Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2016
Pondok Pancawarna*
Sebuah cerita pendek*

Apa aku harus menyesal pindah rumah? Tak ada anak seumuranku di sini. Tak ada penjual susu yang lewat tiap pagi, atau gelak tawa dari permainan sore hari. Aku sedih, tapi itu bukan masalah besar, mungkin. Toh tahun depan usiaku beranjak 15 tahun, aku tak punya waktu untuk banyak bermain. Rambut keritingku yang dipelihara ibu ini juga nantinya akan kupotong, aku tak mau berulangkali dikira sebagai perempuan di tempat tinggalku yang baru.

Tahun depan usiaku 15 tahun, dan aku takkan punya waktu untuk banyak bermain lagi. Aku ingin menghabiskan sisa usiaku dengan bermain di jalanan sampai sore hari. Sayangnya lingkungan ini terlalu asing untukku. semua jalannya terlihat sama dan terlalu besar, terlalu banyak rumput liar dari rumah-rumah kosong yang jaraknya terlalu jauh, dan dedaunan pohon menjuntai bak rambut kasar nenek tua.

Sayangnya lingkungan ini terlalu asing,

Dan aku tak punya pilihan lain selain menjelajahinya
Dengan senang hati.
Jangan bilang ibuku.

Ibu dan mbah selalu melarangku berjalan sendirian di luar saat pagi-siang-sore-malam semenjak pindah ke rumah yang terlalu besar ini, terlalu sepi ini. Mungkin untuk alasan keamanan. Aku tidak sebodoh itu untuk harus bertanya kenapa. Dan karena aku tidak sebodoh itu, aku tidak menyukai cara mereka—Wanti-wanti dari mereka agar aku tak berkeliaran sendiri.

Mereka bilang dahulu jalan besar di depan sana adalah tempat tengkorak para jawara-jawara pembela negara dikuburkan, dan tiap sore akan terlihat pria-pria muda dengan baju berlumur darah merokok serta makan-makan daun sambil bermain catur di pinggiran jalan.

Mbah tambah berkata kalau di perempatan sebelah rumah ini, apabila aku bermain sendirian, aku akan dikejar-kejar oleh serdadu kompeni tak berkepala yang akan menebas kepalaku, atau membawaku untuk disembunyikan.

Aku tak takut pada hantu-hantu bekas perang itu, aku juga tak tertarik pada mereka.
Kesalahan ibu dan mbah, dalam menakut-nakutiku, adalah menceritakan sebuah kisah yang, entah benar atau tidak, justru membuatku tertarik untuk mendekati sumbernya.

Di ujung gang, yang jalannya sedikit menurun, terdapat sebuah rumah kayu yang dijuluki oleh warga sekitar sebagai Pondok. Padahal, menurutku bentuknya tidak seperti Pondok. Rumah itu tidak buruk, justru didepannya terdapat taman besa. Sebuah gerbang mawar besar memagarinya; di taman indah itu, hanya terdapat lima jenis bunga bermekaran. Aku tak tahu jenisnya apa saja, yang kuingat dari cerita itu, pokoknya terdapat warna merah, ungu, biru, kuning, dan yang paling aneh, sebuah mawar hitam. Aku tak tahu bagaimana mawar hitam dapat tumbuh di tempat seperti ini. aku bahkan tak tahu kalau ada mawar yang berwana hitam.

Mereka menyebut rumah itu Pondok,
Pondok Pancawarna.
Pondok milik seorang pelukis yang kata orang-orang kakinya buntung.

Karena tak memiliki objek untuk dilukis, dan tak bisa keluar mencarinya, mereka bilang pelukis itu menarik gadis-gadis kecil dengan bunga yang indah di tamannya, lalu menyekap mereka dalam Pondok itu sampai ia puas melukisnya. Hal ini diceritakan setelah aku mendengar pembicaraan ibu saat membeli sayur pagi hari 2 minggu lalu, setibanya dirumah aku langsung menanyakannya soal cerita itu.
Seram?

Aneh, bukan seram. Memangnya seorang pelukis baru bisa melukis bila ada objeknya?

Kalau ingin membuatku berhenti berkeliaran dan bermain sampai larut malam di daerah baru, seharusnya mereka memberi alasan yang bagus dan masuk akal. Bukan malah menakut-nakutiku dengan sesuatu yang ditakuti anak perempuan.

Nah, malam ini aku akan menyelinap. Aku ingin mencari tahu mengenai pelukis itu; lumayan, aku dapat mencari kesenangan disela malam-malam yang selama ini selalu jenuh.

Setelah aku yakin ibu dan mbah terlelap dengan memperhatikan apa semua lampu sudah mati, aku melepas baju tidurku dan mengambil kemeja lengan pendek putih yang kupakai tadi pagi, celana pendek hitam, dan suspender yang biasanya kupakai setiap hari. Aku keluar lewat—Ini sebenarnya jendela atau pintu, sih? Bentuknya seperti jendela, terlalu besar, dan memiliki gagaing pintu—Aku keluar lewat jendela-pintu di kamarku yang langsung mengantarku ke serambi kanan rumah yang terlalu besar ini. Tanpa sepatu, aku berlari-lari kecil ditemani lampu jalan yang remang-remang dan rambut pohon yang menjuntai menuruni jalanan lebar nan sepi, menuju Pondok Pancawarna di ujung jalan.

Aku sampai didepan pagaarnya. Pagar besi hitam yang ditengahnya terdapat gerbang dari semak-semak mawar. Aku mendorog pagar yang ternyata tidak terkunci itu, berderit pelan, dan perlahan masuk. Kenapa tidak dikunci? Apa memang ia bertujuan untuk menarik anak-anak yang penasaran kemari? Dan sekarang, sejauh mata memandang dibawah bulan sabit yang temaram, aku hanya melihat hamparan taman bunga yang indah didepan sebuah rumah kayu tua yang mulai berlumut. Seperti kata mereka, dalam remang aku dapat melihat bahwa bunga didalam sini hanya memiliki 5 warna—mawar, yang jelas, bunga sepatu, lavender, violet—Entah apa lagi, aku hanya mengenali itu. taman ini terlihat makin gelap karena tak ada bunga yang berwarna putih. Aku mengambil sebuah ranting panjang yang patah, dan mengibas-ngibaskannya seolah itu adalah pisau untuk memotong dahan-dahan yang menghalangi jalan, aku seorang penjelajah.

Aku melihat taman dari ujung-ke-ujung, sampai akhirnya berhenti ketika aku mencoba untuk mencari jalan menuju belakang Pondok—
Di sana lah aku melihatnya,
Dengan sebuah lampu ublik yang ia letakkan di sebelah cagak kanvasnya,
Ia duduk pada sebuah kursi roda kayu,
Sambil terus melukis dan menoleh ke arahku.
“Nak?”
Ia memutar kursinya,
Dan kakinya tak ada—Tak ada dalam artian, benar-benar tak ada. Seolah tak ada apa-apa lagi setelah bagian bawah perutnya.
“Sedang apa kau kemari? Tak ada yang berani kesini, lho.”
Ia tidak tua seperti yang kubayangkan, tidak setua mbah, dan mungkin hanya beberapa tahun di atas ibu. Kemeja biru bergarisnya terlihat kusam di bawah mata sabit rembulan.
Aku terus mengayun-ayunkan ranting yang kupegang.
“Tak apa, aku hanya penasaran. Kukira bapak cuma sekedar cerita. Ibu dan mbah biasanya menakut-nakutiku.”
“Apa menurutmu aku terlihat seperti orang jahat?”
“Tidak. Bapak terlihat seperti—”
“Ya?”
“Orang sedih, pak.”
“Lho, mengapa?”
“Karena bapak melukis  sendirian jauh dari orang. Aku punya teman yang selalu menggambar sendirian saat sedih.”
Bapak itu hanya tertawa. Dan memanggilku untuk melihat lukisannya lebih dekat.
“Ada apa dengan kakimu, pak?”
“Ini Memento Mori. Kau tahu apa itu?”
“Apa itu?”
“Pengingat kematian.”
Aku melihat lukisannya—Seperti tamannya, aku hanya mengenali lima warna pada lukisannya.
“Datanglah lagi bila kau mau. ”

Ketika aku datang esok pagi, setelah beli sayur bersama ibu dan mbah, (aku menyelinap setelah mereka masuk ke rumah) ia tak ada disana. Aku mencoba kembali malam hari, dan saat itulah aku sadar bahwa ia selalu melukis tiap malam, dan entah berada di mana saat pagi. Aku mulai mengunjunginya tiap hari, tiap minggu, sewaktu kesepian dan suntuk melandaku.

Aku mulai hafal pola-pola lukisannya, gurat-guratan garisnya yang abstrak. Ia tidak pernah menggunakan warna yang tidak ada pada tamannya, seolah cat yang ia dapat berasal dari bunga-bunga yang ia tanam. Yang ia hancurkan, dan renggut warnanya.
Pada suatu malam yang anehnya tidak dingin, justru sedikit hangat, ia bertanya,
“Apa yang kau lihat di lukisan-lukisanku, nak?”
“Hmm.. Apa ya.. Warna yang dicampur-campur.. Lima warna.. Garis putus-putus..”
“Ini warna-warna dan suara masa lampau.”
Aku menatapnya penasaran,
“Kau masih ingat Memento Mori?”
“Pengingat kematian?”
“Kakiku yang hilang ini bukan hanya pertanda agar aku selalu mengingat kematian. Tapi agar aku tak bisa melupakan, dan meninggalkan masa lampau.”
“Maksud bapak, agar tak bisa meninggalkan tempat ini juga?”
“Ya, ini tempat dimana aku kehilangan banyak hal, kehilangan orang-orang yang kukasihi. Aku ingin tetap bersama jiwa mereka di Pondok ini. Rumah tua reot kami yang sudah lumutan.”
“Apa ini ada hubungannya dengan bunga yang hanya memiliki lima warna?”
Ia meletakkan kuasnya dan memutar kursi rodanya menghadapku, lalu melonggarkan kerah kemeja putih lusuhnya; aku lebih suka kemejanya yang biru bergaris.
“Aku dahulu tinggal dengan empat orang anakku, dan istriku. Ia sangat suka berkebun, dan menanam enam bunga sesuai warna kesukaanku kami. Ia sangat cantik, tak banyak memikirkan soal dirinya. Pada suatu hari, nak, ketika ia pergi ke pasar pagi buta, mendung semilir, dan aku masih menemani anak-anak yang belum terbangun—Badai terjadi. Kami lindung didalam rumah sedangkan—Entah apa jadinya pada istriku dan ibu-ibu yang ke pasar pada pagi hari. Yang kutahu, ketika hujan mulai reda dan semuanya kembali seperti sedia kala, taman kami sudah tak berbentuk, kacau. Pepohonan semua tumbang, jalan-jalan dipenuhi lumpur, dan entah berapa lamapun aku menunggu,
Ia tak kembali dari pasar pagi itu.
Cuaca sangat buruk, dan untuk keluarga di daerah terpencil seperti ini, flu bukanlah penyakit yang mudah, nak.”
“Kau kehilangan keempat anakmu karena flu, pak?”
“Tepat sekali, dan setelahnya, aku mencoba menghidupkan mereka dalam warna-warna yang mereka sukai. Lima warna yang mereka gemari di pekarangan kasih ini. Tapi entah bagaimanapun, mawar putih yang kutanam untuk istriku, di tanah hitam yang sedih dan lembab ini, mendadak menunjukkan bercak-bercak hitam yang makin menyebar ke seluruh kelopaknya. Seolah alam bahkan tak mengizinkanku untuk mengenang dan bertemu lagi dengannya,
Seolah kami takkan pernah bersatu lagi.”
“Aku tak tahan, nak. Aku ingin pergi dari sini. Tapi jika aku pergi, siapa yang akan merawat bunga-bunga ini dan mengenang, mengasihi mereka di gelap sana? Aku berusaha keras mengurungkan niatku, dan untuk memaksa diriku agar tak pergi,
Aku memotong kedua kakiku.”
“Apa tetangga-tetanggamu tak berpikir kau gila, pak?”
“Tentunya. Hal terakhir yang kuingat dari mereka hanyalah kursi roda kayu ini.”
“Mereka menuduhmu menculik anak-anak.”
“Aku tak pernah menculik mereka, mereka datang sendiri, dan aku memperlakukan anak-anak itu sepantasnya.”
“Dasar, gosip ibu-ibu.”
Cerita mengerikan itu terus menghantuiku. Tapi aku tak dapat berhenti mengunjunginya. Aku kasihan padanya, bapak itu pasti kesepian;

Sama sepertiku.

Setahun hampir berlalu, dan minggu depan usiaku akan menginjak 15 tahun. Aku akan dikirim untuk tinggal bersama ayah di ibu kota, dan harus meninggalkan tempat ini.
Aku mengkhianati keinginanku untuk tidak banyak bermain dan mulai menjadi anak yang serius,
Aku tidak ingin kehidupan dewasa yang terlihat sepi dan penuh sesak serta hambar,
Aku masih ingin bermain.

Semalam sebelum ulang tahunku, aku melesat ke Pondok Pancawarna. Aku bersembunyi diantara semak bunga biru sampai pak pelukis menemukanku.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
“Sembunyikan aku, pak! Sampai dua hari ke depan?”
“Apa? Mengapa? Mbah dan ibumu akan mencarimu!”
“Aku tak ingin jadi orang dewasa yang sedih dan membosankan, aku masih ingin bahagia dan bermain! Besok lusa ayah akan menjemputku, dan aku harus ikut dengannya untuk belajar di ibu kota—Dengan seragam yang pucat dan kehidupan yang ketat.”
“Bukannya kau pernah bercerita akan memotong rambut keritingmu itu dan berhenti bermain-main.”
“Itu hanya untuk menghibur sepiku—”
“Jangan membohongi dirimu, nak.”

Aku menoleh melihat lukisannya—Lukisan yang biasanya abstrak. Meskipun tidak jelas, aku dapat melihat bahwa itu adalah lukisan Pondok ini, dengan hamparan taman harum dan 4 anak yang bermain riang bersama orangtua mereka, berlarian di pekarangan.

“Kuharap aku dapat bersenang-senang seperti yang lukisanmu itu.”
“Hei, ayolah, jangan murung. Kau harus senang dapat bersama orangtuamu.”
Aku hanya membenamkan wajahku dalam lututku.
“Baiklah, kau boleh menginap untuk dua hari ke depan.”

Pak pelukis menggiringku masuk sambil memutar roda kursinya; ia mempersilahkanku untuk tidur di kamar anaknya, dan minum teh malam sebelum terlelap. Aku biasa melakukannya dengan ibu, mbah, dan ayah; tapi semenjak pindah kemari dan ayah harus berada di ibu kota, ibu dan mbah tidak lagi mengajakku minum teh sebelum tidur

Keesokan harinya aku terbangun, cahaya matahari menyinari jendela kamar yang sedikit berdebu ini, namun terlihat lebih indah dan menarik daripada tadi malam. Mainan dan buku berserakan dibawahnya. Kakiku sedikt nyeri saat tak sengaja menginjak empat batang krayon yang tergeletak di karpet. Aku mencari pak pelukis, tapi sebelum menemukannya aku mendengar tawa riang anak-anak.

Aku berlari ke pintu depan yang letaknya kuraba-raba; aku tak tahu. Tadi malam kami masuk lewat pintu belakang. Pintu depan berhasil kucapai, dan dengan melindungi mataku dari sinar matahari pagi, aku beranjak keluar untuk melihat sebuah keluarga bahagia; empat orang anak dan sepasang suami istri bermain, berlari riang pada sebuah pelataran mengenakan mahkota bunga.
Sang ayah, dengan kemeja biru bergarisnya dengan mudah kukenali,
Itu pak pelukis, tapi ada yang berbeda dengannya.
Ia berdiri pada kedua kaki, dan berdansa dengan riang bersama istri serta anak-anaknya,
Tangannya terulur, ia mengajakku untuk bergabung dengannya,
Dan aku menyambutnya.

Kami berdansa, berdendang, dan makan enak sepanjang hari. Saat malam, aku mencoba untuk melewati gerbang mawar dan mengintip keadaan rumahku; tapi tak bisa. Yang kulihat selepas gerbang mawar adalah hamparan taman yang sama, lebih besar dan luas dari ini.

Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, tapi tak bisa.
Seolah ada kain kasar tebal yang membatasi antara aku dan taman selanjutnya.

Keesokan harinya kami masih bermain, bersenang-senang. Aku semakin akrab dengan empat orang anak yang pakaiannya berwarna sesuai dengan kesukaan mereka, dan dapat dengan mudah mengambil hati istri pak pelukis.
Tapi, malam ini,
Saat aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, di depan tirai kain tebal itu;
Yang kulihat adalah wajah ibu.
Wajah ibu, mbah, dan ayah yang panik serta berteriak seolah memukul-mukul tirai kain.
Aku menoleh ke belakang,
Istri pak pelukis memanggilku untuk makan malam.
Pagi hari setelahnya kami masih terus berdendang, dan berbahagia bersama. Tapi ini sudah esok lusa, dan aku harus pulang karena pasti ayah sudah kembali ke ibu kota dan tak akan ada yang mengambilku lagi.
Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, didepan tirai kain tebal itu;
Aku masih tak dapat melewatinya,
Tapi sekarang aku tak melihat taman bunga, ataupun wajah ibu dan mbah yang terlalu dekat—
Aku melihat ruang tamu rumahku,
Dengan ibu, mbah, dan ayah duduk termenung menundukkan kepalanya.
Aku menoleh ke belakang,
Pak pelukis mengajakku bermain lagi; empat anaknya, serta beberapa anak lain, berlari mengejar, menarik tanganku untuk tinggal bersama mereka.

Tinggal dan berbahagia di Pondok Pancawarna untuk selamanya.
Sorry for writing in my native language lately ^^
Desde la ventana de un casucho viejo
abierta en verano, cerrada en invierno
por vidrios verdosos y plomos espesos,
una salmantina de rubio cabello
y ojos que parecen pedazos de cielo,
mientas la costura mezcla con el rezo,
ve todas las tardes pasar en silencio
los seminaristas que van de paseo.Baja la cabeza, sin erguir el cuerpo,
marchan en dos filas pausados y austeros,
sin más nota alegre sobre el traje *****
que la beca roja que ciñe su cuello,
y que por la espalda casi roza el suelo.Un seminarista, entre todos ellos,
marcha siempre erguido, con aire resuelto.
La negra sotana dibuja su cuerpo
gallardo y airoso, flexible y esbelto.
Él, solo a hurtadillas y con el recelo
de que sus miradas observen los clérigos,
desde que en la calle vislumbra a lo lejos
a la salmantina de rubio cabello
la mira muy fijo, con mirar intenso.
Y siempre que pasa le deja el recuerdo
de aquella mirada de sus ojos negros.
Monótono y tardo va pasando el tiempo
y muere el estío y el otoño luego,
y vienen las tardes plomizas de invierno.Desde la ventana del casucho viejo
siempre sola y triste; rezando y cosiendo
una salmantina de rubio cabello
ve todas las tardes pasar en silencio
los seminaristas que van de paseo.Pero no ve a todos: ve solo a uno de ellos,
su seminarista de los ojos negros;
cada vez que pasa gallardo y esbelto,
observa la niña que pide aquel cuerpo
marciales arreos.Cuando en ella fija sus ojos abiertos
con vivas y audaces miradas de fuego,
parece decirla:  -¡Te quiero!, ¡te quiero!,
¡Yo no he de ser cura, yo no puedo serlo!
¡Si yo no soy tuyo, me muero, me muero!
A la niña entonces se le oprime el pecho,
la labor suspende y olvida los rezos,
y ya vive sólo en su pensamiento
el seminarista de los ojos negros.En una lluviosa mañana de inverno
la niña que alegre saltaba del lecho,
oyó tristes cánticos y fúnebres rezos;
por la angosta calle pasaba un entierro.Un seminarista sin duda era el muerto;
pues, cuatro, llevaban en hombros el féretro,
con la beca roja por cima cubierto,
y sobre la beca, el bonete *****.
Con sus voces roncas cantaban los clérigos
los seminaristas iban en silencio
siempre en dos filas hacia el cementerio
como por las tardes al ir de paseo.La niña angustiada miraba el cortejo
los conoce a todos a fuerza de verlos...
tan sólo, tan sólo faltaba entre ellos...
el seminarista de los ojos negros.Corriendo los años, pasó mucho tiempo...
y allá en la ventana del casucho viejo,
una pobre anciana de blancos cabellos,
con la tez rugosa y encorvado el cuerpo,
mientras la costura mezcla con el rezo,
ve todas las tardes pasar en silencio
los seminaristas que van de paseo.La labor suspende, los mira, y al verlos
sus ojos azules ya tristes y muertos
vierten silenciosas lágrimas de hielo.Sola, vieja y triste, aún guarda el recuerdo
del seminarista de los ojos negros...
Por la manchega llanura
se vuelve a ver la figura
de Don Quijote pasar.
Y ahora ociosa y abollada va en el rucio la armadura,
y va ocioso el caballero, sin peto y sin espaldar,
va cargado de amargura,
que allá encontró sepultura
su amoroso batallar.
Va cargado de amargura,
que allá «quedó su ventura»
en la playa de Barcino, frente al mar.
Por la manchega llanura
se vuelve a ver la figura
de Don Quijote pasar.
Va cargado de amargura,
va, vencido, el caballero de retorno a su lugar.
¡Cuántas veces, Don Quijote, por esa misma llanura,
en horas de desaliento así te miro pasar!
¡Y cuántas veces te grito: Hazme un sitio en tu montura
y llévame a tu lugar;
hazme un sitio en tu montura,
caballero derrotado, hazme un sitio en tu montura
que yo también voy cargado
de amargura
y no puedo batallar!
Ponme a la grupa contigo,
caballero del honor,
ponme a la grupa contigo,
y llévame a ser contigo
pastor.
Por la manchega llanura
se vuelve a ver la figura
de Don Quijote pasar...
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Islam adalah ajaran yang sangat sempurna, sampai-sampai cara berpakaian pun dibimbing oleh Alloh Dzat yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi diri kita. Bisa jadi sesuatu yang kita sukai, baik itu berupa model pakaian atau perhiasan pada hakikatnya justru jelek menurut Alloh. Alloh berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu adalah baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal sebenarnya itu buruk bagimu, Alloh lah yang Maha mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al Baqoroh: 216). Oleh karenanya marilah kita ikuti bimbingan-Nya dalam segala perkara termasuk mengenai cara berpakaian.

Perintah dari Atas Langit

Alloh Ta’ala memerintahkan kepada kaum muslimah untuk berjilbab sesuai syari’at. Alloh berfirman, “Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu serta para wanita kaum beriman agar mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka mudah dikenal dan tidak diganggu orang. Alloh Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (Al Ahzab: 59)

Ketentuan Jilbab Menurut Syari’at

Berikut ini beberapa ketentuan jilbab syar’i ketika seorang muslimah berada di luar rumah atau berhadapan dengan laki-laki yang bukan mahrom (bukan ‘muhrim’, karena muhrim berarti orang yang berihrom) yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shohihah dengan contoh penyimpangannya, semoga Alloh memudahkan kita untuk memahami kebenaran dan mengamalkannya serta memudahkan kita untuk meninggalkan busana yang melanggar ketentuan Robbul ‘alamiin.

Pertama

Pakaian muslimah itu harus menutup seluruh badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangan (lihat Al Ahzab: 59 dan An Nuur: 31). Selain keduanya seperti leher dan lain-lain, maka tidak boleh ditampakkan walaupun cuma sebesar uang logam, apalagi malah buka-bukaan. Bahkan sebagian ulama mewajibkan untuk ditutupi seluruhnya tanpa kecuali-red.

Kedua

Bukan busana perhiasan yang justru menarik perhatian seperti yang banyak dihiasi dengan gambar bunga apalagi yang warna-warni, atau disertai gambar makhluk bernyawa, apalagi gambarnya lambang partai politik!!!; ini bahkan bisa menimbulkan perpecahan diantara sesama muslimin. Sadarlah wahai kaum muslimin…

Ketiga

Harus longgar, tidak ketat, tidak tipis dan tidak sempit yang mengakibatkan lekuk-lekuk tubuhnya tampak atau transparan. Cermatilah, dari sini kita bisa menilai apakah jilbab gaul yang tipis dan ketat yang banyak dikenakan para mahasiswi maupun ibu-ibu di sekitar kita dan bahkan para artis itu sesuai syari’at atau tidak.

Keempat

Tidak diberi wangi-wangian atau parfum karena dapat memancing syahwat lelaki yang mencium keharumannya. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang wanita diantara kalian hendak ke masjid, maka janganlah sekali-kali dia memakai wewangian.” (HR. Muslim). Kalau pergi ke masjid saja dilarang memakai wewangian lalu bagaimana lagi para wanita yang pergi ke kampus-kampus, ke pasar-pasar bahkan berdesak-desakkan dalam bis kota dengan parfum yang menusuk hidung?! Wallohul musta’an.

Kelima

Tidak menyerupai pakaian laki-laki seperti memakai celana panjang, kaos oblong dan semacamnya. Rosululloh melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki (HR. Bukhori)

Keenam

Tidak menyerupai pakaian orang-orang *****. Nabi senantiasa memerintahkan kita untuk menyelisihi mereka diantaranya dalam masalah pakaian yang menjadi ciri mereka.

Ketujuh

Bukan untuk mencari popularitas. Untuk apa kalian mencari popularitas wahai saudariku? Apakah kalian ingin terjerumus ke dalam neraka hanya demi popularitas semu. Lihatlah isteri Nabi yang cantik Ibunda ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha yang dengan patuh menutup dirinya dengan jilbab syar’i, bukankah kecerdasannya amat masyhur di kalangan ummat ini? Wallohul muwaffiq.

(Disarikan oleh Abu Mushlih dari Jilbab Wanita Muslimah karya Syaikh Al Albani)
Los vagones resbalan
sobre los trastes de la vía,
para cantar en sus dos cuerdas
la reciedumbre del paisaje.

Campos de piedra,
donde las vides sacan
una mano amenazante
de bajo tierra.

Jamelgos que llevan
una vida de asceta,
con objeto de entrar
en la plaza de toros.

Chanchos enloquecidos de flacura
que se creen una Salomé
porque tienen las nalgas muy rosadas.

Sobre la cresta de los peñones,
vestidas de primera comunión,
las casas de los aldeanos se arrodillan
a los pies de la iglesia,
se aprietan unas a otras,
la levantan
como si fuera una custodia,
se anestesian de siesta
y de repiqueteo de campana.

A riesgo de que el viaje termine para siempre,
la locomotora hace pasar las piedras
a diez y seis kilómetros
y cuando ya no puede más,
se detiene, jadeante.

A veces "suele" acontecer
que precisamente allí
se encuentra una estación.
¡Campanas! ¡Silbidos! ¡Gritos!;
y el maquinista, que se despide siete veces
del jefe de la estación;
y el loro, que es el único pasajero que protesta
por las catorce horas de retardo;
y las chicas que vienen a ver pasar el tren
porque es lo único que pasa.

De repente,
los vagones resbalan
sobre los trastes de la vía,
para cantar en sus dos cuerdas
la reciedumbre del paisaje.

Campos de piedra,
de donde las vides sacan
una mano amenazante
de bajo tierra.

Jamelgos que llevan
una vida de asceta,
con objeto de entrar
en la plaza de toros.

Chanchos enloquecidos de flacura
que se creen una Salomé
porque tienen las nalgas muy rosadas.

En los compartimentos de primera,
las butacas nos atornillan sus elásticos
y nos descorchan un riñón,
en tanto que las arañas
realizan sus ejercicios de bombero
alrededor de la lamparilla
que se incendia en el techo.

A riesgo de que el viaje termine para siempre,
la locomotora hace pasar las piedras
a diez y seis kilómetros,
y cuando ya no puede más,
se detiene, jadeante.

¿Llegaremos al alba,
o mañana al atardecer...?
A través de la borra de las ventanillas.
el crepúsculo espanta
a los rebaños de sombras
que salen de abajo de las rocas
mientras nos vamos sepultando
en una luz de catacumba.

Se oye:
el canto de las mujeres
que mondan las legumbres
del puchero de pasado mañana;
el ronquido de los soldados
que, sin saber por qué,
nos trae la seguridad
de que se han sacado los botines;
los números del extracto de lotería,
que todos los pasajeros aprenden de memoria.
pues en los quioscos no han hallado
ninguna otra cosa para leer.

¡Si al menos pudiéramos arrimar un ojo
a alguno de los agujeritos que hay en el cielo!

¡Campanas! ¡Silbidos! ¡Gritos!;
y el maquinista, que se despide siete veces
del jefe de la estación;
y el loro, que es el único pasajero que protesta
por las veintisiete horas de retardo;
y las chicas que vienen a ver pasar el tren
porque es lo único que pasa.

De repente,
los vagones resbalan
sobre los trastes de la vía,
para cantar en sus dos cuerdas
la reciedumbre del paisaje.
Noandy Jan 2017
Sebuah cerita pendek*

Saat itu mereka sering menonton Mak Lampir di televisi, dan mulai memanggil wanita yang merupakan nenek kandungnya dengan nama yang sama.

Nenek itu punya nama, dan jelas namanya bukan Lampir. Tapi apa pedulinya anak-anak itu dengan nama aslinya? Mereka tak pernah mendengar nama nenek disebut. Mereka sendiri yatim-piatu, dan dahulu, orangtuanya tak pernah mengajarkan nama nenek mereka. Tapi begitu melihat Mak Lampir di teve, mereka langsung mendapat ide untuk memanggil nenek sebagai Mak Lampir. Rambutnya nenek putih panjang dan tiap malam dibiarkan terurai, ia sedikit bungkuk dengan kedua tangan yang terlihat begitu kuat dan cekatan. Matanya senantiasa melotot—bukan karena suka marah, tapi memang bentuknya seperti itu. Yang terbaik dari nenek, meski giginya menghitam sudah, nenek selalu berbau harum karena suka meramu minyak wanginya sendiri. Mereka tidak takut melihat Mak Lampir—mereka justru kagum karena sosok itu mengingatkan pada nenek yang selalu menjaga mereka.

Si nenek sama sekali tidak keberatan dengan julukan itu, ia malah merasa nyaman. Disebut sebagai Mak Lampir membuatnya merasa seperti orang tua yang sakti, hebat, dan serba bisa. Nenek adalah Mak Lampir baik hati yang selalu mengabulkan permohonan cucu-cucunya, serta memberi mereka wejangan. Jenar dan Narsih sayang dan berbakti pada nenek. Nenek—yang sekarang berubah panggilan menjadi Mak—adalah dunia mereka. Dua gadis itu dapat menghapal tiap lekuk pada keriput Mak, menebak-nebak warna baju apa yang akan dipakai Mak pada hari mendung, bahkan mereka ingat betul kapan saja uban-uban Mak mulai bermunculan.

Mak awalnya tidak menyukai, bahkan hampir membenci, dua anak gadis yang harus diurusinya. Ia terlalu tua untuk melakukan hal ini lagi. Wanita  yang sudah tak ingat dan tak ingin menghitung usianya lebih memilih kembang-kembang di taman ketimbang Jenar dan Narsih.  Mak lebih memilih segala tanaman yang ada di rumah kaca sederhananya ketimbang dua cucunya.

Tapi saat sedang menyirami bunga matahari dan membiarkan Jenar serta Narsih bergulingan tertutup tanah basah, Mak merasa seolah ada yang membisikinya, “Sama-sama dari tanah, sama-sama tumbuh besar. Dari tanah, untuk tanah, kembali ke tanah.” Wangsit itu langsung membawa matanya yang sudah sedikit rabun namun tetap nyalang pada sosok dua cucunya yang sudah tak karu-karuan, menghitam karena tanah.

Sejak saat itulah Mak menganggap Jenar dan Narsih sebagai kembang. Sebagai kembang. Sebagai kembang dan seperti kembang yang ia tanam dan kelak akan tumbuh cantik nan indah. Harum, subur, anggun, lebur. Perlahan Mak mulai meninggalkan kebun dan rumah kacanya, perhatiannya ia curahkan untuk Jenar dan Narsih, yang namanya Mak singkat sebagai Jenarsih saat ingin memanggil keduanya sekaligus. Jenarsih dijahitkannya baju-baju berwarna, diberi makanan sayur-mayur yang sehat, diajarkannya meramu minyak wangi, bahkan diberi minum jamu secara terjadwal sebagaimana Mak menyirami bunga.

Kebun Mak perlahan-lahan melayu dan makin sayu. Saat matahari mengintip, tidak ada bebunga yang tergoda untuk mekar. Semuanya redup dan meredup, mentari pun meredup pula di kebun Mak. Karena sirnanya kembang dan embun, Mak tak lagi bisa memetik dari kebunnya untuk membuat wewangian khasnya. Mak jadi sering menyuruh Jenarsih untuk memborong bunga.

Tapi sebagaimana ada gelap ada terang, selepas kebun yang muram, kau akan memasuki beranda rumah di mana matahari tak henti-hentinya bersinar. Bagian dalam rumah yang ditinggali seorang nenek ranum dan cucu-cucunya itu melukiskan hari cerah di musim penghujan.

Di musim penghujan
Di musim penghujan
Musim penghujan
Membawa mendung dan kabut yang menyelubungi mentari.

Narsih jatuh sakit, ia terbatuk-batuk dan memuntahkan darah
Darah merah
Darah
Merah
Jenar selalu di sisinya dan melarang Mak untuk mendekat karena takut tertular.

Mak, meski tak lagi dapat menghitung umurnya, mati-matian menawarkan Jenar agar mau digantikan oleh Mak saja. Umur Mak tak bakal sebanyak Jenar, mending Mak saja yang di sisi Narsih, katanya. Tapi Jenar tak mau tahu, ia lebih memilih berada di sisi kembarannya ketimbang menuruti perkataan Mak yang biasanya tak pernah ia bantah. Semenjak itu mentari tak lagi menyembul. Kebun telah mati, rumah kaca tak lagi rumah kaca, beranda dingin, dan setiap hari adalah penghujan yang tak pernah mau pergi.

Hijau dan jingga hangat berubah menjadi rona kehitaman dalam hijau pucat. Ranting-ranting serta daun memenuhi jalan. Sesekali Mak mengantarkan makanan ke depan pintu kamar Jenarsih, tapi sebagian besar usia senjanya kini dihabiskan mengurung diri di kamarnya setelah Jenar ikut membatukkan darah.

Di suatu sore Mak tidak memperdulikan apapun lagi. Ia menghambur masuk ke kamar Jenarsih dan bersimpuh di bawah kasur kedua cucunya. Jenarsih tak punya tenaga lebih untuk menghalangi Mak, mereka hanya punya satu permintaan. Satu keinginan yang kira-kira dapat membuat mereka merasa lebih baik.

Dengan tersengal-sengal,
“Mak Lam, Jenar dan Narsih ingin bunga matahari.”
“Akan Mak belikan segera di pasar kembang.”
“Ndak mau, Mak. Ingin yang Mak tanam seperti dulu.”
“Nanti menunggu lama,”
“Kami ingin itu, Mak.”

Mak tak membalas berkata. Hanya mengangguk lemas dan bergegeas meninggalkan kamar kedua cucunya, bunga yang telah layu. Di tengah hujan, dengan punggung sedikit bungkuk, tangan yang kuat, wanginya yang digantikan oleh bau tanah, dan gigi yang menghitam meringis menahan tangis, Mak Lampir berusaha menghidupkan kembali kebunnya yang mati. Mak Lampir seolah mau, dan dapat membangkitkan yang mati.

Tapi Mak Lampir tak dapat menyembuhkan.

Segera dibelinya bibit bunga matahari, dan di tanam dalam rumahnya yang kini sunyi.

Mak Lampir sudah tak dapat mengolah minyak bunga yang membuatnya selalu harum,
Sudah tak dapat meminta Jenarsih untuk membeli bunga yang mewarnai rumah mereka,
Sudah tak dapat melihat warna selain hijau, hitam, dan coklat.

Mak Lampir, menangisi kebun yang dahulu ditinggalkannya.

Apa untuk mendapatkan sesuatu selalu harus ada yang dikorbankan? Dan kini kebun, kembang, ranting, dan rumah kaca menuntut balas?
Diam-diam Mak menyelinap ke kamar Jenarsih, diambilnya darah cucu kesayangannya dan ia gunakan untuk menggantikan wewangian yang kini tak dapat ia buat lagi—salah satu cara yang ia gunakan untuk mengingatkannya bahwa Jenarsih masih ada bersamanya.

Mak Lampir sudah tak tahu berapa lama waktu berlalu selama ia hanya memperhatikan bunga matahari milik Jenar dan Narsih. Bunga itu, entah karena apa, tak dapat tumbuh. Mungkin Mak telah kehilangan tangan hijau dan kemampuannya untuk berkebun. Mak kembali ke rumah dan melihat Jenar serta Narsih masih terlelap tak bergerak, lalu ia ambil lagi sebotol kecil darah untuk menjaga wangi tubuhnya.

Ia tahu itu akan membuatnya sakit, dan hal ini akan dapat membuatnya merasakan penderitaan Jenarsih. Wanita tua yang rambut putihnya memerah karena darah kedua cucunya itu terheran-heran mengapa ia tak merasakan sakit di manapun kecuali di hatinya. Pedih di hati saat melihat Jenarsih.

Dibelinya lagi lebih banyak tanah dan bibit bunga matahari. Mak Lampir harus menemukan ramuan yang tepat untuk menumbuhkan bunga matahari yang sempurna. Bunga matahari hasil tanamnya sendiri yang akan membuat Jenarsih baikan. Mak tidak membawa jam, apalagi kalender. Mak hanya mengandalkan matahari untuk menyirami bunga mataharinya sendirian di rumah kaca kecil kumal sambil memakan dedaunan kering.

Di tengah malam, Mak yang kuat menitikkan air mata pada ***-*** bunga matahari di hadapannya. Berbotol-botol kecil minyak wangi dari darah Jenar dan Narsih perlahan ia teteskan pada *** yang tak kunjung berbunga juga. Perlahan, perlahan, perlahan. Lalu lambat laun menyesuaikan dengan jadwal menyiram bunga matahari yang seharusnya.

Dari tanah kembali ke tanah,
Dari tanah untuk tanah,
Dari tanah kembali ke tanah.

Desir angin menggesekkan dedaunan, membuat Mak mendengar bisikan itu lagi dan terbangun.
Mak mengusap matanya yang seolah mencuat keluar dan melihat bunga-bunga matahari berkelopak merah menyembul, mekar dengan indah pada tiap potnya. Hati mak berbunga-bunga. Bunga matahari merah berbunga-bunga. Matahari Jenarsih berbunga-bunga.

Tangan kuat Mak segera menggapai dan mencengkram dua *** tanah liat dan ia berlari memasuki beranda rumah yang pintunya telah reot. Dari jauh sudah berteriak, “Jenar, Narsih, Jenarsih!!”
Mak seolah mendengar derap langkah dari arah berlawanan yang akan menyambutnya, tapi derap itu tak terdengar mendekat. Maka berteriaklah Mak sekali lagi,

“Mak bawa bungamu Jenarsih! Bunga matahari merah yang cantik!”

Lalu Mak dorong dengan pundaknya pintu kamar Jenarsih yang meringkik ringkih,
Mak terdiam memeluk *** bunga,
Jenarsih terlelap seperti terakhir kali Mak meninggalkannya,

Sebagai tulang belulang semata.

                                                            ///

Aku menutup laptop setelah menonton ulang episode Mak Lampir Penghuni Rumah Angker yang aku dapat dari internet—episode yang membawaku kembali ke masa kecil saat Misteri Gunung Merapi masih ditayangkan di teve, dan aku menonton dengan takut. Di tengah kengerianku, ibu malah menceritakan kisah tentang Mak Lampir dan bunga matahari yang diyakininya sebagai kisah nyata.

Sekarang episode sinetron itu tak lagi membuatku bergidik, malah tutur ibu yang masih membekas. Kisah itu seringkali terulang dalam alam pikirku, terutama saat melirik rumah reot tetangga di ujung jalan yang dipenuhi dengan bunga matahari merah.


Januari, 2017
Natalia Rivera Jan 2015
Una luz tenue me levanto, ¿qué hora será? Miro el rejo y son las 4:50 de la madrugada de algún martes. Me volteo para verlo plasmado, la obra de arte más bella del mundo; el. Esta dormido profundamente, debido a su insomnio es cosa de celebrar así que lo dejo dormir y tomo el abrigo que hay en el suelo. El bonito abrigo color azul de rayas que tanto me encanta, el mismo abrigo que horas antes me quito con la ternura y pasión de dos amantes. Una pequeña sonrisa brota de mis labios y continúo para la sala, atravieso el pasillo forrado de fotos. Fotos de él, fotos mías, fotos familiares, sus pinturas, llego a la cocina y miro por la ventana, ya casi amanece. Me sirvo un poco de agua en mi taza con forma de gato, en la mesa de la sala están las copas y el vino de anoche.
El estaba sentado en el sofá, con su camisa color negra y sus mahonés grises. Con la mitad de la copa vacía me miraba indescifrablemente. Yo estaba sentada en el suelo cerca de la chimenea, usaba mi lindo vestido de flores junto a su abrigo color azul de rayas y el pelo alborotado (como siempre).
-¿Qué te trae bailando en el cinturón de Orión? dice dándole el último sorbo a su copa.
- En lo bien que se te ven esos mahonés le contesto; seguido de unas miradas disfrazadas y unas cuantas risas  me anime a contarle lo que me pasaba realmente.
-Hay días que el miedo me invade, mi vida era bastante simple antes de tu aparición. Nada me quitaba el sueño, vivía viajando en mis libros y mis prioridades era mantener con vida a mi pez y conseguir dinero al final de día para poder sustentarme. Pero apareciste, de la nada, porque si y mi mundo fue un caos. Cartas, besos, caricias, charlas, malos hábitos, terrible humor, un artista, un genio, un sádico, un romántico, egocéntrico y niño. De eso se componían mis pensamientos, pase de depender de cómo terminaba el final de un libro a como terminaba cada una de sus palabras. Estaba enamorada como nunca antes y eso me asustaba. Estoy enamorada de ti y todas tus mañas, pero quiero que te quedes para siempre.

Podía verlo, la luz del fuego enfocaba su rostro a la perfección, el silencio era agobiante. Permanecía sentada de alguna forma extraña hasta que al fin lo vi caminar hacia mí; se sentó junto y me miraba con ojos perdidos, tomo mi rostro en sus deliciosas manos y me besó. Me besó despacio, permitiéndome respirar su aroma y saborear su alma. Entre caricias, besos y suspiros terminamos en la cama, aún vestidos, aún con ganas. Lentamente baja la cremallera del abrigo y me lo quita con esa sonrisa de picardía, como un niño comenzando una travesura. Una vez que el abrigo cae al suelo me mira y me dice “Te amo, mi pequeña niña y mi inmensa mujer”
El resplandor del sol hizo que retornara a la realidad, eran las 5:20 de la mañana y el seguía durmiendo. Abrí la puerta del balcón para saludar a mi madre, danzaba en las olas y en los rayos del sol, radiante como siempre. La playa estaba desierta, estaba desnuda así como me gusta; decidí entrarme en ella así camine hasta la orilla del agua y me senté.  Me sentía viva pero me di cuenta que algo me cubría de pies a cabeza; la melancolía. Lo quería, si lo miraba sabia que ese era el hombre al que amaría por el resto de mis días y tenía miedo. Miedo a que el no sintiera lo mismo, que no me viera como yo lo veo. Mi desfile de pensamientos fue interrumpido por un cálido beso en la cabeza, mi artista de había levantado. Traía una manta y un bulto,  la extendió y cubriéndome me pregunto ¿Qué haces medio desnuda con este frió sentada ahí? Necesitaba brisa con sabor a playa, le dije. Se quedo junto a mi callado durante un rato. Vimos como del océano brotaban las nubes y danzaban hasta llegar a lo más alto del cielo, también, a lo lejos en el muelle vimos a una pareja sacar su pequeño bote para pasar lo que parecía ser un excelente día.
Inesperadamente el toma mi mano y la besa, me acerca a él y al oído casi susurrando me dice
- Jamás encuentro las palabras correctas para expresarte cuán importante eres, y cuando las encuentro se me pierde el coraje para decirlas. La otra noche vi tu alma desnuda, te vi a ti con todos tus miedos y con todo el amor que tienes, entonces supe nuevamente porque te escogí para pasar el resto de mis días contigo. Has estado en cada paso que doy, aun sabiendo que alguno de esos pasos me alejaba de ti. Fuiste mi brújula cuando me encontraba extraviado, mi amiga cuando deseo hablar de cosas que no te interesan y has sido toda una diosa para mí en aspectos que ambos sabemos.  No soy muy bueno en esto, y sé que estas no son las palabras que deseas oír solo sé que te amo y lo haré hasta que mis ganas de plasmar tu sonrisa en un canva se vayan, hasta que me haya cansado de hacerte el amor, hasta el día en que me muera. Te amo, y no dejare que te marches de mi vida nunca.
El sonido de las olas cubría mis sollozos, las lagrimas bajaban por mis mejillas y las palabras no me salían. Lo mire y el tenia una inmensa sonrisa y sus ojos me miraban con ternura. Me quito ambas mantas y del bulto saco su abrigo azul de rayas, me lo puso y me dijo:
-Quédate conmigo para siempre.
Y le dije:
-Me quedare contigo hasta en las ocasiones que quieras estar solo.
Lo beso y le digo:
-Te amo, renacuajo
Me besa y me dice:
-Te amo, mi niña.
Segunda historia.
Jean Cocteau es un ruiseñor mecánico a quien le ha dado cuerda Ronsard.

Los únicos brazos entre los cuales nos resignaríamos a pasar la vida, son los brazos de las Venus que han perdido los brazos.

Si los pintores necesitaran, como Delacroix, asistir al degüello de 400 odaliscas para decidirse a tomar los pinceles... Si, por lo menos, sólo fuesen capaces de empuñarlos antes de asesinar a su idolatrada Mamá...

Musicalmente, el clarinete es un instrumento muchísimo más rico que el diccionario.

Aunque se alteren todas nuestras concepciones sobre la Vida y la Muerte, ha llegado el momento de denunciar la enorme superchería de las "Meninas" que -siendo las propias "Meninas" de carne y hueso- colgaron un letrerito donde se lee Velázquez, para que nadie descubra el auténtico y secular milagro de su inmortalidad.

Nadie escuchó con mayor provecho que Debussy, los arpegios que las manos traslúcidas de la lluvia improvisan contra el teclado de las persianas.

Las frases, las ideas de Proust, se desarrollan y se enroscan, como las anguilas que nadan en los acuarios; a veces deformadas por un efecto de refracción, otras anudadas en acoplamientos viscosos, siempre envueltas en esa atmósfera que tan solo se encuentra en los acuarios y en el estilo de Proust.

¡La "Olimpia" de Manet está enferma de "mal de Pott"! ¡Necesita aire de mar!... ¡Urge que Goya la examine!...

En ninguna historia se revive, como en las irisaciones de los vidrios antiguos, la fugaz y emocionante historia de setecientos mil crepúsculos y auroras.

¡Las lágrimas lo corrompen todo! Partidarios insospechables de un "régimen mejorado", ¿tenemos derecho a reclamar una "ley seca" para la poesía... para una poesía "extra dry", gusto americano?

Todo el talento del "douannier" Rousseau estribó en la convicción con que, a los sesenta años, fue capaz de prenderse a un biberón.

La disección de los ojos de Monet hubiera demostrado que Monet poseía ojos de mosca; ojos forzados por innumerables ojitos que distinguen con nitidez los más sutiles matices de un color pero que, siendo ojos autónomos, perciben esos matices independientemente, sin alcanzar una visión sintética de conjunto.

Las frases de Oscar Wilde no necesitan red. ¡Lástima que al realizar sus más arriesgadas acrobacias, nos dejen la incertidumbre de su ****!

El cúmulo de atorrantismo y de burdel, de uso y abuso de limpiabotas, de sensiblería engominada, de ojo en compota, de retobe y de tristeza sin razón -allí está la pampa... más allá el indio... la quena... el tamboril -que se espereza y canta en los acordes del tango que improvisa cualquier lunfardo.

Es necesario procurarse una vestimenta de radiógrafo (que nos proteja del contacto demasiado brusco con lo sobrenatural), antes de aproximarnos a los rayos ultravioletas que iluminan los paisajes de Patinir.

No hay crítico comparable al cajón de nuestro escritorio.

Entre otras... ¡la más irreductible disidencia ortográfica! Ellos: Padecen todavía la superstición de las Mayúsculas.

Nosotros: Hace tiempo que escribimos: cultura, arte, ciencia, moral y, sobre todo y ante todo, poesía.

Los cubistas cometieron el error de creer que una manzana era un tema menos literario y frugal que las nalgas de madame Recamier.

¡Sin pie, no hay poesía! -exclaman algunos. Como si necesitásemos de esa confidencia para reconocerlos.

Esos tinteros con un busto de Voltaire, ¿no tendrán un significado profundo? ¿No habrá sido Voltaire una especie de Papa (*****) de la tinta?

En música, al pleonasmo se le denomina: variación.

Seurat compuso los más admirables escaparates de juguetería.

La prosa de Flaubert destila un sudor tan frío que nos obliga a cambiarnos de camiseta, si no podemos recurrir a su correspondencia.

El silencio de los cuadros del Greco es un silencio ascético, maeterlinckiano, que alucina a los personajes del Greco, les desequilibra la boca, les extravía las pupilas, les diafaniza la nariz.

Los bustos romanos serían incapaces de pensar si el tiempo no les hubiera destrozado la nariz.

No hay que admirar a Wagner porque nos aburra alguna vez, sino a pesar de que nos aburra alguna vez.

Europa comienza a interesarse por nosotros. ¡Disfrazados con las plumas o el chiripá que nos atribuye, alcanzaríamos un éxito clamoroso! ¡Lástima que nuestra sinceridad nos obligue a desilusionarla... a presentarnos como somos; aunque sea incapaz de diferenciarnos... aunque estemos seguros de la rechifla!

Aunque la estilográfica tenga reminiscencias de lagrimatorio, ni los cocodrilos tienen derecho a confundir las lágrimas con la tinta.

Renán es un hombre tan bien educado que hasta cuando cree tener razón, pretende demostrarnos que no la tiene.

Las Venus griegas tienen cuarenta y siete pulsaciones. Las Vírgenes españolas, ciento tres.

¡Sepamos consolarnos! Si las mujeres de Rubens pesaran 27 kilos menos, ya no podríamos extasiarnos ante los reflejos nacarados de sus carnes desnudas.

Llega un momento en que aspiramos a escribir algo peor.

El ombligo no es un órgano tan importante como imaginan ustedes... ¡Señores poetas!

¿Estupidez? ¿Ingenuidad? ¿Política?... "Seamos argentinos", gritan algunos... sin advertir que la nacionalidad es algo tan fatal como la conformación de nuestro esqueleto.

Delatemos un onanismo más: el de izar la bandera cada cinco minutos.

Lo primero que nos enseñan las telas de Chardin es que, para llegar a la pulcritud, al reposo, a la sensatez que alcanzó Chardin, no hay más remedio que resignarnos a pasar la vida en zapatillas.

Facilísimo haber previsto la muerte de Apollinaire, dado que el cerebro de Apollinaire era una fábrica de pirotecnia que constantemente inventaba los más bellos juegos de artificio, los cohetes de más lindo color, y era fatal que al primero que se le escapara entre el fango de la trinchera, una granada le rebanara el cráneo.

Los esclavos miguelangelescos poseen un olor tan iodado, tan acre que, por menos paladar que tengamos basta gustarlo alguna vez para convencerse de que fueron esculpidos por la rompiente. (No me refiero a los del Louvre; modelados por el mar, un día de esos en que fabrica merengues sobre la arena).

¡La opinión que se tendrá de nosotros cuando sólo quede de nosotros lo que perdura de la vieja China o del viejo Egipto!

¡Impongámosnos ciertas normas para volver a experimentar la complacencia ingenua de violarlas! La rehabilitación de la infidelidad reclama de nosotros un candor semejante. ¡Ruboricémonos de no poder ruborizarnos y reinventemos las prohibiciones que nos convengan, antes de que la libertad alcance a esclavizarnos completamente!

El cemento armado nos proporciona una satisfacción semejante a la de pasarnos la mano por la cara, después de habernos afeitado.

¡Los vidrios catalanes y las estalactitas de Mallorca con que Anglada prepara su paleta!

Los cubistas salvaron a la pintura de las corrientes de aire, de los rayos de sol que amenazaban derretirla pero -al cerrar herméticamente las ventanas, que los impresionistas habían abierto en un exceso de entusiasmo- le suministraron tal cúmulo de recetas, una cantidad tan grande de ventosas que poco faltó para que la asfixiaran y la dejasen descarnada, como un esqueleto.

Hay poetas demasiado inflamables. ¿Pasan unos senos recién inaugurados? El cerebro se les incendia. ¡Comienza a salirles humo de la cabeza!

"La Maja Vestida" está más desnuda que la "maja desnuda".

Las telas de Velázquez respiran a pleno pulmón; tienen una buena tensión arterial, una temperatura normal y una reacción Wasserman negativa.

¡Quién hubiera previsto que las Venus griegas fuesen capaces de perder la cabeza!

Hay acordes, hay frases, hay entonaciones en D'Annunzio que nos obligan a perdonarle su "fiatto", su "bella voce", sus actitudes de tenor.

Azorín ve la vida en diminutivo y la expresa repitiendo lo diminutivo, hasta darnos la sensación de la eternidad.

¡El Arte es el peor enemigo del arte!... un fetiche ante el que ofician, arrodillados, quienes no son artistas.

Lo que molesta más en Cézanne es la testarudez con que, delante de un queso, se empeña en repetir: "esto es un queso".

El espesor de las nalgas de Rabelais explica su optimismo. Una visión como la suya, requiere estar muellemente sentada para impedir que el esqueleto nos proporcione un pregusto de muerte.

La arquitectura árabe consiguió proporcionarle a la luz, la dulzura y la voluptuosidad que adquiere la luz, en una boca entreabierta de mujer.

Hasta el advenimiento de Hugo, nadie sospechó el esplendor, la amplitud, el desarrollo, la suntuosidad a que alcanzaría el genio del "camelo".

Es tanta la mala educación de Pió Baroja, y es tan ingenua la voluptuosidad que siente Pío Baroja en ser mal educado, que somos capaces de perdonarle la falta de educación que significa llamarse: Pío Baroja.

No hay que confundir poesía con vaselina; vigor, con camiseta sucia.

El estilo de Barres es un estilo de onda, un estilo que acaba de salir de la peluquería.

Lo único que nos impide creer que Saint Saens haya sido un gran músico, es haber escuchado la música de Saint Sáéns.

¿Las Vírgenes de Murillo?

Como vírgenes, demasiado mujeres.

Como mujeres, demasiado vírgenes.

Todas las razones que tendríamos para querer a Velázquez, si la única razón del amor no consistiera en no tener ninguna.

Los surtidores del Alhambra conservan la versión más auténtica de "Las mil y una noches", y la murmuran con la fresca monotonía que merecen.

Si Rubén no hubiera poseído unas manos tan finas!... ¡Si no se las hubiese mirado tanto al escribir!...

La variedad de cicuta con que Sócrates se envenenó se llamaba "Conócete a ti mismo".

¡Cuidado con las nuevas recetas y con los nuevos boticarios! ¡Cuidado con las decoraciones y "la couleur lócale"! ¡Cuidado con los anacronismos que se disfrazan de aviador! ¡Cuidado con el excesivo dandysmo de la indumentaria londinense! ¡Cuidado -sobre todo- con los que gritan: "¡Cuidado!" cada cinco minutos!

Ningún aterrizaje más emocionante que el "aterrizaje" forzoso de la Victoria de Samotracia.

Goya grababa, como si "entrara a matar".

El estilo de Renán se resiente de la flaccidez y olor a sacristía de sus manos... demasiado aficionadas "a lavarse las manos".

La Gioconda es la única mujer viviente que sonríe como algunas mujeres después de muertas.

Nada puede darnos una certidumbre más sensual y un convencimiento tan palpable del origen divino de la vida, como el vientre recién fecundado de la Venus de Milo.

El problema más grave que Goya resolvió al pintar sus tapices, fue el dosaje de azúcar; un terrón más y sólo hubieran podido usarse como tapas de bomboneras.

Los rizos, las ondulaciones, los temas "imperdibles" y, sobre todo, el olor a "vera violetta" de las melodías italianas.

Así como un estiló maduro nos instruye -a través de una descripción de Jerusalén- del gesto con que el autor se anuda la corbata, no existirá un arte nacional mientras no sepamos pintar un paisaje noruego con un inconfundible sabor a carbonada.

¿Por qué no admitir que una gallina ponga un trasatlántico, si creemos en la existencia de Rimbaud, sabio, vidente y poeta a los 12 años?

¡El encarnizamiento con que hundió sus pitones, el toro aquél, que mató a todos los Cristos españoles!

Rodin confundió caricia con modelado; espasmo con inspiración; "atelier" con alcoba.

Jamás existirán caballos capaces de tirar un par de patadas que violenten, más rotundamente, las leyes de la perspectiva y posean, al mismo tiempo, un concepto más equilibrado de la composición, que el par de patadas que tiran los heroicos percherones de Paolo Uccello.

Nos aproximamos a los retratos del Greco, con el propósito de sorprender las sanguijuelas que se ocultan en los repliegues de sus golillas.

Un libro debe construirse como un reloj, y venderse como un salchichón.

Con la poesía sucede lo mismo que con las mujeres: llega un momento en que la única actitud respetuosa consiste en levantarles la pollera.

Los críticos olvidan, con demasiada frecuencia, que una cosa es cacarear, otra, poner el huevo.

Trasladar al plano de la creación la fervorosa voluptuosidad con que, durante nuestra infancia, rompimos a pedradas todos los faroles del vecindario.

¡Si buena parte de nuestros poetas se convenciera de que la tartamudez es preferible al plagio!

Tanto en arte, como en ciencia, hay que buscarle las siete patas al gato.

El barroco necesitó cruzar el Atlántico en busca del trópico y de la selva para adquirir la ingenuidad candorosa y llena de fasto que ostenta en América.

¿Cómo dejar de admirarla prodigalidad y la perfección con que la mayoría de nuestros poetas logra el prestigio de realizar el vacío absoluto?

A fuerza de gritar socorro se corre el riesgo de perder la voz.

En los mapas incunables, África es una serie de islas aisladas, pero los vientos hinchan sus cachetes en todas direcciones.

Los paréntesis de Faulkner son cárceles de negros.

Estamos tan pervertidos que la inhabilidad de lo ingenuo nos parece el "sumun" del arte.

La experiencia es la enfermedad que ofrece el menor peligro de contagio.

En vez de recurrir al whisky, Turner se emborracha de crepúsculo.

Las mujeres modernas olvidan que para desvestirse y desvestirlas se requiere un mínimo de indumentaria.

La vida es un largo embrutecimiento. La costumbre nos teje, diariamente, una telaraña en las pupilas; poco a poco nos aprisiona la sintaxis, el diccionario; los mosquitos pueden volar tocando la corneta, carecemos del coraje de llamarlos arcángeles, y cuando deseamos viajar nos dirigimos a una agencia de vapores en vez de metamorfosear una silla en un trasatlántico.

Ningún Stradivarius comparable en forma, ni en resonancia, a las caderas de ciertas colegialas.

¿Existe un llamado tan musicalmente emocionante como el de la llamarada de la enorme gasa que agita Isolda, reclamando desesperadamente la presencia de Tristán?

Aunque ellos mismos lo ignoren, ningún creador escribe para los otros, ni para sí mismo, ni mucho menos, para satisfacer un anhelo de creación, sino porque no puede dejar de escribir.

Ante la exquisitez del idioma francés, es comprensible la atracción que ejerce la palabra "merde".

El adulterio se ha generalizado tanto que urge rehabilitarlo o, por lo menos, cambiarle de nombre.

Las distancias se han acortado tanto que la ausencia y la nostalgia han perdido su sentido.

Tras todo cuadro español se presiente una danza macabra.

Lo prodigioso no es que Van Gogh se haya cortado una oreja, sino que conservara la otra.

La poesía siempre es lo otro, aquello que todos ignoran hasta que lo descubre un verdadero poeta.

Hasta Darío no existía un idioma tan rudo y maloliente como el español.

Segura de saber donde se hospeda la poesía, existe siempre una multitud impaciente y apresurada que corre en su busca pero, al llegar donde le han dicho que se aloja y preguntar por ella, invariablemente se le contesta: Se ha mudado.

Sólo después de arrojarlo todo por la borda somos capaces de ascender hacia nuestra propia nada.

La serie de sarcófagos que encerraban a las momias egipcias, son el desafío más perecedero y vano de la vida ante el poder de la muerte.

Los pintores chinos no pintan la naturaleza, la sueñan.

Hasta la aparición de Rembrandt nadie sospechó que la luz alcanzaría la dramaticidad e inagotable variedad de conflictos de las tragedias shakespearianas.

Aspiramos a ser lo que auténticamente somos, pero a medida que creemos lograrlo, nos invade el hartazgo de lo que realmente somos.

Ambicionamos no plagiarnos ni a nosotros mismos, a ser siempre distintos, a renovarnos en cada poema, pero a medida que se acumulan y forman nuestra escueta o frondosa producción, debemos reconocer que a lo largo de nuestra existencia hemos escrito un solo y único poema.
coffeesign Jun 2013
Aku lari ke hutan, kemudian menyanyiku
Aku lari ke pantai, kemudian teriakku
Sepi… Sepi dan sendiri aku benci.
Aku ingin bingar. Aku mau di pasar.

Bosan aku dengan penat,
dan enyah saja kau, pekat!
Seperti berjelaga jika aku sendiri
Pecahkan saja gelasnya biar ramai
Biar mengaduh sampai gaduh

Ahh.. ada malaikat menyulam jaring laba-laba belang
di tembok keraton putih
Kenapa tak goyangkan saja loncengnya?
Biar terderah,
atau… aku harus lari ke hutan belok ke pantai?
fatin Oct 2017
berdiri aku di tengah sibuk pasar
kelihatan ragam manusia
-bermacam

ada yang berpaut
berpegangan tangan
aku tahu rasanya
indah dan sentiasa selamat

di kedai kecil sana ada anak menangis
meminta untuk dibelikan
--umpama masalah dunia, paling besar
tersenyum aku
hai anak, andai kau tahu apa itu resah remaja
dan getir si tua

pandangan aku terkunci pada yang keliru
ditangan nya penuh dengan pilihan
dan aku kenal rasa itu
dimana cuma mahu yang sempurna
sekali lagi aku tersenyum
--mana mungkin ada yang cukup

keluh aku pada dunia
pentas paling besar
dan ramainya pemain pentas ini
ada yang yakin dengan watak nya
yang biasa sahaja juga ada

aku?
aku cuma memerhati
dan syukur
kerana masih punya nikmat untuk rasa riuh pasar

-f 611am 3rd oct
Todo pasa y todo queda,
pero lo nuestro es pasar,
pasar haciendo caminos,
caminos sobre la mar.
Rodando a goterones solos,
a gotas como dientes,
a espesos goterones de mermelada y sangre,
rodando a goterones
cae el agua,
como una espada en gotas,
como un desgarrador río de vidrio,
cae mordiendo,
golpeando el eje de la simetría, pegando en las costuras del
alma,
rompiendo cosas abandonadas, empapando lo oscuro.

Solamente es un soplo, más húmedo que el llanto,
un líquido, un sudor, un aceite sin nombre,
un movimiento agudo,
haciéndose, espesándose,
cae el agua,
a goterones lentos,
hacia su mar, hacia su seco océano,
hacia su ola sin agua.

Veo el verano extenso, y un estertor saliendo de un granero,
bodegas, cigarras,
poblaciones, estímulos,
habitaciones, niñas
durmiendo con las manos en el corazón,
soñando con bandidos, con incendios,
veo barcos,
veo árboles de médula
erizados como gatos rabiosos,
veo sangre, puñales y medias de mujer,
y pelos de hombre,
veo camas, veo corredores donde grita una virgen,
veo frazadas y órganos y hoteles.

Veo los sueños sigilosos,
admito los postreros días,
y también los orígenes, y también los recuerdos,
como un párpado atrozmente levantado a la fuerza
estoy mirando.

Y entonces hay este sonido:
un ruido rojo de huesos,
un pegarse de carne,
y piernas amarillas como espigas juntándose.
Yo escucho entre el disparo de los besos,
escucho, sacudido entre respiraciones y sollozos.

Estoy mirando, oyendo,
con la mitad del alma en el mar y la mitad del alma en la tierra,
y con las dos mitades del alma miro el mundo.

Y aunque cierre los ojos y me cubra el corazón enteramente,
veo caer un agua sorda,
a goterones sordos.

Es como un huracán de gelatina,
como una catarata de espermas y medusas.
Veo correr un arco iris turbio.
Veo pasar sus aguas a través de los huesos.
Tengo el pecho lleno de calor,
el aire me lo dijo y me canto una canción.
Tengo el alma y grita a veces,
aveces me oculto entre la gente,
no por que tema a mostrarme,
es que prefiero pasar inadvertido,
para cuando el viento me señale,
haberlo antes sorprendido.

Las voces en mi mente
susurran como las ramas de un arbol,
me lo digo a mi mismo,
y en mi interior resueno;
aveces solo aveces
sueño con ella,
aún que ya no recuerdo su voz.
Aún recuerdo la lluvia,
el camino a mi casa,
un suspiro, un minuto de alavanza
y el dibujo de un sonrisa en mi cara.

Si escribo es para romperme en pedazos,
para que alguien, tan solo alguien
comparta mi canto,
por que no quiero volar solo,
quiero surcar los cielos
con un coro de voces que brillen
voces oscuras,
otros matices,
que sigan mi vuelo
o que me muestren el suyo.
Quizá nunca supe mucho al respecto.
Sólo sabía sentir, y era el sentir más genuino y puro que yo hubiera conocido. No sabía nada, tan solo un instinto que me llamaba a adentrarme en aquel desconocido mundo lleno de aquellas inefables sensaciones que no comprendo del todo.
Una locura, fue. Lo sé, y quizá lo supe siempre, pero ya no vale decir más. Loco fue ese sentimiento, que me hacía pensar noche y día en ti. Ese sentimiento que hizo que quisiera defenderte a toda costa de cualquier daño que pudiera hacerte el mundo en tu existencia, a pesar de ser siempre yo quien necesitara una mano para salir de un hoyo interminable que me arrastraba de vez en cuando. Un sentir, que se sentía rapidísimo cuando estabas cerca, y lento e interminable cuando estabas ausente. El tiempo se detenía entre abrazos y canciones, pero eso, eso era solo en mi mente. Me perdía en el sonido de tus palabras para no saber de mí jamás... Pobre ingenuidad... Tenías otros planes...

Te fuiste, aparentándo que nada jamás te importó. Mandándome a mí o a mi madre a lugares a los que no se mandan ni a los enemigos, y te alejaste a tope. Todo por una palabra. Una simple palabra.
Me dijiste tantas cosas sin un solo insulto, que terminé por casi volver a hacer la misma estupidez de antaño, cuando la gente ya no quiere nada que ver con su existencia.

Y día a día, indirectamente, me hacías sentir culpable. ¿Sabes qué hizo esta idiota? Alegrarse cuando te veía sonreir, sonreir de verdad. Quizá era el único consuelo, para el unico sentimiento perdido que había sido verdaderamente real en una corta y monótona existencia.
Un día de esos en los que realmente no soy yo, te tuve frente a frente, pero las palabras no salieron. Hice lo que pude para no llorar, ni correr hacia ti, porque no sabía qué mas hacer. Lo único que sabía era que eso no iba a pasar. Que ya nada iba a pasar.

Luego sucedió. Me sacaste de quicio. Esa llamada. Esa persona desconocida, esas palabras, y tu risita en el fondo. ¿Qué tan mal tengo que estar para alimentar esa macabra sonrisa tuya? A veces me pregunto si era en serio aquella vez que me dijiste que eras un demonio. Conociste mi enfado ese día, pero de lejitos. No iba a hacerte daño, no soy como tú.

Y al final, te apareces, diciendo estar preocupado, con un montón de cosas que reiteradamente me dijiste que olvidara. Buscándome por todos lados. Te pregunté ¿Por qué lo hiciste?

Obtuve tu silencio.

Hoy hay otro sentimiento, el mismo que cuando te alejaste. Pero este si lo puedo expresar...

Siento un vacío profundo
Un vacío infinito.
No se llena de nada
esta cada vez mas vacío
como un hada
sin alas
sin mundo
al mar de lo desconocido
Se adentra,
lo que venga
Estoy lista
Dejé atrás todo sentir
Porque tengo miedo
a sentir lo mismo.
Victor D López Feb 2019
Naciste siete años antes del comienzo de la guerra civil española,
Y viviste en una casita de dos pisos en la Calle de Abajo de Fontan,
Frente al mar que les regalo su riqueza y belleza,
Y les robo a tu hermano mayor, y el más noble, Juan, a los 19 años.

De chiquita eras muy llorona. Los vecinos te hacían rabiar con solo decirte,
“Chora, Litiña, chora” lo cual producía un largo llanto al instante.
A los siete u ocho años quedaste ciega por una infección en los ojos. Te salvó la vista
El medico del pueblo, pero no antes de pasar más de un año sin poder ir a la escuela.

Nunca recuperaste ese tiempo perdido. Tu impaciencia y la vergüenza de sentirte atrasada, Impidieron tus estudios. Tu profundo amor propio y la vergüenza de no saber lo que sabían tus
Amigas de tu edad, tu inquietud y tu inhabilidad de aguantar la lengua cuando te corregían,
Crearon una perfecta tormenta que desvió tu diminutiva nave hacia las rocas.

Cuando aún una niña, viste a Franco con su escolta salir de su yate en Fontan.
Con la inocencia de una niña que nunca supo aguantar la lengua, preguntaste a
Una vecina que también estaba presente “Quien es ese señor?”
“El Generalísimo Francisco Franco” te contestó en voz baja. Dile “Viva Franco” cuando pase.

Con la inocencia de una niña y con la arrogancia de una viejita incorregible gritaste señalándolo
“Ese es el Generalísimo?” Y con una carcajada seguiste en voz alta “Parece Pulgarcito!”
Un miembro de su escolta se acercó alzando su ametralladora con la aparente Intención de Golpearte con la culata. “Dejadla!” Exclamo Franco. “Es una niña—la culpa no es suya.”

Contaste ese cuento muchas veces en mi presencia, siempre con una sonrisa o riéndote.
Creo que nunca apreciaste el importe de esa “hazaña” de desprecio a la autoridad. Pudiera ser En parte por ese hecho de tu niñez que vinieron eventualmente por tu padre  
Que lo Llevaron preso. Que lo torturaron por muchos meses y condenaron a muerte?

El escapó su condena como ya he contado antes—con la ayuda de un oficial fascista.
Tan fuerte era su reputación y el poder de sus ideas hasta con sus muchos amigos contrarios.
Tal tu inocencia, o tu ceguera psíquica, en no comprender nunca una potencial causa de su Destrucción. A Dios gracias que nunca pudiste apreciar la posible consecuencia de tus palabras.

Tu padre, quien quisiste toda la vida entrañablemente con una pasión de la cual fue muy Merecedor, murió poco después del término de la guerra civil. Una madre con diez
Bocas para alimentar necesitaba ayuda. Tú fuiste una de las que más acudió a ese
Pedido silencioso. A los 11 años dejaste la escuela por última vez y comenzaste a trabajar.

Los niños no podían trabajar en la España de Franco. No obstante, un primo tomó piedad
De la situación y te permitió trabajar en su fábrica de embutidos de pescado en Sada.
Ganabas igual que todas tus compañeras mayores. Y trabajabas mejor que la mayoría de ellas,
Con la rapidez y destreza que te sirvieron bien toda tu vida en todos tus trabajos.

En tu tiempo libre, llevabas agua de la fuente comunal a vecinos por unos céntimos.
De chiquita también llevabas una sella en la cabeza para casa y dos baldes en las manos antes y Después de tu trabajo en la fábrica de Cheche para el agua de muchos pescadores en el puerto
Antes del amanecer esperando la partida a alta mar con tu agua fresca en sus recipientes.

Todo ese dinero era entregado tu madre con el orgullo de una niña que proveía
Más que el sueldo de una mujer grande—solo a cambio de tu niñez y de la escuela.
También lavabas ropa para algunos vecinos. Y siempre gratuitamente los pañales cuando había
Niños recién nacidos solo por el placer de verlos y poder estar con ellos.

Cuando eras un poco más grande, ya de edad de ir al baile y al cine, seguías la misma rutina,
Pero también lavabas y planchabas la ropa de los marineros jóvenes que querían ir muy limpios
Y bien planchados al baile los domingos. Ese era el único dinero que era solo tuyo—para
Pagar la peluquería todas las semanas y el baile y cine. El resto siempre para tu madre.


A los dieciséis años quisiste emigrar a Argentina a la casa de una tía en Buenos Aires.
Tu madre te lo permitió, pero solo si llevabas también a tu hermana menor, Remedios, contigo.
Lo hiciste. En Buenos Aires no podías trabajar tampoco por ser menor. Mentiste en las Aplicaciones y pudiste conseguir trabajo en una clínica como ayudanta de enfermera.

Lavaste bacinillas, cambiaste camas, y limpiaste pisos con otros trabajos similares.
Todo por ganar suficiente dinero para poder reclamar a tu madre y hermanos menores,
Sito (José) y Paco (Francisco). Luego conseguiste un trabajo de mucama en un hotel
En Mar del Plata. Los dueños apreciaron tu pasión por cuidar a sus niños pequeños.

Te mantuvieron como niñera y mucama—sin doble sueldo. Entre tu (pobre) sueldo y
Propinas de mucama, en un tiempo pudiste guardar suficiente dinero para comprar
Los pasajes para tu madre y hermanos. También pudiste volver a Buenos Aires y
Conseguiste alquilar un doble cuarto en una antigua casa cerca del Consulado español.

De aquellas, aun menor de edad, ya trabajabas en el laboratorio Ponds—al cargo de una
Máquina de empacado de productos de belleza. Ganabas buen dinero, y vivieron en el
Centro de Buenos aires en esa casa hasta que te casaste con papa muchos años después.
Aun te perseguía la mala costumbre de decir lo que penabas y de no dar el brazo a torcer.

El sindicato de la Ponds trató de obligarte a registrarte como Peronista.
A gato escaldado hasta el agua fría le hace daño, y reusaste registrarte al partido.
Le dijiste al sindicato que no le habías escapado a un dictador para aliarte a otro.
Te amenazaron con perder el trabajo. Y con repatriarte a ti y a tu madre y hermanos.

Tu respuesta no la puedo escribir aquí. Te llevaron frente al gerente general demandando
Que te despidiera de inmediato. Contestaste que te demostraran razones para hacerlo.
El gerente—indudablemente a propio riesgo—contestó que no había mejor trabajadora
En la fábrica y que no tenía el sindicato razones para pedir que te despidiera.

Después de un noviazgo de varios años, se casaron tú y papa. Tenían el mundo en sus
Manos. Buen trabajo con buenos ahorros que les permitirían vivir muy bien en el futuro.
No podías tener hijos—los cuales siempre anhelaste tener. Tres años de tratamientos
Lograron que me dieras vida. Vivimos por años en un hermoso apartamento en la ciudad.

Tengo uso de razón y recuerdos gratos desde antes de los dos años. Recuerdo muy bien ese Apartamento. Pero las cosas cambiaron cuando decidieron emprender un negocio
Que no fue sostenible en el caos de la Argentina en los años 60. Recuerdo demasiado bien el Sacrificio tuyo y el de papa—es eso un tema para otro día, pero no para hoy.

Fuiste la persona más trabajadora que conocí en mi vida. No le temías a ningún trabajo
Honesto por fuerte que fuese y tu inquietud y espíritu competitivo siempre te hicieron
Una empleada estelar en todos tus trabajos, la mayoría de ellos sumamente esclavos.
Hasta en casa no sabias parar a no ser que tuvieras con quien charlar un rato largo.

Eras una gran cocinera gracias en parte al chef del hotel en cual trabajaste en Argentina
Que era también un compatriota español (vasco) y te enseno a cocinar muchos de sus
Platos españoles e italianos favoritos. Fuiste siempre muy mal comedora. Pero te
Encantaba cocinar para amigos, familia y—cuantos mas mejor—y para las fiestas.

Papá también era buen cocinero aunque con un repertorio mas limitado. Y yo aprendí
De los dos con mucho afán también a cocinar desde joven. Ni en la cocina ni en ninguna
Fase de mi vida me puedo comparar contigo ni con papa, pero también me encanta
Cocinar y en especial para compartir con seres queridos.

Te daba gran placer introducir a mis amigos a tus platos favoritos como la cazuela de mariscos,
Paella, caldo gallego, tus incomparables canelones, ñoquis, orejas, filloas, buñuelos, flan,
Y todo el resto de tu largo repertorio de música culinaria. Papa me iba a buscar al colegio
Cuando en la escuela secundaria (JHS #10) todos los días antes del trabajo.

Los dos trabajaban el segundo turno y no partían hasta después de las 2:00 p.m.
Muchos días traía el coche lleno de mis compañeros. Recuerdo igual que si fuera ayer
Las caras de mis amigos judíos, chinos, japoneses, italianos, ingleses e irlandeses
Cuando primero probaron el pulpo, caldo gallego, la tortilla, las orejas o el flan.

Mediante el bachiller, la universidad y los estudios de derecho fue igual. A veces parecía
Una reunión de Las Naciones Unidas, pero siempre con comida. Siempre trataste a mis
Amigos íntimos como si fueran hijos tuyos también. Y algunos aun hoy día te quieren
Como una segunda madre y sienten tu ausencia aunque no te vieran por muchos años.

Tuviste una pasión por ser madre (una gran pena que solo tuvieras un hijo).
Que te hizo ser demasiado protectora de tu hijo.  Me vestías con ropa exclusiva de
Les Bebes—Fui un muñeco para quien no los tuvo de niña. No me dejabas fuera de tu vista.
El mantenerme en un ambiente libre de gérmenes produjeron algunos problemas de salud.

Mi pediatra te decía “Quiero verlo con las rodillas raspadas y las uñas sucias.”
Tú lo tomabas como un chiste. Me llevabas a menudo a un parque y a la calesita.
Lo recuerdo como si fuera ayer. Pero no recuerdo tener ningún amigo hasta los siete u ocho
Años. Y solo uno entonces. No recuerdo tener una pandilla de amigos hasta los 13 años. Triste.

Cuando comencé a hablar como una cotorra con un año, y a caminar al mismo tiempo,
Me llevaste al médico. El medico pensó que era solo idea tuya. Me mostro unas llaves y me
Pregunto “Sabes lo que es esto, Danielito?” “Si. Son las llaves de tu tutú,” le contesté.
Después de unas pruebas, le recomendaron a mi madre que alimentara mi curiosidad.

Según ella era yo insoportable (algunas cosas nunca cambian). Si le preguntaba a
Papá por que el sol quema, a que distancia esta, que son las estrellas, por qué una
Linterna enfocada al cielo en una noche oscura no se ve, por qué los aviones no tienen
Ruedas debajo de pontones para poder aterrizar y despegar en el agua? Etc., etc., etc.

Me contestaba con paciencia. Recuerdo viajes en tren o autobús sentado en las piernas de mi Padre haciéndole mil preguntas. Desafortunadamente, si le preguntaba algo a mama que No supiera contestar, inventaba cualquier respuesta con tal de hacerme callar en vez de decirme “No se” o “pregúntaselo a papá” o “vete al infierno de una ver por todas y dejame en paz.”

Cuando me contaba algún cuento y no me gustaba como terminaba, “Caperucita Roja” por Ejemplo, mi madre tenía que inventar un fin que me gustara mejor o aguantar un llanto
Interminable. Pobre madre. Inventar lo que a Danielito no le gustaba podía ser peligroso.
Recuerdo un día en el teatro viendo dibujos animados que me encantaban (y aun encantan).

El Pato Donald salió en una escena comiéndose un tremendo sándwich. Le dije a mamá que
Quería un sándwich igual. En vez de contestarme que no era un sándwich de verdad, o que me Llevarían a comer después del teatro (como de costumbre) se le ocurrió decirme que me
Lo iba a traer el Pato Donald al asiento. Cambio la escena y el Pato Donald salió sin el sándwich.


Se acabo el mundo. Empecé a chillar y llorar que el Pato Donald se comió mi sándwich.
Me había mentido y no me trajo el prometido sándwich. Eso era algo insoportable.
No hubo forma de consolarme o hacerme entender—ya tarde—que el Pato Donald también
Tenía hambre, que el sándwich era suyo y no mío, o que lo de la pantalla no era realidad.

Ardió Cristo. Se había comido el sándwich del nene el Pato Donald quien era (y es) mi favorito.
La traición de un ser querido así era inconcebible e insoportable. Me tuvieron que quitar del
Cine a grito pelado. No se me fue la pataleta por largo rato. Pero todo paso cuando mi querida Tía Nieves (una prima) me dio unas galletas marineras con mermelada más tarde en su casa.

Cuánta agua debajo del puente. Tus recuerdos como el humo en una placentera brisa ya se han Esparcido, son moléculas insubstanciales como estrellas en el cielo, que no pintan cuadros Coherentes. Una vida de conversaciones vitales vueltas a susurros de niños en una tormenta Tropical, impermisibles, insustanciales, solo un sueño que interrumpe una pesadilla eterna.

Así es tu vida hoy. Tu memoria fue siempre prodigiosa. Recordabas el nombre de todas las Personas que conociste en toda tu vida—y conversaciones enteras palabra por palabra.
Con solo tres años de escuela, te fuiste por el mundo rompiendo paso y aprendiste a leer y
Escribir ya después de os 16 años en una ciudad adoptiva. Te fue más que suficiente tu estudio.

Siempre dije que eras mucho mejor escritora que yo. Cuantas excelentes novelas u obras de Teatro y poesía hubieras escribido tú con la mitad de mi educación y el triple de trabajo?  
No ay justicia en este mundo. Por qué le da Dios pan a quien no tiene dientes? Tú prodigiosa Memoria no te permite ya que me reconozcas. Fui la última persona que olvidaste.

Pero aun ahora que ya no puedes tener una conversación normal en ningún idioma,
Alguna vez te brillan los ojos y me llamas “neniño” y sé que por un instante no estás ya sola.
Pero pronto se apaga esa luz y vuelve la oscuridad. Solo te puedo ver unas horas un día a la Semana. Las circunstancias de mi vida no me dejan otra mejor opción.

Algún día no tendré ni siquiera la oportunidad de compartir unas horas contigo. No tendrás
Monumento alguno salvo en mis recuerdos mientras me quede uso de razón. Toda una
Vida de incalculable sacrificio de la cual solo dejarás el más pobre rasgo viviente del amor
De tu único hijo quien no tiene palabras para honrarte adecuadamente ni nunca las tendrá.


*          *          *

Ya llegó ese día, demasiado pronto. Octubre 11, 2018. Llegó la llamada a las 03:30 horas,
Una o dos horas después de haber quedado yo dormido. Te trataron de resucitar en vano.
No habría ya mas oportunidades de decirte te quiero, de acariciar tus manos y cara,
De cantarte al oído, de poner crema en tus manos, de anhelar que esta semana me recordaras.

De contarte acontecimientos de seres queridos, a quien vi, que me dijeron, quien pregunto
Por ti, ni de rezar por ti o de pedirte si me dabas un besito poniendo mi mejilla cerca de tus Labios y del placer cuando respondías dándome muchos besitos. Cuando no me respondías,
Lo mas probable estos últimos muchos meses, te decía, “Bueno la próxima vez.”

Siempre al despedirme te daba un besito por Alice y un abrazo que siempre te mandaba,
Y tres besitos en tu frente de parte de papa (siempre te daba tres juntos), y uno mío. Te
Dejaba la tele prendida en un canal sin volumen que mostrara movimiento. Y en lo posible
Esperaba que quedaras con los ojos cerrados antes de marchar.

Se acabó el tiempo. No hay mas prorroga. Mis oraciones cambian de pedir que Dios te proteja
Y que por Su Gracia puedas sanar un poquito día a día a que Dios guarde tu alma y la de papá y
Permita que descansen en paz en Su reino. Te hecho mucho de menos ya, como a papá, y lo
Haré mientras viva y Dios me permita uso de razón. No sabia lo que es estar solo. Ahora si lo se.

Cuatro años viendo tu deslumbrante luz reducirse a una vela temblando en a oscuridad.
Cuatro años temiendo que te dieras cuenta de tu situación.
Cuatro años rogando que no tuvieras dolor, tristeza o soledad.
Cuatro años y sin aprender como decirte adiós. El resto de mi vida esperando verte otra vez.

Te quiero con todo mi corazón siempre y para siempre, mamá. Descansa en Paz.
You can hear all six of my Unsung Heroes poems read by me in my podcasts at https://open.spotify.com/show/1zgnkuAIVJaQ0Gb6pOfQOH. (plus much more of my fiction, non-fiction and poetry in English and Spanish)
Circundada por selvas, bajo el cielo
Siempre azulado, nuestra casa era
Algo como el plumón y el terciopelo:
Un tibio corazón de primavera.

Se hablaba quedo en nuestra casa;
Cierto que cobijaba tantas aves,
Que nos salían las palabras suaves
Como si las dijéramos a un muerto.

Pero nada era triste: la dulzura
Poníamos tan dócil armonía
Que hasta el suspiro tenue presentía
En sus patios sombreados de verdura.

El mármol blanco de los corredores
Parecía dormir un sueño largo.
Las fuentes compartían su letargo.
Soñaban las estatuas con amores.

Cedían los sillones blandamente,
Como un pecho materno, y era fino,
Muy fino el aire, así como divino,
Cuando filtraba el oro del poniente.

¡Cómo me acuerdo de la noche aquella
En que entré sostenida por tu brazo!
Moría casi bajo el doble abrazo
De tu mirada y de la noche bella.

¡Moría casi! Me llevaste tierno
Por largas escaleras silenciosas
Y ni tuve conciencia de las cosas:
Era un cuerpo cansado y sin gobierno.

No sé cómo llegamos a una estancia.
La penumbra interior, los pasos quedos,
Tus besos que morían en mis dedos
Me tornaron el alma una fragancia.

Abriste una ventana: allá, lejano,
Plateaba el río y el silencio era
Dulce y enorme, y era primavera,
Y se movía el río sobre el llano.

Caminaba hacia el mar con tal dulzura
Que parecía una palabra buena.
Iba a darse sin fin; la quieta arena
Mirábalo pasar con amargura.

Y mi alma también rodó en el río,
Se hundió con él en perfumadas frondas,
Siguiéndolo hasta el mar cayó en sus ondas,
Y suyo fue el divino poderío.

Se curvó blanda en el enorme vaso,
De allí se desprendió como un suspiro,
Ascendió por los buques y el retiro
De otras mujeres sorprendió de paso.

Subió hasta las ciudades de otro mundo;
Dormían todos, todo estaba blanco,
Luego vio cada mundo como un banco
De arena muerta en el azul profundo.

Y desde aquel azul que todo abisma
Miró en la tierra esta ventana abierta:
¿Quién era esa criatura medio muerta?
Y se bajó a mirar. ¡Y era yo misma!

Cuando volvió del viaje, envejecida
De tanto haber vagado unos instantes
La esperaban tus ojos suplicantes:
Se hundió por ellos y encontró la vida.

¿Recuerdas tú? La casa era un arrullo,
Un perfume infinito, un nido blando:
Nunca se dijo la palabra cuándo.
Se decía, muy quedo: mío y tuyo.
¿Por qué volvéis a la memoria mía,
Tristes recuerdos del placer perdido,
A aumentar la ansiedad y la agonía
De este desierto corazón herido?
¡Ay! que de aquellas horas de alegría
Le quedó al corazón sólo un gemido,
Y el llanto que al dolor los ojos niegan
Lágrimas son de hiel que el alma anegan.

¿Dónde volaron ¡ay! aquellas horas
De juventud, de amor y de ventura,
Regaladas de músicas sonoras,
Adornadas de luz y de hermosura?
Imágenes de oro bullidoras.
Sus alas de carmín y nieve pura,
Al sol de mi esperanza desplegando,
Pasaban ¡ay! a mi alredor cantando.

Gorjeaban los dulces ruiseñores,
El sol iluminaba mi alegría,
El aura susurraba entre las flores,
El bosque mansamente respondía,
Las fuentes murmuraban sus amores...
ilusiones que llora el alma mía!
¡Oh, cuán suave resonó en mi oído
El bullicio del mundo y su ruido!

Mi vida entonces, cual guerrera nave
Que el puerto deja por la vez primera,
Y al soplo de los céfiros suave
Orgullosa desplega su bandera,
Y al mar dejando que sus pies alabe
Su triunfo en roncos cantos, va velera,
Una ola tras otra bramadora
Hollando y dividiendo vencedora.

¡Ay! en el mar del mundo, en ansia ardiente
De amor velaba; el sol de la mañana
Llevaba yo sobre mi tersa frente,
Y el alma pura de su dicha ufana:
Dentro de ella el amor, cual rica fuente
Que entre frescuras y arboledas mana,
Brotaba entonces abundante río
De ilusiones y dulce desvarío.

Yo amaba todo: un noble sentimiento
Exaltaba mi ánimo, Y sentía
En mi pecho un secreto movimiento,
De grandes hechos generoso guía:
La libertad, con su inmortal aliento,
Santa diosa, mi espíritu encendía,
Contino imaginando en mi fe pura
Sueños de gloria al mundo y de ventura.

El puñal de Catón, la adusta frente
Del noble Bruto, la constancia fiera
Y el arrojo de Scévola valiente,
La doctrina de Sócrates severa,
La voz atronadora y elocuente
Del orador de Atenas, la bandera
Contra el tirano Macedonio alzando,
Y al espantado pueblo arrebatando:

El valor y la fe del caballero,
Del trovador el arpa y los cantares,
Del gótico castillo el altanero
Antiguo torreón, do sus pesares
Cantó tal vez con eco lastimero,
¡Ay!, arrancada de sus patrios lares,
Joven cautiva, al rayo de la luna,
Lamentando su ausencia y su fortuna:

El dulce anhelo del amor que guarda,
Tal vez inquieto y con mortal recelo;
La forma bella que cruzó gallarda,
Allá en la noche, entre medroso velo;
La ansiada cita que en llegar se tarda
Al impaciente y amoroso anhelo,
La mujer y la voz de su dulzura,
Que inspira al alma celestial ternura:

A un tiempo mismo en rápida tormenta
Mi alma alborotaban de contino,
Cual las olas que azota con violenta
Cólera impetuoso torbellino:
Soñaba al héroe ya, la plebe atenta
En mi voz escuchaba su destino:
Ya al caballero, al trovador soñaba,
Y de gloria y de amores suspiraba.

Hay una voz secreta, un dulce canto,
Que el alma sólo recogida entiende,
Un sentimiento misterioso y santo,
Que del barro al espíritu desprende;
Agreste, vago y solitario encanto
Que en inefable amor el alma enciende,
Volando tras la imagen peregrina
El corazón de su ilusión divina.

Yo, desterrado en extranjera playa,
Con los ojos extático seguía
La nave audaz que en argentado raya
Volaba al puerto de la patria mía:
Yo, cuando en Occidente el sol desmaya,
Solo y perdido en la arboleda umbría,
Oír pensaba el armonioso acento
De una mujer, al suspirar del viento.

¡Una mujer!  En el templado rayo
De la mágica luna se colora,
Del sol poniente al lánguido desmayo
Lejos entre las nubes se evapora;
Sobre las cumbres que florece Mayo
Brilla fugaz al despuntar la aurora,
Cruza tal vez por entre el bosque umbrío,
Juega en las aguas del sereno río.

¡Una mujer!  Deslizase en el cielo
Allá en la noche desprendida estrella,
Si aroma el aire recogió en el suelo,
Es el aroma que le presta ella.
Blanca es la nube que en callado vuelo
Cruza la esfera, y que su planta huella,
Y en la tarde la mar olas le ofrece
De plata y de zafir, donde se mece.

Mujer que amor en su ilusión figura,
Mujer que nada dice a los sentidos,
Ensueño de suavísima ternura,
Eco que regaló nuestros oídos;
De amor la llama generosa y pura,
Los goces dulces del amor cumplidos,
Que engalana la rica fantasía,
Goces que avaro el corazón ansía:

¡Ay! aquella mujer, tan sólo aquélla,
Tanto delirio a realizar alcanza,
Y esa mujer tan cándida y tan bella
Es mentida ilusión de la esperanza:
Es el alma que vívida destella
Su luz al mundo cuando en él se lanza,
Y el mundo, con su magia y galanura
Es espejo no más de su hermosura:

Es el amor que al mismo amor adora,
El que creó las Sílfides y Ondinas,
La sacra ninfa que bordando mora
Debajo de las aguas cristalinas:
Es el amor que recordando llora
Las arboledas del Edén divinas:
Amor de allí arrancado, allí nacido,
Que busca en vano aquí su bien perdido.

¡Oh llama santa! ¡celestial anhelo!
¡Sentimiento purísimo! ¡memoria
Acaso triste de un perdido cielo,
Quizá esperanza de futura gloria!
¡Huyes y dejas llanto y desconsuelo!
¡Oh qué mujer! ¡qué imagen ilusoria
Tan pura, tan feliz, tan placentera,
Brindó el amor a mi ilusión primera!...

¡Oh Teresa! ¡Oh dolor! Lágrimas mías,
¡Ah! ¿dónde estáis que no corréis a mares?
¿Por qué, por qué como en mejores días,
No consoláis vosotras mis pesares?
¡Oh! los que no sabéis las agonías
De un corazón que penas a millares
¡Ay! desgarraron y que ya no llora,
¡Piedad tened de mi tormento ahora!

¡Oh dichosos mil veces, sí, dichosos
Los que podéis llorar! y ¡ay! sin ventura
De mí, que entre suspiros angustiosos
Ahogar me siento en infernal tortura.
¡Retuércese entre nudos dolorosos
Mi corazón, gimiendo de amargura!
También tu corazón, hecho pavesa,
¡Ay! llegó a no llorar, ¡pobre Teresa!

¿Quién pensara jamás, Teresa mía,
Que fuera eterno manantial de llanto,
Tanto inocente amor, tanta alegría,
Tantas delicias y delirio tanto?
¿Quién pensara jamás llegase un día
En que perdido el celestial encanto
Y caída la venda de los ojos,
Cuanto diera placer causara enojos?

Aun parece, Teresa, que te veo
Aérea como dorada mariposa,
Ensueño delicioso del deseo,
Sobre tallo gentil temprana rosa,
Del amor venturoso devaneo,
Angélica, purísima y dichosa,
Y oigo tu voz dulcísima y respiro
Tu aliento perfumado en tu suspiro.

Y aún miro aquellos ojos que robaron
A los cielos su azul, y las rosadas
Tintas sobre la nieve, que envidiaron
Las de Mayo serenas alboradas:
Y aquellas horas dulces que pasaron
Tan breves, ¡ay! como después lloradas,
Horas de confianza y de delicias,
De abandono y de amor y de caricias.

Que así las horas rápidas pasaban,
Y pasaba a la par nuestra ventura;
Y nunca nuestras ansias la contaban,
Tú embriagada en mi amor, yo en tu hermosura.
Las horas ¡ay! huyendo nos miraban
Llanto tal vez vertiendo de ternura;
Que nuestro amor y juventud veían,
Y temblaban las horas que vendrían.

Y llegaron en fin: ¡oh! ¿quién impío
¡Ay! agostó la flor de tu pureza?
Tú fuiste un tiempo cristalino río,
Manantial de purísima limpieza;
Después torrente de color sombrío
Rompiendo entre peñascos y maleza,
Y estanque, en fin, de aguas corrompidas,
Entre fétido fango detenidas.

¿Cómo caiste despeñado al suelo,
Astro de la mañana luminoso?
Ángel de luz, ¿quién te arrojó del cielo
A este valle de lágrimas odioso?
Aún cercaba tu frente el blanco velo
Del serafín, y en ondas fulguroso
Rayos al mando tu esplendor vertía,
Y otro cielo el amor te prometía.

Mas ¡ay! que es la mujer ángel caído,
O mujer nada más y lodo inmundo,
Hermoso ser para llorar nacido,
O vivir como autómata en el mundo.
Sí, que el demonio en el Edén perdido,
Abrasara con fuego del profundo
La primera mujer, y ¡ay! aquel fuego
La herencia ha sido de sus hijos luego.

Brota en el cielo del amor la fuente,
Que a fecundar el universo mana,
Y en la tierra su límpida corriente
Sus márgenes con flores engalana.
Mas ¡ay! huid: el corazón ardiente
Que el agua clara por beber se afana,
Lágrimas verterá de duelo eterno,
Que su raudal lo envenenó el infierno.

Huid, si no queréis que llegue un día
En que enredado en retorcidos lazos
El corazón con bárbara porfía
Luchéis por arrancároslo a pedazos:
En que al cielo en histérica agonía
Frenéticos alcéis entrambos brazos,
Para en vuestra impotencia maldecirle,
Y escupiros, tal vez, al escupirle.

Los años ¡ay! de la ilusión pasaron,
Las dulces esperanzas que trajeron
Con sus blancos ensueños se llevaron,
Y el porvenir de oscuridad vistieron:
Las rosas del amor se marchitaron,
Las flores en abrojos convirtieron,
Y de afán tanto y tan soñada gloria
Sólo quedó una tumba, una memoria.

¡Pobre Teresa! ¡Al recordarte siento
Un pesar tan intenso!  Embarga impío
Mi quebrantada voz mi sentimiento,
Y suspira tu nombre el labio mío.
Para allí su carrera el pensamiento,
Hiela mi corazón punzante frío,
Ante mis ojos la funesta losa,
Donde vil polvo tu bondad reposa.

Y tú, feliz, que hallastes en la muerte
Sombra a que descansar en tu camino,
Cuando llegabas, mísera, a perderte
Y era llorar tu único destino:
¡Cuando en tu frente la implacable suerte
Grababa de los réprobos el sino!
Feliz, la muerte te arrancó del suelo,
Y otra vez ángel, te volviste al cielo.

Roída de recuerdos de amargura,
Árido el corazón, sin ilusiones,
La delicada flor de tu hermosura
Ajaron del dolor los aquilones:
Sola, y envilecida, y sin ventura,
Tu corazón secaron las pasiones:
Tus hijos ¡ay! de ti se avergonzaran
Y hasta el nombre de madre te negaran.

Los ojos escaldados de tu llanto,
Tu rostro cadavérico y hundido;
único desahogo en tu quebranto,
El histérico ¡ay! de tu gemido:
¿Quién, quién pudiera en infortunio tanto
Envolver tu desdicha en el olvido,
Disipar tu dolor y recogerte
En su seno de paz? ¡Sólo la muerte!

¡Y tan joven, y ya tan desgraciada!
Espíritu indomable, alma violenta,
En ti, mezquina sociedad, lanzada
A romper tus barreras turbulenta.
Nave contra las rocas quebrantada,
Allá vaga, a merced de la tormenta,
En las olas tal vez náufraga tabla,
Que sólo ya de sus grandezas habla.

Un recuerdo de amor que nunca muere
Y está en mi corazón: un lastimero
Tierno quejido que en el alma hiere,
Eco suave de su amor primero:
¡Ay de tu luz, en tanto yo viviere,
Quedará un rayo en mí, blanco lucero,
Que iluminaste con tu luz querida
La dorada mañana de mi vida!

Que yo, como una flor que en la mañana
Abre su cáliz al naciente día,
¡Ay, al amor abrí tu alma temprana,
Y exalté tu inocente fantasía,
Yo inocente también ¡oh!, cuán ufana
Al porvenir mi mente sonreía,
Y en alas de mi amor, ¡con cuánto anhelo
Pensé contigo remontarme al cielo!

Y alegre, audaz, ansioso, enamorado,
En tus brazos en lánguido abandono,
De glorias y deleites rodeado
Levantar para ti soñé yo un trono:
Y allí, tú venturosa y yo a tu lado.
Vencer del mundo el implacable encono,
Y en un tiempo, sin horas ni medida,
Ver como un sueño resbalar la vida.

¡Pobre Teresa!  Cuando ya tus ojos
Áridos ni una lágrima brotaban;
Cuando ya su color tus labios rojos
En cárdenos matices se cambiaban;
Cuando de tu dolor tristes despojos
La vida y su ilusión te abandonaban,
Y consumía lenta calentura,
Tu corazón al par de tu amargura;

Si en tu penosa y última agonía
Volviste a lo pasado el pensamiento;
Si comparaste a tu existencia un día
Tu triste soledad y tu aislamiento;
Si arrojó a tu dolor tu fantasía
Tus hijos ¡ay! en tu postrer momento
A otra mujer tal vez acariciando,
Madre tal vez a otra mujer llamando;

Si el cuadro de tus breves glorias viste
Pasar como fantástica quimera,
Y si la voz de tu conciencia oíste
Dentro de ti gritándole severa;
Si, en fin, entonces tú llorar quisiste
Y no brotó una lágrima siquiera
Tu seco corazón, y a Dios llamaste,
Y no te escuchó Dios, y blasfemaste;

¡Oh! ¡cruel! ¡muy cruel! ¡martirio horrendo!
¡Espantosa expiación de tu pecado,
Sobre un lecho de espinas, maldiciendo,
Morir, el corazón desesperado!
Tus mismas manos de dolor mordiendo,
Presente a tu conciencia lo pasado,
Buscando en vano, con los ojos fijos,
Y extendiendo tus brazos a tus hijos.

¡Oh! ¡cruel! ¡muy cruel!... ¡Ay! yo entretanto
Dentro del pecho mi dolor oculto,
Enjugo de mis párpados el llanto
Y doy al mundo el exigido culto;
Yo escondo con vergüenza mi quebranto,
Mi propia pena con mi risa insulto,
Y me divierto en arrancar del pecho
Mi mismo corazón pedazos hecho.

Gocemos, sí; la cristalina esfera
Gira bañada en luz: ¡bella es la vida!
¿Quién a parar alcanza la carrera
Del mundo hermoso que al placer convida?
Brilla radiante el sol, la primavera
Los campos pinta en la estación florida;
Truéquese en risa mi dolor profundo...
Que haya un cadáver más, ¿qué importa al mundo?
Don Juan Rodríguez Fresle... sabréis quién fue Don Juan,
No aquel de la leyenda, sevillano galán
Que escalaba conventos, sino el burlón vejete,
Buen cristiano, que oía siempre misa de siete,
La ancha capa luciendo, ya un poco deslustrada,
Que le dejó en herencia Jiménez de Quesada;
Que fue amigo de Oidores, vivaz, dicharachero,
Que escribió muchas resmas de papel, y «El Carnero»;
Que de un tiempo lejano, casi desconocido,
Supo enredos y chismes, que narró y se han perdido;
Tiempo dichoso, cuando (lo que es y lo que fue)
tan sólo tres mil almas tenía Santa Fe,
Y ahora, según dicen, casi 300.000,
Con «dancings», automóviles, cines, ferrocarril
Al río, clubs, y todo lo que la mente fragua
En «confort» y progreso, verdad... ¡pero sin agua!
Tiempo de las Jerónimas, Tomasas, Teodolindas,
De nombres archifeos, pero de cara, lindas,
Y que además tenían, de Oidores atractivo,
Lo que en todas las épocas llaman «lo positivo»;
Cuando no acontecía nada de extraordinario,
Y a las seis, en las casas, se rezaba el rosario;
Días siempre tranquilos y de hábitos metódicos,
Sin petróleos, reclamos de ingleses ni periódicos,
Y cuando con pañuelos, damas de alcurnias rancias
Tapaban, en el cuello, ciertas protuberancias,
Que alguien llamó «colgantes, molestos arrequives»,
Causados por las aguas llovidas o de aljibes;
Cuando como en familia se arreglaban las litis
Y nadie sospechaba que hubiera apendicitis;
Cuando en vez de champaña se obsequiaba masato
De Vélez, y era todo barato, muy barato,
Y tanto, que un ternero (y eso era «toma y daca»)
Lo daban por un peso y encimaban la vaca;
Cuando las calles eran iguales en un todo
A éstas, polvo en verano, y en el invierno, lodo,
Por donde hoy es difícil que los «autos» circulen,
Y esto, cual muchos dicen, por culpa de la Ulen,
Mas afirman (en crónicas muchas cosas yo hallo)
Que entonces las visitas se hacían a caballo,
Y hoy ni así, pues es tanta la tierra que bazucan
Que en tan grandes zanjones los perros se desnucan.

Pero basta de «Introito», porque caigo en la cuenta
De que esto ya está largo...
                                                    Fue en 1630
O 31. A veces se me va la memoria
Y siempre quitan tiempo las consultas de Historia,
Y en años -no habrá nadie que a mal mi dicho tome-
Una cuarta de menos o de más no es desplome.
(Y antes de que los críticos se me vengan encima
Digo que «treinta» y «cuenta» no son perfecta rima,
Pero tengo en mi abono que ingenios del Parnaso,
Por descuido, o capricho, o por salir del paso,
Que es lo que yo confieso me ocurre en este instante,
Hicieron «mente» y «frente», de «veinte» consonante).

Diré, pues: «Hace siglos». Mi narración, exacta
Será, cual de elecciones ha sido siempre una acta,
Y escribiendo: «Hace siglos», nadie dirá que invento
O adultero las crónicas.
                                            Y sigo con mi cuento.
Don Juan Rodríguez Fresle (así yo di principio
A esta historia, que alguno dirá que es puro ripio);
Don Juan, en aquel día (la fecha no recuerdo
Pues en fechas y números el hilo siempre pierdo,
Aunque ya es necesario que la atención concentre
Y de lleno, en materia, sin más preámbulos entre).

Don Juan, el de «El Carnero», yendo para la Audiencia,
Donde copiaba Cédulas, le hizo gran reverencia
Al Arzobispo Almansa, que en actitud tranquila
A los trabajadores en el atrio vigila.
(Se decía «altozano», pero «atrio»
escribo, porque
No quiero que un «magíster» por tan poco me ahorque).

Debéis saber que entonces, frente a la Catedral
El agua de las lluvias formaba un barrizal,
Y para que los fieles cuando entraban a misa
Evitaran el barro de las charcas, aprisa
Puentecitos hacían frailes y monaguillos
Con tablas y cajones y piedras y ladrillos.

(Pobres santafereñas: tendrían malos ratos
Cuando allí se embarraban enaguas y zapatos,
Y también los tendrían los pobres «chapetones»
Porque sabréis que entonces no había zapatones.
Que yo divago mucho, me diréis impacientes;
Es verdad, pero tengo buenos antecedentes,
Como Byron, y Batres y Casti, el italiano,
A quienes en tal vicio se les iba la mano;
Mas sé que al que divaga poca atención se presta,
Y os prometo que mi última divagación es ésta).

Y sigo: El Arzobispo con el breviario en mano,
El atrio dirigía -que él llamaba «altozano».
Aquéllo a todas horas parecía colmena:
Unos, la piedra labran, traen otros arena
Del San Francisco, río donde pescando en corro
Se veía a los frailes, y que hoy es simple chorro.
Apresurados, otros, traen cal y guijarros.
Grandes yuntas de bueyes, tirando enormes carros
Llegan.
              El Arzobispo, puesta en Dios la esperanza,
Ve que es buena su obra. Y el altozano avanza.

Don Juan Rodríguez Fresle, la tarde de aquel día,
«Estas misas parece que acaban mal», decía.
Luego se santiguaba, pues no sé de qué modo,
De la vida de entonces era el sabelotodo.

El Marqués de Sofraga, Don Sancho; a quien repugna
Santa Fe; con Oidores y vasallos en pugna
Y con el Arzobispo, sale al balcón, y airado,
Airado como siempre, viendo que el empedrado
A su palacio llega cerrándole la entrada
A su carroza, grita con voz entrecortada
Por la cólera: «¡Basta! Se ha visto tal descaro?
Al que no me obedezca le costará muy caro.
Quiero franca mi puerta!»
                                                  Todos obedecieron,
Y dejando herramientas, aquí y allá corrieron.

Viendo esto los Canónigos que salían del coro,
Tiraron los manteos, y sin juzgar desdoro
El trabajo, que sólo a débiles arredra,
La herramienta empuñaron para labrar la piedra.
Luego vinieron frailes, vinieron monaguillos;
Y sonaban palustres, escoplos y martillos.

Don Juan Rodríguez Fresle, la tarde de aquel día,
De paseo a San Diego, burlón se sonreía,
Pensando en los Canónigos que en trabajos serviles
Estaban ocupados cual simples albañiles.

Ya de noche, a su casa fue y encendió su lámpara.
Cenó, rezó el rosario, después apartó el pan para
Su desayuno. (Advierto como cosa importante
Que «pan» y «para», juntos, son un buen consonante
De «lámpara». Es sabido que nuestra lengua, sobre
Ser difícil, en rimas esdrújulas es pobre,
Mas cargando el acento sobre «pan», y si «para»
Sigue, las dos palabras sirven de rima rara).

(Y el pan guardaba, porque con el vientre vacío
No gustaba ir a misa, y entonces por el frío
O miedo a pulmonías, en esta andina zona
Eran los panaderos gente muy dormilona;
Y Don Juan que fue en todo previsor cual ninguno,
No salía a la calle jamás sin desayuno).
Prometí los paréntesis suprimir, y estoy viendo
Que en esto de promesas ya me voy pareciendo
A todos los políticos tras la curul soñada:
Que prometen... prometen, pero no cumplen nada.

«¿Y qué fin tuvo el atrio?» diréis quizás a dúo.
Es verdad. Lo olvidaba. La historia continúo,
Sin que nada suprima ni cambie, pues me jacto
De ser de viejas crónicas siempre copista exacto,
Y porque a mano tengo de apuntes buen acopio
Que en polvosos archivos con buen cuidado copio.
Y como aquí pululan gentes asaz incrédulas,
Me apoyo siempre en libros, o Crónicas o Cédulas;
Y para que no afirmen que es relumbrón de talco
Cuanto escribo, mis dichos en la verdad yo calco,
Pues perdón no merece quien por la rima rica
A pasajero aplauso la Historia sacrifica,
La Historia, que es la base del patrimonio patrio...

Y os oigo ya impacientes decirme:
                                                              -«¿Pero el atrio?»
El atrio... Lo olvidaba, y hasta a Rodríguez Fresle;
Mas sabed que en Colombia, y en todas partes, esle
Necesario al poeta que busque algún remanso
En las divagaciones, y es divagar, descanso;
Porque es tarea dura, que aterra y que contrista,
Pasar a rima, y verso la prosa ele un cronista,
Que tan sólo a la prosa de diaristas iguala,
La que en todos los tiempos ha sido prosa mala;
Y aunque en rimas y verso yo sé que poco valgo,
Veré si de este apuro con buena suerte salgo...
Y en olla fío, porque... repararéis, supongo,
Que nunca entre hemistiquios, palabra aguda pongo,
Ni hiato, y de dos llenas no formo yo diptongo
Como hizo Núñez ele Arce (Núñez de Arce ¡admiraos!
Que en dos o tres estrofas nos dijo «cáus» por «caos»,
Y hay poetas, y buenos, de fuste y nombradía,
Que hasta en la misma España ¡qué horror! dicen
«puesía»,
Cual si del Arte fuera, para ellos, la Prosodia
De nuestra hermosa lengua, ridícula parodia);
Que duras sinalefas nunca en un verso junto
Y que jamás el ritmo, cual otros, descoyunto,
Porque eso siempre indica pereza o ningún tino,
Y al verso quita encanto, más al alejandrino,
Que es sin duela el más bello, que más gracia acrisola,
Entre todos los versos en Métrica española.
Que lo digan Valencia, Lugones y Chocano,
todos ellos artífices del verso castellano,
Y que al alejandrino, que es rítmico aleteo,
Dan el garbo y la música que adivinó Berceo.

Y sigo con el atrio.
                                Después de madrugada
Volvieron los canónigos a la obra empezada.

Al Marqués de Sofraga la ira lo sofoca.
Alcaldes, Regidores al Palacio convoca;
Y Alcaldes, Regidores, ante él vienen temblando,
Y díceles colérico: «¡A obedecer! Os mando
Que a todos los Canónigos llevéis a la prisión.
Mis órdenes, oídlo, mandatos del Rey son».

Don Juan Rodríguez Fresle rezó cual buen cristiano;
No escribió, y sin reírse se acostó muy temprano,
Porque muy bien sabía que el Marqués no se anda
Por las ramas, con bromas, y cuando manda, manda.
Mas desvelado estuvo pensando y repensando
En la noche espantosa que estarían pasando
Sin dormir, los Canónigos, en cuartucho sombrío
De la cárcel, sin camas, y temblando de frío.

La siguiente mañana no hubo sol.
                                                              Turbio velo
De llovizna y de brumas encapotaba el cielo.

Fray Bernardino Almansa llega a la Catedral.
Está sobrecogida la ciudad colonial.
Salmos penitenciales se elevan desde el coro,
Y en casullas y capas brilla a la luz el oro.
El Prelado aparece como en unción divina
En el altar, y toda la multitud se inclina;
Entre luces ele cirios destella el tabernáculo;
Hay indecible angustia y hay dolor. Alza el báculo,
Y mientras que en la torre se oye el gran esquilón,
Erguido el Arzobispo lanza la excomunión.
Alcaldes, Regidores, todos excomulgados
Porque al Cielo ofendieron.
                                                  Los fieles congregados
En la Iglesia, de hinojos, y en cruz oraban.

                                                                            Fue
Aquel día de llanto y duelo en Santa Fe.
Cerradas se veían las puertas y ventanas,
Y en todas las iglesias doblaban las campanas.

Don Juan Rodríguez Fresle se dijo: «¡Ya está hecho!»
Se dio, cual buen cristiano, tres golpes en el pecho;
Pero volvió de pronto su espíritu zumbón,
Y pensando en la hora suprema del perdón,
Vio a los excomulgados con sus blancos ropones,
Al cuello sendas sogas, y en las manos blandones,
Y murmuró: «Del cielo la voluntad se haga,
Donde las dan, las toman. Quien la debo la paga».

Y escribiendo, escribiendo, la noche de aquel día,
De los excomulgados, socarrón se reía,
Porque le fue imposible su sueño conciliar
Sin que viera en las sombras por su mente pasar
Regidores y Alcaldes, cada uno en su ropón,
Cual niños que reciben primera comunión.

Don Juan Rodríguez Fresle, siempre que los veía,
Del ropón se acordaba y a solas se reía.
No es el viento
no son los pasos sonámbulos del agua
entre las casas petrificadas y los árboles
a lo largo de la noche rojiza
no es el mar subiendo las escaleras
Todo está quieto
                                reposa el mundo natural
Es la ciudad en torno de su sombra
buscando siempre buscándose
perdida en su propia inmensidad
sin alcanzarse nunca
                                      ni poder salir de sí misma
Cierro los ojos y veo pasar los autos
se encienden y apagan y encienden
se apagan
                  no sé adónde van
Todos vamos a morir
                                        ¿sabemos algo más?

En una banca un viejo habla solo
¿Con quién hablamos al hablar a solas?
Olvidó su pasado
                                  no tocará el futuro
No sabe quién es
está vivo en mitad de la noche
                                                          habla para oírse
Junto a la verja se abraza una pareja
ella ríe y pregunta algo
su pregunta sube y se abre en lo alto
A esta hora el cielo no tiene una sola arruga
caen tres hojas de un árbol
alguien silba en la esquina
en la casa de enfrente se enciende una ventana
¡Qué extraño es saberse vivo!
Caminar entre la gente
con el secreto a voces de estar vivo

Madrugadas sin nadie en el Zócalo
sólo nuestro delirio
                                    y los tranvías
Tacuba Tacubaya Xochimilco San Ángel Coyoacán
en la plaza más grande que la noche
encendidos
                      listos para llevarnos
en la vastedad de la hora
                                                  al fin del mundo
Rayas negras
las pértigas enhiestas de los troles
                                                                        contra el cielo de piedra
y su moña de chispas su lengüeta de fuego
brasa que perfora la noche
                                                      pájaro
volando silbando volando
entre la sombra enmarañada de los fresnos
desde San Pedro hasta Mixcoac en doble fila
Bóveda verdinegra
                                      masa de húmedo silencio
sobre nuestras cabezas en llamas
mientras hablábamos a gritos
en los tranvías rezagados
atravesando los suburbios
con un fragor de torres desgajadas

Si estoy vivo camino todavía
por esas mismas calles empedradas
charcos lodos de junio a septiembre
zaguanes tapias altas huertas dormidas
en vela sólo
                        blanco morado blanco
el olor de las flores
                                      impalpables racimos
En la tiniebla
                          un farol casi vivo
contra la pared yerta
                                        Un perro ladra
preguntas a la noche
                                        No es nadie
el viento ha entrado en la arboleda
Nubes nubes gestación y ruina y más nubes
templos caídos nuevas dinastías
escollos y desastres en el cielo
                                                                Mar de arriba
nubes del altiplano ¿dónde está el otro mar?

Maestras de los ojos
                                          nubes
arquitectos de silencio
Y de pronto sin más porque sí
llegaba la palabra
                                    alabastro
esbelta transparencia no llamada
Dijiste
              haré música con ella
castillos de sílabas
                                      No hiciste nada
Alabastro
                 
sin flor ni aroma
tallo sin sangre ni savia
blancura cortada
                                  garganta sólo garganta
canto sin pies ni cabeza
Hoy estoy vivo y sin nostalgia
la noche fluye
                          la ciudad fluye
yo escribo sobre la página que fluye
transcurro con las palabras que transcurren
Conmigo no empezó el mundo
no ha de acabar conmigo
                                                  Soy
un latido en el río de latidos
Hace veinte años me dijo Vasconcelos
"Dedíquese a la filosolía
Vida no da
                      defiende de la muerte"
Y Ortega y Gasset
                                    en un bar sobre el Ródano
"Aprenda el alemán
y póngase a pensar
                                    olvide lo demás"

Yo no escribo para matar al tiempo
ni para revivirlo
escribo para que me viva y reviva
Hoy en la tarde desde un puente
vi al sol entrar en las aguas del río
Todo estaba en llamas
ardían las estatuas las casas los pórticos
En los jardines racimos femeninos
lingotes de luz líquida
frescura de vasijas solares
Un follaje de chispas la alameda
el agua horizontal inmóvil
bajo los cielos y los mundos incendiados
Cada gota de agua
                                    un ojo fijo
el peso de la enorme hermosura
sobre cada pupila abierta
Realidad suspendida
                                          en el tallo del tiempo
la belleza no pesa
                                    Reflejo sosegado
tiempo y belleza son lo mismo
                                                              luz y agua

Mirada que sostiene a la hermosura
tiempo que se embelesa en la mirada
mundo sin peso
                              si el hombre pesa
¿no basta la hermosura?
                                                  No sé nada
Sé lo que sobra
                                no lo que basta
La ignorancia es ardua como la belleza
un día sabré menos y abriré los ojos
Tal vez no pasa el tiempo
pasan imágenes de tiempo
si no vuelven las horas vuelven las presencias
En esta vida hay otra vida
la higuera aquella volverá esta noche
esta noche regresan otras noches

Mientras escribo oigo pasar el río
no éste
               
aquel que es éste
Vaivén de momentos y visiones
el mirlo está sobre la piedra gris
en un claro de marzo
                                          *****
centro de claridades
No lo maravilloso presentido
                                                          lo presente sentido
la presencia sin más
                                        nada más pleno colmado
No es la memoria
                                  nada pensado ni querido
No son las mismas horas
                                                    otras
son otras siempre y son la misma
entran y nos expulsan de nosotros
con nuestros ojos ven lo que no ven los ojos
Dentro del tiempo hay otro tiempo
quieto
              sin horas ni peso ni sombra
sin pasado o futuro
                                      sólo vivo
como el viejo del banco
unimismado idéntico perpetuo
Nunca lo vemos
                                  Es la transparencia
Diska Kurniawan May 2016
Pasar dan pasir yang bersatu
Dipisahkan oleh janji
Ditiadakan oleh kilau emas
Yang berkilat padanya akal warasmu

Pasir adalah asamu,
Yang kau bagikan pada mereka
Untuk membangun genting bocor
Pastilah tak bisa kami genggam
                                                          
Rumahmu adalah pasar
Yang saling menjual suara
Cobalah untuk menimbang
Besaran keadilan dan kejahatan

Kami hanyalah ternak
Yang tiap tetes darah kami kau tukar
Dengan sendok dan garpu perak
Dan kau biarkan kami menggelepar?

Harga tiap tetes darah itu
Tak pernah kau bayar
Namun selalu kau tawar.
SPT Jun 2014
A la víbora, víbora de la mar, de la mar,
Por aquí pueden pasar.
Los de adelante corren mucho,
Los de atrás se quedarán,
Tras, tras, tras.

Una Mejicana, que frutas vendía,
Ciruelas, chabacanos, melón y sandía.
Verbena, verbena,
Jardín de matatena.
Que llueva, que llueva,
La Virgen de la cueva.

Campanita de oro,
Déjame pasar, con todos mis hijos,
Menos éste de atrás, tras, tras, tras,
Será melón, será sandia
Será la vieja del otro día!

El puente esta quebrado
que lo manden componer
Con cascaras de huevo
y pedazos de oropel
pel, pel, pel, pel
Cada minuto de este oro ¿no es toda la eternidad?
Tiempo de radios parados en ascua de verdad.

El aire puro lo mece sin prisa, como si ya
fuera todo el oro que tuviera que acompasar.

(¡Ramas últimas, divinas, inmateriales, en paz;
ondas del mar infinito de una tarde sin pasar!)

Cada minuto de este oro ¿no es un latido inmortal
de mi corazón radiante por toda la eternidad?
Santiago Jun 2015
Ya me voy para siempre
Para nunca volver
El amor que yo quise
No me quiso querer

Ya me voy derrotado
Me duele el corazon
Por que el amor de mi alma
Por que el amor de mi alma
Solito me dejo

Voy a vagar, por ahi
Trataré de pasar
Mi vida mas tranquila
Si sigue este dolor
No le sorprenda que
Mi hogar sea una cantina

Ya me voy derrotado
Me duele el corazon
Por que el amor de mi alma
Por que el amor de mi alma
Solito me dejo

Voy a vagar, por ahi
Trataré de pasar
Mi vida mas tranquila
Si sigue este dolor
No le sorprenda que
Mi hogar sea una cantina

Ya me voy derrotado
Me duele el corazon
Por que el amor de mi alma
Por que el amor de mi alma
Solito me dejo
gabi Apr 2019
si no fueras tan solapada te podría ayudar
¿no puedes ver que solo te quiero amar?
haciendote una estatua para que no te vieran
¿pero para que el arte sino para que lo aprecieran?

no quiero que esto se haga una disputa
pero conmigo eres tan muta
se que las emociones se hacen un tumulto
pero no significa que lo tienes que poner oculto

no coge una brigada saber lo que te hace sentir
y no quiero hacer nada sin tu consentir
pero perdoname por ser parcial
a la idea de saber
que en tu corazon va a pasar

enseñame el meollo de tus sentimientos
dime todos tus pensamientos
prometo que no me parescarán inmundicia
hazte una casa conmigo,
soy persona hospitalicia

asi viviremos en perfecta ternura
con una vida muy dura
llenas de emociones
compartiendonos afirmaciones
yeah ik spanish i did this for my class and tbh it was super fun (and kinda easy bc spanish is my first language) anyway hope u enjoyed! :D
~
sí se español hice esto por mi clase y de verdad fue bastante divertido (y facil por que el español es mi primer lenguaje) pues espero que les gusto! :D
Nis Jun 2018
Ojalá mi cara fuese jazz.
Ojalá mi cara fuese atardecer de cien días
y se perdiese como música en la marea.
Ojalá mis notas fuesen fuego
que corriese raudo por tus venas.
Ojalá se perfumasen en el aire
y  diesen sentido al amanecer del alba.
Ojalá fluyesen como el agua
suavemente rizando la rojez del cielo.
Ojalá fuesen contundentes como la roca
y cayesen a plomo junto a mi corazón muerto.

Ojalá mi cara fuese jazz.
Siempre cambiante, nunca la misma
subebajando en el horizonte.
Tierna y vibrante, siempre difusa
alzándose hacia el cielo con alas desplegadas.
Dulce y salada, externa e interna,
por ósmosis entrando por cada poro.
Pesada y rígida, sólida y pura
cercenando la realidad con su ser preciso.

Ojalá mi cara fuese jazz
siendo lo que no es,
no siendo lo que es.
En cada instante de su espacio manifestándose
en cada punto de su tiempo existiendo.
Única e indivisible, aunque difícilmente alcanzable.
Verdadera mentira que perdura tras los siglos.
Satírica cual elefante boca arriba
dando a luz a lo que siempre ha sido nuestro.

Ojalá mi cara fuese jazz.
Saliendo hacia la luz verdadera
y tornando hacia la oscuridad traicionera.
Volando hacia arriba y en picado,
oteándose a si misma , eterna y cierta.
Creando un nuevo mundo igual a este,
igual de distinto que este a si mismo.
Imitando la certeza de lo incierto.
Pretendiendo con falsedades llegar al verso.

Ojalá mi cara fuese jazz
y fuese objeto de su ser
y fuese sujeto de su haber
y se realizase siempre que le dieses tiempo
y se realizase siempre en lo que siempre fue
y avanzase inmóvil hacia la verdad
y esperase impasible a la mentira.
Ojalá de cada error saliese un mérito,
una esperanza, una virtud siempre precisa.

Ojalá mi cara fuese jazz
tornando el arte arcana en ente nuevo,
aunque sea falso.
En estúpidas epifanías tornando el acto
cual poeta escribiendo estos versos.
Ojalá repetir versos pasados en lenguas nuevas
y llamarse artista.
Mero comentarista y observador
de lo que precedió en tiempo y espacio.

Ojalá mi cara fuese jazz
existiendo con sólo pensarlo
negando el pensamiento mismo,
lógica implacable mintiendo mi rostro,
contradicciones inapelables mintiendo mi ser.
Con precisión matemática ser mentira,
con la etereidad del arte ser verdad.
Ojalá como estafador maestro ante tu mirar
se hiciese música que disfrutar.

Ojalá mi cara fuese jazz,.
Ojalá mi cara no fuese jazz.
Ojalá no tener cara, ni nada.
Ojalá el solo pensarlo me dejase ciega,
sorda para la música de mi rostro.
Ojalá pasar por debajo de una escalera tirada
para no recibir buena suerte.
Ojalá austera o inexistente,
cual dios mirando tu filosofía vana.

Ojalá mi cara fuese jazz
y unificase tantas corrientes
como puede abarcar con sus brazos.
Ojalá pudiese tornar cierta la realidad
por el mero hecho de pensarla, pero no puedo,
pero mi rostro se muestra impasible
ante desdicha tal y sigue avanzando;
regla dorada entre uñas de marfil,
largos palillos para comer la realidad desvirtuada.

Ojalá mi cara fuese jazz
y revolucionase el mundo con su pensar
y desmontase heregías como ciertas.
Ojalá años más tarde siguiese su lucha
contra el infiel divino hasta su muerte,
y como la de un mono con barba
se tornase contra el padre de la ciencia moderna,
y le enseñase a pensar en sueños,
a soñar en vida, a soñar en muerte.

Ojalá mi cara fuese jazz
y se repitiese eternamente para mi suerte,
nunca cambiando, siempre presente.
Ojalá asesinase al padre de todo
y se adueñase de su lugar.
Ojalá existir antes de ser.
Ojalá rodar por la vida sin mirar a los lados,
destruyendo lo que tantas veces nos ha aplastado
y creando la belleza del arte, que es eterna.

//

I wish my face were jazz.
I wish my night were sunset of one hundred days
and it lost itself like music in the tides.
I wish my notes were fire
which ran swift in your veins.
I wish they would perfume itself in the air
and gave meaning to the morning's sunrise.
I wish they flowed like water
softly curling the sky's redness.
I wish they were sturdy like rock
and they plummeted next to my dead heart.

I wish my face were jazz.
Always changing, never the same.
updowning in the horizon.
Tender and vibrating, always diffuse
rising towards the sky with open wings.
Sweet and salty, extern and intern,
by osmosis entering through each pore.
Heavy and rigid, solid and pure
cutting through reality with its precise being.

I wish my face were jazz
being what it is not,
not being what it is.
In every instant of its space manifesting itself
in every point of its time existing.
One and indivisible, although hardly reachable.
True lie which endures beyond centuries.
Satiric like elefant on its head
giving birth to what always has been ours.

I wish my face were jazz.
Going out to the true light
and turning to the treacherous darkness.
Flying upwards and in a dive,
scanning itself, eternal and true.
Creating a new world equal to this,
equally as distinct as this to itself.
Imitating the certainty of the uncertain.
Trying with falseness to reach the verse.

I wish my face were jazz.
and it were object of its being
and it were subject of its having
and it came true always you gave it time
and it came true always in what it always was
and it moved fordward unmoving towards the truth
and it waited impasible the lie.
I wish of every error a merit would come out,
a hope, a virtue ever precise.

I wish my face were jazz
turning arcane art into a new being,
even if false.
Into stupid epiphanies turning the act
as a poet writing this verses.
I wish to repit old verses in new tongues
and to call myself an artist.
Mere commentator and observer
of what preceded it in time and space.

I wish my face were jazz.
Existing with only thinking of it,
negating thought itself,
implacable logic lying my visage,
unnappealable contradictions lying my being.
With mathematical precision being a lie,
with the ethereality of art being the truth.
I wish that like master con artist before your looking
it turned itself into music to enjoy.

I wish my face were jazz.
I wish my face weren't jazz.
I wish I didn't have a face, nor anything.
I wish only thinking of it made me blind,
deaf to the music of my visage.
I wish passing under a fallen ladder
to not receive good luck.
I wish austere or non-existant,
like god looking at your vane philosophy.

I wish my face were jazz,
and it unified so many streams
like it can embrace with its arms.
I wish I could turn reality true
with the mere act of thinking it, but I can't,
but my visage shows itself impassible
before such misfortune and continues onwards;
golden rule among ivory nails,
long chopsticks to eat the desvirtuated reality.

I wish my face were jazz
and it revolucionised the world with its thinking
and it disassembled heressies as true.
I wish years later its fight would continue
against the divine infidel until his death,
and like a bearded monkey's
it would turn itself against the father of modern science,
and it taught him to think in dreams,
to dream in life, to dream in death.

I wish my face were jazz
and it repited itself enternally to my fortune,
never changing, always present.
I wish it assassinated the father of everything
and took its place.
I wish existing before being.
I wish rolling through life without looking sideways,
destroying that which always has crushed us
and creating the beauty of art, which is timeless.
Ufff this was a long one, took some time to translate it and I think is as accurate as a translation of a poem can be, but any advise regarding it would be appreciated. I know it sounds pretty random, and it is, as it was made mostly through automatic writting; but there is a common point joining the whole poem and giving it order. If you really like it, give it a few reads and see if you can find it ;)).
No dije una frase
de más ni de menos, que recuerde yo:
Nadie tiene culpa de que el tiempo pase,
y el tiempo pasó….

Y fuiste el fantasma de un amor lejano,
la sombra de un beso que nunca olvidé;
pero sé que un día te tendí la mano,
y sé que me heriste, sin decir por qué.

Fue injusta la herida,
y era dolorosa, pero sonreí;
La vida que pasa no es toda la vida,
y seguí viviendo mi vida sin ti.

Días, meses, años, buena y mala suerte,
Calles en la lluvia, pasos al azar... 1
Y hoy he vuelto a verte. 2
Y hoy te vi pasar.

Y aunque debo odiarte por la herida aquella,
y porque me heriste que sé yo por qué... 3
Te encontré tan bella, tan bella, tan bella
Que te perdoné…
Con un menino del Padre,
Tu mandil y mi avantal,
De la cámara del golpe,
Pues que su llave la trae,
Recibí en letra los ciento
Que recibiste, jayán,
De contado, que se vían
Uno al otro al asentar.
Por matar la sed te has muerto;
Más valiera, Escarramán,
Por no pasar esos tragos
Dejar otros de pasar.
Borrachas son las pendencias,
Pues tan derechas se van
A la bayuca, donde hallan,
Besando los jarros, paz.
No hay cuestión ni pesadumbre
Que sepa, amigo, nadar;
Todas se ahogan en vino,
Todas se atascan en pan.
Si por un chirlo tan sólo
Ciento el verdugo te da,
En el dar ciento por uno
Parecido a Dios será.
Si tantos verdugos catas,
Sin duda que te querrán
Las Damas por verdugado
Y las Izas por rufián.
Si te han de dar más azotes
Sobre los que están atrás,
Estarán unos sobre otros
O se habrán de hacer alIá.
Llevar buenos pies de albarda
No tienes que exagerar,
Que es más de muy azotado
Que de jinete y galán.
Por buen supuesto te tienen
Pues te envían a bogar,
Ropa y plaza tienes cierta,
Y a subir empezarás.
Quéjaste de ser forzado,
No pudiera decir más
Lucrecia del rey Tarquino,
Que tú de su Majestad.
Esto de ser galeote
Solamente es empezar,
Que luego, tras remo y pito,
Las manos te comerás.
Dices que te contribuya,
Y es mi desventura tal
Que si no te doy consejos,
Yo no tengo que te dar.
Los hombres por las mujeres
Se truecan ya taz a taz,
Y si les dan algo encima,
No es moneda lo que dan.
No da nadie sino a censo,
Y todas queremos más
Para galán un Pagano,
Que un Cristiano sin pagar.
A la sombra de un corchete
Vivo en aqueste lugar,
Que es para los delincuentes
Árbol que puede asombrar.
De las cosas que me escribes
He sentido algún pesar,
Que le tengo a Cardeñoso
Entrañable voluntad.
¡Miren qué huevos le daba
El Asistente a tragar
Para que cantara tiples,
Sino agua, cuerda y cendal!
Que Remolón fuese cuenta
Heme holgado en mi verdad,
Pues por aquese camino
Hombre de cuenta será.
Aquí derrotaron juntos
Coscolina y Cañamar,
En cueros por su pecado
Como Eva con Adán.
Pasáronlo honradamente
En este honrado lugar;
Y no siendo picadores,
Vivieron pues de hacer mal.
Espaldas le hizo el verdugo,
Mas debióse de cansar,
Pues habrá como ocho días
Que se las deshizo ya.
Y muriera como Judas,
Pero anduvo tan sagaz,
Que negó -sin ser San Pedro-
Tener llave universal.
Perdone Dios a Lobrezno,
Por su infinita bondad,
Que ha dejado sin amparo
Y muchacha a la Luján.
Después que supo la nueva,
Nadie la ha visto pecar
En público; que de pena
Va de zaguán en zaguán.
De nuevo no se me ofrece
Cosa de que te avisar,
Que la muerte de Valgarra
Ya es añeja por allá.
Cespedosa es ermitaño
Una legua de Acalá;
Buen diciplinante ha sido,
Buen penitente será.
Baldorro es mozo de sillas
Y lacayo Matorral,
Que Dios por este camino
Los ha querido llamar.
Montúsar se ha entrado a ****
Con un mulato rapaz:
Que por lucir más que todos
Se deja el pobre quemar.
Murió en la Ene de palo
Con buen ánimo un Gañán,
Y el Jinete de gaznates
Lo hizo con él muy mal.
Tiénenos muy lastimadas
La justicia, sin pensar
Qué se hizo en nuestra Madre,
La vieja del arrabal,
Pues sin respetar las tocas
Ni las canas ni la edad,
A fuerza de cardenales
Ya la hicieron obispar.
Tras ella, de su motivo,
Se salían del hogar
Las ollas con sus legumbres;
No se vio en el mundo tal,
Pues cogió más berenjenas
En una hora, sin sembrar,
Que un hortelano morisco
En todo un año cabal.
Esta Cuaresma pasada
Se convirtió la Tomás
En el Sermón de los peces
Siendo el pecado carnal.
Convirtióse a puros gritos,
Túvosele a liviandad,
Por no ser de los famosos,
Sino un pobre Sacristán.
No aguardó que la sacase
Calavera o cosa tal,
Que se convirtió de miedo
Al primero ¡Satanás!.
No hay otra cosa de nuevo,
Que en el vestir y el calzar,
Caduca ropa me visto
Y saya de mucha edad.
Acabado el decenario
Adonde ahora te vas,
Tuya seré, que tullida
Ya no me puedo mudar.
Si acaso quisieres algo
O se te ofreciere acá,
Mándame, pues de bubosa
Yo no me puedo mandar.
Aunque no de Calatrava
De Alcántara ni San Juan,
Te envían sus encomiendas
La Téllez, Caravajal,
La Collantes valerosa,
La golondrina Pascual,
La Enrique mal degollada,
La Palomita torcaz.
Fecha en Toledo la rica,
Dentro del pobre Hospital,
Donde trabajos de entrambos
Empiezo ahora a sudar.
La cosa va así: no sé cómo nombrar este libro,
como si nombrar esto fuera la hipérbole de la hermandad,
no temerle a lo cierto, pasar del alimento cotidiano al polvo de un paisaje,
saltar por lo sencillo de la imagen de un pájaro blanco que irrumpe sin respeto,
a lo que nunca supe.

Escribir es escribir lo que no se sabe, por lo demás, un impulso que tienta definir la sonrisa de alguien, con la estampa accesible de un nombre propio.

Pero la cosa va así amor: no sé cómo nombrar este libro,
susceptible todo desde lo nada,
por eso el tema del clima, árboles totales,
victorias contundentes de insectos,
lo que contiene decir un niño ambiguo:
para alguien la carcajada, para otro el asco,
para alguien más, horas claras,
semanas marcadas para siempre-nunca.

Al escribir tenemos reservas, al ver de frente tenemos reservas,
al poner el pie derecho pensando en las serpientes tenemos reservas,
al dormir al lado de algún desconocido tenemos reservas.

Al menos hoy, al no saber cómo darle nombre a esto que ha ocurrido,
mientras los truenos marcan distancia y certidumbre.
Después de todo qué complicado es el amor breve
y en cambio qué sencillo el largo amor
digamos que éste no precisa barricadas
contra el tiempo ni contra el destiempo
ni se enreda en fervores a plazo fijo

el amor breve aún en aquellos tramos
en que ignora su proverbial urgencia
siempre guarda o esconde o disimula
semiadioses que anuncian la invasión del olvido
en cambio el largo amor no tiene cismas
ni soluciones de continuidad
más bien continuidad de soluciones

esto viene ligado a una historia la nuestra
quiero decir de mi mujer y mía
historia que hizo escala en treinta marzos
que a esta altura son como treinta puentes
como treinta provincias de la misma memoria
porque cada época de un largo amor
cada capítulo de una consecuente pareja
es una región con sus propios árboles y ecos
sus propios descampados sus tibias contraseñas

he aquí que mi mujer y yo somos lo que se llama
una pareja corriente y por tanto despareja
treinta años incluidos los ocho bisiestos
de vida en común y en extraordinario

alguien me informa que son bodas de perlas
y acaso lo sean ya que perla es secreto
y es brillo llanto fiesta hondura
y otras alegorías que aquí vienen de perlas

cuando la conocí
tenía apenas doce años y negras trenzas
y un perro atorrante
que a todos nos servía de felpudo
yo tenía catorce y ni siquiera perro
calculé mentalmente futuro y arrecifes
y supe que me estaba destinada
mejor dicho que yo era el destinado
todavía no se cuál es la diferencia

así y todo tardé seis años en decírselo
y ella un minuto y medio en aceptarlo

pasé una temporada en buenos aires
y le escribía poemas o pancartas de amor
que ella ni siquiera comentaba en contra
y yo sin advertir la grave situación
cada vez escribía más poemas más pancartas
realmente fue una época difícil

menos mal que decidí regresar
como un novio pródigo cualquiera
el hermano tenía bicicleta
claro me la prestó y en rapto de coraje
salí en bajada por la calle almería
ah lamentablemente el regreso era en repecho

ella me estaba esperando muy atenta
cansado como un perro aunque enhiesto y altivo
bajé de aquel siniestro rodado y de pronto
me desmayé en sus brazos providenciales
y aunque no se ha repuesto aún de la sorpresa
juro que no lo hice con premeditación

por entonces su madre nos vigilaba
desde las más increíbles atalayas
yo me sentía cancerbado y miserable
delincuente casi delicuescente

claro eran otros tiempos y montevideo
era una linda ciudad provinciana
sin capital a la que referirse
y con ese trauma no hay terapia posible
eso deja huellas en las plazoletas

era tan provinciana que el presidente
andaba sin capangas y hasta sin ministros

uno podía encontrarlo en un café
o comprándose corbatas en una tienda
la prensa extranjera destacaba ese rasgo
comparándonos con suiza y costa rica

siempre estábamos llenos de exilados
así se escribía en tiempos suaves
ahora en cambio somos exiliados
pero la diferencia no reside en la i

eran bolivianos paraguayos cariocas
y sobre todo eran porteños
a nosotros nos daba mucha pena
verlos en la calle nostalgiosos y pobres
vendiéndonos recuerdos y empanadas

es claro son antiguas coyunturas
sin embargo señalo a lectores muy jóvenes
que graham bell ya había inventado el teléfono
de aquí que yo me instalara puntualmente a las seis
en la cervecería de la calle yatay
y desde allí hacía mi llamada de novio
que me llevaba como media hora

a tal punto era insólito mi lungo metraje
que ciertos parroquianos rompebolas
me gritaban cachádome al unísono
dale anclao en parís

como ven el amor era dura faena
y en algunas vergüenzas
casi insdustria insalubre

para colmo comí abundantísima lechuga
que nadie había desinfectado con carrel
en resumidas cuentas contraje el tifus
no exactamente el exantemático
pero igual de alarmante y podrido
me daban agua de apio y jugo de sandía
yo por las dudas me dejé la barba
e impresionaba mucho a las visitas

una tarde ella vino hasta mi casa
y tuvo un proceder no tradicional
casi diría prohibido y antihigiénico
que a mi me pareció conmovedor
besó mis labios tíficos y cuarteados
conquistándome entonces para siempre
ya que hasta ese momento no creía
que ella fuese tierna inconsciente y osada

de modo que no bien logré recuperar
los catorce kilos perdidos en la fiebre
me afeité la barba que no era de apóstol
sino de bichicome o de ciruja
me dediqué a ahorrar y junté dos mil mangos
cuando el dólar estaba me parece a uno ochenta

además decidimos nuestras vocaciones
quiero decir vocaciones rentables
ella se hizo aduanera y yo taquígrafo

íbamos a casarnos por la iglesia
y no tanto por dios padre y mayúsculo
como por el minúsculo jesús entre ladrones
con quien siempre me sentí solidario
pero el cura además de católico apostólico
era también romano y algo tronco
de ahí que exigiera no sé qué boleta
de bautismo o tal vez de nacimiento

si de algo estoy seguro es que he nacido
por lo tanto nos mudamos a otra iglesia
donde un simpático pastor luterano
que no jodía con los documentos
sucintamente nos casó y nosotros
dijimos sí como dándonos ánimo
y en la foto salimos espantosos

nuestra luna y su miel se llevaron a cabo
con una praxis semejante a la de hoy
ya que la humanidad ha innovado poco
en este punto realmente cardinal

fue allá por marzo del cuarenta y seis
meses después que daddy truman
conmovido generoso sensible expeditivo
convirtiera a hiroshima en ciudad cadáver
en inmóvil guiñapo en no ciudad

muy poco antes o muy poco después
en brasil adolphe berk embajador de usa
apoyaba qué raro el golpe contra vargas
en honduras las inversiones yanquis
ascendían a trescientos millones de dólares
paraguay y uruguay en intrépido ay
declaraban la guerra a alemania
sin provocar por cierto grandes conmociones
en chile allende era elegido senador
y en haití los estudiantes iban a la huelga
en martinica aimé cesaire el poeta
pasaba a ser alcalde en fort de france
en santo domingo el PCD
se transformaba en PSP
y en méxico el PRM
se transformaba en PRI
en bolivia no hubo cambios de siglas
pero faltaban tres meses solamente
para que lo colgaran a villarroel
argentina empezaba a generalizar
y casi de inmediato a coronelizar

nosotros dos nos fuimos a colonia suiza
ajenos al destino que se incubaba
ella con un chaleco verde que siempre me gustó
y yo con tres camisas blancas

en fin después hubo que trabajar
y trabajamos treinta años
al principio éramos jóvenes pero no lo sabíamos
cuando nos dimos cuenta ya no éramos jóvenes
si ahora todo parece tan remoto será
porque allí una familia era algo importante
y hoy es de una importancia reventada

cuando quisimos acordar el paisito
que había vivido una paz no ganada
empezó lentamente a trepidar
pero antes anduvimos muy campantes
por otras paces y trepidaciones
combinábamos las idas y las vueltas
la rutina nacional con la morriña allá lejos
viajamos tanto y con tantos rumbos
que nos cruzábamos con nosotros mismos
unos eran viajes de imaginación qué baratos
y otros qué lata con pasaporte y vacuna

miro nuestras fotos de venecia de innsbruck
y también de malvín
del balneario solís o el philosophenweg
estábamos estamos estaremos juntos
pero cómo ha cambiado el alrededor
no me refiero al fondo con mugrientos canales
ni al de dunas limpias y solitarias
ni al hotel chajá ni al balcón de goethe
ni al contorno de muros y enredaderas
sino a los ojos crueles que nos miran ahora

algo ocurrió en nuestra partícula de mundo
que hizo de algunos hombres maquinarias de horror
estábamos estamos estaremos juntos
pero qué rodeados de ausencias y mutaciones
qué malheridos de sangre hermana
qué enceguecidos por la hoguera maldita

ahora nuestro amor tiene como el de todos
inevitables zonas de tristeza y presagios
paréntesis de miedo incorregibles lejanías
culpas que quisiéramos inventar de una vez
para liquidarlas definitivamente

la conocida sombra de nuestros cuerpos
ya no acaba en nosotros
sigue por cualquier suelo cualquier orilla
hasta alcanzar lo real escandaloso
y lamer con lealtad los restos de silencio
que también integran nuestro largo amor

hasta las menudencias cotidianas
se vuelven gigantescos promontorios
la suma de corazón y corazón
es una suasoria paz que quema
los labios empiezan a moverse
detrás del doble cristal sordomudo
por eso estoy obligado a imaginar
lo que ella imagina y viceversa

estábamos estamos estaremos juntos
a pedazos a ratos a párpados a sueños
soledad norte más soledad sur
para tomarle una mano nada más
ese primario gesto de la pareja
debí extender mi brazo por encima
de un continente intrincado y vastísimo
y es difícil no sólo porque mi brazo es corto
siempre tienen que ajustarme las mangas
sino porque debo pasar estirándome
sobre las torres de petróleo en maracaibo
los inocentes cocodrilos del amazonas
los tiras orientales de livramento

es cierto que treinta años de oleaje
nos dan un inconfundible aire salitroso
y gracias a él nos reconocemos
por encima de acechanzas y destrucciones

la vida íntima de dos
esa historia mundial en livre de poche
es tal vez un cantar de los cantares
más el eclesiastés y sin apocalipsis
una extraña geografía con torrentes
ensenadas praderas y calmas chichas

no podemos quejarnos
en treinta años la vida
nos ha llevado recio y traído suave
nos ha tenido tan pero tan ocupados
que siempre nos deja algo para descubrirnos
a veces nos separa y nos necesitamos
cuando uno necesita se siente vivo
entonces nos acerca y nos necesitamos

es bueno tener a mi mujer aquí
aunque estemos silenciosos y sin mirarnos
ella leyendo su séptimo círculo
y adivinando siempre quién es el asesino
yo escuchando noticias de onda corta
con el auricular para no molestarla
y sabiendo también quién es el asesino

la vida de pareja en treinta años
es una colección inimitable
de tangos diccionarios angustias mejorías
aeropuertos camas recompensas condenas
pero siempre hay un llanto finísimo
casi un hilo que nos atraviesa
y va enhebrando una estación con otra
borda aplazamientos y triunfos
le cose los botones al desorden
y hasta remienda melancolías

siempre hay un finísimo llanto un placer
que a veces ni siquiera tiene lágrimas
y es la parábola de esta historia mixta
la vida a cuatro manos el desvelo
o la alegría en que nos apoyamos
cada vez más seguros casi como
dos equilibristas sobre su alambre
de otro modo no habríamos llegado a saber
qué significa el brindis que ahora sigue
y que lógicamente no vamos a hacer público
Natalia Rivera Apr 2015
El otro día estaba limpiando la vieja casa en donde crecí cuando era pequeña,  mis padres iban a venderla y necesitaban un poco de ayuda así que accedí. Quise limpiar mi habitación, y al decir limpiar hablaba de quitarle el polvo a los estantes y pasar una escoba. Al entrar la luz del sol entraba por la ventana, dejando todo el polvo que había al descubierto, mis estantes tenían una que otra pieza de porcelana, bailarinas y algunas fotos viejas. Le di la vuelta al cuarto hasta llegar al armario el que se suponía que estuviera vacío, se suponía. Habían dos cajas grandes una al lado de la otra, viejas y dañadas por la humedad; las tome y abrí una de ellas, frente a mi estaban cinco años de mi vida, guardadas todo este tiempo. Fotos, cartas, postales, discos, joyería, las sacaba una por una rápidamente preguntándome que hacían allí, quien las había puesto allí, desde cuando estaban allí. Limpie todo de prisa, le avise a mi madre que me iba y tome las cajas, me dirigía a mi apartamento.

Llegando tome un baño, me serví una cerveza y puse una de las cajas encima de la cama. Me tome el tiempo de ver cada una de las fotos; algunas eran mías usando algún traje espantoso, otras de amigos y familia. Reí leyendo las cartas que tenía y escogí la joyería que aun quería conservar. Fui a levantar la otra caja para ver que había dentro y era algo pesada, demasiado para ser ropa o chucherías como lo que contenía la otra. Grandes, pequeños, de todos los colores, carpeta dura y blanda, ahí estaba una colección inmensa de libros que había perdido. Mis libros. Las interrogantes que tuve en la casa volvieron, decidí abrir uno de ellos al azar. Era color verde y tenía algunos garabatos en la portada, “Poemas y Relatos” el mundo se había congelado. Tenía en mi mano uno de mis diarios de hace cinco, casi seis años atrás. Supe que esa noche, tendría de visitante a las lágrimas que hacen varias semanas no aparecían; pasaba las páginas y leí los poemas, las historias, las frases, hasta que en una de las paginas había algo que me llamo la atención. Era un fragmento de algún día.


“5 de junio de 2010

He pasado el verano cuidado a una pequeña, y esta casa es inmensa. Pero me reconforta el saber que en algún momento mi teléfono sonará mi teléfono y será un mensaje de él. Un como estas, que hiciste en el día, estuve esquiando, hace demasiado frio por acá, has comido algo. Me gusta mucho, me ha dicho te amo unas cuantas veces y mi corazón se va elevando con la rapidez que se acaba un suspiro. Blanco como la arena, sus ojos azules como el mar, hermosos, al igual que su sonrisa. Era inevitable no sonreír luego de verlo. Carismático, sarcástico y simpático; inteligente y cariñoso. Es como un ángel, el cual me  trae estúpida e imbécil. Enamorada me trae.


                                                         ­                                                        NARR”


No necesitaba saber el nombre, sabia para quien era aquello. Mucho tiempo había pasado desde que tuve la última conversación con él, pero así era. Como las estrellas fugaces, aparecen cuando quieren y así era él. Los sentimientos me invadían y quise con todas mis fuerzas saber porque se había ido, porque me había abandonado. Así que me asome a la ventana y susurre su nombre, como parte de un hechizo o un ritual.
-Llegue. Me volteé y ahí estaba. Parado frente a mí con sus enormes ojos azules. Me quede paralizada y solo pude decir “llegaste”.
-Oh valla. Demasiado tiempo para solo eso ¿no crees? Repentino silencio, pero luego comenzó a preguntarme que había hecho y como me iba. Hablamos de todo un poco, de las que todos hablan hasta que comenzó
-Hace algunos años atrás tuve un accidente y estuve en coma. Al despertar no recordaba caras, personas, amigos, sucesos. Pero me acorde de ti. No recuerdo exactamente como nos conocimos y porque hemos dejado de hablar, pero me acuerdo de ti.
La sangre la sentía correr fría, el corazón me iba a estallar. El seguía parado junto a mí y yo sentada en la ventana. Cuando finalmente pude hablar le dije
-Siempre me has acordado ese verano. En su mirada que no sabía de qué hablaba así que le mostré lo que había escrito en la libreta.
- Así que, ¿nos gustábamos?
-Al menos yo de ti me enamore, y llegaste a decirme unas cuantas veces un te amo. Perdimos comunicación porque jamás fui suficiente para ti, así que decidí dejar de intentarlo. Poco después supe que tenías pareja, hablamos por última vez y luego desapareciste.
- Lo supuse cuando después de todo me acordaba de tu nombre; eres mi único recuerdo de ese verano. “ángel” susurro casi tan bajo que apenas pude escucharlo. Sonreí y él lo hizo también. Se sentó al lado mío y dejo que descansara mi cabeza en su hombro. Pude sentir su olor, apreciarlo más, ver que aquel rostro de niño había evolucionado. Al lado mío estaba un viejo amor, un viejo amigo, al cual su corazón le pertenecía a alguien más igual que el mío. Pero mi corazón me pedía gritos unas últimas palabras así que le pregunte.
-¿Alguna vez me extrañas?

El me dio un beso en la frente y también recostó su cabeza en la mía, la brisa soplo y yo sonreí.
Para J.M
Fa Be O Jan 2013
Esperaba encontrar en ti
Tantas cosas;
Esperaba encontrar al fin
Con quien compartir
Besos y caricias,
Tristezas de media noche,
Horas de hacer nada.
Esperaba intercambiar
Versos de los maestros,
Benedetti, Neruda, Sabines,
Pasar noches escuchándote
Recitar los nombres de las estrellas,
De las ciudades
Visitadas solo en viajes repentinos
Del corazón.
Esperaba contar contigo,
Contar regresivamente un nuevo año,
Contar mitos y cuentos,
Contar hasta mil los sueños
Que crearíamos juntos.
Esperaba leer mil libros,
Repitiendote en voz alta
Alguna frase curiosa,
Tal vez una que comparara
A la mujer a clavel
O el amor a la lluvia,
Y dirías
"como comprendes?
la mujer no se marchita,
la lluvia no moja,
como las ganas de dar un beso".
Y olvidaríamos
La absurda insistencia
De componer palabras
Para explicar
Algo que no tiene explicación.
Esperaba despertar
A medio día
Un sábado contigo,
Probar café en tus labios,
Y acordarnos de la noche anterior,
Sonriendo y sonrojando.

Esperaba no tener que esperar mas.
8/10/12
Evey Aug 2018
"Did you hear Tonya  son is gay?"
"Oh that's cool."

A la  siguinte  semanan naylie  me  comento
"Tonya kicked  her son out of her house for being gay."

As thoughts race through my head I wonder where will he live? he's just a senior in high school

Soon after that I never really thought about him since I never knew him or seen him

lo  conosi por distanica

"Mira  Yvette ese  es  el  hijo  de  tonya  tu  sabias  que  era  gay?" me  dijo  nayeli  que  lo  conoses
As usual, irritated, le  contesto, "ay  ama la  van  a esquchar y  no  no  lo  conosco"

I didn't want to feel guilty for being somebody that whispers through ears

"Mija  y tu  mama va  venir  al  aerobics?"
" Nose "

Tonya No  me  conose ni  tampoco  conse  que  me  da  verguenza su  decicion como  puede  abandonar  a su hijo

My  mom  while she pretended to cover her whispers through squats and lunges.

"Mira  Yvette ese  es  el  hijo  de  tonya"

As I gaze,
flaco  y  Alto.
What is he doing here at the park? his mom is going to see him. He looks happy playing basketball was he really kick out? did she bring him here?

My second year of summer vacation of college I try to be part of LA and South Park with the aerobics women but it is inconsistent the same way how inconsistent my thought of Tonya's  son being homeless

Por  segunda  ves  la distancia  nos  unio

Mami  y yo  sentadas 10minutos antes  que  empiese  la  clase

"Ay  mira  Yvette siempre  esta  aqui ya  nunca esta  bien  vestido "

I guess she did kick him out

Sudadas y cansadas,
When classes end  todas  Las mama  se  van en Chinga,
Tengo  que  ir  a vender!
Tengo  que  hacer de  comer!
Tengo  que  pasar  por  el  chiquillo  a  la  escuela!

"Mejor vete  en  chinga  por  tu hijo Mientras  haces  de  comer no  se  te  olvide  poner  el quarto  Plato en  la  mesa Y  cuando  termines  no  se  te olvide  pasar por  tu  hijo  que  duerme  en el  parque"

Otros anos  mas

"Ay  Yvette dice  nayeliy que  ya  el  hijo  de  Tonya  usa  drogas"

I just listened

I'd feel bad to if my mom never noticed me over the thing she loved the most, aerobics

Sonriente  y  sin  verguenza,
Camina  ase  su  casa  dejando  su  hijo.

It doesn't seem to work its as if he wants her to notice him

Maybe if my mom sees me everyday out here knowing that I live here she'll take me home after she's done with her work out

365 dias multiplicado por 2, espero  que  todabia  tenga  esa  esperanza o talvez  ya  lo  consumio  las drogas
Ete Sep 2011
El sufrimiento existe porque existen las mentiras.

Donde existen las mentiras?
En tu mente.

Las mentiras solo pueden existir en la mente,
porque todo lo que no existe en la mente,
es verdad.

La mente es futuro y pasado.

Cuando no hay mente,
solamente hay,
el presente.

El presente ES la realidad.

La gente no vive en la realidad,
porque la gente vive,
en la mente.

La mente es una realidad virtual.
Porque el trabajo de la mente es darte una realidad virtual.
Esa es nuestra arma.

El ser humano con la ayuda de la mente tiene la capacidad de hacer cosas que el resto de la naturaleza no puede hacer.

Pero,
la gente humana es esclava de la mente.

La gente humana no vive en el presente.
Porque sus mentes estan tan ocupadas,
TAN ocupadas...

A todo minuto esta esa voz de la mente diciendote: Que tienes que hacer --- que se te a olvidado---que tienes por terminar.

La mente no te deja vivir en el presente.

La mente a tomado control de ti,
y,
si tu no empiezas a tomar control de tu mente,
a medida de que vas creciendo,
a medida de que tus anos van pasando,
sera mas difícil de tomar control.

No todo el mundo va a lograr obtener su libertad.
Porque hay gente que ya a puesto tanta fe en sus creencias que han acumulado tanto miedo.

Piensan y creen tantas mentiras que le tienen miedo a sus propias mentiras.

Ellos creen en algo y creen que para que ellos sean felices,
para que ellos llegen a vivir en paz,
sea durante vida o despues de vida,
tienen que seguir luchando en el nombre de sus creencias.

Lo que la gente no sabe,
es que la mente vive en el pasado y en el futuro.

La mente siempre hablara de algo que tiene que pasar--- de algo que a pasado--- de algo que pasara.

Pero la mente no habla de el presente, de este momento.
NO PUEDE.

Entonces,
la gente vive su vida esperando...
ESPERANDO.

La gente espera a que ese momento de alegria eterna les llegue.

Pero,
como estan tan atrapados en su mente,
como estan tan poseados por su mente,
por sus creencias,
totalmente rechasan el presente.

Creen que vivir en el presente es una perdida de tiempo.
Creen que tienen que a toda hora estar haciendo algo.

El hacer nada para ellos, para la mente, significa : perdida de tiempo.

Entonces,
que hacen?
Siempre estan haciendo algo.
Siempre estan enfocados en obtener,
en ganar,
en LLEGAR.

Quieren llegar a la felicidad.
Quieren llegar a la paz,
a el amor,
a la verdad,
Pero estan siendo totalmente manipulados por la mentira de que la felicidad la van a obtener en algun futuro.

Totalmente separados de este momento,
de el presente.

Totalmente pre-ocupados.

La felicidad,
la paz,
el amor,
la verdad,
alegria,
SOLO se pueden experimentar en este momento.

Y este momento se vive totalmente cuando la mente esta en silencio.

Porque,
cuando la mente esta hablando,
te esta hablando o de el pasado o de el futuro,
NO de este momento.

Entonces,
para poder ser feliz,
alegre,
lleno de vida,
en paz,
lleno de amor,
la gente tiene que aprender a poner, mantener, la mente en silencio.

Y la unica forma de que la mente llege a su estado de silencio es :  OBSERVARLA .
Ser en la vida romero,
romero sólo que cruza siempre por caminos nuevos.
Ser en la vida romero,
sin más oficio, sin otro nombre y sin pueblo.
Ser en la vida romero, romero..., sólo romero.
Que no hagan callo las cosas ni en el alma ni en el cuerpo,
pasar por todo una vez, una vez sólo y ligero,
ligero, siempre ligero.

Que no se acostumbre el pie a pisar el mismo suelo,
ni el tablado de la farsa, ni la losa de los templos
para que nunca recemos
como el sacristán los rezos,
ni como el cómico viejo
digamos los versos.
La mano ociosa es quien tiene más fino el tacto en los dedos,
decía el príncipe Hamlet, viendo
cómo cavaba una fosa y cantaba al mismo tiempo
un sepulturero.
No sabiendo los oficios los haremos con respeto.
Para enterrar a los muertos
como debemos
cualquiera sirve, cualquiera... menos un sepulturero.
Un día todos sabemos
hacer justicia. Tan bien como el rey hebreo
la hizo Sancho el escudero
y el villano Pedro Crespo.

Que no hagan callo las cosas ni en el alma ni en el cuerpo.
Pasar por todo una vez, una vez sólo y ligero,
ligero, siempre ligero.

          Sensibles a todo viento
          y bajo todos los cielos,
          poetas, nunca cantemos
          la vida de un mismo pueblo
          ni la flor de un solo huerto.
          Que sean todos los pueblos
          y todos los huertos nuestros.
Fabio, las esperanzas cortesanas
Prisiones son do el ambicioso muere
Y donde al más astuto nacen canas.

El que no las limare o las rompiere,
Ni el nombre de varón ha merecido,
Ni subir al honor que pretendiere.

El ánimo plebeyo y abatido
Elija, en sus intentos temeroso,
Primero estar suspenso que caído;

Que el corazón entero y generoso
Al caso adverso inclinará la frente
Antes que la rodilla al poderoso.

Más triunfos, más coronas dio al prudente
Que supo retirarse, la fortuna,
Que al que esperó obstinada y locamente.

Esta invasión terrible e importuna
De contrario sucesos nos espera
Desde el primer sollozo de la cuna.

Dejémosla pasar como a la fiera
Corriente del gran Betis, cuando airado
Dilata hasta los montes su ribera.

Aquel entre los héroes es contado
Que el premio mereció, no quien le alcanza
Por vanas consecuencias del estado.

Peculio propio es ya de la privanza
Cuanto de Astrea fue, cuando regía
Con su temida espada y su balanza.

El oro, la maldad, la tiranía
Del inicuo procede y pasa al bueno.
¿Qué espera la virtud o qué confía?

Ven y reposa en el materno seno
De la antigua Romúlea, cuyo clima
Te será más humano y más sereno.

Adonde por lo menos, cuando oprima
Nuestro cuerpo la tierra, dirá alguno:
«Blanda le sea», al derramarla encima;

Donde no dejarás la mesa ayuno
Cuando te falte en ella el pece raro
O cuando su pavón nos niegue Juno.

Busca pues el sosiego dulce y caro,
Como en la obscura noche del Egeo
Busca el piloto el eminente faro;

Que si acortas y ciñes tu deseo
Dirás: «Lo que desprecio he conseguido;
Que la opinion ****** es devaneo».

Más precia el ruiseñor su pobre nido
De pluma y leves pajas, más sus quejas
En el bosque repuesto y escondido,

Que halagar lisonjero las orejas
De algun príncipe insigne; aprisionado
En el metal de las doradas rejas.

Triste de aquel que vive destinado
A esa antigua colonia de los vicios,
Augur de los semblantes del privado.

Cese el ansia y la sed de los oficios;
Que acepta el don y burla del intento
El ídolo a quien haces sacrificios.

Iguala con la vida el pensamiento,
Y no le pasarás de hoy a mañana,
Ni quizá de un momento a otro momento.

Casi no tienes ni una sombra vana
De nuestra antigua Itálica, y ¿esperas?
¡Oh error perpetuo de la suerte humana!

Las enseñas grecianas, las banderas
Del senado y romana monarquía
Murieron, y pasaron sus carreras.

¿Qué es nuestra vida más que un breve día
Do apena sale el sol cuando se pierde
En las tinieblas de la noche fría?

¿Qué más que el heno, a la mañana verde,
Seco a la tarde? ¡Oh ciego desvarío!
¿Será que de este sueño me recuerde?

¿Será que pueda ver que me desvío
De la vida viviendo, y que está unida
La cauta muerte al simple vivir mío?

Como los ríos, que en veloz corrida
Se llevan a la mar, tal soy llevado
Al último suspiro de mi vida.

De la pasada edad ¿qué me ha quedado?
O ¿qué tengo yo, a dicha, en la que espero,
Sin ninguna noticia de mi hado?

¡Oh, si acabase, viendo cómo muero,
De aprender a morir antes que llegue
Aquel forzoso término postrero;

Antes que aquesta mies inútil siegue
De la severa muerte dura mano,
Y a la común materia se la entregue!

Pasáronse las flores del verano,
El otoño pasó con sus racimos,
Pasó el invierno con sus nieves cano;

Las hojas que en las altas selvas vimos
Cayeron, ¡y nosotros a porfía
En nuestro engaño inmóviles vivimos!

Temamos al Señor que nos envía
Las espigas del año y la hartura,
Y la temprana pluvia y la tardía.

No imitemos la tierra siempre dura
A las aguas del cielo y al arado,
Ni la vid cuyo fruto no madura.

¿Piensas acaso tú que fue criado
El varón para rayo de la guerra,
Para surcar el piélago salado,

Para medir el orbe de la tierra
Y el cerco donde el sol siempre camina?
¡Oh, quien así lo entiende, cuánto yerra!

Esta nuestra porción, alta y divina,
A mayores acciones es llamada
Y en más nobles objetos se termina.

Así aquella que al hombre sólo es dada,
Sacra razón y pura, me despierta,
De esplendor y de rayos coronada;

Y en la fría región dura y desierta
De aqueste pecho enciende nueva llama,
Y la luz vuelve a arder que estaba muerta.

Quiero, Fabio, seguir a quien me llama,
Y callado pasar entre la gente,
Que no afecto los nombres ni la fama.

El soberbio tirano del Oriente
Que maciza las torres de cien codos
Del cándido metal puro y luciente

Apenas puede ya comprar los modos
Del pecar; la virtud es más barata,
Ella consigo misma ruega a todos.

¡Pobre de aquel que corre y se dilata
Por cuantos son los climas y los mares,
Perseguidor del oro y de la plata!

Un ángulo me basta entre mis lares,
Un libro y un amigo, un sueño breve,
Que no perturben deudas ni pesares.

Esto tan solamente es cuanto debe
Naturaleza al simple y al discreto,
Y algún manjar común, honesto y leve.

No, porque así te escribo, hagas conceto
Que pongo la virtud en ejercicio:
Que aun esto fue difícil a Epicteto.

Basta al que empieza aborrecer el vicio,
Y el ánimo enseñar a ser modesto;
Después le será el cielo más propicio.

Despreciar el deleite no es supuesto
De sólida virtud; que aun el vicioso
En sí propio le nota de molesto.

Mas no podrás negarme cuán forzoso
Este camino sea al alto asiento,
Morada de la paz y del reposo.

No sazona la fruta en un momento
Aquella inteligencia que mensura
La duración de todo a su talento.

Flor la vimos primero hermosa y pura,
Luego materia acerba y desabrida,
Y perfecta después, dulce y madura;

Tal la humana prudencia es bien que mida
Y dispense y comparta las acciones
Que han de ser compañeras de la vida.

No quiera Dios que imite estos varones
Que moran nuestras plazas macilentos,
De la virtud infames histriones;

Esos inmundos trágicos, atentos
Al aplauso común, cuyas entrañas
Son infaustos y oscuros monumentos.

¡Cuán callada que pasa las montañas
El aura, respirando mansamente!
¡Qué gárrula y sonante por las cañas!

¡Qué muda la virtud por el prudente!
¡Qué redundante y llena de ruido
Por el vano, ambicioso y aparente!

Quiero imitar al pueblo en el vestido,
En las costumbres sólo a los mejores,
Sin presumir de roto y mal ceñido.

No resplandezca el oro y los colores
En nuestro traje, ni tampoco sea
Igual al de los dóricos cantores.

Una mediana vida yo posea,
Un estilo común y moderado,
Que no lo note nadie que lo vea.

En el plebeyo barro mal tostado
Hubo ya quien bebió tan ambicioso
Como en el vaso múrrimo preciado;

Y alguno tan ilustre y generoso
Que usó, como si fuera plata neta,
Del cristal transparente y luminoso.

Sin la templanza ¿viste tú perfeta
Alguna cosa? ¡Oh muerte! ven callada,
Como sueles venir en la saeta,

No en la tonante máquina preñada
De fuego y de rumor; que no es mi puerta
De doblados metales fabricada.

Así, Fabio, me muestra descubierta
Su esencia la verdad, y mi albedrío
Con ella se compone y se concierta.

No te burles de ver cuánto confío,
Ni al arte de decir, vana y pomposa,
El ardor atribuyas de este brío.

¿Es por ventura menos poderosa
Que el vicio la virtud? ¿Es menos fuerte?
No la arguyas de flaca y temerosa.

La codicia en las manos de la suerte
Se arroja al mar, la ira a las espadas,
Y la ambición se ríe de la muerte.

Y ¿no serán siquiera tan osadas
Las opuestas acciones, si las miro
De más ilustres genios ayudadas?

Ya, dulce amigo, huyo y me retiro
De cuanto simple amé; rompí los lazos.
Ven y verás al alto fin que aspiro,
Antes que el tiempo muera en nuestros brazos.
Natalia Rivera Mar 2015
7:15, viernes.
Era un viernes usual, llegue a su casa a eso de las 7:15; el cielo tenia pinceladas grises acompañado de una que otra estrella extraviada. Mientras observaba detenidamente, él se asoma por el balcón haciéndome un gesto de “entra” así que eso hice. Al entrar vi que en la sala no había nadie:
- ¿Dónde están tus padres? Le pregunte confundida
- Salieron a visitar a mi abuela.
Entre en su cuarto, el cual es demasiado espacioso para una sola persona. En las paredes cuelgan sus pinturas o algunas fotos de nosotros, en la esquina esta su computadora con los papeles compulsivamente organizados. Esta su cama con algunos cojines y un viejo y horrible sofá color amarillo. Como de costumbre deje mis zapatos al lado de la puerta, las ventanas estaban todas cerradas, lo único que le daba ventilación al cuarto era un viejo abanico en el piso así que encendí el aire acondicionado. Fui de camino hacia la puerta y me detuve justo frente al espejo, parecía una demente. Tenía unos pantalones cortos color crema con una camiseta negra la cual tenía un pequeño bordado de flores. Me encontraba frente a mi doble tratando de ver si me veía gorda cuando siento su mirada, penetrando en mi piel así que sonrió al instante.
-¿Qué se supone que haces?
- Tratando de no verme gorda
Él se queda callado y al cabo de varios minutos se va y cierra la puerta. Y ahí me encontraba yo, en el cuarto de mi novio, el que fue bendecido con tanta paciencia que podía llenar una tapa de botella. Molesta, fui a apagar la luz y me tire en su cama, pensando en que sucedería después cuando sonido de la ducha me trajo de vuelta a la realidad así que decidí arroparme y tratar de dormirme.
  
8:20, viernes.

El sonido de la puerta me despierta, busco mi teléfono y son las 8:20. Sigo dormida y algo confundida así que no logro ver dónde está el así que permanezco acostada intentando sin conseguirlo despertar. La cama se baja y sé que él se sentó así que me levanto y encuentro su cara.
-¿Por qué no me dijiste que te ibas a bañar?
- Estabas ocupada pensando en babosadas, en cambio, yo necesitaba un tiempo para pensarte detenidamente. – comenzó a acariciarme el rostro y continuo- ¿Acaso no entiendes que no tienes que ser flaca para que te desee? No te das cuenta, pero te deseo cada momento que te veo, cada vez que te tengo quisiera poder hacer estas cosas. Intente preguntar qué cosas pero su boca me lo impidió. Comenzó a besarme lento, como si hubiésemos tenido toda la noche para besarnos, como si sus padres jamás fueran a llegar. Seguido de un vals de  caricias buscando más allá de mi ropa, comenzó a quitármela despacio, como si estuviera escribiendo una historia. Lo tenía desnudo frente a mí, era mío y por ese lapso de tiempo podía hacer lo que quisiera con él. Podía besar cada centímetro de su cuerpo, acariciarlo en las partes que quisiera con la velocidad que quisiera, sentía como se hundía en mi cuerpo, como su respiración se iba cortando, como íbamos perdiendo la cordura hasta estallar.
11:54, casi sábado.

Yacíamos uno encima del otro, sin movernos, despeinados, sudados, saboreando el fulgor que brotaban nuestros cuerpos. Podía sentir su corazón latir, entrelazaba su pelo entre mis dedos preguntándome que sería de mis noches grises sin él. No podía parar de mirarlo, porque sabía que era el con quien quería pasar el resto de mis días, quería dejarle saber que lo iba a amar hasta que el cielo deje de dar espectáculos en las tardes, hasta que cada rincón del océano sea explorado, hasta que mi corazón este seco. Y aun así, lo amaría desenfrenadamente.
judy smith Feb 2016
Perhatian pria tentang mode pakaian semakin hari kian tinggi. Pria tidak lagi malu menggunakan beragam aksesoris di pakaiannya. Tidak ingin ketinggalan zaman, dan tidak ingin dibilang sebagai korban mode, jadilah mode itu sendiri.

Memperbanyak referensi mode menjadi salah satu acuan untuk bisa menentukan mode yang cocok untuk diri sendiri. Lewat gelaranfashion week salah satunya.

New York Fashion Weeks: Mens, akan kembali digelar pada 1 Februari 2016. Beberapa desainer dan pasar mode akan menampilkan koleksi musim gugur 2016, mulai 1 Februari 2016, seperti dilansir dariNew York Times.

Lebih dari 10 tahun, pertunjukan New York Men telah diselenggarakan bersama dengan pertunjukan wanita setiap Februari dan September.

Diakui oleh Presiden Council of Fashion Designers of America(CFDA), Steven Kolb, semakin maraknya New York Men Fashion Week merupakan hasil bahwa pria sekarang memiliki ketertarikan baru dalam menunjukkan dirinya sendiri kepada dunia.

"Anda bisa melihat itu, hari demi hari, di jalanan. Kami lebih menyadari bagaimana pria berbusana. Kami melihat ketertarikan luar biasa dari masyarakat umum dan industri. Kami memiliki 800 media terdaftar, termasuk media baru dan tradisional, yang ingin bergabung dengan pertunjukan ini," ujarnya.

Dalam acara mode tahunan ini, banyak desainer turut serta, tidak hanya lokal, bahkan internasional seperti desainer Korea, Jepang.

Tidak ketinggalan merek-merek favorit pria, seperti Nautica, Tommy Hilfiger, Calvin Klein, Greg Lauren yang merupakan keponakan dari Ralph Lauren, John Elliott yang membawa busana streetwear. Selain itu, beberapa peragaan tertutup, hanya untuk undangan, seperti Coach, Michael Kors, Theory.Read more at:www.marieaustralia.com/short-formal-dresses | www.marieaustralia.com/formal-dresses-2015
El sol dentro del día
                                      El frío dentro del sol.
Calles sin nadie
                              autos parados
Todavía no hay nieve
                                      hay viento viento
Arde todavía
                          en el aire helado
un arbolito rojo
Hablo con él al hablar contigo
Estoy en un cuarto abandonado del lenguaje
Tú estás en otro cuarto idéntico
O los dos estamos
en una calle que tu mirada ha despoblado
El mundo
imperceptiblemente se deshace
                                                            Memoria
desmoronada bajo nuestros pasos
Estoy parado a la mitad de esta línea
no escrita
Las puertas se abren y cierran solas
                                                                   
El aire
entra y sale por nuestra casa
                                                        El aire
habla a solas al hablar contigo
                                                        El aire
sin nombre por el pasillo interminable
No se sabe quién está del otro lado
                                                                El aire
vuelve aire todo lo que toca
                                                  El aire
con dedos de aire disipa lo que digo
Soy aire que no miras
No puedo abrir tus ojos
                                            No puedo cerrar la puerta
El aire se ha vuelto sólido
Esta hora tiene la forma de una pausa
La pausa tiene tu forma
Tú tienes la forma de una fuente
no de agua sino de tiempo
En lo alto del chorro de la fuente
saltan mis pedazos
el fui     el soy   el no soy todavía
Mi vida no pesa
                          El pasado se adelgaza
El futuro es un poco de agua en tus ojos
Ahora tienes la forma de un puente
Bajo tus arcos navega nuestro cuarto
Desde tu pretil nos vemos pasar
Ondeas en el viento más luz que cuerpo
En la otra orilla el sol crece
                                                al revés
Sus raíces se entierran en el cielo
Podríamos ocultarnos en su follaje
Con sus ramas prendemos una hoguera
El día es habitable
El frío ha inmovilizado al mundo
El espacio es de vidrio
                                        El vidrio es de aire
Los ruidos más leves erigen
súbitas esculturas
el eco las multiplica y las dispersa
Tal vez va a nevar
Tiembla el árbol encendido
Ya está rodeado de noche
Al hablar con él hablo contigo
Xii
Por el arco de Elvira
quiero verte pasar
Para saber tu nombre
y ponerme a llorar.
¿Qué luna gris de las nueve
te desangró la mejilla?
¿Quién recoge tu semilla
de llamarada en la nieve?
¿Qué alfiler de cactus breve
asesina tu cristal?
Por el arco de Elvira
voy a verte pasar
para beber tus ojos
y ponerme a llorar.
¡Qué voz para mi castigo
levantas por el mercado!
¡Qué clavel enajenado
en los montones de trigo!
¡Qué lejos estoy contigo!
¡qué cerca cuando te vas!
Por el arco de Elvira
voy a verte pasar
para sufrir tus muslos
y ponerme a llorar.
Andrea Acosta Oct 2010
Mirando por la ventana
la luna veo
una pregunta nace
la que dice
¿Estará mirando la misma cara de la luna?
Caminando por la calle
me tomo un momento
para sentir la brisa pasar por mi cuerpo.
Y de repente una pregunta surge
la que contiene la siguiente duda
¿ Será que esta brisa, la que me abraza ya ha pasado por allí? O...¿ Será que se está dirigiendo allí?
¿Y si uso la brisa y la luna como aliadas?
El envío de besos y abrazos no sólo me saldrían baratos, pero llegarían más rápido que siendo enviados por correo normal.
Me pregunto luego, si podría detener el tiempo
sujetándome fuerte de las agujetas del reloj más grande que encuentre
Si ese método resultara eficiente, ¿me darías un beso?
Si pudiera burlar las cuatro dimensiones...¿Sólo entonces podríamos llamar a nuestro amor eterno?

— The End —