Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Aridea P Oct 2011
Sabtu, 14 Agustus 2010

Sekarang jam 1.21 pagi
Ku masih di ruang TV yang sekaligus dapur
Ku duduk di kursi meja makan
Masih tak mau tertutup mata ini
Ku membaca, membahas soal
Sendiri...
Terdengar suara-suara aneh
Kicauan burung, gemuruh atap
Cat cit cut tikus
Suasana, uh, terasa seram

Tapi aku tak peduli
Karena bulan ini adalah Ramadhan
Tak mungkin ada yang terlepas
Namun, kapan aku bisa terlelap?


Created by. Aridea .P
langit b Jan 2016
jangan amuk datang di sela hening, hujan
resah masih melaut di tengah jalan
jangan angin bisikkan hina, hujan
pijak hawa kenyang makan terpaan
burung tak bisa terbang jadi makanan hewan
atap masjid berhamburan masih kumandang azan
jangan rintik sendiri di atas pasang
cari sampai gersang tak dapat sayang
deras tepi jalan teduh sendiri
linang sampai malam ditinggal mati
Aridea P Mar 2017
Palembang, 27 Maret 2017

Hari ini aku tak ingin berhenti menulis
Bagiku menulis itu sangat berarti
Aku bisa mencurahkan isi pikiranku tanpa aku harus berucap
Ucapanku terkadang tak didengar orang, kau tahu?
AH, bukan!
Ucapanku bahkan tak pernah didengar orang
Aku hanya batu, yang hanya dilangkahi orang setiap kali berjalan

Hari ini mentari bersembunyi di balik awan mendung
Namun panas teriknya masih bisa ku rasakan dikulitku
Aku hanya bisa berteduh di bawah atap kamarku
Padahal jiwa ini ingin sekali menari di bawah mentari
Padahal kaki ini ingin sekali tenggelam di pasir pantai yang kasar
Ingin sekali rasanya membawa diri ini ke air laut biru nan luas
Aku ingin sekali mengapung di air garam yang bening
Namun yang kulakukan hanya mengetik tulisan tak berarti

Hujan mulai turun
Apa daya aku hanya bisa menunggu
Aku terkurung di dalam dunia sendiri
AKu belum berani tuk berkelana sendiri
Favian Wiratno Sep 2018
Jawa Barat, Malam ke-22.

Diantara sela sela dini hari;
Diantara lantai kayu, atap lapuk, dan dinding rotan,
Aku merindukanmu.
Andika Putra Jul 2019
Matanya yang kalap di kotak

menghampas debur debu dari atap ke puncak dahan. Menutup temaram lampion.

Berusaha menampik getar di dada yang telanjang. Itu-kini

sampai kesekian lintas kelokan. Terlewati.

Enam uang logam terbuai lendir lintah saat kududuki kursi tak ubahnya senjakala & engkau sadar. Berdiam & terus bungkam

menunggu henti nyanyian puan nun sumbang

berkaca daku yang terpasung, itu di abu

letupan yang mencandu hujam asam &

melulu jadi bisu-kita. Di renda setengah tertutup/ semua orang sudah tahu.

Perihal hening yang memang tak pernah membuah harap.


Hilangnya alkisah kemuning pala kambing yang enggan memerah.
Walau bertumpu akan cita dalam almanak musnah-karam

/ tiada henti di jaga oleh wajah-wajah muram;

di garis vertikal

di persegi dua dimensi/ hitam

pun segitiga/ jajar genjang

& semut kita mengerubung oval. Seraya penonton menyilang dua lengan di dada

di lingkar rafia sementara ini semakin terasa di Kursi. Meja. Cangkir. Jendela. Cat. Kuas & Tv. Lentera. Buku. Radio. Senter

/beringin di jiwa.
Penunggang badai Feb 2021
Kuingat, waktu itu aku membawamu ke sebuah kedai. Sebuah tempat yang hari lalu pernah kujanjikan padamu. Dengan motor tua peninggalan ayahku, aku merasa bangga. Dengan kau di jok belakang, malu-malu mendekap badanku erat, kita melaju tanpa banyak bicara melintasi jalanan kota.

Sesampainya kita, aku menoleh kesana-kemari mencari tempat yang pas. Tempat yang khidmat untuk kita menunaikan ibadah temu, setelah lama menjalankan puasa rindu.

Masih seperti biasanya, tanpa memandang situasi bagaimanapun, kita tetap saja seperti biasa: tidak banyak mengobrol. Hanya tersenyum, basa-basi (aku dengan pernyataan pamungkas bahwa "rambutmu cantik hari ini", dan "jangan memujiku terus" adalah andalanmu ketika malu) , tersenyum lagi dan salah tingkah sejadinya. Begitu kikuk kita di waktu itu.

Kita begitu seadanya. Saling berhadapan, saling menggenggam tangan meski canggung. Kutengok dari balik jendela, hujan perlahan jatuh membasahi seisi bumi. Tentu kedai tempat kita juga. Kulihat ramai manusia mulai bergegas dan menepi menghindari tumpah ruah sang hujan.

Rinainya mulai melantun tak beraturan di jalanan, di atap kedai, di jok motorku dan di hati kita berdua. Sambil memandang keluar, aku yakin kau merefleksikan hal yang sama dengan apa yang ada dipikiranku. Bahwa keping ingatan masa lalu mulai berpendar, berputar dalam kepala. Yang mungkin selalu berusaha kita lupa.

Satu hal yang benar, bahwa hujan dengan begitu saja telah menjadi bagian dari identitas kita berdua. Kutipan bahwa hujan turun selalu membawa kenangan, bagiku sesekali benar. Dan diantara kau dan aku, memiliki kisah yang dianggap kelam.

Kita adalah dua manusia yang hatinya pernah patah dan kecewa, lalu dipertemukan dengan cara yang begitu acak oleh semesta. Atau, entahlah. Aku hanya yakin begitu. Mungkin buku-buku Fiersa Besari banyak mempengaruhi caraku berpikir soal ini.

Ditemani lagu-lagu dari Dialog Dini Hari, dan dinginnya suasana kedai sebab hujan yang menggerayangi, semakin menambah kesan romansa terlebih kopi pesanan kita datang menghampiri.

Masih ditengah hujan yang mulai menjinak, aku mengingatkanmu soal buku bacaan yang telah kita sepakati sebelumnya saat masih hendak merencanakan via telepon. Ya, benar, tujuan utamaku adalah mengajakmu menikmati buku bersama. Untukku, Ini kali pertama. Semoga saja engkau suka.

Dan hujan, adalah diluar dari rencana. Aku tersadar, bahwa ia membantuku banyak kali ini. Untuk memeluk hatimu kian erat, untuk menghempas keluh-kesahmu jauh tak terlihat.

Kita mulai mengeluarkan bacaan. Dari ranselku, dari tas jinjingmu.

Aku dengan Tan Malaka, kau dengan Boy Candra. Begitu kontras, namun kutau bahwa ada bahagia dengan harta yang masing-masing kita miliki itu. Yang bahwa kita membacanya karena terpana dengan mantra disetiap kata-katanya—atau juga karena pemikiran kritis yang disulap menjadi sebuah goresan pena pada setumpuk kertas oleh sang aditokoh. Kagum dengan warisannya—dalam tulisan, mereka benar-benar kekal selamanya—dalam ingatan.

Kita tenggelam jauh kedalamnya, jauh kedalam setiap paragrafnya. Mata kita beradu sesekali saat fokus tergoyah, saling melempar senyum karenanya. Lalu pada satu waktu, kita mulai menutup buku, mengartikan temu, menyempurnakan rasa hingga waktu tenggelam berlalu.

Berlalu... Benar, semuanya berlalu sejalan dengan gerak sang waktu. Tak terkecuali kita didalamnya.

Aku menyayangimu, sebagaimana keberlakuanku pada buku. Aku merindumu, sebagaimana bumi merindukan hujan. Dan episode-nya bagiku selalu saja menyajikan wangi yang sama, sebagaimana wangi petrichor yang tersisa, dari rinai yang pergi meninggalkan bentala.

Kita menjadi "pernah", lalu lestari selamanya.
Amira I Jun 2020
Jemariku bergetar saat menuangkan isi hati dan kepalaku kali ini.
Entah sudah berapa purnama ku lewatkan tanpa berada di bawah atap yang sama denganmu.
Bertukar suara via telepon genggam —yang hanya secuil dibanding dengan waktu duapuluh empat jam— pun ku sudah lupa rasanya.
Namun satu hal yang pasti, bagian darimu akan selalu jadi bagian dariku.
Akan ku bawa sampai ke ujung waktu.
Mungkin aku akan pergi lebih dulu, atau mungkin engkau? Tak ada yang tahu.
Semoga Tuhan tetap melindungi, di mana pun kau berada sampai nantinya kita akan bertemu kembali.

“Namamu jadi rahasia, dalam diam kan ku bawa; mendarah.”
–Mendarah, Nadin Amizah
Terinspirasi dari lagu Nadin Amizah berjudul Mendarah.
a Jun 2020
agar jelas langkahmu
bahkan sadar saat kau meragu
agar lepas dahagamu
terkadang, surya terlalu bersemangat
angin dan air, yang bukan se-atap
namun giat memuaskan
aku ingin, sungguh

— The End —