Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member

Members

The Thaumaturge
the 7th circle    don't trust birds.
Marshal Matura
Zimbabwe    Actions > Words...

Poems

Noandy  Jan 2017
Gandrung
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
Dorset! whose early steps with mine have stray’d,
Exploring every path of Ida’s glade;
Whom, still, affection taught me to defend,
And made me less a tyrant than a friend,
Though the harsh custom of our youthful band
Bade thee obey, and gave me to command;
Thee, on whose head a few short years will shower
The gift of riches, and the pride of power;
E’en now a name illustrious is thine own,
Renown’d in rank, not far beneath the throne.
Yet, Dorset, let not this ****** thy soul
To shun fair science, or evade controul;
Though passive tutors, fearful to dispraise
The titled child, whose future breath may raise,
View ducal errors with indulgent eyes,
And wink at faults they tremble to chastise.
When youthful parasites, who bend the knee
To wealth, their golden idol, not to thee,—
And even in simple boyhood’s opening dawn
Some slaves are found to flatter and to fawn,—
When these declare, “that pomp alone should wait
On one by birth predestin’d to be great;
That books were only meant for drudging fools,
That gallant spirits scorn the common rules;”
Believe them not,—they point the path to shame,
And seek to blast the honours of thy name:
Turn to the few in Ida’s early throng,
Whose souls disdain not to condemn the wrong;
Or if, amidst the comrades of thy youth,
None dare to raise the sterner voice of truth,
Ask thine own heart—’twill bid thee, boy, forbear!
For well I know that virtue lingers there.

Yes! I have mark’d thee many a passing day,
But now new scenes invite me far away;
Yes! I have mark’d within that generous mind
A soul, if well matur’d, to bless mankind;
Ah! though myself, by nature haughty, wild,
Whom Indiscretion hail’d her favourite child;
Though every error stamps me for her own,
And dooms my fall, I fain would fall alone;
Though my proud heart no precept, now, can tame,
I love the virtues which I cannot claim.

’Tis not enough, with other sons of power,
To gleam the lambent meteor of an hour;
To swell some peerage page in feeble pride,
With long-drawn names that grace no page beside;
Then share with titled crowds the common lot—
In life just gaz’d at, in the grave forgot;
While nought divides thee from the ****** dead,
Except the dull cold stone that hides thy head,
The mouldering ’scutcheon, or the Herald’s roll,
That well-emblazon’d but neglected scroll,
Where Lords, unhonour’d, in the tomb may find
One spot, to leave a worthless name behind.
There sleep, unnotic’d as the gloomy vaults
That veil their dust, their follies, and their faults,
A race, with old armorial lists o’erspread,
In records destin’d never to be read.
Fain would I view thee, with prophetic eyes,
Exalted more among the good and wise;
A glorious and a long career pursue,
As first in Rank, the first in Talent too:
Spurn every vice, each little meanness shun;
Not Fortune’s minion, but her noblest son.
  Turn to the annals of a former day;
Bright are the deeds thine earlier Sires display;
One, though a courtier, lived a man of worth,
And call’d, proud boast! the British drama forth.
Another view! not less renown’d for Wit;
Alike for courts, and camps, or senates fit;
Bold in the field, and favour’d by the Nine;
In every splendid part ordain’d to shine;
Far, far distinguished from the glittering throng,
The pride of Princes, and the boast of Song.
Such were thy Fathers; thus preserve their name,
Not heir to titles only, but to Fame.
The hour draws nigh, a few brief days will close,
To me, this little scene of joys and woes;
Each knell of Time now warns me to resign
Shades where Hope, Peace, and Friendship all were mine:
Hope, that could vary like the rainbow’s hue,
And gild their pinions, as the moments flew;
Peace, that reflection never frown’d away,
By dreams of ill to cloud some future day;
Friendship, whose truth let Childhood only tell;
Alas! they love not long, who love so well.

To these adieu! nor let me linger o’er
Scenes hail’d, as exiles hail their native shore,
Receding slowly, through the dark-blue deep,
Beheld by eyes that mourn, yet cannot weep.

  Dorset, farewell! I will not ask one part
Of sad remembrance in so young a heart;
The coming morrow from thy youthful mind
Will sweep my name, nor leave a trace behind.
And, yet, perhaps, in some maturer year,
Since chance has thrown us in the self-same sphere,
Since the same senate, nay, the same debate,
May one day claim our suffrage for the state,
We hence may meet, and pass each other by
With faint regard, or cold and distant eye.
For me, in future, neither friend nor foe,
A stranger to thyself, thy weal or woe—
With thee no more again I hope to trace
The recollection of our early race;
No more, as once, in social hours rejoice,
Or hear, unless in crowds, thy well-known voice;
Still, if the wishes of a heart untaught
To veil those feelings, which, perchance, it ought,
If these,—but let me cease the lengthen’d strain,—
Oh! if these wishes are not breath’d in vain,
The Guardian Seraph who directs thy fate
Will leave thee glorious, as he found thee great.
Brock Kawana Sep 2013
"Asisstant!", I shouted.
"Yes, sire?", he bellowed.
"Read me the list on the Maturation Process!"
"Ah, I got it right here sire! Right here. Uh, let's see:
Lotion, rub...repeat..."
"Uhh..Assistant, that is the..umm, the wrong---the wrong list. I do believe."
"Oh, oh you said Matur--a--tion.
Under his  breath, "You think a king would need a list for every fraggle thing he does hmphh."
"Asisstant! I do not have all day!"
"Oh, got it sire! I got it right here!"
"Go ahead, read what it says..."

"Ah, hem:
Phase one...
When you are born, you are pure....
"No, no no. Read it how Grandpapa used to read it."
"Ahhh, ahhh, hem:

WHEN YOU ARE BORN, YOU ARE PURE.
The world expects nothing from you,
but your loved ones expect you to be everything.
The cruel trick that nobody tells you:
Only you can decide what you are going to be.
There is no fate without action.
Reaction.
There is no action without desire.
The fire.
There is no desire without love.
Your heart.

Phase two:
You learn appreciation.
Eloquently our superiors call it, "manners".
Manners are what matters most to Man and Her's.
A thank you can change a day.
A helping hand can change a life.
A laugh can lead to a life of love.
It all resides within:
Your heart.

Phase three:
Accepting the cruel world.
Not everyone is the same.  
Not everyone shares.
Not everyone has morale.
Not everyone shares morals.
Ethics, are never prosthetic.
So perfect, your own perfection.
Be you:
For it can be found in your heart.

Phase four:
Ignorance.
We forget what we were taught.
What is this?
We become narcissists,
obsessed with the world around us and how we fit in.
A mix of sarcasim and *******.
Everything is a joke yet all we can think of is ***.
*** without meaning: The best joke of all.

Phase five:
We lie to ourselves.
We forget what our inner-child wanted.
We tell ourselves that this is the correct thing to do,
we are judged on this stick with others surrounded by us.
We create our own manifestation of unruly day in and day out boredom.
We have to listen:
Listen to our hearts saying,
Don't. Don't do this.
Live your dreams.

Phase six:
Accepting of our own death.
We build a life.
Follow a format.
Do this, at this time with this person to be this at this point and so on.
However, if we forget to live: we die.
We must accept the fact that we all will die eventually.
That way we can choose to live.
You will never actually die,
if you open your heart.
For a heart can pass on from person to person.

"Ah, very good asisstant."
"Thank you sire..."
"Now, you're free to go.  Go and live your dreams."

And, as the King sat in his throne.  
The good Asisstant shoved him off the throne and sat in his place.  
They both laughed until they were on the golden tile floor laughing harder and harder...