Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
Noandy Jan 2017
Sebuah cerita pendek*

Saat itu mereka sering menonton Mak Lampir di televisi, dan mulai memanggil wanita yang merupakan nenek kandungnya dengan nama yang sama.

Nenek itu punya nama, dan jelas namanya bukan Lampir. Tapi apa pedulinya anak-anak itu dengan nama aslinya? Mereka tak pernah mendengar nama nenek disebut. Mereka sendiri yatim-piatu, dan dahulu, orangtuanya tak pernah mengajarkan nama nenek mereka. Tapi begitu melihat Mak Lampir di teve, mereka langsung mendapat ide untuk memanggil nenek sebagai Mak Lampir. Rambutnya nenek putih panjang dan tiap malam dibiarkan terurai, ia sedikit bungkuk dengan kedua tangan yang terlihat begitu kuat dan cekatan. Matanya senantiasa melotot—bukan karena suka marah, tapi memang bentuknya seperti itu. Yang terbaik dari nenek, meski giginya menghitam sudah, nenek selalu berbau harum karena suka meramu minyak wanginya sendiri. Mereka tidak takut melihat Mak Lampir—mereka justru kagum karena sosok itu mengingatkan pada nenek yang selalu menjaga mereka.

Si nenek sama sekali tidak keberatan dengan julukan itu, ia malah merasa nyaman. Disebut sebagai Mak Lampir membuatnya merasa seperti orang tua yang sakti, hebat, dan serba bisa. Nenek adalah Mak Lampir baik hati yang selalu mengabulkan permohonan cucu-cucunya, serta memberi mereka wejangan. Jenar dan Narsih sayang dan berbakti pada nenek. Nenek—yang sekarang berubah panggilan menjadi Mak—adalah dunia mereka. Dua gadis itu dapat menghapal tiap lekuk pada keriput Mak, menebak-nebak warna baju apa yang akan dipakai Mak pada hari mendung, bahkan mereka ingat betul kapan saja uban-uban Mak mulai bermunculan.

Mak awalnya tidak menyukai, bahkan hampir membenci, dua anak gadis yang harus diurusinya. Ia terlalu tua untuk melakukan hal ini lagi. Wanita  yang sudah tak ingat dan tak ingin menghitung usianya lebih memilih kembang-kembang di taman ketimbang Jenar dan Narsih.  Mak lebih memilih segala tanaman yang ada di rumah kaca sederhananya ketimbang dua cucunya.

Tapi saat sedang menyirami bunga matahari dan membiarkan Jenar serta Narsih bergulingan tertutup tanah basah, Mak merasa seolah ada yang membisikinya, “Sama-sama dari tanah, sama-sama tumbuh besar. Dari tanah, untuk tanah, kembali ke tanah.” Wangsit itu langsung membawa matanya yang sudah sedikit rabun namun tetap nyalang pada sosok dua cucunya yang sudah tak karu-karuan, menghitam karena tanah.

Sejak saat itulah Mak menganggap Jenar dan Narsih sebagai kembang. Sebagai kembang. Sebagai kembang dan seperti kembang yang ia tanam dan kelak akan tumbuh cantik nan indah. Harum, subur, anggun, lebur. Perlahan Mak mulai meninggalkan kebun dan rumah kacanya, perhatiannya ia curahkan untuk Jenar dan Narsih, yang namanya Mak singkat sebagai Jenarsih saat ingin memanggil keduanya sekaligus. Jenarsih dijahitkannya baju-baju berwarna, diberi makanan sayur-mayur yang sehat, diajarkannya meramu minyak wangi, bahkan diberi minum jamu secara terjadwal sebagaimana Mak menyirami bunga.

Kebun Mak perlahan-lahan melayu dan makin sayu. Saat matahari mengintip, tidak ada bebunga yang tergoda untuk mekar. Semuanya redup dan meredup, mentari pun meredup pula di kebun Mak. Karena sirnanya kembang dan embun, Mak tak lagi bisa memetik dari kebunnya untuk membuat wewangian khasnya. Mak jadi sering menyuruh Jenarsih untuk memborong bunga.

Tapi sebagaimana ada gelap ada terang, selepas kebun yang muram, kau akan memasuki beranda rumah di mana matahari tak henti-hentinya bersinar. Bagian dalam rumah yang ditinggali seorang nenek ranum dan cucu-cucunya itu melukiskan hari cerah di musim penghujan.

Di musim penghujan
Di musim penghujan
Musim penghujan
Membawa mendung dan kabut yang menyelubungi mentari.

Narsih jatuh sakit, ia terbatuk-batuk dan memuntahkan darah
Darah merah
Darah
Merah
Jenar selalu di sisinya dan melarang Mak untuk mendekat karena takut tertular.

Mak, meski tak lagi dapat menghitung umurnya, mati-matian menawarkan Jenar agar mau digantikan oleh Mak saja. Umur Mak tak bakal sebanyak Jenar, mending Mak saja yang di sisi Narsih, katanya. Tapi Jenar tak mau tahu, ia lebih memilih berada di sisi kembarannya ketimbang menuruti perkataan Mak yang biasanya tak pernah ia bantah. Semenjak itu mentari tak lagi menyembul. Kebun telah mati, rumah kaca tak lagi rumah kaca, beranda dingin, dan setiap hari adalah penghujan yang tak pernah mau pergi.

Hijau dan jingga hangat berubah menjadi rona kehitaman dalam hijau pucat. Ranting-ranting serta daun memenuhi jalan. Sesekali Mak mengantarkan makanan ke depan pintu kamar Jenarsih, tapi sebagian besar usia senjanya kini dihabiskan mengurung diri di kamarnya setelah Jenar ikut membatukkan darah.

Di suatu sore Mak tidak memperdulikan apapun lagi. Ia menghambur masuk ke kamar Jenarsih dan bersimpuh di bawah kasur kedua cucunya. Jenarsih tak punya tenaga lebih untuk menghalangi Mak, mereka hanya punya satu permintaan. Satu keinginan yang kira-kira dapat membuat mereka merasa lebih baik.

Dengan tersengal-sengal,
“Mak Lam, Jenar dan Narsih ingin bunga matahari.”
“Akan Mak belikan segera di pasar kembang.”
“Ndak mau, Mak. Ingin yang Mak tanam seperti dulu.”
“Nanti menunggu lama,”
“Kami ingin itu, Mak.”

Mak tak membalas berkata. Hanya mengangguk lemas dan bergegeas meninggalkan kamar kedua cucunya, bunga yang telah layu. Di tengah hujan, dengan punggung sedikit bungkuk, tangan yang kuat, wanginya yang digantikan oleh bau tanah, dan gigi yang menghitam meringis menahan tangis, Mak Lampir berusaha menghidupkan kembali kebunnya yang mati. Mak Lampir seolah mau, dan dapat membangkitkan yang mati.

Tapi Mak Lampir tak dapat menyembuhkan.

Segera dibelinya bibit bunga matahari, dan di tanam dalam rumahnya yang kini sunyi.

Mak Lampir sudah tak dapat mengolah minyak bunga yang membuatnya selalu harum,
Sudah tak dapat meminta Jenarsih untuk membeli bunga yang mewarnai rumah mereka,
Sudah tak dapat melihat warna selain hijau, hitam, dan coklat.

Mak Lampir, menangisi kebun yang dahulu ditinggalkannya.

Apa untuk mendapatkan sesuatu selalu harus ada yang dikorbankan? Dan kini kebun, kembang, ranting, dan rumah kaca menuntut balas?
Diam-diam Mak menyelinap ke kamar Jenarsih, diambilnya darah cucu kesayangannya dan ia gunakan untuk menggantikan wewangian yang kini tak dapat ia buat lagi—salah satu cara yang ia gunakan untuk mengingatkannya bahwa Jenarsih masih ada bersamanya.

Mak Lampir sudah tak tahu berapa lama waktu berlalu selama ia hanya memperhatikan bunga matahari milik Jenar dan Narsih. Bunga itu, entah karena apa, tak dapat tumbuh. Mungkin Mak telah kehilangan tangan hijau dan kemampuannya untuk berkebun. Mak kembali ke rumah dan melihat Jenar serta Narsih masih terlelap tak bergerak, lalu ia ambil lagi sebotol kecil darah untuk menjaga wangi tubuhnya.

Ia tahu itu akan membuatnya sakit, dan hal ini akan dapat membuatnya merasakan penderitaan Jenarsih. Wanita tua yang rambut putihnya memerah karena darah kedua cucunya itu terheran-heran mengapa ia tak merasakan sakit di manapun kecuali di hatinya. Pedih di hati saat melihat Jenarsih.

Dibelinya lagi lebih banyak tanah dan bibit bunga matahari. Mak Lampir harus menemukan ramuan yang tepat untuk menumbuhkan bunga matahari yang sempurna. Bunga matahari hasil tanamnya sendiri yang akan membuat Jenarsih baikan. Mak tidak membawa jam, apalagi kalender. Mak hanya mengandalkan matahari untuk menyirami bunga mataharinya sendirian di rumah kaca kecil kumal sambil memakan dedaunan kering.

Di tengah malam, Mak yang kuat menitikkan air mata pada ***-*** bunga matahari di hadapannya. Berbotol-botol kecil minyak wangi dari darah Jenar dan Narsih perlahan ia teteskan pada *** yang tak kunjung berbunga juga. Perlahan, perlahan, perlahan. Lalu lambat laun menyesuaikan dengan jadwal menyiram bunga matahari yang seharusnya.

Dari tanah kembali ke tanah,
Dari tanah untuk tanah,
Dari tanah kembali ke tanah.

Desir angin menggesekkan dedaunan, membuat Mak mendengar bisikan itu lagi dan terbangun.
Mak mengusap matanya yang seolah mencuat keluar dan melihat bunga-bunga matahari berkelopak merah menyembul, mekar dengan indah pada tiap potnya. Hati mak berbunga-bunga. Bunga matahari merah berbunga-bunga. Matahari Jenarsih berbunga-bunga.

Tangan kuat Mak segera menggapai dan mencengkram dua *** tanah liat dan ia berlari memasuki beranda rumah yang pintunya telah reot. Dari jauh sudah berteriak, “Jenar, Narsih, Jenarsih!!”
Mak seolah mendengar derap langkah dari arah berlawanan yang akan menyambutnya, tapi derap itu tak terdengar mendekat. Maka berteriaklah Mak sekali lagi,

“Mak bawa bungamu Jenarsih! Bunga matahari merah yang cantik!”

Lalu Mak dorong dengan pundaknya pintu kamar Jenarsih yang meringkik ringkih,
Mak terdiam memeluk *** bunga,
Jenarsih terlelap seperti terakhir kali Mak meninggalkannya,

Sebagai tulang belulang semata.

                                                            ///

Aku menutup laptop setelah menonton ulang episode Mak Lampir Penghuni Rumah Angker yang aku dapat dari internet—episode yang membawaku kembali ke masa kecil saat Misteri Gunung Merapi masih ditayangkan di teve, dan aku menonton dengan takut. Di tengah kengerianku, ibu malah menceritakan kisah tentang Mak Lampir dan bunga matahari yang diyakininya sebagai kisah nyata.

Sekarang episode sinetron itu tak lagi membuatku bergidik, malah tutur ibu yang masih membekas. Kisah itu seringkali terulang dalam alam pikirku, terutama saat melirik rumah reot tetangga di ujung jalan yang dipenuhi dengan bunga matahari merah.


Januari, 2017
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Islam adalah ajaran yang sangat sempurna, sampai-sampai cara berpakaian pun dibimbing oleh Alloh Dzat yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi diri kita. Bisa jadi sesuatu yang kita sukai, baik itu berupa model pakaian atau perhiasan pada hakikatnya justru jelek menurut Alloh. Alloh berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu adalah baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal sebenarnya itu buruk bagimu, Alloh lah yang Maha mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al Baqoroh: 216). Oleh karenanya marilah kita ikuti bimbingan-Nya dalam segala perkara termasuk mengenai cara berpakaian.

Perintah dari Atas Langit

Alloh Ta’ala memerintahkan kepada kaum muslimah untuk berjilbab sesuai syari’at. Alloh berfirman, “Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu serta para wanita kaum beriman agar mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka mudah dikenal dan tidak diganggu orang. Alloh Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (Al Ahzab: 59)

Ketentuan Jilbab Menurut Syari’at

Berikut ini beberapa ketentuan jilbab syar’i ketika seorang muslimah berada di luar rumah atau berhadapan dengan laki-laki yang bukan mahrom (bukan ‘muhrim’, karena muhrim berarti orang yang berihrom) yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shohihah dengan contoh penyimpangannya, semoga Alloh memudahkan kita untuk memahami kebenaran dan mengamalkannya serta memudahkan kita untuk meninggalkan busana yang melanggar ketentuan Robbul ‘alamiin.

Pertama

Pakaian muslimah itu harus menutup seluruh badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangan (lihat Al Ahzab: 59 dan An Nuur: 31). Selain keduanya seperti leher dan lain-lain, maka tidak boleh ditampakkan walaupun cuma sebesar uang logam, apalagi malah buka-bukaan. Bahkan sebagian ulama mewajibkan untuk ditutupi seluruhnya tanpa kecuali-red.

Kedua

Bukan busana perhiasan yang justru menarik perhatian seperti yang banyak dihiasi dengan gambar bunga apalagi yang warna-warni, atau disertai gambar makhluk bernyawa, apalagi gambarnya lambang partai politik!!!; ini bahkan bisa menimbulkan perpecahan diantara sesama muslimin. Sadarlah wahai kaum muslimin…

Ketiga

Harus longgar, tidak ketat, tidak tipis dan tidak sempit yang mengakibatkan lekuk-lekuk tubuhnya tampak atau transparan. Cermatilah, dari sini kita bisa menilai apakah jilbab gaul yang tipis dan ketat yang banyak dikenakan para mahasiswi maupun ibu-ibu di sekitar kita dan bahkan para artis itu sesuai syari’at atau tidak.

Keempat

Tidak diberi wangi-wangian atau parfum karena dapat memancing syahwat lelaki yang mencium keharumannya. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang wanita diantara kalian hendak ke masjid, maka janganlah sekali-kali dia memakai wewangian.” (HR. Muslim). Kalau pergi ke masjid saja dilarang memakai wewangian lalu bagaimana lagi para wanita yang pergi ke kampus-kampus, ke pasar-pasar bahkan berdesak-desakkan dalam bis kota dengan parfum yang menusuk hidung?! Wallohul musta’an.

Kelima

Tidak menyerupai pakaian laki-laki seperti memakai celana panjang, kaos oblong dan semacamnya. Rosululloh melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki (HR. Bukhori)

Keenam

Tidak menyerupai pakaian orang-orang *****. Nabi senantiasa memerintahkan kita untuk menyelisihi mereka diantaranya dalam masalah pakaian yang menjadi ciri mereka.

Ketujuh

Bukan untuk mencari popularitas. Untuk apa kalian mencari popularitas wahai saudariku? Apakah kalian ingin terjerumus ke dalam neraka hanya demi popularitas semu. Lihatlah isteri Nabi yang cantik Ibunda ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha yang dengan patuh menutup dirinya dengan jilbab syar’i, bukankah kecerdasannya amat masyhur di kalangan ummat ini? Wallohul muwaffiq.

(Disarikan oleh Abu Mushlih dari Jilbab Wanita Muslimah karya Syaikh Al Albani)
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Ketika kuminta kau mendengarkanku dan kau mulai memberi nasihat, kau tak melakukan apa yang kuminta.

Ketika kuminta kau mendengarkanku dan kau mulai bilang aku tak perlu merasa begitu, kau menginjak-injak perasaanku.

Ketika kuminta kau mendengarkanku dan kau merasa harus berbuat sesuatu untuk menyelesaikan masalahku, kau telah mengecewakanku, memang aneh kelihatannya.

Dengar!

Yang kuminta hanya kau mendengarkan bukan bicara atau berbuat—hanya dengarkan aku.

Nasehat itu murah; 60 sen akan memberimu rubrik nasehat yang ada di koran. Dan itu bisa kulakukan sendiri. Aku bukan tak berdaya, mungkin kecil hati dan bimbang, tapi bukan tak berdaya.

Ketika kau lakukan sesuatu untukku yang bisa dan perlu kulakukan sendiri, kau menambah ketakutan dan kelemahanku.

Tapi saat kau terima kenyataan bahwa aku merasa apa yang kurasa betapapun tak masuk akal, aku bisa berhenti mencoba meyakinkanmu dan memahami apa di balik perasaan yang tak masuk akal.

Dan ketika semuanya jernih jawaban menjadi jelas dan aku tak butuh nasehat.

Perasaan-perasaan yang tak masuk akal menjadi sebaliknya saat kau memahami ada apa di balik semuanya.

Mungkin karena doa itu manjur, terkadang, untuk sebagian orang karena Tuhan tak bersuara, dan tak memberi nasehat atau mencoba memperbaiki sesuatu. Tuhan hanya mendengarkan dan membiarkanmu menyelesaikannya sendiri.

Jadi, tolong dengar dan hanya mendengarkanku. Dan bila kau mau bicara, tunggulah giliranmu, dan aku akan mendengarkanmu.
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Tanda Ahli Neraka, Omongannya Pedes #
“…Rosulullah ditanya tentang seorang wanita yang masyallah. Wanita ini ibadahnya jangan ditanya. sholat malamnya,kemudian puasa sunnahnya sedekahnya juga banyak. Tapi yang jadi masalah,dia itu PEDES NGOMONGNYA.
Ada yang pedes. Kalo ngomong itu NYLEKIT katanya. BIKIN SAKIT HATI.
Apa kata rosul shollallahu alaihi wasallam tentang perempuan yang suka ganggu orang dengan ucapannya ?
ﻻ ﺧﻴﺮ ﻓﻴﻬﺎ ﻫﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ ....
NGGAK ADA KEBAIKAN DI WANITA SEPERTI INI. TEMPAT DIA DI NERAKA. Kata rosul shollallahu alaihi wasallam.
Jadi kita harus memperhatikan, mengevaluasi diri kita ini terkadang sebagian kalo disuruh ibadah jangan ditanya.
datang kajian jangan ditanya. Tapi kalo ngomong suka nyakitin orang. Maka hati-hati orang yang seperti ini dia TIDAK AKAN SELAMAT DARI API NERAKA…”
Ust DR Syafiq Reza Basalamah menjelaskan
Astagfirulloh
hati2... mari menjaga lisan dari perkataan yang menyakiti orang lain.
jangan jadi
Noandy Jun 2016
Hiruk-pikuk menjual dirinya
Pada hening yang mengekang
Ia mulai merindukan
Wujudnya

Diam-diam,
Diintipnya cermin
Yang tergeletak di ujung
Taman bunga
Sudah sebagian layu,
Tua, takhayul, dan
Ngeri,
Tapi di sanalah satu-satunya tempat
Di mana perwujudan
Berani menampakkan diri sejujur-jujurnya

Maka dipanjatkannya
Beribu pekikan isyarat namanya:
Hiruk-pikuk
Ramai
Gegap-gempita
Gelegar.

Dan diintipnya cermin itu
Dilihatnya wujudnya:
Masih tiada.
Ia telah dihilangkan.
Hanya ada bising
Yang terus bergulir.

Kau tahu dirimu
Adalah keberisikan,
Siapa suruh menjual diri pada hening?
adorating Jun 2019
Yogyakarta, 16 Juni 2019.


Temanku tersayang,

Mudahnya begini, aku tidak akan pernah berhenti mengucap syukur atas hadirnya kamu di hidupku. Dari perhatian kecil yang kamu berikan hingga tetes air matamu yang jatuh ketika aku terpuruk, ikut merasa sedih atas apa yang aku rasakan. Mungkin aku dan kamu tidak selalu menghabiskan waktu bersama, kemudian merasa tertinggal setelahnya ketika salah satu tengah sibuk dengan hal lain. Aku percaya kamu peduli denganku tanpa dibuat-buat juga tanpa paksaan. Ada banyak yang ingin aku sampaikan, namun guratan hitam di atas putih ini bukan tentang aku. Ini untuk kamu.

Kita memang tidak baru bertemu dan kenal kemarin sore, tetapi fakta tersebut juga tidak dapat memungkiri bahwa aku masih merasa belum mengenal kamu dengan baik. Entah aku yang selalu merasa kurang atau memang kamu kurang pandai dalam berbagi sedih. Aku paham sebaik-baiknya kamu sebagai seorang teman, sahabat, anak, kekasih, atau manusia secara umum. Ada banyak khawatir yang kamu pikirkan, sebab kamu tidak ingin orang lain menjadi khawatir akan kamu, maka disimpanlah semua sedih yang kamu rasa. Bukan menjadi masalah besar, sebab aku juga paham bahwa kamu berhak untuk menyimpan apa yang ingin kamu simpan dan membagi apa yang ingin kamu bagi. Aku juga tahu bahwa mungkin aku tidak akan selalu menjadi pilihan pertama kamu dalam berkeluh kesah. Juga tidak menjadikan ini masalah besar untukku, sebab seperti yang aku katakan, aku mengerti. Ingin aku tekankan pada bagian ini bahwa aku ingin kamu baik-baik saja.

Sepanjang kamu hidup ini, temanku, akan ada banyak asam dan garam yang harus kamu cicipi. Semoga kegemaran kamu dalam menyantap mie instan jadikan kamu tahan dalam hal ini, ya. Sejujurnya, yang barusan tidak lucu, tapi tetap aku tulis. Juga, yang barusan dirasa tidak penting, namun aku terlalu malas memperbaiki. Nantinya mungkin akan ada banyak lelah yang harus kamu rasakan, termasuk menitikkan air mata sebab tidak ada kalimat yang mampu menjelaskan semua. Tidak apa-apa, ya? Aku percaya, kamu lebih dari kuat dan mampu menjalani hidup kamu. Semakin kamu bertambah usia, semakin kamu dewasa, semakin kamu akan paham bahwa memang ada saatnya hidup menyuguhkan banyak pertanyaan. Tidak semuanya punya jawaban dan tidak semua jawaban dapat diterima oleh akal. Sebab hidup adalah berproses dan kamu akan terus tumbuh.

Terkadang kamu sudah melakukan semua yang kamu bisa, mengusahakan semua yang kamu mampu, atau memberi semua yang kamu punya, tetapi itu juga belum cukup. Bukan berarti kamu tidak cukup, kamu selalu cukup, kamu selalu lebih dari cukup. Sebagian tidak akan pernah merasa cukup meskipun ketika mereka memiliki segalanya. Hidup bisa jadi lucu seperti itu. Semoga dengan begitu, kamu akan tetap bisa tertawa meski sedang ada sulit yang harus kamu lalui. Terlepas dari sulit tersebut, aku harap kamu akan selalu diiringi dengan bahagia, kemanapun kamu pergi.

Aku tidak tahu kapan kamu akan membaca kata merangkai kalimat yang aku tulis ini. Aku bahkan tidak dapat memastikan apakah aku akan mengirimkannya pada kamu secara langsung. Tapi tepat saat aku memulai paragraf ini, waktu sudah menunjukan tepat pukul dua belas malam. Hari sudah berganti. Bersamaannya dengan ini, bertambah juga satu tahun usia kamu sekarang. Mungkin kamu sedang tertidur, atau tengah dalam panggilan dibanjiri dengan banyak ucapan selamat ulang tahun. Bertambahnya satu angka pada usiamu juga diharapkan kamu menjadi lebih kuat, sebab akan ada lebih banyak tanggung jawab yang harus kamu bawa. Ini tidak melulu soal bertambah tua, melainkan bertambah dewasanya kamu dalam hidup.

Selalu, temanku, doa terbaik aku panjatkan untuk kamu. Sekecil apapun hal yang kamu lakukan di dalam hidupku ini, kamu berarti besar. Selalu, aku ingin bahagia berada di pihakmu. Terima kasih sudah bertahan dan ada. Terima kasih untuk tahun-tahun kita berteman. Terima kasih untuk waktu dan kesediaanmu dalam mendengarkan. Terima kasih untuk kamu.

Selamat ulang tahun.


Salam sayang,
temanmu.
Mousamous Sep 2017
pasal IV: tentang hujan yang tak kunjung reda, dan tangis yang tak kunjung berakhir.

- terkadang, ada beberapa hal yang datang, selain membawa berkah dan kebahagiaan, juga turut di dalamnya kesedihan yang berlarutlarut. seperti halnya hujan, yang datang membawa unsur kehidupan, tapi kemudian, dinginnya mengundang pilu, berusah mencari kehangatan. begitu pula dirimu, datang sekiranya membuatku bahagia walau di awal, namun akhirnya memilih pergi setelah membunuh setiap harapan baru yang tumbuh dengan tega.

- ada beberapa hal yang terjadi, namun datangnya tak dapat dihentikan, dan kepergiannya tak dapat dipaksakan, layaknya hujan ketika mentari tengah bersinar, membuat sebagian orang mendengus kesal, banyak hal rencana yang gagal. seperti halnya dirimu, ketika dirimu datang ketika ku tengah sedemikian rupa menata hati. kau datang mengambil setitik kecil potonganmu yang tertinggal, kemudian justru potongan kecil itu yang menghancurkan hati yang telah tertata rapi. hancur. kembali. lalu kau beranjak pergi, layaknya hujan badai yang reda, seolah tak terjadi apaapa.

- setelahnya, setelah sisasisa hujan pada dedaunan mengering, dan musim hujan telah berlalu, masih sesekali duakali ia datang, mebawa harapan sekilas, kemudian pergi seolah tak ingin kembali. sejenak menentramkan,  meluruhkan kotoran di udara, namun tetesannyamengandung racun yang tak baik. seperti ketikamu datang tibatiba, seolaholah baikbaik saja, ternyata memang tidak ada apaapa, bukan benarbenar tidak ada, hanya saja, bukan untukku, tapi untuk dia yang lain.

- selalu ada akhir dari jutaan tetesan air yang jatuh ke bumi, dan semoga, hal itu juga berlaku pada diriku. entah kapan tangis akan reda, namun kau tetap saja berlalu, semoga kau tak lagi datang membawa harapan. maafkan keegoisanku memilih menangisi kepergianmu.

prdks.
ps: jika dirimu tau rasanya hujan yang turun ketika mentari tengah bersinar, harusnya kau tau, bagaimana rasanya tangis yang muncul ketika senyum tengah memekar. maafkan keegoisanku.
Dhia Awanis Oct 2016
Kurasa lebih baik begini; sama-sama melupa dan melaju

Karena melihat bagian darimu yang muncul dimana-mana—di pertigaan jalan, di kemacetan berkilo-kilometer yang menyiksa, di sudut kota yang hiruk pikuk, di sela-sela tugas yang menumpuk, di setiap lagu-lagu pengantar tidur—tidak adil rasanya kau masih juga muncul di pikiranku

Seolah-olah sebagian dari egomu ingin berteriak kalau kau masih ada; bahwa aku tidak boleh bernafas bebas tanpa menghirup aroma tubuhmu
B'Artanto Feb 2019
Menuju Maret, pagi-pagi matahari meninggi sambil menyeduh minuman penolak kantuk.
Sesekali ia aduk minuman di gelas melawan arah jarum jam.
Katanya agar berbeda,
Padahal sedari dulu ia sudah berbeda.

Pagi-pagi matahari cepat meninggi
Mungkin membawa kabar dari Bapak menyertakan terimakasih.
'Terimakasih' suara bapak dari ponsel genggam buatan negara berkelopak mata monolid.

Menuju Maret hati yang disini berduka. Menolak umur ditambah dengan satu angka,
Belum lagi kalau dia ingat suara pintu pagar besi yang dimainkan anak-anak tetangga.
Rindu katanya,

Ia belum pulang, sebagian jiwanya sedang bermain pasir di masa lalu.
Tapi ia malah lari mengejar lagi. 'Sudah cukup, aku mau ikut' katanya

Sekarang ia siap, menuju Maret dan segala kebaikan di dalam dan setelahnya.

B_Art
07-Feb-2019
B'Artanto Aug 2019
-
Tepat di hari kedua sebelum akhir Agustus, entah repetisi yang keberapa kali--aku bertanya pada aku.
Sedang aku meninggalkan apa yang aku tunggu, sebagian lain dari aku membiarkan apa yang datang menuju.
Tepat di peralihan pagi dan khotbah Jumat, ia datang lagi.
Yang harusnya kubiarkan pergi sendiri dengan maunya
Ntah akan kusambut kembali atau nanti menjadi babak tercanggung.
Ntah, kali ini jawaban entah telah ditolak sepersekian lebih awal sebelum ditanyakan.
Aku menolak mengikhlaskan apa yang aku sendiri tidak tau apa inginnya.
Melalui percakapan rutin beberapa kali sehari, seminggu dan sudah masuk separuh tahun.
Tepat menuju penghujung hari, aku membiasakan apapun ia boleh lakukan. Aku biarkan semaunya menghirup-hirup apa yang sudah dilewati.
Agar jika pada bagian akhir yang awal nanti ia tak salah langkah, kembali kesini atau mengantar kabar lain yang lebih ia senangi.

30 Agustus 2019
B_A
B'Artanto Dec 2018
?
Demi apapun yang kau lakukan, selesaikanlah

Karena sebagian memang tidak bisa diwakili kata-kata

Sekalipun berbalik arah adalah haluan terbaik,

datanglah dulu kemari

Karena ada yang dingin kemudian beku tanpa dikenangkan

Tidak mengapa jika datang yang terakhirmu hanya untuk duduk dan hening panjang

Tidak mengapa, dik

Karena datangmu adalah perwakilan akhir dari permulaan yang lalu

Datangmu adalah jawaban terbaik dari haluan yang dipaksakan

BA
(31 Juli 2018)
B'Artanto Jan 2019
Nanti, jika 2 Januari sudah sampai di ujung langit tepuk pundakku

Jika sebagian nadi masih dingin tepuk lagi sampai terbangun

Rasanya apa yang berbelit harus dititipkan padanya dengan kaleng kotak berisi tiga beras putih

Masing-masing dibalut kertas pertanyaan dan pernyataan menyalahkan

Ntah marah kepada Rabb-mu, atau apapun yang berdiri disekelilingnya

Lebih memalukan lagi ia telah menjadi orang lain

Nanti, jika langit 2 Januari sudah berubah kuning kemerahan, usap punggungku

Ia cuma perlu tenang yang menenangkan.
B'Artanto Jan 2020
Mestinya kita paham
dengan pergantian warna lampu di persimpangan jalan.
Sebagian tergesah-gesah ketika kuning menyala, sebagian lagi pasrah menunggu.
Ntah bagaimana caranya hidup tanpa tapi,
Ntah bagaimana cara bernafas tanpa eluh mengeluh.
Menjadi seperlima abad adalah keharusan katamu,
'aku akan bersyukur jika mendapat itu'
Hari ini kita dapat semua, lebih dari yang kau bataskan agar bersyukur
Kita telah ingkar, nafas bercampur ketidaksyukuran
Menjadi bertambah adalah kebingungan
Sebab apa yang menjadi musabab tak pernah kami sendiri tau.

Mestinya kita paham.



13 Januari 2019
VM Sep 26
Aku melangkah di jalanmu, terukir dalam batu. Di mana sungai-sungai retak dan keheningan berdengung. Lagu pengantar tidur terus menghantui, membungkusku seperti kain kafan. Bisikan-bisikan membusuk dalam kesunyian, tersisa di udara seperti rahasia yang terlupakan, sementara keputusan menggantung di kehampaan—mayat-mayat cahaya.

Panas menggigil menyiksa melalui tulang punggung gurun ini, tebal dan menindas, saat bayangan terus menggeliat, tertawa dengan kebencian yang membekukan. Kau telah lama menghilang—bertahun-tahun, mungkin selamanya—ketidakhadiranmu adalah luka yang tak kunjung sembuh. Tak ada tangan yang mengulurkan jari untuk menenangkan langkahku yang goyah, tak ada kehangatan untuk mengikat pikiranku yang berputar-putar, dan beban ketidakpedulianmu menekan, mencekik seperti aku sedang berada di kuburan.

Jika aku menutup mataku dan membiarkan diriku larut dalam kegelapan, apakah itu akan membangkitkan sesuatu di dalam dirimu, atau kau akan tetap tak tersentuh, seperti selama ini? Langit ini terasa seperti kaca, rapuh mudah pecah, dan siap hancur akibat kekosongannya sendiri. Sementara bumi di bawahku setipis bisikan, siap menyerah. Pernahkah kau benar-benar ada di sini, atau kau selalu gagal untuk ada, sosok yang menghantui sebagian mimpiku yang hancur?

Pemenggal kepala menjulang di depan, janji yang tak terpenuhi,  
takdir yang terasa hampir manis, ujungnya yang tajam seperti panggilan sirene. Aku berdiri di bawah nya, pucat dan kaku. Besi dingin itu memanggilku, dan aku bertanya-tanya— jika aku menerima kejatuhan ini, apakah kau akan menyaksikan akhir, atau kau hanya akan berpaling, acuh tak acuh terhadap kegelapan yang menelanku bulat-bulat?

Kau tidak hadir di tanah yang tandus ini, tak mengucapkan sepatah kata pun untuk menghancurkan kesunyian yang membentang tanpa henti. Hanya gema tanpa suara dari ketidakhadiranmu yang ada melalui kehampaan, pengingat tanpa henti tentang cinta yang tak pernah ada. Jika aku semakin terperosok ke jurang ini, mencari pelipur lara di kedalaman keputusasaan, akankah aku mendapati dirimu menunggu, atau akankah ketidakhadiranmu bergema lebih keras, mencekik napas terakhirku?

Aku telah menelusuri debu tempat jejak kakimu terkikis,  
tapi bumi di bawahku berputar ke dalam ketiadaan, rusak oleh beban yang kau tinggalkan. Jadi di sinilah aku berbaring, di reruntuhan yang kau buat, di bawah tatapan dingin langit, terjerat dalam kesunyian yang kau jalin, di mana waktu berhenti, dan sisa-sisa harapanku memudar ke dalam jurang.

— The End —