Setetes, dua tetes, tiga tetes, empat tetes Air hujan akhirnya kembali pulang ke kampung halamannya Ke tanah kering, Berisi hamparan debu dan keluhan para penghuni kota yang melebur jadi satu Melagu, menyelimuti atmosfer kota yang dihinggapi kebosanan dan ketergesaan Kemajemukan dan kesamaan-kesamaan Kebebasan dan keterbatasan Kesempatan dan hambatan-hambatan
Jalan panjang menuju rumah Dihuni sepi, tetesan hujan di jendela bus, dan pikiran-pikiran tak lumrah Trotoar basah dan langit gelap Berhenti di satu halte, Seorang laki-laki berkemeja kotak-kotak datang menghampiri
Tanyanya, “Hai, di sini kosong?”
Perempuan itu diam, mengangguk. “Kosong.”
Laki-laki itu duduk di sebelahnya, memangku tas ransel hitam, dan bertanya lagi, “Tahu kenapa langit tiba-tiba menangis?”
Perempuan itu menggeleng. “Kenapa?”
Laki-laki itu bicara lagi, mendekatkan kepalanya, “Karena langit sedang mencari rumahnya yang lama hilang.”
Tepat saat itu, Si perempuan tersadar, Terlalu lama ia tenggelam, Dalam percakapan yang hanya hidup di ruang imajinasinya.