. Kau tahu apa, untuk bersua seumur hidup dengan objek yang paling kucinta; kertas dan pena, untuk menjadi inspirasi bagi para pembaca, untuk berguna bagi orang-orang di luar sana. Aku ingin menulis. Aku ingin menulis seumur hidup. Menjadi inspirasi bagi khayalak luas, terinspirasi untuk menginspirasi. Suatu hari nanti, tulisanku akan mengalir, akan ada waktunya di mana setiap untaian kata yang kusematkan dalam tulisanku menjadi hidup, kemudian mampu menggerakkan orang lain; terinspirasi untuk menginspirasi. Begitu banyak macam-macam orang; orang-orang dengan pikiran yang praktis, orang-orang yang logis dan serba teratur, orang-orang konservatif yang senang mengerjakan hal sama berulang-ulang, politikus yang kritis, orang-orang berjiwa bisnis, orang-orang berjiwa sosial, musisi, seniman yang nyentrik. Dan, aku memilih untuk menjadi seorang berjiwa puitis yang melankoli, pemimpi yang gemarnya mengkhayalkan hal-hal manis dan sederhana. Memiliki jiwa yang sedikit sendu, sudah biasa. Menjadi sedih dan terlalu melankoli, juga bukan hal yang tabu. Lumrah saja, santapan sehari-hari. Dikecewakan dunia? Sudah tak lagi asing. Begitu banyak orang berlalu-lalang, datang dan pergi dari ruang kehidupanku, sehingga rasanya lama-lama ringan saja. Dikecewakan manusia? Sudah biasa. Itulah sebabnya mengapa dirimu sendiri adalah temanmu yang paling sejati, mereka membangun dinding untuk melindungi dirimu dari sakit hati, kemudian menjadikanmu sebagai sahabat terbaiknya. Kertas dan pena, persoalan yang berbeda. Mereka hadir kala diri tak lagi kuat menahan beban, menjadi tulang belakang yang setia menopang, kala dunia tak bersabahat. Dikecewakan ekspektasi? Sudah terlalu sering. Salahnya diri ini terlalu berharap pada orang lain, mengharapkan bahwa kebaikan apapun yang kita lakukan pada mereka akan selalu dibalas, lupa bahwa kadang, ada saja orang-orang tak berhati mulia. Menjadi diri sendiri? Adalah hal yang penting. Menjadi kuat untuk diri sendiri? Jauh lebih penting. Disamping kertas, pena, kata-kata, aku menginginkan kemandirian di dalam hidup ini. Kau pikir ini terdengar sedikit individualis, sayangnya aku tak lagi peduli. Dunia mengajarkan bahwa menjadi kuat untuk berdiri sendiri adalah hal yang penting, di mana terlalu banyak rasa sakit hati yang tak diharapkan terulang kembali. Bukan tak memaafkan atau tak mampu melupakan, hanya saja aku mulai belajar untuk tidak lagi peduli pada  hal-hal yang mengganggu kebahagiaan hidup saya. Untuk itu, saya perlu menjadi kuat bagi diri saya sendiri.
Sundari Mahendra Mar 2017
Hoam....sudah jam 4 pagi
Alarm sudah berbunyi
Memanggilku untuk segera berdiri
Keluar dari hangatnya selimut

Hoam....aku masih mengantuk sayang
Dan dengarlah suara rintik hujan
Dan riuhnya gemuruh diatas
Bertanda hujan belum akan usai

Hoam....berilah aku beberapa menit lagi
Untuk mengumpulkan kekuatan dan kemauan
Mengalahkan segala bisikan
Untuk tetap tinggal saja dirumah

Hoam....baiklah, baiklah
Alarm kembali berbunyi
Kenapa kau paksa aku pergi
Sedangkan tubuhku begitu pedih
Untuk mendapat sekucur air dingin
Membuka mata lebar-lebar
Menggerakkan tangan dan kaki
Untuk berkarya dan bekerja kembali
a daydreamer Jan 2018
Disana,
Diantara bisingnya kerumunan kota,
Aku berdiri sejenak,
Mendengar alunan musik mengendus sajak.

Beberapa pasangan mata menoleh,
Menutur, menyinyir,
Mengikuti bayangan dosa lama
Yang telah tenggelam,
Dilahap oleh manisnya senyum
Dan tawa para badut malam.

Lepuh, rasanya.
Lilin-lilin yang menginduk di kulitku kian meletih
Teriak pedih tak kunjung hari
Terhambur sudah harapan palsu ini.
Tik tik berakhir tok
Kau bersua laksana si empu sendok
Meniti waktu dengan langkah jongkok
Asal bukan dengan otak yang pekok.

Satu menit kau pergi
Tiga menit kau balik lagi
Menit ke-lima kau berlari
Menit ke-tuju kau cuma berdiri.

Kejar kejaran jarum kau paling peduli
Bunyi desah jarum kau paling kagumi
Salah sedikit kau hitungi
Sedang waktu kau coba bagi.
Annisa Aug 2018
tuan menjejak
nona mendongak
'apa?' Nona bertanya
nafas tuan dihela
'tidak apa-apa'

'nona, sudah berapa lama kau disini?'
nona berdiri
mengintip dari balik dinding
'cukup lama. yang jelas, aku sendiri'
tuan tersenyum
nona berubah ranum
dinding perantara, runtuh

'sampai nanti, nona'
'sampai mati, tuan'

sekatmu, dekatku
jarakmu, ragaku
tawamu, tangisku
gelakmu, senduku

'hendak kemana tuan?'
menoleh pun enggan
nona tertahan
nona kembali bertatapan
dengan puing-puing dinding yang berserakan
Jaanam Jaswani Jan 2015
I blame myself for distasteful stupidity;
This inability to conceptualise my sentiment.
I'm magnetic to your waffled fingers, and you're blind
To palpability.

Your purity pours into me like a purgation I've never known;
A thousand sins, each recognised, loved.
How many words have we swapped?

I pine, boy, and ponder upon the postulates you follow
To place a seed into my soul.
Must I really bury my affections for you?

*Saya ingin berdiri sebelah kamu, sebagai putri raja kamu.
oshooney Apr 2021
Keretanya melaju sangat kencang.
sampai-sampai, ia lupa cara untuk bernafas.
Matanya tertuju pada kesunyian yang tampak di luar jendela.
Otaknya terus menerus melontarkan tanya,
Apakah ia bisa beratahan dilajunya kereta ini?
Apa ia bisa untuk berdiri dan berjalan kemanapun yang ia mau?
Apa bisa?
kalau hatinnya mati, ia takkan kesepian lagi?
Tetap saja, ia tak tahu bagaimana cara menjawab pertanyannya sendiri.
Dan,
keretanya takkan pernah berhenti.
/ rembulan /
Coco Aug 2019
Bersama suara tawa
Terdengung hasrat hati sedikit kata
Dia yang berbaik hati
Dan saya yang bersakit sakit

Merangkak dibawah kebaikannya
Menggumam kala dia tertawa
Gapai senyumnya yang tak kasat hati
Bahkan, rela tenggelam dalam pasir khayalnya

Hm, apakah ini saatnya?
Pengakuan akan hasrat hati sebenarnya?
Mengenai rasa dan karsa

Di akhir petang ini,
Bersama riakan air dan sapaan ombak
Bahkan ditemani oleh anak kepiting lucu
Dan lembayung surya sebagai saksi
Saya, sang khalayak yang tengah berdiri
Memintanya untuk berhenti
Baik dalam melangkah, ataupun berlari
Karena saya akan mencari sisi ujung lembayung surya yang lain
Dan dia tak perlu tahu jika memang tak ingin
Terima kasih
Hope u enjoy it!
D Apr 2019
"Dalam segala manis dan tragisnya perkawinan,
Kami sebagai perempuan, mati berkali-kali
Dan lahir pula kembali—
Tentu juga berkali-kali

Disaat kau menyaksikan puluhan katup bibir yang mengatakan “Sah.”
Disaat itu pula,
Kau seakan disadarkan
Bahwa kau tak lebih dari pisau yang harus terus diasah

Bukan supaya tajam untuk dapat menikam,
Namun supaya siap mencacah manis-pahitnya peristiwa kehidupan menjadi dadu-dadu kecil
Lalu menanyakan untuk menyerapnya kembali
Untuk diri sendiri

Kau,
Mati dan lahir lagi,
Bukan sebagai isteri,
Namun seutuhnya sebagai wanita yang mengayomi
Sampai akhirnya kematian itu berdiri di depan pintu
Untuk menjemputmu lagi

Disaat kau duduk dan melihat pandangan puluhan manusia
Yang seakan-akan mengatakan,
“Berpandailah dengan urusan dapur.”
Mereka dengan bodohnya menutup mata kepada fakta

Bahwa sekarang, kau adalah busur
Yang dengan senantiasa akan mengarahkan kemana anak-anak panahmu melaju
Kau, bertulang rusuk dan adalah tulang rusuk
Bukan tulang rusuk dari lanangmu,
Namun dari rumah segala rumah

Disaat insan keci itu menangis lahir,
Disitulah Tuhan dengan segala kuasa-Nya menyemukakanmu
Dengan kelahiran yang absolut.
Mutlak. Nyata. Tanpa majas atau embel-embel.

Kau, bukan hanya wanita bersusu yang menyusui;
Walau serapanmu terhadap puji-kejinya kehidupan
Akan juga diserap oleh ‘anak panah’ mu
Melalui air susu dan tutur katamu

Disaat kau melahirkan anak manusia,
Tentunya tanpa tanda tanya,
Kau betul-betul
Lahir kembali."
Safira Azizah Sep 2019
Kini kamu bukan hanya
berdiri di atas kaki sendiri
Melampauinya-
kamu berani berdiri
di atas permukaan laut
yang hitam dan muram

Menyelaminya dalam-dalam
tersedak-sedak air asin
mendesak-desak ruang
dengan gelagat cemas
sambil menderit-derit
seperti mesin berdesing

Dan aku bangga
melihat mu mampu
bahkan mulai menantang
batas-batas ruang dalam waktu
yang berkelebatan

Maka terbanglah, kawan ku!

Terbanglah--
karena luas laut tak mampu
membendung derai hasratmu
Terbanglah jauh
karena dunia taksabar menantimu

Terbanglah dan lupakan
lautan itu

Lautan yang selalu kau kutuk: Sialan
bila malam datang dan pagi
enggan kau jumpai
Maka lupakan ia
lalu

Terbanglah
sekarang
juga!
Coco Aug 2019
Tiiin. Lalu lalang kendaraan
Aku masih disini berdiri, dengannya
Apa aku menunggu sepi? Tidak
Aku juga tidak tau sedang apa. Haha

Tiba tiba kulitku tersengat
Bukan. Bukan terkena listrik
Ia memegang tanganku dan menarikku
Mengikutinya
Kami melangkah menyusuri jalanan
Tiba tiba, dia melepas tanganku
Dia terlihat.....kaget?
Dia kaget, bagaimana denganku?
Haha lucu sekali dia ini
Aku jadi suka


Tapi, tunggu....
Ini aneh
Tanganku yang ditariknya,
Namun mengapa seakan seluruh pusat perhatian ku yang ditariknya?
Sengaja ya?
Dia ini haus akan perhatian ya?
Bilang saja padaku, biar aku perhatikan hehe
Im back. Xoxo
NURUL AMALIA Aug 2017
Lihat..
Kamu hanya berdiri seorang sendiri
Tak takut dan tetap berani
Bahkan api merah itupun melelehkanmu
Angin menyentuhmu dengan lembut
Tapi itu akan membunuhmu
Namun kau masih bahagia
Kau menerimanya dengan senang hati
memutuskan dengan percaya dirimu
Memberikan cahaya di tempat yang gelap dan dingin
Kamu rela dibakar habis
Meskipun kamu sudah tahu bahwa kamu ..
Tidak akan mendapatkan apapun, mungkin hanya sakit yang kau dapat
Bahkan kamu tau akan dilupakan dan lenyap
Tapi ini adalah pilihanmu
Ingin tetap diam atau bertindak
Memberikan cahaya ajaib pada kegelapan ..
Afeksi cita May 2023
Katanya, tak baik untuk memendam
Tetapi, tak semua rasa mudah memadam
Katanya, janganlah selalu dipendam
Nyatanya, tak semua cakap bisa meredam

Mereka, bisa menuntut
Tetapi, haruskah hati selalu menurut?
Mereka,  bisa bertindak sebagai penuntut
Tetapi, rasanya.. jiwa tak perlu selalu berlutut

Ada masa.. untuk menarik diri
Untuk bersimpuh, dan memberi diri afeksi
Ada masa... untuk menangis, memendam semua emosi
Untuk menyadari semua hanya proses menjadi asri

Terima kasih, sudah selalu kuat
Berdiri dan menjalani semua walau terasa berat
Terima kasih, sudah selalu kuat
Untuk kamu, yang terhebat..

— The End —