Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Bintun Nahl 1453 Jan 2015
Senja djakarta enam belas januari dua ribu lima belas . di hadapan leptop , aku merangkai kata demi kata untuk menghasilkan sebuah karya yang indah . ku tatapi sekelilingku ... benda mati , sepi, lengang ... andai printer yang disampingku itu berbicara... gunting itu berkata, dan pulpen ini berteriak , akan aku ceritakan sebuah kisah klasik ini di hadapan benda-benda itu . entah apa yang aku rasakan saat ini . abstark sepertinya . aku pernah berangan-angan menikmati teh rosela bersama bapakku didalam dekapan senja hangat mengantarkan mentari itu pulang  , dalam dekapan . bapak yang aku rindukan kasih sayangnya melebihi apapun di dunia ini . Maafkan aku mama, aku tidak pernah serindu ini kepada bapakku . tapi percayalah , kedudukanmu dihatiku selalu ku prioritaskan bak malaikat yang selalu menjagaku setiap hari . Mama... bisakah engkau wakilkan rasa ini kepada bapakku , bahwa aku ingin mencium tangannya . kemudian ia tersenyum merasakan hangat cinta anakknya .

rasa apa yg lebih berarti daripada menahan rindu ini , menahan rindu akan sosok bapakku yang genap 8 tahun sudah tidak pernah menyapaku lagi . aku tidak ingin mengingatnya dengan kenangan buruk , tetapi aku akan mencoba menguburnya ,dan ini lah saatnya aku menjadi pribadi yang berubah .

bapak, tahukah engkau pak , aku sudah beranjak dewasa, dr dewasa itu aku menemukan siapa diriku sebenarnya . sadar bahwa aku bukanllah apa-apa tanpamu pak . sadara bahwa aku di dunia ini karena mu dan ibu . maafkan aku yang tidak pernah mendegarkanmu .

Senja ... saksikanlah bahwa aku ingin sekali bapak duduk di pelaminan bersama ibu , dan aku berada tepat di bawah kakiknya . sembah sungkem merestui pernikahanku bersama pria yang dikirimkan ALLAH untukku .
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
Aridea P Oct 2011
Palembang, 22 Juni 2011

Api itu hampir merajai waktu
Merenggut harta benda tanpa ampun
Mangarang tubuh yang sesepuh
Duduk pun terdiam di kursi besi butut

Kekuatan api bagai Sang Supernova
Membumbung tinggi tak ada yang terjaga
Meletup-letup bagai haus dan lapar
Tinggallah hamparan abu di senja tiba

Sebelum fajar menyingsing indah
Berisik di tengah jalan sirine mengulang
Langkah kaki mondar-mandir yang tentu arah
Bergotong royong pun dengan peluh dan baju basah

Ku duduk terdiam terpaku
Setengah melamun di sebelum senja muncul
Ku tersadar pun di tengah padam lampu
Dan ku lihat Monalisa tersenyum pada ku

Ku duduk bersimpuh di kaki
Menunduk dan berharap ini hanya mimpi
Dan aku bangkit tuk lihat situasi
Ku dengar mayat rapuh bagai tiada arti lagi

Tak mampu tumpah air mata
Hanya tubuh kaku mati rasa
Pikiran yang ingin selalu waspada
Mental ini rapuh butuh udara

Abu terasa di mana-mana
Terinjak, menyatu dengan tanah
Menutup mata kini selaalu terjaga
Menjaga hari tanpa Supernova

9 Juni penuh cerita
Di bawah tangisan dan panikan
Wanita memasak dan menjaga anak
Pria bahu membahu membangun rumah
elea Mar 2016
Mahal.
Paulit ulit na binibigkas ng mga labing di napapagod sa pag satsat.
Mga labing hindi nagsasawang ikaw ay halikan.
Halikan ang bawat sugat sa puso mo na matagal ng tinatago ng benda.

Mahal.
Saan man tayo umabot, saan man tayo matapos, kahit na mapudpod ang swelas ng ating mga sapatos.

Mahal,
Patuloy kitang mamahalin.
Huminto man tayo.
Sabi nga nila Normal naman ang mapagod.
Magkasabay man o hindi. May mauna o mahuli.
Patuloy nating aakyatin ang tugatok ng mundo.  
Ang mundong iniiukutan ng mga puso nating patuloy tayong pinag tatagpo.

Mahal.
Humihingi ako ng pabor.
Hawakan mo ako.
Higpitan ang kapit sa aking mga braso.
Wag mo ako hayaang makatakbo.
Dahil darating ang araw na bigla nalang luluwag ang iyong kapit.
At hindi ko mapapansin na mag isa nalang akong nag lalakbay papunta sa hangganan ng ating pagmamahalan.

Mahal,
Hindi man ito ang tamang panahon.
Sinusubok man tayo ng kalupitan ng mundo.

Mahal,
Balikan mo ako.
Ibalik mo ako sa higpit ng yakap mo.
Ibalik mo ako sa mga inosenteng halik ng iyong labi.
Ibalik mo ako.
Ibalik mo ako sa pag kakakulong sa iyong puso.

Mahal,
Mahirapan ka man.
Nakikiusap ako.
Mahalin mo akong muli.
#tagalog #mahal #tula.   -pbwf-
Pakiusap mahal wag kang bibitaw.
Aridea P Oct 2012
Palembang, 21 Oktober 2012

Aku berjalan,
menyusuri lorong gelap dan dingin
Menatap lurus pada satu tujuan
Pintu berukiran abstrak
Tanpa kunci aku bisa masuk dengan mudahnya
Tanpa kode aku lolos dari tes keamanan

Aku terus berjalan,
menapaki lantai yang lembap
Menuju suatu benda tinggi besar yang datar

Aku berhenti.

Berdiam diri cukup lama
Terpaku tanpa mampu berkata

Aku berdiri di depan cermin
Aku melihat diriku
Lihat Dia!
Dialah aku yang haus akan cinta
Dialah aku yang menadah kasih sayang
Aku berlutut dan meminta
Bawa dia ke sini Tuhan
Ke hatiku

Aku masih terdiam terpaku
Menyaksikan apa yang ada di hadapanku
Berpikir, betapa bodohnya aku
Aku berbalik tanpa berkata sepatah pun
Dan pergi meninggalkan aku yang masih terperangkap di cermin itu

Masih bisa kuubah, ucapku pada diriku
Takkan ku biarkan penderitaan menyentuh hidupku,
sedikitpun
Aku akan berbalik dan melupakan semua
Melanjutkan perjalanan hingga tugasku usai
Aridea P Nov 2011
Palembang, 25 Juli 2011

Ketika kita sangat mencintai seseorang,
kita akan melakukan apa saja untuk dia.

Ketika kita tak bisa bertemu orang yang kita cinta,
rasanya sedih sekali hati kecil kita.

Ketika yang kita miliki terluka atau diambil orang lain,
pasti kita akan merasa sangat marah.

Ketika orang-orang yang kita cintai sedih,
kita pasti ikut menangis.

Ini bukan tentang mencintai satu orang saja.
Tetapi semua orang dan benda juga.
Perasaan itu hanya bisa dirasakan oleh orang yang memahami arti cinta sesungguhnya
dan orang yang mencoba mengerti arti hidup sebenarnya
Aridea P Nov 2011
Palembang, 8 September 2011

Dia adalah..
yang mampu membersihkan fikiranku,
membuatku tertidur di malam hari,
menemaniku hingga pagi.

Dia adalah..
yang berharga dari benda apapun,
sangat suci dan terang,
sumber hidup yang bermakna.

Dia adalah..
penerang jalan selamanya,
takkan pernah berubah,
terkadang dilupakan.

Dia adalah kitab milik Nabi ku Muhammad,
yang abadi,
indah,
warisan paling mulia.

Dia adalah Al-Qur'an,
hal yang selalu ku baca sebelum tidur,
ayat yang selalu bku ulang setiap sholat,
nilai yang selalu ku aplikasikan di dalam kehidupan.

Aku cinta Al-Qur'an.
Fahali Machi Mar 2012
ia telah berusaha menjadi sesuatu yang berguna bagi orang-orang terdekatnya

ia membasuh kepalanya yang penuh dengan keringat dan menuangkannya di sebuah mangkuk, dan ia menyuruh orang yang ia sayangi untuk meminumnya

ia meminum air kebahagiaan, sebuah benda cair yang sangat ia tunggu.

ia kembali pergi untuk melakukan tugasnya menemukan logika dan akal pikiran.

ia akhirnya temukan di tengah lautan. ia lepaskan jangkarnya kedalam air. ia melompat dari perahu kecilnya, menyelam ke dalam lautan jiwa.

dari jauh ia temukan sebuah cahaya kecil. cahaya tersebut tersenyum. ia yang bersemangat berenang semakin cepat. hingga akhirnya ia temukan logika dan akal pikirannya hanya sebuah….


cinta.
D Mar 2019
Bapak, aku ingin pulang

Aku rindu dengan rumah atau ide akan rumah

Tapi kau telah mempunyainya.

Aku rindu disambut harum masakan buah tangan sang Ibu

Tapi kau tak pernah menyicipinya, Ibu tak bisa masak.

Aku rindu berduduk diatas kursi kayu yang terletak di ruang makan

Tapi kau bahkan tak pernah melakukannya. Kau, tak pernah makan.

Aku rindu akan ruang sesak penuh sayang

Akan kentalnya keakraban yang melekat di dinding-dinding bisu;
yang dalam diam mendengar isak tangis setiap manusia yang menjajalkan diri dalam rumah ini

Akan hangatnya cinta kasih yang tergurat diantara bisingnya suara televisi yang kau nyalakan setiap Minggu jam tujuh pagi dan gaduhnya percakapan seorang diri yang terproyeksi dalam tiap benak manusia, lagi-lagi, dirumah ini.

Kau tak akan menemukannya disana

Aku dan Ibumu ini hanyalah tamu

Kau adalah rumahmu

Tapi kau adalah bukan tempat singgah

Badanmu bak ruang luas tak terbatas

Tamu-tamu tak bisa lalu-lalang melalui satu pintu saja

Banyak pintu-pintu lain didalamnya namun tak terbuka

Ribuan pintu tersebut tertutup adanya

Terkunci dengan rapat

Namun kuncinya telah kau telan  

Dibalik pintu itu,

Lagi-lagi ribuan misteri

Teka-teki tentang dirimu yang tersimpan dalam boks berbagai macam ukuran

Tersimpan terlalu aman


Jiwamu adalah fondasi

Kebaikanmu harum masakan yang mengundang setiap orang

Keingintahuanmu benda mahal; memikat tamu untuk ingin bertualang ke setiap ruang

Kenekatanmu—sisi Sang Pembangkang yang kusayang—menantang mereka untuk tinggal lebih lama

Empatimu alunan musik yang menyodorkan kenyamanan

Namun parasmu, anakku sayang,

Matras termahal yang membuat mereka ingin menginap

Hati-hati dalam memberi izin

Jaga rumahmu

Bersihkan

Bagiku Istana terbesar di Dunia tak ada nilainya jika disandingkan dengan Rumah yang kau punya.
Diadema L Amadea Dec 2018
ini ceritanya jejak si bucin



'dasar bucin !'
'mau mauan aja, bucin !'
'jangan bucin kenapasih !'


salah menyampaikan sayang ?
salah menyuarakan cinta ?
salah mengekspresikan kasih ?

itu semua salah ?
terlebih terhadap pasangan
sana sini memandang, bucin
kenapa ?
berlebihan ?
ya. demi botol nestle kemarin
mungkin berlebihan tapi tidak juga

apakah lebih baik pistol dan pisau daripada bunga dan pita ?

iya saya juga bingung
bucin dianggap remeh
seperti benda yang harus dilepeh

ada apa si dengan bucin ?
makhluk hidup yang mengekspresikan rasanya kan ?

ah tidak tau
tapi semenjak aku bertemu dia
aku tidak apa disebut bucin
karena membuat lengkung di bibirnya
salah satu pencapaian

sudah ya,
pokok pikirannya tidak dapat.
sudah pusing.
hahaha.

salam bucin !
dapat disimpulkan bucin bisa menggantikan kata kata kebon binatang kala kita ingin mengumpat, lebih hina ternyata mas mba.

ckckck
Yulia Surya Dewi Mar 2018
Bangsa pribumi di era modern
Memaksa batin untuk jadi keren
Sudah lewat aku di zaman batu
Ku langkahkan kaki di zaman baru
Aku tidak tahu cara naik bus
Yang aku tahu adalah kursi bertikus

Oh jarak..
Jarak yang membuatku berpisah
Aku rindu suasana desa yang indah

Oh jarak..
Sampai kapankah aku gelisah
Aku gundah tidak tahu arah

Oh jarak..
Selamatkanlah aku
Selamatkan aku dari rasa putus asa

Aku takut..
Aku takut pada gedung besi berasap
Aku takut pada mesin yang berjalan
Aku takut pada benda panjang beruap

Siapakah aku disini?
Siapapun tolong bantu aku
Siapapun keluarkan aku dari sini
Siapapun tuntunlah aku

Oh Tuhanku..
Berikanlah Petunjuk-Mu
Tidak ada yang lain selain Diri-Mu
Aku disini hanya pencari Ridho-Mu


-Kediri, 19 Maret 2018-
Gwilled Cheese Sep 2018
Gonna carry out the feministic agenda
Gonna live, laugh and love lasagna
Gonna save the earth from the ocean
Gonna let the boys show some kinda emotion
Ravioli, yo, that pasta is tenda
Now what should I call ya, Genda benda?
look mum im a poet
Arlene Corwin Apr 2019
Benda Starr reporting in with the latest news!

        Finally, A Black Hole Captured

— The End —